Share

Bab 6 (Harapan)

Author: Lovaera
last update Last Updated: 2025-06-27 13:07:48

Malam turun perlahan di Frendell.

Kabut yang tadinya menggantung setinggi lutut kini naik hampir ke pinggang, menyelimuti halaman luar dengan samar seperti selubung kain tua. Cahaya dari jendela-jendela hanya seperti titik api—redup, rapuh.

Aku duduk di ruang kerja, membiarkan mantelku tetap menempel di tubuh. Udara di kastil ini menusuk bahkan sampai ke tulang.

Ruth masuk tanpa suara. Membawa dua gelas teh panas, bukan wine. Ia meletakkannya di meja, lalu duduk.

“Lima prajurit baru sudah kukirim surat panggilannya. Mereka akan tiba dua atau tiga hari.”

Aku mengangguk. “Bagus. Aku akan uji langsung mereka saat tiba.”

“Dan pelayan?”

“Mike bilang dua dari sembilan pelayan lama mengajukan izin pergi. Tidak tahan udara, atau mungkin tidak tahan suasana.”

“Kalau mereka kabur sebelum kita bayar, artinya rejeki,” sahut Ruth pendek.

Aku menghela napas. “Frendell lebih dari sekadar benteng. Ini wilayah politik yang ditelantarkan. Aku rasa... Kaisar sengaja memilih kastil yang hampir mati.”

Ruth mencondongkan tubuh, suaranya menurun. “Kau pikir ini hukuman?”

“Aku pikir ini ujian. Kalau aku gagal, maka rakyat yang disalahkan. Kalau berhasil... Kaisar bisa mengklaim bahwa dia visioner. Punya komandan yang bisa menghidupkan kuburan.”

Ruth tertawa lirih, pahit. “Kau cocok jadi politikus.”

“Jangan hina aku,” balasku dingin. Lalu kuangkat cangkir tehku.

Beberapa detik kami hanya duduk. Hening. Dinding batu menggemakan suara angin yang menabrak menara luar.

Lalu Ruth bersuara, lebih lembut.

“Dan Zoey?”

Aku tak menjawab langsung.

Kupandangi api kecil di tungku. Gerakannya lambat, seperti menari di dalam penjara.

“Dia masih memakai topi militerku.”

“Oh?”

“Aku kira dia akan melepasnya setelah sehari. Tapi dia tetap memakainya. Bahkan saat makan malam dikirimkan, pelayan bilang... dia tak membuka wajahnya.”

“Simbol perlindungan?” tebak Ruth.

“Atau simbol perlindungan palsu. Aku tidak tahu.”

Ruth menggoyang-goyangkan tehnya perlahan. “Apa dia... mengatakan sesuatu padamu?”

“Belum,” jawabku pendek. “Tapi aku mendengar langkah kakinya di lorong tadi malam. Dia berjalan sampai ruang doa.”

Ruth mengangguk. “Mungkin itu caranya bertahan. Ibadah diam-diam. Atau... ritualnya sendiri.”

Aku menyandarkan tubuh, menatap langit-langit batu.

“Dia terlihat seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang diucapkannya. Tapi tak tahu harus menyampaikannya pada siapa.”

“Orang-orang seperti itu biasanya menyimpan luka besar,” kata Ruth pelan. “Atau... rahasia yang lebih besar dari luka.”

Aku memejamkan mata sejenak. Ada lelah yang bukan dari tubuh, tapi dari pikiran yang terus bekerja tanpa henti.

“Aku tidak ingin menyeretnya ke dalam masalah politik perbatasan. Tapi cepat atau lambat, namanya akan terseret.”

Ruth menyandarkan dagunya ke tangan.

“Aku pikir... dia sudah tahu itu bahkan sebelum menikahimu.”

Diam.

“Dan kau?” tanya Ruth pelan. “Apa kau siap... hidup bersama seseorang yang tidak membencimu, tapi juga tidak memilihmu?”

Aku tidak menjawab langsung. Tapi akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar:

“Aku sudah terlalu sering hidup bersama kematian. Setidaknya kali ini... aku hidup bersama seseorang.”

🥁🥁🥁🥁

Pagi pertama setelah salju ringan turun, aku meninjau halaman luar Frendell.

Tanahnya keras, tidak ramah pada ladang. Tapi cukup untuk melatih pasukan. Di sisi timur, kandang kuda hampir roboh. Gudang persenjataan tua dan pengap. Pelayan hanya menggunakan dua dari delapan ruangan dapur. Sisanya... dibiarkan membusuk.

“Ini bukan benteng,” gumamku. “Ini kuburan batu yang dibungkus kehormatan palsu.”

Mike berdiri di sampingku, mencatat tiap kalimat yang kuberikan.

“Siapkan laporan rinci,” kataku. “Berapa bahan makanan yang bisa bertahan untuk musim ini, siapa saja pengrajin yang masih tinggal di desa, dan tuliskan semua nama pelayan serta latar belakang mereka.”

“Siap, Tuan Duke,” jawab Mike.

Dia bukan pria muda, tapi gerakannya cepat. Wajahnya selalu serius, tapi aku bisa melihat ada hati yang jujur di balik kerutan itu. Pelayan model lama—setia, bukan karena uang, tapi karena harga diri.

“Dan satu lagi,” kataku. “Temui kepala desa. Aku ingin mengatur pertemuan.”

Mike mengangguk. “Saya dengar... mereka tidak pernah disambangi bangsawan selama lima belas tahun terakhir.”

“Kalau begitu,” aku menyipitkan mata ke arah reruntuhan kecil di ujung desa, “sudah waktunya mereka melihat yang baru.”

