Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. Pria tua yang pertama kali berbicara dengan Saraswati saat mereka tiba di desa melangkah maju, ekspresinya penuh dengan kegelisahan. “Kita harus mempertimbangkan kemungkinan terburuk,” katanya. “Jika mereka berhasil menembus pertahanan kita, tidak semua dari kita akan selamat.”
Saraswati menatapnya dalam-dalam. Ia tahu bahwa kemungkinan itu sangat nyata. “Aku tidak akan memaksa siapa pun untuk bertahan di sini jika mereka tidak ingin,” katanya. “Siapa pun yang ingin pergi, pergilah sekarang sebelum terlambat.”
Tidak ada satu pun yang bergerak.
Pria tua itu menarik napas panjang. “Kami sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan,” katanya. “Jika ini adalah kesempatan terakhir kami untuk merebut kembali kebebasan, maka kami tidak akan lari.”
Raksa menoleh ke arah salah satu prajurit yang baru saja datang dari luar benteng, seorang pemuda dengan pakaian yang lusuh tetapi matanya penuh kewaspadaan. Pemuda itu membungkuk hormat sebelum berbicara. “Tuan Putri, kami melihat pergerakan pasukan di sebelah barat. Mereka tampaknya sedang menunggu sesuatu—mungkin perintah dari istana atau kedatangan pasukan tambahan.”Saraswati mengepalkan tangannya. Jika bala bantuan tiba sebelum mereka siap, maka semua yang telah mereka capai bisa berakhir sia-sia.“Kita harus menyerang lebih dulu,” katanya tiba-tiba, membuat Raksa dan
Saraswati tidak langsung menjawab. Pikirannya bekerja dengan cepat, menghitung kemungkinan yang tersisa bagi mereka. Jika mereka tetap bersembunyi, pasukan kerajaan akan mengambil alih inisiatif dan mengepung mereka dengan strategi perang yang lebih matang. Tetapi jika mereka terlalu cepat menyerang, mereka akan kehabisan tenaga sebelum sempat menghabisi musuh.Raka, yang sejak tadi mengamati dari bayangan, akhirnya berbicara. “Mereka belum tahu jumlah kita yang sebenarnya. Kita bisa menggunakan itu untuk keuntungan kita,” katanya. “Jika kita bisa membuat mereka percaya bahwa kita lebih kuat dari yang terlihat, kita bisa membuat mereka ragu sebelum mereka menyerang dengan penuh keyakinan.”Saraswati menoleh ke arahnya, matanya menyipit. “Apa yang kau sarankan?”Raka menunjuk ke beb
Saraswati berdiri di atas menara benteng, menatap ke arah medan perang yang masih dipenuhi dengan tubuh-tubuh yang tergeletak. Sebagian besar adalah pasukan kerajaan, tetapi di antara mereka, ada juga orang-orang yang berjuang di sisinya—orang-orang yang kini tidak akan pernah melihat fajar kembali.Langkah kaki mendekat dari belakangnya, tetapi ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Raka berhenti di sisinya, matanya juga tertuju ke pemandangan di bawah mereka. Ia tidak langsung berbicara, seolah memberi Saraswati waktu untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.“Ini kemenangan besar,” kata Raka akhirnya, suaranya pelan namun penuh arti.Saraswati menarik napas panjang, tetapi udara yang ia hirup terasa berat, seolah mengandung jejak pertempuran yang masih menggantung di langit. “Kemenan
Benteng Timur berdiri tegak di puncak bukit berbatu, dikelilingi oleh tembok tinggi yang menjulang dengan gerbang besi raksasa yang hanya terbuka bagi mereka yang diizinkan masuk. Cahaya fajar yang pucat
Saraswati menatap Raka, lalu mengisyaratkan agar mereka menunggu hingga prajurit itu berbalik. Namun, tepat ketika mereka hampir bisa bergerak lagi, prajurit itu berhenti. Ia menoleh ke arah mereka, matanya menyipit curiga.“Siapa di sana?”Jantung Saraswati berdetak lebih cepat. Jika mereka ditemukan sekarang, misi ini akan berakhir sebelum sempat dimulai. Namun, sebelum prajurit itu bisa melangkah lebih dekat, Raka bergerak dengan kecepatan luar biasa. Dalam satu gerakan halus, ia melompat dari bayangan, meraih kepala prajurit itu dan menutup mulutnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menancapkan belati ke sisi lehernya. Prajurit itu meronta, tetapi hanya sejenak. Setelah beberapa detik, tubuhnya melemas, darah mengalir ke lantai batu yang dingin. Saraswati menatap Raka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tah
Saraswati memandang Raka sejenak. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya merasa lebih tenang, meskipun ia tahu bahwa apa yang mereka hadapi jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan.Raksa akhirnya mengangguk, meskipun masih terlihat ragu. “Baik. Tapi jika kalian belum kembali dalam waktu yang ditentukan, kami akan menganggap misi ini gagal dan menyerang dengan kekuatan penuh.”Saraswati memahami ketegasannya. Mereka tidak bisa menunggu terlalu lama jika sesuatu terjadi. Waktu adalah musuh sekaligus senjata mereka saat ini.Wira, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku akan memimpin sekelompok prajurit untuk berjaga di titik pertemuan. Jika kalian berhasil mendapatkan informasi yang kita butuhkan, kita bisa langsung bergerak.”