Share

Sulitnya Berbagi

Acara yang lancar siang tadi membuat Fadhil lega. Namun malam pertama ternyata membuatnya gelisah. Bayangan Sarah tak lepas dari kepala. Bukan. Bukan hanya karena secara fisik Sarah jauh lebih bisa membangkitkan hasrat walaupun telah memberinya anak-anak. Fadhil sadar bahwa cinta perlu proses. Begitupun dirinya dengan Sarah di waktu dulu.

“Kenapa, Mas? Kau baik baik saja?” tanya Zubaidah lembut. Fadhil tergagap. Panggilan ‘mas’ dari Zubaidah membuatnya merasa tak nyaman.

“Em, tak ada apa apa. Anu, kau bisa memanggilku, Abang. Bagaimana?” Dahi Zubaidah berkerur.

“Kenapa?”

“Tidak. Sarah sudah memanggilku begitu,” kata Fadhil ragu.

“O, baiklah.” Wanita yang kini tak menggunakan hijabnya di depan sang suami hanya tersenyum maklum. Sungguh istri yang penurut tanpa banyak protes.

Fadhil bertekat untuk sabar dan berusaha membahagiakan Zubaidah semampunya sebagai suami. Namun ternyata tidak mudah. Cinta belum tumbuh di hati lelaki itu. Fadhil sendiri tipe lelaki yang lurus saja terhadap wanita dan bukantipe pemain.

Di hari keempat pernikahan, Fadhil tidak bisa mengendalikan diri. Kesulitan melepaskan hasrat terdalam membuatnya tersiksa. Ketika malam menjalankan kewajiban membahagiakan Zubaidah tertunaikan, Fadhil tetap tidak bisa melepaskan hasratnya sendiri. Dengan cepat Fadhil membersihkan diri dan meraih dahi Zubaidah dalam kecupan.

“Tidurlah yang nyenyak. Aku rindu anak-anak. Kau tidak keberatan, kan?” Fadhil melesat pergi tanpa menunggu jawaban.

Zubaidah yang belum sepenuhnya sadar dari uforia kebahagiaan yang baru saja direguk bersama sang suami hanya terbengong dan mengangguk.

~

Rumah Sarah dan Zubaidah hanya beda beberapa blok. Perlu waktu lima belas menit jalan kaki sedikit lebih cepat, sudah bisa mencapainya.  Kesanalah Fadhil pergi. Fadhil memiliki kunci dua rumah untuk bebas dimasuki.

Sarah terkejut bukan kepalang ketika Fadhil membuatnya terbangun.

“Mas....”

“Aku kangen.” Fadhil memotong kata-kata Sarah dan melepaskan kerinduan dan hasratnya yang tertunda secara beringas.

Meski kaget Sarah kemudian lupa karena belaian  membuatnya terlena. Berdua mereka mengarungi samudera tak terbatas hingga terkulai kelelahan. Fadhil jatuh tertidur dalam pelukan istri pertamanya di mana seharusnya masih menjadi jatah malam istri ke dua. Fadhil mulai melakukan kecurangan. Tidak adil pada istrinya yang lain. Sungguh berbagi suami itu bukanlah hal ringan.  

“Kau benar benar bayi besar.”

Sarah membelai rambut Fadhil yang tertidur pulas seperti bayi. Dihelanya napas menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahan suaminya. Sedikit rasa bersalah menyelinap diam-diam. Rasa cemburu yang membuncah di hari-hari jatah madunya akan suami, kini sirna entah kemana.

Sementara Zubaidah tidur dengan gelisah. Hari di mana dirinya mulai terbiasa tidur bersama seseorang yang memeluknya kini kembali sepi. Bahkan berkali kali berimpi buruk. Keringat bercucuran membasahi dahinya. Jam dinding masih menunjukkan angka tiga. Zubaidah memutuskan bangkit dari pembaringan.

“Adakah  sesuatu yang salah?” gumamnya ketika berulang kali.

~

Azan subuh berkumandang. Fadhil telah selesai mandi dan nampak segar bersiap-siap ke mushola untuk solat berjamaah.

“Sayang... ayo bangun, sudah subuh.” Fadhil menepuk lembut pipi Sarah yang kemudian menggeliat.

