Laras meninggalkan rumah Zubaidah tanpa pamit. Kakaknya itu berdiam di kamar sampai siang. Setelah perdebatan bersama kakaknya hingga pagi, Laras tidak tidur lagi. Ia menguping segala yang terjadi di luar kamar. Laras tahu, kakaknya sangat sedih dan menyesal. Laras bertahan pura-pura mengabaikannya.
“Kakak harus belajar.” Tekadnya bulat untuk membantu jangan sampai kakaknya itu salah jalan.
Cinta dan kecemburuan memang acap kali membuat kecerdasan seseorang tiba tiba menghilang. Sebagai seorang guru di sekolah yang berbasis dakwa, Zubaidah sebenarnya sangat paham akan hukum agama juga hokum pernikahan poligami yang dilakukannya. Sayang ego dan napsunya membuat ilmu yang tinggi tak berfungsi sebagaimana mestinya.
~
Sore hari Laras membawa anaknya mengunjungi Sarah. Langkahnya pelan sambil menimbang, apa yang perlu disampaikan pada sahabatnya. Ada rasa bersalah akan sikap kakaknya. Bagaimanapun dirinyalah yang mendorong Sarah mengikhlaskan suami berpoligami pada waktu itu, karena menceritakan keadaan Zubaidah.
Laras sadar, tanpa campur tangan Tuhan, tak mungkin semua terjadi. Semua sudah takdir bagi mereka. Hanya tetap saja sebagai manusia biasa rasa bersalah itu perlu muara. Laras harus meminta maaf pada sahabatnya itu.
“Kau ingat padaku?” Canda Sarah ketika Laras nongol di pintu pagar. Sarah tengah menyiram tanaman kesayangannya. Laras tersenyum saja tanpa menjawab.
Menyelonong masuk setelah mengucap salam dengan suara pelan. Tak perlu menunggu jawaban wanita dengan bayi dalam gendongannya itu mencari tempat untuk mendudukkan diri.
“Waalaikumusalam. Naiklah ke balkon, Ras. Kita panen cabe sama tomat. Kau pasti suka,” kata Sarah sambil menjawil pipi gembul dalam gendongan Laras.
“Akan kubawakan minuman ke atas. Di bawah basah tidak enak buat si kecil main-main,” kata Sarah renyah. Laras tersenyum. Sahabatnya ini memang ramah dengan suara bagai gerimis yang membuat siapa saja gampang akrab.
Laras sudah biasa tanpa canggung menyusuri tiap bagian rumah Sarah. Mereka sahabat sejak lama. Hanya saja sejak si kecilnya lahir, mereka disibukkan oleh kegiatan masing masing hingga jarang saling berkunjung.
Hamparan pot berukuran sedang berisi berbagai tanaman hias juga sayur mayur hijau memanjakan mata. Pijar warna merah dari tomat yang telah masak juga cabai yang tua sempurna melengkapi suasana ceria. Di balkon atas rumah Sarah, mereka duduk berdua di kursi dengan sekat sebuah meja kecil yang telah penuh oleh gelas minuman dan beberapa camilan yang di bawa tuan rumah dari bawah.
“Sarah... maafkan aku, ya....”
“Kenapa? Jangan main drama, ah ... aku tidak tertarik bersedih ria.” Sarah pura pura tak mengerti arah pembicaraan Laras. Lagi pula tak seharusnya sahabatnya itu menaggung apa yang dilakukan kakaknya.
“Sarah, aku sungguh minta maaf juga atas nama kakakku.”
“Cukup, Laras! Itu tidak perlu, percayalah!” potongnya sambil mengangkat tangan.
“Aku berjanji akan menyadarkan kakakku dari sikapnya yang keliru. Tolong bersabarlah sedikit lagi, kau tidak akan kehilangan hakmu sedikit pun,” kata Laras sambil menggenggam jemari tangan Sarah.
