Mag-log inMalam merangkak perlahan di atas langit Azmeria. Suara denting gamelan istana telah lama mereda.
Di Paviliun Mawar Putih Kediaman Liora
Liora berdiri di depan cermin perunggu mengenakan gaun malam tipis berwarna gading. Tangannya sedikit gemetar saat menyisir rambut panjangnya dengan sisir giok hijau. Sejak sore, pesan dari pelayan membuat dadanya berdebar: Pangeran Raeshan akan bermalam di paviliunnya malam ini.
Dua tahun pernikahan berjalan tanpa kehangatan ranjang. Raeshan lebih sering berada di medan perang daripada bersamanya. Kini, setelah penaklukkan Varindra, Raeshan mulai berdiam cukup lama di istana.
Liora menaburkan serbuk kasturi ke lehernya, lalu duduk di tepi ranjang berkanopi dengan jantung menari seperti genderang perang. Tapi jauh di sudut matanya, ada seberkas ketakutan... bagaimana jika malam ini pun akan berlalu sama saja?
Sementara itu, di sisi lain Istana...
Elina berdiri gelisah di balik pintu kamarnya, mengenakan pakaian kasual dari kain kasar berwarna arang, dan kerudung panjang untuk menyamarkan wajah. Ia menoleh ke arah Sekar, pelayannya yang kini tengah berbaring di ranjang, menyamar jadi dirinya.
“Aku hanya keluar sebentar, jaga dirimu baik-baik Sekar,” bisik Elina lirih.
“Kalau sampai ketahuan Tuan Putri keluar bisa bahaya...” Sekar mencoba memperingatkan, tapi Elina hanya mengedipkan mata memintanya diam saja.
Semenjak tiba di zaman ini, Elina hanya terus di kurung di istana belum pernah merasakan keindahan luar istana. Apalagi ia punya jiwa yang bebas dan senang berbaur dimana saja. Itulah mengapa ia sangat dekat dengan pasien-pasiennya.
Meski ada di zaman yang berbeda, ia tetap ingin sekali-kali mencuci mata dan menikmati udara segar yang tidak pengap seperti di istana.
Elina kini memanjat sisi tembok utara yang berlumut. Namun, saat satu kakinya mendarat di tanah berbatu luar tembok, “Agh!” Suara benturan pelan.
Seseorang menyenggolnya.
“Bodoh!” desis pria itu.
Elina terhuyung. Tanpa sempat memastikan Elina langsung menggulung lengan bajunya dan memukul kepala Arven cukup keras. Begitu memperbaiki posisi berdirinya, ia baru menyadari sosok di depannya adalah Pangeran Arven. Tampangnya tak segarang Raeshan tapi tingkahnya seolah menjelaskan ia seseorang yang menyebalkan.
Arven memiliki rambut kecokelatan, panjang hingga bahu, dibiarkan terurai liar. Sorot mata abu gelapnya mencibir sinis, dan tubuhnya ramping tapi tegap, mengenakan jubah jalan malam dari kain hitam. Seolah ingin keluar diam-diam tapi tetap ingin tampil sbagai bangsawan terhormat.
“Pangeran Keempat,” gumam Elina geram tapi pelan.
Arven berdiri menatap tajam dengan sedikit meringis memegang ubun-ubunnya yang sakit karena ulah Elina.
“Dan kau selir Elina mengapa ada disini,” balas Arven, menyipitkan mata. “kabur dari malam pertama dengan suamimu?” Tawa tipis dilayangkan Arven.
“Hamba rasa, aku tidak perlu menjawab pertanyaan pangeran keempat. Bisa mungkin anda minggir, aku terburu-buru.” Ungkap Elina tak bersahabat lagi.
“Coba saja, aku akan panggilkan penjaga saat ini juga. Biarkan Raeshan mengurungmu di bawah tanah lagi.”
“Jelas siapa mengurung siapa, pangeran juga tidak lebih seperti orang melarikan diri dari ranjang istrinya.” Elina terkekeh.
Arven jelas tidak terima, ini pertemuan kedua mereka setelah di perjamuan pagi tadi. Ia tidak pernah menyangka pertemuan kedua mereka penuh dengan perdebatan.
Mereka saling tatap seperti dua musuh yang baru saja bertemu di medan terbuka. Tapi akhirnya, setelah saling todong dengan kata-kata, keduanya mendengus nyaris bersamaan.
“Kalau kau tidak melapor aku, aku juga tidak melaporkanmu,” kata Arven malas. “Kau mau ke mana?”