“Aku ke kantor dari rumah Zubaidah nanti,”  katanya sambil berlalu meninggalkan Sarah yang masih berbaring.

Sarah mengerjapkan matanya yang masih mengantuk. Ingatannya mulai berputar. Tentang kedatangan suaminya yang tiba-tiba dan ... menyadari bahwa jatah hari bersama suaminya belum tiba. Sarah ingin menanyakan sesuatu tapi Fadhil telah meninggalkan kamarnya. Mendesah. Hanya itu yang dilakukan ketika didengarnya pintu depan membuka dan menutup kembali. Fadhil telah meninggalkan rumah dan kembali pada Zubaidah. Ada sesuatu yang mencubit hatinya. Sakit.

~

Suara merdu Zubaidah terhenti ketika Fadhil mengucapkan salam. Pagi selepas subuh, Zubaidah membaca beberapa juz dalam Al-quran. Berbeda dengan Sarah yang terbangun setelah subuh dengan kelelahan masih tersisa ketika hari kemarin berjibaku dengan segala urusan anak, rumah dan niaga kecil yang dikelolanya. Sarah hanya membaca mushaf selepas magrib dan membacanya beberapa ayat secara rutin bersama anak-anak, kemudian membantu mereka belajar atau  mengerjakan tugas dari sekolah masing-masing.

“Waalaikumusalam. Kok langsung balik apa sudak ketemu anak anak?” tanya Zubaidah heran. Fadhil tampak salah tinggah.

“Em, sudah.”

Zubaidah melirik wajah suaminya yang segar dengan bau shampo menyengat.  Menyadari tatapan menyelidik dari wanita di sampingnya rasa bersalah menyeruak begitu saja. Fadhil merengkuh tubuh Zubaidah dalam pelukan dan membisikkan kata maaf di telinga. Fadhil bahkan tidak bisa berbohong. Sikapnya menjelaskan sesuatu pada istri keduanya itu.

“Maaf untuk apa?” Zubaidah pura pura tak mengerti. Dengan senyum getir ditutupnya kembali mushaf di pangkuan dan bangkit.

“Baidah siapkan sarapan, Bang.” Fadhil mengangguk menatap punggung istrinya yang menjauh.

Hari-hari berlalu dan Fadhil masih kerap melakukan pelanggaran dalam memberikan nafkah batin bagi kedua istrinya. Sering kali di jatah malam Zubaidah, Fadhil telah lebih dulu menemui Sarah dan akhirnya memilih tidur dengan hanya memeluk istrinya saja dengan alasan capek banyak pekerjaan. Meski kecewa Zubaidah berusaha sabar. Toh banyak malam  lain nanti, pikirnya

Mula-mula Zubaidah tidak menyadari perilaku suaminya sebagai bentuk  kecurangan. Tidak mungkin juga dirinya memaksa sang suami melayani kebutuhan biologis setiap jatah malamnya tiba meski sangat ingin. Zubaidah tipe pemalu yang tak bisa memulainya lebuh dulu.

“Eh pengantin baru melamun aja,” ledek  Bu Salwa teman Zubaidah mengajar membuatnya tersenyum malu. Hari ini jadwal mengajar pertamanya setelah cuti menikahnya habis.

“ Bu Baidah, sekarang sudah menjadi seorang istri. Mbok ya dandan sedikit biar pak suami lebih betah dirumah Ibu besok.” Begitu teman temannya meledek. Meski diam, Zubaidah memikirkannya.

Zubaidah belum paham akan sebuah kepuasan seorang suami. Hanya sebagai wanita dirinya juga ingin dipuji atau sekedar dibilang cantik oleh. Fadhil belum pernah sekedar memujinya.  Sikap Fadhil biasa dan bersikap seperlunya. Zubaidah pun mulai melirik perawatan untuk mempercantik diri.

“Em, Bu Salwa.” Panggilan Zubaidah gugup pada rekan sesama guru yang tetap cantic diusia sebaya dirinya meski direpotkan pekerjaa, mengurus suami juga beberapa anak.

“Ya, Bu.”

“A, apa ibu bisa rekomendasikan salon perawatan yang bagus buat muslimah,” tanya Zubaidah yang ditanggapi dengan senyum menggoda juga kedipan sebelah mata.

“Ah, jangan begitu, Bu, malu.” Zubaidah menutup wajah dengan kedua tanggannya.