Mata Sarah berkaca karena rasa haru. Dalam hati terdalam sungguh dirinya tak pernah menyalahkan Laras soal apa yang terjadi. Sahabat seperti Laras sangat langka. Orang yang selalu peduli padanya di saat senang mau pun susah.
Ting tong! Suara bel pintu di bawah mengalihkan perhatian kedua wanita itu. Sarah mengintip dari celah balkon. Tampak suaminya berdiri sambil menenteng tas kerja. Rupanya Fadhil pulang dari kantor langsung ke rumahnya.
”Mas Fadhil pulang. Sebentar ya, Ras!” Sarah melesat turun dengan bergegas. Semangatnya menandakan kegembiraan dalam hatinya.
Laras menunggu sambil bermain main dengan sang putri. Tak lama pasangan suami istri yang tengah dikhawatirkan itu naik kembali. Pakaian santai kini telah dikenakan Fadhil menggantikan seragam kantornya.
Fadhil dan Laras saling menangkup tangan sebagaai pengganti salam. Meski dekat mereka tetap menjaga adap karena bukan mahram.
“Wah, Dik Laras di sini? Apa yang dilakukan dua wanita solehah di balkon?” tanya Fadhil sambil tersenyum semringah.
“Panen cabe!” seru keduanya bersamaan.
“Kompak sekali? Jadi curiga.” Fadhil menghampiri gadis kecil yang asik bermain tomat di hamparan tikar.”
“Dan kau juga membantu?” katanya sambil mengangkat tubuh munggil yang baru berusia beberapa bulan.
“Sepertinya aku memang tidak perlu khawatir,” gumam Laras memperhatikan Fadhil yang tengah bermain-main dengan putri kecilnya.
“Sudah kubilang, kan? Tak perlu sama sekali.”
“Kau wanita hebat. Semoga kalian mendapat segala yang terbaik.”
“Aamiin.”
“Baiklah aku pamit. Aku tidak mau mengganggu kalian,” bisik Laras di telinga Sarah.
“Kenapa kalian malah berbisik bisik di belakangku? Aku kan bisa jadi suudzan jadinya.” Fadhil menggoda para wanita itu sambil tertawa.
“Jangan, Bang. Semua baik saja. Kami tak suka makan daging saudara sendiri,” selorohnya. Mereka tertawa bersama.
Dua sahabat itu saling berpelukan sebelum berpisah. Sarah memang sengaja tak ingin membicarakan apa pun tentang kemelut keluarganya. Bukan ranah untuk mengumbar meski Laras adalah sahabat kental. Aib suami mau pun madu adalah aibnya juga yang harus ditutupi rapat rapat.
~
Pucuk daun masih meneteskan embun sisa semalam ketika Zubaidah menemani Sang Suami duduk di beranda rumah sambil menikmati seduhan teh beraroma melati kesukaan Fadhil. Hari begitu damai sampai tiba-tiba kabar dari rumah Sarah mengejutkan mereka.berdua.
“Papa! Mama pingsan.” Lapor si sulung lewat telephone. Fadhil bergegas kerumah Sarah meninggalkan Zubaidah yang memilin jemari dengan gelisah di rumahnya.
