Suara alarm berbunyi, membuat dua wanita yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena alarm sejak tadi tidak berhenti. Calllista dan Olivia yang masih tertidur pulas begitu terganggu karena bunyi alarm.
“Callista! Kenapa alarmmu berisik sekali! Aku masih mengantuk!” seru Olivia. Dia menutup kepalanya dengan bantal. Sunggguh alarm Callista ini benar-benar mengganggu tidurnya.
Callista mengumpat dalam hati, dengan cepat Callista mematikan ponselnya agar alarm itu tidak lagi menganggu tidurnya.
Namun saat Callista mematikan ponselnya, tiba-tiba Olivia melempar bantal yang tadi dia gunakan untuk menutup kepalanya, dengan wajah panik Olivia mengambil arloji miliknya. “Astaga Callista kita terlambat!” Suara teriakan Olivia kencang saat melihat kini sudah pukul delapan pagi.
Callista tidak bergeming, dia memilih untuk menutup matanya. Callista masih mengantuk dan rasanya dia masih belum ingin membuka matanya.
Olivia mengumpat kasar saat melihat Callista masih menutup mata. “Callista bangun! Hari ini ada meeting pemegang saham di rumah sakit! Kita tidak boleh terlambat!” Olivia menggoyangkan bahu Callista agar wanita itu bangun. Namun sialnya, Callista masih juga belum bangun.
“Astaga Callista bangun! Ini sudah jam delapan! meeting dengan pemegang saham rumah sakit jam sembilan Callista! Kita bisa habis jika kita terlambat!” teriak Olivia begitu kencang.
Callista tersentak, dia langsung membuka matanya dengan panik. “Kenapa kau tidak bilang sejak tadi Olivia! Demi Tuhan, aku benar-benar lupa kita ada meeting pagi ini.” Callista melompat turun dari ranjang. “Kau pakai kamar mandi yang di sebelah.” Callista berlari menuju kamar mandi, begitu pun dengan olivia yang langsung berlari menuju kamar mandi yang berada di kamar tamu.
Tiga puluh menit kemudian, Callista dan Olivia sudah bersiap-siap. Beruntung Callista tidak suka memakai make up tebal. Callista lebih menyukai make up tipis sedangkan Olivia kali ini dia harus rela tidak memoles make up bold. Olivia mengikuti Callista hanya memoles make up tipis di wajahnya.
“Aku saja yang membawa mobil.” Callista menyambar kunci mobil, dia tahu di saat seperti ini tidak mungkin Olivia yang membawa mobil. Bisa-bisa mereka berdua datang terlambat.
Callista dan Olivia berlari meninggalkan apartmen menuju parkiran. Mereka masuk ke dalam mobil, dengan cepat Callista menghidupkan mesin dan menginjak gas. Callista mulai mengendari mobilnya dengan kecepatan penuh meninggalkan apartemen.
“Callista! Aku belum ingin mati!” seru Olivia. Dia terus mengumpat saat Callista mengendarai mobil dengan kecepatan penuh.
“Diamlah jangan berisik! Kau mau kita terlambat? Salahkan dirimu yang memaksa kita ke klub malam dan pulang larut, jika tidak kita tidak akan terlambat seperti ini!” jawab Callista kesal. Tatapannya tetap focus ke depan. Callista menginjak gasnya, menambah kecepatan. Ya, dia tidak mungkin membiarkan dirinya terlambat dalam meeting pertamannya dengan pemegang saham di ruamh sakit tempatnya bekerja. Jika sampai dia terlambat, ini benar-benar sungguh memalukan.
Olivia berdecak pelan. “Kau ini kenapa menyalahkanku!”
Callista tidak menjawab, dia memilih semakin menaikan kecepatannya agar cepat segera tiba di rumah sakit. Dia merutuki kecerobohannya, andai tadi dia tidak mematikan alarm sudah pasti dia tidak akan terlambat.
Perjalanan menuju Queen Hospital membutuhkan waktu satu jam dari apartemen milik Callista. Kini mobil Callista sudah memasuki halaman parkir rumah sakit, dengan cepat Callista dan Olivia melompat turun dari mobil. Mereka berjalan cepat menuju ruang meeting.