Ruth menemuiku di ruang strategi malamnya.

Meja besar dari kayu ek tua terbentang, dan di atasnya peta kasar Frendell dan perbatasannya.

“Pasukan lama berjumlah dua puluh tiga,” katanya sambil menunjuk bagian barak. “Delapan terlalu tua, lima terlalu mabuk, sisanya... bisa kita bentuk ulang.”

“Dan pasukan baru?”

“Belum datang. Tapi mereka berasal dari kamp pelatihan utara. Anak-anak desa keras kepala. Mereka akan cocok di sini.”

Aku mengangguk. “Buat pelatihan mingguan. Lalu buka dapur umum di sore hari. Tidak semua desa bisa makan tiga kali sehari.”

Ruth menatapku tajam. “Kau serius membangun tempat ini?”

“Aku tidak punya tempat lain,” jawabku. “Dan aku tidak akan membiarkan nama 'Duke' hanya menjadi gelar kosong.”

Tiga hari kemudian, aku berdiri di alun-alun kecil desa.

Penduduk menatap dari balik jendela. Ada yang membawa anaknya, ada yang memeluk roti keras di tangan. Mereka belum percaya pada siapa pun—terutama bukan bangsawan yang datang membawa pedang.

Mike memperkenalkan mereka satu-satu padaku. Ada pembuat sepatu, penambal jala, penggiling gandum, bahkan tukang tenun tua yang buta sebelah.

Aku berdiri di hadapan mereka. Tanpa jubah kebesaran. Hanya armor ringan dan suara yang tegas.

“Aku tidak datang membawa janji manis,” kataku. “Tapi aku tahu satu hal: tempat ini bisa lebih baik dari sekarang.”

Mereka diam.

“Aku butuh orang yang mau bekerja, dan kalian butuh tempat yang bisa hidup kembali. Kalau kita tidak saling menusuk punggung, kita bisa saling mengangkat beban.”

Seorang pria tua di barisan depan mengangkat alis. “Dan kalau kami gagal?”

Aku menatapnya dalam. “Kalau kita gagal... aku yang akan menanggungnya.”

Malamnya, aku kembali ke kastil. Zoey masih belum banyak bicara, tapi dia duduk di ruang tengah untuk pertama kalinya. Tidak di kamarnya. Tidak di balik pintu.

Dia menyulam. Gerakan kecil tapi halus.

Aku tidak mengganggu. Tapi aku lewat di belakangnya pelan dan berkata:

“Frendell... mulai bernapas lagi.”

Dia tidak menjawab. Tapi tangannya tidak berhenti menyulam.

Dan untukku... itu cukup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 40 (Opsi Kecurigaan)

    Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer yang dingin. Wanita itu berjalan perlahan, nyaris angkuh, dengan gaun mewah berwarna merah marun menyapu lantai seperti darah mengalir. Setiap perhiasan di tubuhnya.Ada sesuatu yang ia cari didalam kamar ini… dan ia menemukannya.Sehelai rambut. Lalu dua. Lalu tiga.Ia meraihnya perlahan, hati-hati, seakan menyentuh pusaka rapuh. Diselipkannya rambut-rambut itu ke dalam sapu tangan sutra putihnya, lalu dilipatnya rapi.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara langkah lain menggema dari lorong. Tegas. Berwibawa.Kenop pintu berputar keras. Pintu terbuka. BRAK!Sosok kaisar muncul, berdiri tegak di ambang pintu dengan wajah murka. Heran dengan sikap wanita didepannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut kaisar. “Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar putriku sejak ia menikah.”Diam.“Di mana Pangeran Ketiga?” desaknya. “Atau... apa sekarang kau akan mengulangi kejadian mengerikan yang menimpa Axa?”Sorot mata Elira se

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 39 (Apa?)

    Siang turun cepat. Para prajurit duduk terengah-engah di bawah naungan kecil. Air disediakan dalam kendi besar, dan luka ringan diobati oleh dua orang maid.Zergan masih berdiri, tidak minum. Tapi tatapannya berputar, menghitung, mengukur siapa yang cepat lelah, siapa yang bertahan meski kehabisan tenaga.Kemudian, bayangan lembut bergerak di pinggir lapangan.Zoey.Ia berjalan perlahan, diiringi Lily yang membawa tas berisi kuas dan kain lap. Di tangan Zoey, ia membawa lukisan setengah jadi—yang kini warnanya mulai hidup.“Apakah aku mengganggu?” tanyanya pelan dari sisi lapangan.Zergan berjalan menghampirinya, ekspresinya tidak berubah, tapi nada suaranya sedikit melunak.“Kau tidak pernah mengganggu.”Zoey tersenyum kecil. “Aku pikir… tempat ini terlalu banyak warna abu-abu. Jadi aku datang membawa sedikit warna.”Ia menunjukkan lukisannya. Di dalamnya, langit sedikit lebih jingga dari aslinya. Kabut lebih tipis, dan prajurit-prajurit digambar seperti siluet yang tumbuh dari tanah

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 38 (Melukis Ksatria)

    Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit Zergan,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan me

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 37 (Pelatihan 2)

    Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, kamar Zoey.Ruth menaiki kudanya,dia harus pergi keperbatasan San Jequine dengan Geneuine, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan adalah melempar tombak ke tanah.Keras.“Satu dari kalian akan mati jika ini adalah

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 36 (Keakraban)

    Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit, Suamiku,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 35 (Pelatihan)

    Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, tempat Zoey masih belum bangun.Ruth menaiki kudanya, menarik tali kekang, dan dalam satu hentakan, kuda itu berlari melintasi jembatan batu Frendell. Di balik kabut pagi, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan ad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status