Suasana pagi dimana orangorang tengah sibuk dengan segala aktifitas, Zubaidah masih saja mondar mandir di tengah ruang keluarga di rumahnya. Bahkan lupa dengan pekerjaannya sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah.“Aku tidak bisa memaafkan diri kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Dia bergumam panik.Zubaidah tidak bisa ikut kerumah Sarah bersama Fadhil. Juga tidak bisa menjenguknya di rumah sakit. Zubaidah berharap, suaminya cepat memberi kabar.Suara ponsel mengagetkannya. Disambarnya segera mengira Sang Suami yang menelephon tapi segera saja kekecewaan hinggap. Sekolah tempatnya mengajar yang menghubungi karena ketidak hadirannya hari ini. Zubaidah mulai panic.“Ya ampun, lupa izin!” pekiknya.~Di rumah sakit Sarah segera ditangani oleh seorang dokter. Setelah diperiksa dengan teliti, dokter kembali mengalihkan perhatian pada wajah tegang
Sepekan lamanya Sarah berada di rumah sakit. Selama itu pula Fadhil berada di sampingnya tanpa sehari pun pulag ke rumah Zubaidah.Tak mengapa bagi wanita berkulit langsat yang kini tampak lebih hidup setelah menikah. Meski menjadi yang kedua dan harus berjuang keras untuk mendapakan cinta Sang Suami, Zubaidah sangat menghargai pernikahannya. Dengan kerendahan hati dirinya juga akan menerima konsekuensi dari sebuah keputusan menerima seorang pria beristri sebagai seorang suami yang membuatnya harus terus mengalah pada yang pertama.Pagi hari ketika Zubaidah tengah menikmati sarapan pagi sendirian dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari belakang tubuhnya. Aroma yang kini telah familiar di hidungnya dan sangat dirindukan di harihari belakangan ini membuat perasaanya membuncah. Bisikan di telinga dengan deru napas yang menghangatkan di area sensitive leher belakang membuatnya membeku.“Aku merin
Pesawat membawa Fadhil pulang dari daerah Kepulauan kembali ke kota dimana diri dan keluarganya tinggal. Kelelahan baru dirasakannya ketika tubuh menyentuh kursi penumpang yang nyaman. Demi tak ingin berlama lama meninggalkan keluarga dirinya memaksimalkan waktu mengurus pekerjaan agar selesai segera. Fadhil menyelesaikan semua dalam waktu sepekan saja. Tawaran bersantai menikmati wisata local ditolaknya dengan halus beralasan keluarga sudah menunggunya saat ini. Binar terpesona tampak pada beberapa rekan wanita mengingat langkanya pria yang mengutamakan keluarga dari sebuah kesenangan. Terlebih saat baru saja berjibaku dengan kepenatan pekerjaan. Tanpa mengabari siapa pun Fadhil menarik koper di bandara dan memanggil taksi untuk membawanya pulang ke rumah Zubaidah. Istri ke duanya itu merasa surprice ketika mendapati Sang Suami menjulang di depan pintu yang baru saja terbuka. Jemari panjang sedikit kurusnya terangkat menu
Aroma kopi menggelitik hidung dan membangunkan tidur Fhadil. Pagi tadi lelaki berambut ikal itu kembali jatuh tertidur di sofa begitu istri keduanya pamit mengajar setelah sarapan bersama. Sesaat direnggangkannya tangan dan menghidu aroma kesukaan lebih kuat. “Siapa yang membuat kopi?” gumamnya. Memutar kepala, Fadhil memindai seluruh ruang kosong yang terasa sangat luas ketika sendirian. Rumah Zubaidah memang selalu sepi. Tiada sesiapa tinggal kecuali mereka berdua dan akan kosong ketika Siang hari saat keduanya berkegiatan di luar. Tanpa sadar dirinya menghela napas menyadari betapa Zubaidah telah begitu sabar menjalani hidup sendirian dalam kesepian. Sebersit rasa kasihan melintas begitu saja. “Kenapa melamun? Nanti kopinya keburu dingin.” “Baidah. Bukannya kamu tadi …” “Iya aku sudah pamit ngajar tadi tapi izin setelah selesaikan jam pertama pelajaran.