“Callista, bagaimana jika kita benar-benar terlambat? Aku baru ingat hari ini ada dua dokter baru yang bekerja di sini,” kata Olivia dengan nada cemas saat berjalan menuju ruang meeting.
“Aku tidak tahu! Kita berdoa saja tidak terlambat,” balas Callista. Dia mangatur napas dan berusaha menenangkan diri agar tidak panik.
Callista dan Olivia melangkah masuk ke dalam ruang meeting. Kali ini mereka berdua sungguh beruntung. Ternyata meeting masih belum dimulai. Pemegang saham masih belum datang. Mereka langsung bergabung dengan dokter specialis bedah lainnya.
“Callista, kita selamat meeting belum dimulai,” bisik Olivia di telinga Callista.
“Kau benar, Tuhan masih melindungi kita,” balas Callista dengan suara pelan.
Tidak lama kemudian seorang pria dengan balutan jas berwarna hitam melangkah masuk ke dalam ruang meeting. Sosok pria tampan dengan tubuh tegap membuat perhatian para dokter muda di sana. Olivia melebarkan matanya saat melihat sosok pria yang berdiri di podium.
Seketika Olivia kembali memastikan pria itu, dia terus menatap pria itu. Namun dengan cepat Olivia menyentuh lengan Callista yang duduk di sampingnya. Lalu dia berbisik di telinga sahabatnya itu. “Callista, kau lihat pria itu? Bukannya itu pria yang tadi malam membantumu?”
Callista mengerutkan keningnya, tadi memang Callista tidak terlalu memperhatikan karena mematikan ponselnya. Kini Callista mengalihkan pandangannya saat mendengar ucapan Olivia. Dia menatap sosok pria yang berdiri di podium. Seketika Callista mematung melihat pria itu. Dia menggelengkan kepalanya pelan, dia rasa tidak yakin dengan apa yang dia lihat ini. Tapi tunggu, Callista tidak mungkin salah mengenal pria yang baru saja bertemu dengannya tadi malam.
‘Astaga dia,‘ batin Callista.
“Callista, benar pria itu yang membantumu kan?” bisik Olivia di telinga Callista.
“Shut up!” tukas Callista. Dia tidak ingin membahas mengenai pria itu.
“Selamat pagi para Dokter yang telah meluangkan waktu. Saya ingin mengenalkan Tuan Daniel Renaldy. Dia adalah salah satu pemegang saham terbesar di Queen Hospital. Kedatangannya ke sini beliau ingin menyapa kita semua. Saya persilahkan waktu dan tempat untuk Tuan Daniel Renaldy,” ucap kepala dokter yang menjadi pembuka meeting.
“Pagi, terima kasih untuk waktu kalian. Kedatangan saya di sini menyapa para dokter muda. Kedepannya saya berharap Queen Hospital tetap menjadi rumah sakit terbaik.” Daniel memberikan kata sambutan dengan suara tegas. Kini pandangan Daniel menatap sosok wanita berambut coklat yang terbalut dengan jas dokter. Daniel menyunggingkan senyuman tipis saat dirinya bertatpan dengan wanita itu.
Callista mengalihkan pandangannya saat bertatapan dengan pria itu. Dia menundukan kepalanya tidak berani menatap pria yang berdiri di podium yang sejak tadi terus memperhatikan dirinya. Demi Tuhan, saat ini Callista tidak bisa lagi menatap kedepan. Pria itu terus melirik dirinya.
“Callista, pria yang menolongmu tadi malam itu sungguh sangat tampan. Kau bisa lihat para dokter muda juga tidak berkedip melihat pria yang bernama Daniel itu,” bisik Olivia yang sejak tadi tidak henti menatap Daniel.
Callista mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Olivia mengatakan ini padanya. “Kau ini berisik sekali! Apa kau mau aku lempar dari ruang meeting?” tukas Callista mengancam sahabatnya itu untuk tidak lagi membahas pria yang berdiri di podium.
“CK! Bagaimana kau ini, aku hanya mengatakan pria itu sangat tampan!” cebik Olivia kesal.
