Sepekan lamanya Sarah berada di rumah sakit. Selama itu pula Fadhil berada di sampingnya tanpa sehari pun pulag ke rumah Zubaidah.Tak mengapa bagi wanita berkulit langsat yang kini tampak lebih hidup setelah menikah. Meski menjadi yang kedua dan harus berjuang keras untuk mendapakan cinta Sang Suami, Zubaidah sangat menghargai pernikahannya. Dengan kerendahan hati dirinya juga akan menerima konsekuensi dari sebuah keputusan menerima seorang pria beristri sebagai seorang suami yang membuatnya harus terus mengalah pada yang pertama.
Pagi hari ketika Zubaidah tengah menikmati sarapan pagi sendirian dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari belakang tubuhnya. Aroma yang kini telah familiar di hidungnya dan sangat dirindukan di harihari belakangan ini membuat perasaanya membuncah. Bisikan di telinga dengan deru napas yang menghangatkan di area sensitive leher belakang membuatnya membeku.
“Aku merindukanmu.”
“Mas… gimana Sa ….”
Sesuatu yang lembut membungkam suaranya lalu tubuh itu serasa melayang dan berayun seiring langkah Fadhil menuju ke kamar. Seperti mimpi Zubaidah tak ingin terbangun cepat. Tangannya melingkar kuat di leher lelaki yang tengah dirindukan sentuhannya. Menatapnya tanpa ingin berpaling meski sekedipan mata takut memoment indah ini lenyap. Bahkan hingga tubuhnya dengan nyata merasai permukaan pembaringan yang lembut.
“Ahk!”
Kesadaran Zubaidah kembali bersama pekikan kaget karena sentuhan menghentak di dadanya. Fadhil bermain tak selembut biasanya. Segala kepenatan pikiran teralihkan bersama hasrat lelakinya yang cukup lama tertahan. Berulang kali wanita dalam kungkungannya memekik tertahan.
*
Zubaidah mengeringkan rambutnya sambil mondar mandir menyiapkan segala sesuatu bagi Sang Suami. Tak sedikit pun rasa berat di hati melakukan semua termasuk mandi ulang ketika dandanan telah rapi siap mengajar pagi ini.
“Kenapa mendadak tugas luar, Bang? Apa Baidah perlu cuti untuk mendapingimu?”
“Tidah usah.” Fadhil menjawab pertanyaan istrinya singkat sambil menikmati sarapannya yang terlambat.
Kantornya mengirim Fadhil keluar kota seperti biasanya. Ia tidak ingin membawa isteri kali ini dan pergi sediri. Dua pekan bisa memberinya waktu untuk banyak berpikir. Selain pekerjaan ada banyak PR yang harus diselesaikan mengenai rumah tangganya. Pekerjaan berat melebihi projek kantor yang tengah digarapnya.
Zubaidah yang ingin bertemu Sarah secara pribadi merasa inilah waktu yang tepat ketika suami mereka tidak ada. Lagipula sudah sangat terlambat baginya untuk mengajar hari ini, jadi cuti saja. Mempersiapkan bekal perjalanan suaminya menyita waktu dengan banyak jeda karena keintiman yang sama sama mereka inginkan.
*
Sarah tertegun ketika Zubaidah berdiri di ambang pintu rumahnya. Sapu yang dipegang mengambang di udara yang semula diangkat untuk menjangkau sarang labalaba di pojokan dinding. Sarah sedang bebersih.
“Boleh aku masuk?” Sarah menggeser tubuhnya memberi jalan tanpa menjawab. Menutup pintu lalu mengikuti Zubaidah ke arah ruang tamu.
“Silakan duduk!” Suara Sarah kaku dan canggung. Zubaidah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Itu membuat Sarah tidak suka.
“Ada perlu apa, Mbak kesini?” Pertanyaannya sedikit ketus.
“Aku mengerti kalau, Dik Sarah tidak suka padaku. Aku memang tidak tahu terima kasih.” Sarah mengerutkan dahi. Berpikir keras menduga apa kiranya tujuan kata-kata Zubaidah.
“Selama setahun lebih jadi madumu, aku dibutakan nafsu ingin menguasai suami seutuhnya tanpa menyadari wanita lain yang secara utuh merelakan sebagian untukku. Maafkan aku.”
Zubaidah menunduk menekuri lantai setelah berbicara. Menunggu sambutan tuan rumah yang masih diam membeku. Mungkin tengah memilah kata yang tepat untuk menanggapi.
“Sudahlah, Mbak. Mari kita perbaiki saja kedepannya. Sejujurnya Sarah tidak benar-benar merelakan suami sebagian apa lagi seutuhnya. Sarah tidak pernah benar-benar ikhlas!” Zubaidah menatap Sarah dengan tegang.
“Tapi... mari sama-sama bersabar demi Mas Fadhil bahagia.” Zubaidah melepas napas lega demi kalimat Sarah yang terakhir.
“Dik, Sarah. Selama ini aku sering mengambil jatahmu dengan curang. Sekarang, kalau kau ingin waktu lebih bersama Mas Fadhil... aku tidak apa-apa.” Sarah kembali menatap curiga.
