Malam semakin larut, tetapi desa itu tetap terjaga. Api unggun kecil yang mereka buat di tengah perkampungan masih membara, cahayanya menari-nari di wajah-wajah penuh harapan yang berkumpul di sekelilingnya. Saraswati duduk bersila di tanah, mendengarkan suara angin yang berembus membawa wangi tanah dan dedaunan basah. Di sekelilingnya, orang-orang mulai membisikkan rencana, membicarakan kemungkinan yang sebelumnya hanya menjadi khayalan belaka—sebuah pemberontakan.
Raka berdiri di pinggir lingkaran, matanya terus mengawasi bayang-bayang yang bergerak di batas desa. Meskipun mereka telah menemukan sekutu pertama mereka, ia tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap sudut. Raja tidak akan tinggal diam saat mendengar kabar bahwa rakyatnya mulai bangkit. Cepat atau lambat, pasukan istana akan datang untuk membungkam mereka sebelum api perlawanan menyebar.
Se
Saraswati melangkah maju, memisahkan diri dari pasukannya. Raka dan Raksa tetap berada di belakangnya, tetapi tidak berusaha menghentikannya. Mereka tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia hadapi sendiri.Raja mengangkat satu tangan, memberi isyarat pada pasukannya untuk tetap diam. Ia menatap Saraswati dengan pandangan yang sulit diartikan—ada ketegasan, ada kemarahan, tetapi juga ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebencian.“Kau datang jauh untuk ini,” katanya akhirnya, suaranya bergema di seluruh halaman istana. “Untuk apa, Saraswati? Untuk perang? Untuk melihat rakyat yang kau bawa ini mati demi ambisimu?”Saraswati menatapnya tanpa gentar. “Aku datang bukan untuk membunuh, tapi untuk mengambil kembali apa yang menjadi hakku.”R
Langkah kaki terdengar mendekat, dan Raka masuk ke dalam tenda tanpa permisi, ekspresinya tetap tenang tetapi ada ketegangan dalam gerakannya. Ia menatap Saraswati dengan saksama sebelum berbicara. “Mereka sedang bersiap. Pasukan kerajaan mulai bergerak.”Saraswati menoleh, matanya mencari jawaban di wajah Raka, tetapi pria itu tetap seperti biasanya—diam dan penuh perhitungan. “Berapa banyak?” tanyanya akhirnya.Raka menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Adhiraj memimpin langsung. Mereka tidak menunggu lama untuk bergerak. Mata-mata kita melihat mereka berkumpul di alun-alun utama. Tidak lama lagi, mereka akan mengunci ibu kota.”Saraswati mengepalkan tangannya, berpikir cepat. “Mereka ingin kita menyerang dalam posisi yang tidak menguntungkan,” gumamnya. “
Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan
Raksa menoleh ke arah salah satu prajurit yang baru saja datang dari luar benteng, seorang pemuda dengan pakaian yang lusuh tetapi matanya penuh kewaspadaan. Pemuda itu membungkuk hormat sebelum berbicara. “Tuan Putri, kami melihat pergerakan pasukan di sebelah barat. Mereka tampaknya sedang menunggu sesuatu—mungkin perintah dari istana atau kedatangan pasukan tambahan.”Saraswati mengepalkan tangannya. Jika bala bantuan tiba sebelum mereka siap, maka semua yang telah mereka capai bisa berakhir sia-sia.“Kita harus menyerang lebih dulu,” katanya tiba-tiba, membuat Raksa dan
Saraswati tidak langsung menjawab. Pikirannya bekerja dengan cepat, menghitung kemungkinan yang tersisa bagi mereka. Jika mereka tetap bersembunyi, pasukan kerajaan akan mengambil alih inisiatif dan mengepung mereka dengan strategi perang yang lebih matang. Tetapi jika mereka terlalu cepat menyerang, mereka akan kehabisan tenaga sebelum sempat menghabisi musuh.Raka, yang sejak tadi mengamati dari bayangan, akhirnya berbicara. “Mereka belum tahu jumlah kita yang sebenarnya. Kita bisa menggunakan itu untuk keuntungan kita,” katanya. “Jika kita bisa membuat mereka percaya bahwa kita lebih kuat dari yang terlihat, kita bisa membuat mereka ragu sebelum mereka menyerang dengan penuh keyakinan.”Saraswati menoleh ke arahnya, matanya menyipit. “Apa yang kau sarankan?”Raka menunjuk ke beb
Saraswati berdiri di atas menara benteng, menatap ke arah medan perang yang masih dipenuhi dengan tubuh-tubuh yang tergeletak. Sebagian besar adalah pasukan kerajaan, tetapi di antara mereka, ada juga orang-orang yang berjuang di sisinya—orang-orang yang kini tidak akan pernah melihat fajar kembali.Langkah kaki mendekat dari belakangnya, tetapi ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Raka berhenti di sisinya, matanya juga tertuju ke pemandangan di bawah mereka. Ia tidak langsung berbicara, seolah memberi Saraswati waktu untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.“Ini kemenangan besar,” kata Raka akhirnya, suaranya pelan namun penuh arti.Saraswati menarik napas panjang, tetapi udara yang ia hirup terasa berat, seolah mengandung jejak pertempuran yang masih menggantung di langit. “Kemenan