Share

Wanita yang Baik

Suasana pagi dimana orangorang tengah sibuk dengan segala aktifitas, Zubaidah masih saja mondar mandir di tengah ruang keluarga di rumahnya. Bahkan lupa dengan pekerjaannya sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah.

“Aku tidak bisa memaafkan diri kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Dia bergumam panik.

Zubaidah tidak bisa ikut kerumah Sarah bersama Fadhil. Juga tidak bisa menjenguknya di rumah sakit. Zubaidah berharap, suaminya cepat memberi kabar.

Suara ponsel mengagetkannya. Disambarnya segera mengira Sang  Suami yang menelephon tapi segera saja kekecewaan hinggap. Sekolah tempatnya mengajar yang menghubungi karena ketidak hadirannya hari ini. Zubaidah mulai panic.

“Ya ampun, lupa izin!” pekiknya.

~

Di rumah sakit Sarah segera ditangani oleh seorang dokter. Setelah diperiksa dengan teliti, dokter kembali mengalihkan perhatian pada wajah tegang Fadhil di samping pasiennya.

“Isteri bapak tidak apa-apa. Hanya saja usianya rawan untuk menjalani kehamilan.” Penjelasan dokter membuat Fadhil merasa campur aduk.

Kaget, bahagia juga ada sedikit kecemasan dalam dirinya. Semua menjadi rumit ketika dirinya juga harus membagi waktu pada istri yang lain. Beberapa kejadian sudah cukup berat lelaki itu jalani. Kini kehamilan Sarah jelas akan kembali menguras tenaga dan pikirannya.

“Isteri saya hamil, Dok?” Dokter mengangguk tersenyum. Fadhil menatap senyum Sarah yang lemah.

“Tenanglah! Aku akan menjagamu. Yang ke-3 semoga perempuan.”

“Aamiin.”

“Tapi isteri bapak harus dirawat sementara, karena kondisinya lemah.” Fadhil hanya mengangguk  mendengar penjelasan dokter sambil menggenggam tangan Sarah. Senyum tak lepas dari bibirnya meski katakata dokter juga semakin membuatnya khawatir. 

~

Zubaidah yang tidak sabar menunggu kabar memaksa menyusul ke rumah sakit. Setelah melewati bagian informasi, Zubaidah menuju kamar rawat Sarah. Namun langkahnya terhenti  ketika mendapati suaminya tengah tersenyum lembut pada Sarah dengan jemari saling menggenggam. Mereka tidak menyadari kehadiran Zubaidah.

Seseorang menarik tangan Zubaidah dan membimbingnya kembali keluar. Terus keluar dan masuk ke dalam kedai kopi di samping RS.

“Aku hanya ingin memastikan keadaannya. Berpikir dia tertekan hebat selama ini, aku takut hal buruk terjadi padanya,” kata Zubaidah menjelaskan kedatangannya ketika keduanya telah duduk di kursi. Laras tersenyum meraih tangan kakaknya.

“Syukurlah Kakak sudah sadar. Tidak usah khawatir. Sarah hanya cemas di awal kehamilan.”

Zubaidah kembali menunduk.

“Dia selau beruntung,” gumamnya

“Kakak... akuilah Sarah memang wanita yang baik. Wajar Allah percaya padanya.”

“Jadi aku bukan wanita baik?”

“Tentu Kakak juga baik dan istimewa. Kakak ingat kisah Ummul Mu’minin Kodijah binti Kuwailit, yang merelakan hartanya untuk perjuangan Nabi Muhammad SAW? Hartamu juga kau gunakan untuk mendukung ibadah suamimu, kan? Sekarang teladanilah sikap Zubaidah binti Zamah! Beliau bahkan rela melepaskan jatah malamnya pada Aisyah binti Abu Bakar. Itu semua bakti pada suami untuk membahagiakannya.”

“Tapi Laras... kakakmu ini wanita biasa. Namaku bisa meniru, tapi meneladani beliau? Entahlah....” Mata Zubaidah merebak.

“Mas Fadhil juga tidak penah minta sejauh itu, kan? Laras hanya berharap kakak bisa mengendalikan rasa cemburu. Kakak harus tahu Sarah lebih merasakan itu.”

“Ya aku akan berusaha. Terima kasih, Laras.” Laras mengangguk-angguk haru.

“Ayo, Kak ... kita pulang.” Zubaidah mengikuti langkah adiknya. Berkali-kali matanya melirik ke arah dalam rumah sakit. Seolah melihat bayangan suaminya di sana. Separuh jiwa tertinggal. Dirinya juga sangat ingin bersama Fadhil saat ini. Rasa yang harus ditepisnya kuat-kuat. Rasa rindu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status