Fadhil berlenggang menyusuri jalanan komplek yang lengang. Kebanyakan warga sedang sibuk beraktifitas di kantor atau tempat usaha yang lain seperti kawasan niaga maupun industri yang umumnya berangkat pagi pulang sore hingga malam. Akan tetapi ada sekelompok ibu rumah tangga yang menobatkan diri sebagai Emak rebahan masih sempat bergerombol dan berbisikbisik sambil sesekali melirik lelaki yang tampak gagah melangkah santai dengan tangan terselip di saku celana. “Pak Fadhil akhirnya ingat pulang.” Begitu kata seseorang dari mereka. Merasa jengah Fadhil mempercepat langkah agar segera sampai lalu dengan menggumam salam diselipkannya anak kunci guna membuka rumah Sarah. Gagal. Ada sesuatu yang menyumbat lubang dari dalam. Reflek Fadhil memutar handel pintu dan terbuka. Perkiraannya salah. Ternyata Sarah ada di rumah. Wanita itu nampak kaget dan terbangun dari sofa tempatnya tengah bermalasan. “Mas Fa
Fadhil mondar mandir dengan linglung di depan ruang UGD rumah sakit. Sesekali mencoba mengintip kesibukan dokter di dalam sana. Pikirannya kalut mengingat kondisi terakhir Sarah yang tak sadarkan diri dengan darah yang terus menetes. Dirinya pun tak menyadari bahwa saat ini penampilannya juga kacau. Celana dan kaus yang dikenakan belepotan darah yang mulai mengering. Bau tak sedap menguar dari sana. Orang orang menjauh kala melewatinya. Fadhil merasa sendirian ketika tiba tiba mengingat Zubaidah. ‘Apa?! Rumah sakit lagi!? Kenapa, Bang?’ Zubaidah merasa lututnya lemas, mendengar tentang Sarah yang pendarahan. Di waktu waktu dekat ini disadari begitu banyak kejadian menguji kesabaran. Cobaan demi cobaan menimpa keluarga suaminya. Itu terjadi setelah dirinya hadir di antara mereka. ‘Belum tahu tapi dokter sedang berjuang menyelamatkannya. Sekarang belum sadar.’ Suara Fadhil serak penuh kesedihan
Cahaya matahari pagi menerobos jendela lantai dua rumah sakit, menghangatkan wajah Fadhil yang kuyu. Lelaki itu duduk bersandar di sebuah kursi sambil membaca Al-Quran, sesekali menatap pintu kaca tempat isterinya berada. Hatinya sedikit tenang. Dokter mengatakan masa kritis Sarah sudah lewat meski kini masih belum sadar seharusnya itu tidak akan lama. “Allah pasti berikan yang terbaik, Sayang,” bisik Fadhil seolah tengah bicara di telinga istrinya. Ketenangan tiba-tiba terusik oleh suara tangis ibu Sarah yang datang bersama bapaknya. Rupanya mereka langsung berangkat dari kampung halaman begitu Fadhil mengabari keadaan putri mereka semalam. “Bapak. Ibu.” Fadhil menyalami dan mencium tangan mereka khidmad, tapi ibu menariknya dengan kasar. “Apa yang kau lakukan pada anak ibu!?” “Ibu ....” Fadhil tak bisa berkata kata melihat kemarahan meluap di
Duduk kaku di antara kedua mertuanya yang menatap sengit sungguh menyiksa. Fadhil serasa menjadi terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang. Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin bagi Fadhil membela diri dan mengatakan bahwa pada awalnya Sarahlah yang menginginkan dirinya berpoligami. Ketegangan melingkupi batin Fadhil terlebih saat suara bariton bapak memecah kesunyian.“Setelah bayinya lahir, kembalikan Sarah pada kami, Nak Fadhil!”Suara yang tenang itu bagai menggelegar di telinga lelaki yang kini telah goyah dalam berpijak.Tubuh Fadhil luruh bersimpuh dan memegang tangan bapak mertuanya. Wajah kuyu menjelaskan betapa gundah dan frustasi batinnya.“Maafkan saya, Pak. Sekarang Sarah belum sadar, tolong jangan membahas ini dulu. Tolonglah, Pak ....”Fadhil tak sanggup menahan tangisnya. Tak peduli apa tanggapan orang tentang lelaki yang cengeng. Namun