“Jangan melihatku begitu! Sejujurnya aku tidak ikhlas juga mengatakan ini, tapi... aku berhutang. Aku janji akan membayarnya sedikit demi sedikit. Apa lagi... kau sedang mengandung dan butuh perhatian lebih.”
“Terima kasih, Mbak,” kata Sarah tulus.
“Ah, sudahlah! Lagi pula... aku takut sekali terjadi hal buruk padamu kemarin,” kata Zubaidah pelan menyerupai gumam.
“Baiklah Sarah, aku pergi. Seperti maumu aku akan menjauh darimu.”
“Maafkan, Sarah.”
“Tidak. Akulah yang harus berterima kasih. Laras sudah beritahu aku, kau tidak ingin kita di perbandingkan. Padahal, Dik, kau jauh lebih cantik dariku. Lebih muda dan lebih sempurna sebagai wanita. Menjadi ibu kau melindungi tanpa kusadari. Aku tampak lebih banyak beribadah darimu. Tapi sebenarnya kau bahkan beribadah nyaris tanpa jeda. Saat hamil, menyusui lalu mengurus harta dan anak-anak suami. Aku iri padamu, Dik Sarah... juga malu. Maafkan aku dan terima kasih banyak.”
Sarah hanya bisa diam mematung tanpa tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya mereka berpelukan erat dalam ketulusan. Tak tahan berlama-lama, Zubaidah pun pamit pulang. Sarah menatap punggung Zubaidah yang mulai menjauh dan menghilang di tikungan jalan dengan rasa haru.
~
Pesawat membawa Fadhil pulang dari daerah Kepulauan kembali ke kota dimana diri dan keluarganya tinggal. Kelelahan baru dirasakannya ketika tubuh menyentuh kursi penumpang yang nyaman. Demi tak ingin berlama lama meninggalkan keluarga dirinya memaksimalkan waktu mengurus pekerjaan agar selesai segera. Fadhil menyelesaikan semua dalam waktu sepekan saja. Tawaran bersantai menikmati wisata local ditolaknya dengan halus beralasan keluarga sudah menunggunya saat ini. Binar terpesona tampak pada beberapa rekan wanita mengingat langkanya pria yang mengutamakan keluarga dari sebuah kesenangan. Terlebih saat baru saja berjibaku dengan kepenatan pekerjaan. Tanpa mengabari siapa pun Fadhil menarik koper di bandara dan memanggil taksi untuk membawanya pulang ke rumah Zubaidah. Istri ke duanya itu merasa surprice ketika mendapati Sang Suami menjulang di depan pintu yang baru saja terbuka. Jemari panjang sedikit kurusnya terangkat menu
Aroma kopi menggelitik hidung dan membangunkan tidur Fhadil. Pagi tadi lelaki berambut ikal itu kembali jatuh tertidur di sofa begitu istri keduanya pamit mengajar setelah sarapan bersama. Sesaat direnggangkannya tangan dan menghidu aroma kesukaan lebih kuat. “Siapa yang membuat kopi?” gumamnya. Memutar kepala, Fadhil memindai seluruh ruang kosong yang terasa sangat luas ketika sendirian. Rumah Zubaidah memang selalu sepi. Tiada sesiapa tinggal kecuali mereka berdua dan akan kosong ketika Siang hari saat keduanya berkegiatan di luar. Tanpa sadar dirinya menghela napas menyadari betapa Zubaidah telah begitu sabar menjalani hidup sendirian dalam kesepian. Sebersit rasa kasihan melintas begitu saja. “Kenapa melamun? Nanti kopinya keburu dingin.” “Baidah. Bukannya kamu tadi …” “Iya aku sudah pamit ngajar tadi tapi izin setelah selesaikan jam pertama pelajaran.