“Keluar. Entah ke mana. Mencari udara segar.”
Arven menatap langit, lalu mengangkat bahu. “Ikutlah denganku.” Jelas Arven tapi ada senyum licik di matanya.
Beberapa saat mereka akhirnya langkah Arven berhenti.
Mereka sampai di ujung pasar malam tua Azmeria, di balik gerbang merah dengan ukiran macan putih, terdapat rumah hiburan paling terkenal: Lintang Kencana. Para bangsawan menyebutnya rumah amer, tempat menjual minuman keras, judi, hiburan lainnya juga disamping bangunan itu ada rumah Bordil yang sama ramainya.
Arven dan Elina duduk di ruangan pribadi berlampu minyak. Di hadapan mereka, teko perak tua penuh amer aruna minuman keras berwarna merah darah yang tajam dan menghangatkan tubuh.
“Rasanya seperti kutukan yang manis,” kata Elina setelah tegukan pertama.
“Kutukan?” Arven tertawa pendek. “Bagiku terlahir sebagai bagian kerajaan adalah kutukan yang kau sebutkan itu.”
Mereka terus minum dan bercerita banyak hal, Arven secara terbuka mnceritakan jika ia di paksa menikah dan orang yang cintai juga di rebut oleh orang lain.
Sedang Elina yang mabuk hanya bisa menangisi hidupnya juga yang terjebak diantara ruang dan waktu. Ia pun menangis tersedu-sedu mengikuti Arven yang sudah lebih dulu menangis mengenang kebersamaanya dengan Liora.
Kembali ke Paviliun Mawar Putih..
Pintu kamar Liora terbuka perlahan. Raeshan masuk, tubuhnya tegap dalam jubah tidur hitam kebesaran, Liora berdiri cepat menyambut dan melepaskan jubah Raeshan.
Mereka duduk berdampingan. Raeshan tidak banyak bicara, hanya menuangkan amer biru ke dalam dua cawan kecil dari giok.
Mereka minum bersama. Liora mendekat. Ciuman singkat terlukis di udara. Tangan Liora menyentuh wajah suaminya dengan lembut, tapi ketika pelukannya mengerat, dan napas mereka mulai menyatu—
Raeshan membeku.
Bayangan wajah Elina menyusup dalam benaknya, matanya yang selalu menantang, juga tingkahnnya yang terus menyebalkan.
Tiba-tiba, amer itu terasa hambar. Raeshan memalingkan wajah.
“Liora... kita lanjutkan lain waktu. Malam ini, tubuhku tak sekuat biasanya.”
Liora menatapnya, kecewa tapi tak berkata apa-apa. Raeshan menggenggam tangannya, lalu berbaring di sisinya, memeluknya.
Liora akhirnya tertidur dalam pelukannya.
Raeshan segera beranjak meminta pelayan pribadi Liora menjaganya.
Langkah Raeshan baru saja menjauh dari kamar Liora ketika Dasman, pengawal utamanya, mendekat dengan ekspresi tegang.
“Ada laporan dari pengintai, Yang Mulia,” bisiknya hati-hati. “Selir Elina terlihat di rumah hiburan Lintang Kencana… dalam keadaan mabuk.”
Raeshan berhenti seketika. Rahangnya mengeras. “Apa katamu?”
“Dan… barusan, pengawal menangkap pelayan pribadi tuan putri yang menyamar menjadi Putri Elina di kamarnya.”
Raeshan mengepalkan tangannya. Dengan secepat mungkin ia melajukan kudanya pergi ke Lintang Kencana.
Di rumah hiburan Lintang Kencana, Elina mabuk berat di sofa, matanya sayu, tubuhnya limbung. Arven duduk di sampingnya, pura-pura peduli, ia sedari tadi hanya pura-pura mabuk karena sejak lama di antara para pangeran yang lain, tubuh Arven memiliki tingkat toleransi alkohol yang tinggi.
Setelah beberapa tegukan amer, Arven diam-diam memberi isyarat pada dua pria berwajah kasar di sudut ruangan. Ia berbisik pada salah satunya saat keluar sebentar, “Buat dia takut... Sentuh sepuas kalian. Aku ingin tahu reaksi Raeshan mengetahui wanitanya sudah tidak suci lagi.”