“Sini, sini! Ssttt.” Kemudian mereka sibuk berbisik bisik.

Zubaidah mulai rajin ke salon perawatan, sanggar olah tubuh juga memborong produk kecantikan. Busana pun tak lepas dari perhatian, terutama busana dalam rumah dan kamar. Saat ada suami, Zubaidah selalu memastikan keadaan rumah yang bersih dan rapi, masakan lezat juga penampilan menarik dan tubuh wangi. Mudah saja bagi Zubaidah yang memiliki gaji dan tanpa anak atau sesiapa  untuk merecoki.

Zubaidah berkali-kali maju mundur cantik di depan cermin. “Cantik untuk suami juga ibadah,” gumamnya malu-malu pada bayangan di kaca kamarnya.

Benar saja. Fadhil mulai menatap Zubaidah lebih lama. “Hem wangi banget istri abang,” kata Fadhil sambil memeluknya dari belakang saat dirinya sedang membiat sarapan pagi ini. Sebagai orang Jawa panggilan abang sedikit janggal tapi siapa yang peduli? Yang penting pasangan ini sedang bahagia.

“Baidah lagi bikin sarapan, Bang.”

“Sarapan kamu dulu aja,” kata Fadhil sambil mematikan kompordan membopong tubuh istrinya ke kamar. Zubaidah memekik manja.

Fadhil mencumbunya di kamar dengan cara berbeda, juga menemukan wajah puas sang suami setelah melepas hasrat padanya. Detik detik tak terbayangkan seperti ini teryata rasanya mencapai klimaks. Zubaidah menyesal baru menyadari bahwa selama ini hanya bahagia sendirian.

Kebahagiaan sebagai pengantin baru kini jelas terlihat di wajah Zubaidah dan Fadhil. Orang-orang dekat mereka menatap takjub. “Pasangan yang serasi,” kata mereka.

“Iya, Setelah menikah aura kecantikan Bu Zubaidah memancarkan sinar terang,” kata yang lain menimpali. Mereka berdua hanya saling memandang dan tersenyum mesra.

“So weet….” Begitu ledek yang melihat interaksi pasangan ini saling memandang.

Namun begitulah manusia. Nafsu membuat apa pun yang telah tercapai selalu saja kurang. Begitu juga Zubaidah. Syetan membantu melambungkan angannya.  Zubaidah tak puas hati dengan keberhasilannya memikat suami dengan pesona. Dalam hati kecil dia ingin mengalahkan Sarah yang dianggap sebagai saingan.

Karier dan penghasilan yang baik membuatnya mampu melakukan banyak hal untuk Fadhil. Suaminya itu pun mulai terlena. Fadhil lebih senang membawa Zubaidah untuk setiap acara dengan alasan Sarah repot dengan anak-anak. Sedikit demi sedikit Sarah tersisih.

“Pekan depan jangan bikin acara, Dek. Ada undangan pernikahan teman kantor.”

“Pekan depan bukannya, Abang jatahnya di Sarah?”

“Malamnya abang pulang kesana. Paling sampai jam sepuluh atau sebelasan kita udah sampai rumah lagi. Bawa Sarah repot sama anak anak.” Zubaidah tersenyum simpul mendengar penjelasan suaminya.

Zubaidah bukan hanya tidak pernah menuntut banyak hal pada suami, tapi juga melayani keseharian Fadhil jauh lebih baik.  Sarah menuntut Fadhil untuk segala biaya anak-anak dan berbagai permintaan pertolongan urusan rumah tangga. Sementara Zubaidah memperlakukannya seperti raja. Minuman dan cemilan selalu terhidang di hadapan Fadhil.  Zubaidah juga tak pernah mengizinkannya  menyentuh piring bekas makan. Padahal Sarah terbiasa berseru;

“Cuci sekalian, Yang...  nanti bertumpuk aku tidak sempat mengerjakannya!” atau “bantu ngepel ya, Yang... biar Sarah yang nyapu!”

Singkatnya Zubaidah menarik simpati suaminya jauh lebih baik dari Sarah.

~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurfa Latif.
Pasti enggak mudah kan ya di poligami. Semangat ya Sarah dan Zubaidah. Semoga enggak ada ujian lain lagi.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status