Fadhil berlenggang menyusuri jalanan komplek yang lengang. Kebanyakan warga sedang sibuk beraktifitas di kantor atau tempat usaha yang lain seperti kawasan niaga maupun industri yang umumnya berangkat pagi pulang sore hingga malam. Akan tetapi ada sekelompok ibu rumah tangga yang menobatkan diri sebagai Emak rebahan masih sempat bergerombol dan berbisikbisik sambil sesekali melirik lelaki yang tampak gagah melangkah santai dengan tangan terselip di saku celana. “Pak Fadhil akhirnya ingat pulang.” Begitu kata seseorang dari mereka. Merasa jengah Fadhil mempercepat langkah agar segera sampai lalu dengan menggumam salam diselipkannya anak kunci guna membuka rumah Sarah. Gagal. Ada sesuatu yang menyumbat lubang dari dalam. Reflek Fadhil memutar handel pintu dan terbuka. Perkiraannya salah. Ternyata Sarah ada di rumah. Wanita itu nampak kaget dan terbangun dari sofa tempatnya tengah bermalasan. “Mas Fa
Fadhil mondar mandir dengan linglung di depan ruang UGD rumah sakit. Sesekali mencoba mengintip kesibukan dokter di dalam sana. Pikirannya kalut mengingat kondisi terakhir Sarah yang tak sadarkan diri dengan darah yang terus menetes. Dirinya pun tak menyadari bahwa saat ini penampilannya juga kacau. Celana dan kaus yang dikenakan belepotan darah yang mulai mengering. Bau tak sedap menguar dari sana. Orang orang menjauh kala melewatinya. Fadhil merasa sendirian ketika tiba tiba mengingat Zubaidah. ‘Apa?! Rumah sakit lagi!? Kenapa, Bang?’ Zubaidah merasa lututnya lemas, mendengar tentang Sarah yang pendarahan. Di waktu waktu dekat ini disadari begitu banyak kejadian menguji kesabaran. Cobaan demi cobaan menimpa keluarga suaminya. Itu terjadi setelah dirinya hadir di antara mereka. ‘Belum tahu tapi dokter sedang berjuang menyelamatkannya. Sekarang belum sadar.’ Suara Fadhil serak penuh kesedihan
Cahaya matahari pagi menerobos jendela lantai dua rumah sakit, menghangatkan wajah Fadhil yang kuyu. Lelaki itu duduk bersandar di sebuah kursi sambil membaca Al-Quran, sesekali menatap pintu kaca tempat isterinya berada. Hatinya sedikit tenang. Dokter mengatakan masa kritis Sarah sudah lewat meski kini masih belum sadar seharusnya itu tidak akan lama. “Allah pasti berikan yang terbaik, Sayang,” bisik Fadhil seolah tengah bicara di telinga istrinya. Ketenangan tiba-tiba terusik oleh suara tangis ibu Sarah yang datang bersama bapaknya. Rupanya mereka langsung berangkat dari kampung halaman begitu Fadhil mengabari keadaan putri mereka semalam. “Bapak. Ibu.” Fadhil menyalami dan mencium tangan mereka khidmad, tapi ibu menariknya dengan kasar. “Apa yang kau lakukan pada anak ibu!?” “Ibu ....” Fadhil tak bisa berkata kata melihat kemarahan meluap di
Duduk kaku di antara kedua mertuanya yang menatap sengit sungguh menyiksa. Fadhil serasa menjadi terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang. Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin bagi Fadhil membela diri dan mengatakan bahwa pada awalnya Sarahlah yang menginginkan dirinya berpoligami. Ketegangan melingkupi batin Fadhil terlebih saat suara bariton bapak memecah kesunyian.“Setelah bayinya lahir, kembalikan Sarah pada kami, Nak Fadhil!”Suara yang tenang itu bagai menggelegar di telinga lelaki yang kini telah goyah dalam berpijak.Tubuh Fadhil luruh bersimpuh dan memegang tangan bapak mertuanya. Wajah kuyu menjelaskan betapa gundah dan frustasi batinnya.“Maafkan saya, Pak. Sekarang Sarah belum sadar, tolong jangan membahas ini dulu. Tolonglah, Pak ....”Fadhil tak sanggup menahan tangisnya. Tak peduli apa tanggapan orang tentang lelaki yang cengeng. Namun
Fadhil berjalan keluar rumah sakit dengan linglung mencapai jalan raya. Memorinya berisi banyak hal berdesakan hilang timbul membuatnya mengernyit sakit karena berusaha focus. Dia meninggalkan mobilnya di rumah sakit dan pulang dengan taksi. Pikirannya yang tengah kalut tidak memungkinkan untuk menyetir. Berbahaya.Bayangan wajah Sarah menari di pelupuk mata. Begitu pun perjalanan pernikahannya dengan wanita yang akan memberinya 3 anak itu. Perempuan yang selalu kuat dan tegar menghadapi sikap kekanakan suami, lebih banyak memberi dari pada meminta, bekerja keras dalam membantu ekonomi keluarga, juga rajin mengingatkan agar suaminya lebih baik dan lebih baik lagi menjalankan kewajiban sebagai suami dan ayah.Dia rela diajak berjuang sejak awal pernikahan, saat keluarga kecilnya belum memiliki apa-apa tapi tidak pernah menuntut lebih saat suami mulai berjaya. Kenyataan ini membuat dadanya berdenyut sakit me
Rumah asri di sebuah perkampungan padat penduduk itu tampak ramai oleh celoteh anak usia TK hingga SD. Mereka duduk melingkar mengerubungi seorang wanita cantik berkerudung biru panjang menjuntai membingkai wajah oval berkulit terang. Dia adalah Laras guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya.Sore itu Zubaidah berkunjung ke rumah Laras. Sambil menunggu adiknya itu selesai dalam memberikan bimbingan dirinya membaur bersama beberapa orang anak yang sedang duduk memainkan karet gelang.“Tante mau ikut main?” tanya seorang anak perempuan lucu berwajah bulat.“Memang boleh?” Zubaidah balik bertanya.Wajah itu mengedarkan pandangan pada temantemannya yang lain seolah meminta persetujuan. Zubaidah menapilkan wajah memelas yang membuat mereka mengangguk berbarengan. Zubaidah tertawa karena merasa konyol. Beban di hatinya teralihkan sepenuhnya saat ini berkat kepolosan mereka. Anga