Share

Bab 7 (Sebelah Mata)

Author: Lovaera
last update Last Updated: 2025-06-27 13:08:28

Tiga minggu setelah kedatanganku di Frendell, kami mulai menyusun ulang kawasan San Jequine.

Wilayah ini dulunya tanah buangan. Terlalu jauh dari pusat ibu kota, terlalu dekat dengan daerah liar yang belum sepenuhnya tunduk pada kekaisaran. Bangsawan lama meninggalkannya setelah dua pemberontakan kecil dan satu musim panen yang gagal total.

Saat aku menunggang kuda menuruni jalur utama menuju desa Brelve desa terbesar di San Jequine mataku menyapu hamparan hutan dan tanah terlantar yang dulunya sawah.

“Lihat itu,” gumam Ruth di sampingku. “Tanah subur dibiarkan kosong. Apa tidak ada petani?”

“Ada,” jawabku, “tapi tidak ada yang melindungi mereka.”

Kami berhenti di bukit rendah, memandang lembah di bawah. Rumah-rumah berdinding lumpur dan jerami terlihat seperti titik kecil dari jauh. Tidak ada pagar. Tidak ada menara pengawas.

Hanya kesepian dan sunyi.

Sesampainya di Brelve, hanya kepala desa dan tiga tetua yang menyambutku.

Aku tidak berbicara dari atas kuda. Aku turun dan berjalan kaki menuju mereka, menunjukkan aku datang bukan sebagai pangeran, tapi sebagai manusia.

“Kami tidak butuh janji,” kata salah satu tetua. Suaranya serak, tapi mantap. “Kami butuh bukti.”

Aku mengangguk.

“Kalian akan mendapatkannya. Tapi aku perlu orang yang tidak takut menggenggam kapak, menyemai ladang, dan berdiri menjaga malam.”

Mereka bertukar pandang. Salah satu dari mereka perempuan tua dengan mata tajam bertanya, “Apa kau akan tinggal di sini saat musim dingin datang?”

“Aku sudah tinggal di Frendell,” jawabku. “Kalau itu belum cukup, beri aku satu musim untuk membuktikannya.”

Rencana pertama kami: membangun kembali tiga titik penting.

Pasar Tengah – tempat orang bertukar hasil kebun dan kebutuhan dasar. Sekarang hanya puing.

Menara Api – sinyal darurat di perbatasan barat. Sudah tumbang sejak perang terakhir.

Jalan Kuda – jalur utama penghubung desa-desa. Tapi terlalu sempit dan sering longsor.

Aku mengatur tim: pasukan muda melatih diri sambil membantu pengangkutan kayu dan batu. Warga dilibatkan—tapi digaji dengan gandum dari gudang Frendell. Ruth mengawasi distribusi. Mike menyusun logistik.

Selama pembangunan, aku turun tangan. Mengangkat balok, membantu mencangkul tanah. Dan malamnya, aku duduk di depan api bersama warga, makan dengan tangan, mendengarkan cerita mereka.

Pada minggu keempat, Menara Api berdiri kembali.

Kali ini, lebih tinggi. Dengan lonceng kuningan di puncaknya dan bendera San Jequine yang dijahit ulang oleh tangan-tangan warga.

Ruth berdiri di sampingku dan menepuk pundakku. “Kau sadar,” katanya, “kau sedang membentuk pasukan sipil. Mereka akan bertarung kalau kau minta.”

“Bukan karena mereka takut padaku,” kataku pelan. “Tapi karena mereka percaya pada tempat ini lagi.”

Sementara itu, Zoey masih berada di Frendell.

Dia tidak keluar, tapi aku tahu dia mengawasi.

Satu hari, aku kembali dari Brelve membawa hasil tenun dari warga sebagai hadiah.

Kutemukan Zoey duduk di taman dalam, berbalut mantel abu-abu, masih dengan topi militerku.

Aku meletakkan kain tenun itu di atas meja kayunya.

“Dari warga desa,” kataku. “Kalau Anda ingin, Anda bisa membuat apa pun darinya.”

Dia menatapku sebentar, lalu menyentuh ujung kain itu.

Lembut. Hangat.

“Saya akan pikirkan,” katanya pelan.

Itu... cukup untuk hari itu.

--------------------------------------------

Pintu kayu berat itu mengayun masuk dengan suara khasnya: krieeekkk.

Cahaya pagi dari jendela sempit di belakang meja kerjaku menembus debu yang melayang di udara. Kantor itu belum sepenuhnya selesai—dindingnya masih kasar, bau batu dan tinta bercampur. Tapi meja besar dari kayu tua sudah ada, dan beberapa lemari catatan tua berdiri rapuh di sisi ruangan.

Di sana, dua sosok berdiri menungguku.

Ruth, bersandar di meja dengan tangan menyilang. Dan Mike—kepala pelayan—berdiri tegak dengan map besar di pelukannya, wajahnya seperti biasa: sopan, tenang, tapi tampak letih oleh pagi yang terlalu sibuk.

“Selamat pagi, Yang Mulia Duke,” sapa Mike sambil membungkuk sedikit.

Ruth melempar kertas ke meja. “Laporan logistik dari Gudang Tengah. Tiga karung gandum hilang. Tidak ada jejak pencurian. Pelayan bilang mungkin dimakan tikus.”

Aku duduk dan menatapnya tanpa ekspresi. “Tikus yang bisa mengangkat karung?”

“Ya. Mungkin sejenis tikus baru yang bisa pakai tali dan kuda.”

Mike terkekeh pelan tapi langsung menutup mulutnya. “Maaf, Tuan.”