***
-To Be Continued
“Ah, lelah sekali.” Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah hampir sepuluh jam dia melakukan tindakan, kini dirinya begitu kelelahan.“Callista, apa kau langsung pulang?” tanya Olivia yang juga kelelahan. Dia memijat pelan tekuk lehernya. Tubuhnya seolah benar-benar remuk.“Mungkin iya, tubuhku lelah sekali. Aku ingin berendam,” jawab Callista. “Yasudah, aku ingin ke ruang kerjaku dulu, ya?”Olivia mengangguk. “Ya, aku juga ingin langsung pulang ke rumah.”Callista tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski lelah, tapi Callista selalu bahagia setiap kali operasi berhasil menyelamatkan pasiennya.Saat Callista baru saja tiba di ruang kerjanya—dia mendengar suara dering ponsel miliknya terus berdering. Callista mendekat, lalu mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Seketika Callista mengembuskan napas kasar ketika melihat nomor Alice, ibunya tert
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Alin yang tengah menyirami bunga-bunga di tamannya.“Ada apa?” Alin bertanya pada pelayan yang kini berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu anda. Tapi di depan ada tamu yang Bernama Nona Megan Alister ingin bertemu dengan anda. Beliau mengatakan anda sendiri yang mengundangnya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Megan sudah datang?” Raut wajah Alin tampak begitu bahagia mendengar Megan Alister sudah datang. Ya, dia mengundang anak dari teman dekatnnya untuk berkunjung ke rumahnya.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya.”Alin tersenyum. “Kau siapkan minuman untuknya. Aku akan segera ke depan.”“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Alina.Alin terus mengembangkan senyumannya. Kini dia berjalan meninggalkan taman itu, menuju tempat di mana Megan Alist
Berita tentang Daniel Renaldy menjalin hubungan dengan Callista Hutomo, putri keluarga keluarga Michael Hutumo telah tersebar. Banyak yang berkomentar mereka adalah pasangan yang sempurna. Selama ini publik tidak pernah tahu tentang Callista. Karena memang hanya Putri sulung Michael hutumo, Jessica yang kerap kali muncul di hadapan media. Banyak orang pikir Michael hanya memiliki satu putri saja. Namun kenyataanya Michael memiliki putri yang berprofesi sebagai Dokter di rumah sakit milik Daniel.Semua berita yang tampil pagi ini, membuat raut wajah Alin berubah dipenuhi dengan amarah. Iris matanya penuh dengan kebencian mendalam.“Sialan!” Alin membanting vas bunga yang ada di hadapannya, hingga pecahan belingnya memenuhi lantai. Sorot mata Alin menajam, berkali-kali Alin mengumpat kasar.“Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dengan putrimu, Casandra,” geram Alin penuh dengan kebencian.Kini Alin menyambar kunci mobilny
Michael membanting kasar guci yang ada di ruang kerjanya. Kini, keadaan ruang kerja Michael benar-benar tampak begitu kacau. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Ya, Micahel tidak mampu lagi mengatasi amarahnya, kala melihat pemberitaan tentang putri bungsunya dan putra dari Gio Renaldy. Michael terus mengumpat kasar, merutuki kebodohannya sampai dia tidak tahu pemilik Queen Hospital, tempat di mana Callista bekerja adalah milik Daniel Renaldy. Jika saja, dia tahu sejak awal, maka ini tidak akan pernah terjadi.“Sialan kau, Gio. Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan putramu!” geram Michael dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengetat. Kilat kemarahan
Daniel duduk di kursi kebesaraannya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan matanya lelah. Pikirannya terus memikirkan perkataan kedua orang tuanya. Diawal hubungannya dengan Callista, kedua orang tuanya menyetujui hubungannya. Bahkan kedua orang tuanya begitu mendukung. Tapi, setelah mereka tahu Callista adalah putri Michael Hutomo, mereka langsung melarangnya menjalin hubungan dengan Callista. Daniel merasakan sesuatu hal antara keluarganya dan keluarga Callista.Tanpa ingin lagi berpikir, Daniel langsung menekan tombol interkom. Dia meminta Harry, assistantnya untuk segera datang menemuinya. Tidak lama kemudian, Harry melangkah masuk ke dalam
“Mereka baik,” jawab Daniel dengan nada datar dan tatapan begitu serius pada kekasihnya itu. “Callista, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,” lanjutnya yang membuat Callista bingung.“Ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau tanyakan?” Alis Callista saling bertautan. Dia terus menatap Daniel. Sesaat, dia memperlihatkan tatapan Daniel yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Sebuah tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.“Apa kau mempercayaiku?” Daniel membawa t