Aku mengangguk, lalu menoleh ke Mike. “Apa kau bawa peta kawasan hari ini?”

Mike langsung membuka map besar dan membentangkannya di meja. Peta kasar, tapi cukup jelas: lima desa, tiga jalur utama, satu hutan di selatan yang belum dipetakan penuh.

“Sesuai rencana,” ujar Mike, menunjuk titik merah, “pekerjaan perbaikan jembatan di Rilven akan selesai dalam empat hari. Tapi saluran airnya runtuh. Kalau musim hujan datang lebih awal, tanah itu akan longsor.”

Aku menatap titik itu lama. “Kirim dua puluh pekerja tambahan dari desa utara. Suruh mereka mulai buat dinding penahan.”

Ruth menimpali, “Itu kalau kita masih punya tenaga kerja. Setengah pemuda di Brelve sudah ikut pelatihan pertahanan.”

“Lebih baik kita kehilangan sedikit kekuatan sekarang daripada kehilangan satu desa saat banjir,” balasku.

Sunyi sebentar.

Mike bicara hati-hati, “Tuan, soal keamanan internal... Saya mendapat laporan dari pelayan bahwa beberapa warga mulai membisikkan nama ‘Vallien’. Seperti… orang yang dulu memerintah sini sebelum kekaisaran mengambil alih.”

Nama itu membuat Ruth mendongak.

“Vallien?” tanyanya. “Bangsawan tua itu masih hidup?”

“Tidak ada kepastian. Tapi ada orang-orang yang tampaknya masih setia padanya. Mereka mulai berkumpul di pinggir hutan selatan.”

Aku mengetuk-ngetukkan jariku ke meja.

“Buatkan daftar semua nama kepala rumah tangga yang datang ke Frendell tiga minggu terakhir,” kataku. “Dan jangan ada yang tahu soal penyelidikan ini, Mike.”

“Baik, Tuan.”

Aku berdiri, mengambil peta kecil dari sisi meja—potongan kasar dari hutan selatan.

“Kalau Vallien masih punya pengaruh, maka dia tak akan menyerah pada tanah ini begitu saja. San Jequine mungkin diberikan padaku, tapi belum tentu diterima.”

Ruth menyeringai tipis. “Kau benar-benar menikmati hidup baru sebagai Duke, ya?”

Aku tidak menjawab. Tapi mataku tetap pada peta.

“Ini bukan soal gelar,” kataku pelan. “Ini soal siapa yang akan mengisi kekosongan. Kalau bukan kita, maka orang seperti Vallien akan mengisinya.”

🌙🌙🌙🌓🌓🌓

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 40 (Opsi Kecurigaan)

    Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer yang dingin. Wanita itu berjalan perlahan, nyaris angkuh, dengan gaun mewah berwarna merah marun menyapu lantai seperti darah mengalir. Setiap perhiasan di tubuhnya.Ada sesuatu yang ia cari didalam kamar ini… dan ia menemukannya.Sehelai rambut. Lalu dua. Lalu tiga.Ia meraihnya perlahan, hati-hati, seakan menyentuh pusaka rapuh. Diselipkannya rambut-rambut itu ke dalam sapu tangan sutra putihnya, lalu dilipatnya rapi.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara langkah lain menggema dari lorong. Tegas. Berwibawa.Kenop pintu berputar keras. Pintu terbuka. BRAK!Sosok kaisar muncul, berdiri tegak di ambang pintu dengan wajah murka. Heran dengan sikap wanita didepannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut kaisar. “Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar putriku sejak ia menikah.”Diam.“Di mana Pangeran Ketiga?” desaknya. “Atau... apa sekarang kau akan mengulangi kejadian mengerikan yang menimpa Axa?”Sorot mata Elira se

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 39 (Apa?)

    Siang turun cepat. Para prajurit duduk terengah-engah di bawah naungan kecil. Air disediakan dalam kendi besar, dan luka ringan diobati oleh dua orang maid.Zergan masih berdiri, tidak minum. Tapi tatapannya berputar, menghitung, mengukur siapa yang cepat lelah, siapa yang bertahan meski kehabisan tenaga.Kemudian, bayangan lembut bergerak di pinggir lapangan.Zoey.Ia berjalan perlahan, diiringi Lily yang membawa tas berisi kuas dan kain lap. Di tangan Zoey, ia membawa lukisan setengah jadi—yang kini warnanya mulai hidup.“Apakah aku mengganggu?” tanyanya pelan dari sisi lapangan.Zergan berjalan menghampirinya, ekspresinya tidak berubah, tapi nada suaranya sedikit melunak.“Kau tidak pernah mengganggu.”Zoey tersenyum kecil. “Aku pikir… tempat ini terlalu banyak warna abu-abu. Jadi aku datang membawa sedikit warna.”Ia menunjukkan lukisannya. Di dalamnya, langit sedikit lebih jingga dari aslinya. Kabut lebih tipis, dan prajurit-prajurit digambar seperti siluet yang tumbuh dari tanah

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 38 (Melukis Ksatria)

    Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit Zergan,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan me

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 37 (Pelatihan 2)

    Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, kamar Zoey.Ruth menaiki kudanya,dia harus pergi keperbatasan San Jequine dengan Geneuine, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan adalah melempar tombak ke tanah.Keras.“Satu dari kalian akan mati jika ini adalah

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 36 (Keakraban)

    Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit, Suamiku,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 35 (Pelatihan)

    Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, tempat Zoey masih belum bangun.Ruth menaiki kudanya, menarik tali kekang, dan dalam satu hentakan, kuda itu berlari melintasi jembatan batu Frendell. Di balik kabut pagi, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan ad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status