Tak lama, pria-pria itu menghampiri Elina yang nyaris tak sadar dan mulai mengganggunya. Elina mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Zahira tampak lemah ketika Febri dan Zidan memapahnya memasuki ruang tamu. Napasnya tidak stabil, tubuhnya masih bergetar setelah beberapa hari lalu menerima diagnosis kanker otak—sebuah kenyataan pahit yang masih belum sepenuhnya ia terima.Leo menyusul dari belakang, ragu melangkahkan kaki melewati ambang pintu.“Masuk saja,” kata Zidan pelan.Leo mengangguk. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung berlutut di depan Zahira tanpa ragu, tanpa gengsi, tanpa takut pada siapa pun lagi.“Aku…” suaranya pecah. “Zahira… semua itu salahku. Aku yang menabrak ayahmu. Aku hidup dengan rasa bersalah bertahun-tahun. Aku… aku mohon maaf. Aku tidak pantas kau...”Sebelum Leo bisa melanjutkan, Febri melangkah maju dengan emosi memuncak.“Kau!” Febri menunjuk Leo, suara gemetar menahan amarah. “Orang yang membuat ayahku meninggal tanpa keadilan! Kau pikir satu kata maaf cukup? Harusnya kau mati saja!”Zahira memegang lengan Febri cepat sebelum amarah itu meledak sepenuhnya. Matanya berkaca-kaca namu
Leo tidak pernah bisa melupakan insiden kecelakaan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi malam itu, ia berkendara sambil mabuk.Mobilnya melaju tak terkendali di tikungan dan bertabrakan dengan truk yang di kendarai ayah Zahira.Leo hampir tak sadarkan diri saat seseorang meraih wajahnya, suaranya terdengar sangat panik.“Tolong! Dia masih hidup! Tolong dia!”Zahira terdengar cemas.Gadis itu berlari ke arah Leo, setelah memeriksaan keadaanya ayahnya yang tergeletak tak bergerak. Tangan Zahira penuh darah, tapi ia tetap menahan tekanan di luka Leo, suaranya bergetar.“Aku mohon… jangan mati.”Padahal Leo yang sudah menabrak ayahnya. Tapi Zahira tetap membantu Leo hingga pria itu dibawa ke rumah sakit.Beberapa hari setelahnya, keluarga Artemis menyewa orang untuk dijadikan kambing hitam, memalsukan laporan, mengubur bukti. Leo dipaksa diam dan dikirim ke luar negeri sebelum kasusnya membesar.Sejak hari itu, Leo hidup dengan beban yang berat apalagi setelah tahu jika Ayah Zahira
Raeshan menoleh cepat begitu suara pintu terdengar.“Bagaimana informasi yang ku minta?”Zidan segera menunjukkan map tebal ditangannya. Napasnya sedikit tersengal, sepertinya ia datang terburu-buru. “Ini semua data tentang Dokter Frans dan Dokter Gita yang berhasil saya dapatkan, Bos.”Zahira tersenyum lembut. “Letakkan saja di meja, Zidan. Kau sudah kerja keras hari ini.”Zidan menegakkan badan. “Baik, Kak Zahira.”Ia berbalik hendak pergi, tapi langkahnya terhenti.“Zidan,” panggil Zahira lagi. “Setelah ini, tolong jemput Febri ya. Dia masih di perpustakaan.”Seketika mata Zidan berbinar. “Siap, Dokter! Eeh… maksud saya, siap, Kakak Ipar!”Raeshan menatapnya dengan alis terangkat. “Calon apa?”Zidan panik. “Eh, maksud saya, Kak Zahira, eh… Dokter Zahira! Maksudnya saya kan cuma bercanda.”Zahira tertawa kecil, wajahnya memerah. “Pergi sana, Zidan, sebelum aku berubah pikiran.”Zidan terkekeh gugup dan berlari keluar. Tapi baru beberapa detik, ia kembali lagi sambil menepuk-nepuk sa
“Raeshan…” suara Zahira bergetar. “Semua ini… akhirnya masuk akal. Dokter Gita bukan dalang sebenarnya.”Raeshan menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. “Ya. Dalangnya Dokter Frans. Dia juga yang membunuh Prof. Michael dan Raka.”`Zidan yang berdiri di samping mereka tampak berpikir keras. “Apa motif Dokter Frans melakukan semua ini coba?”Zahira terdiam lama. Ia menarik napas tajam, tubuhnya gemetar. “Aku ingat. Waktu aku diculik dulu oleh Mr.X yang ternyata adalah Dokter Frans terus menyebut aku pembunuh.”Raeshan menoleh cepat. “Pembunuh?”“Ya.” Zahira menatap kosong. “Dia terus mengulang kata itu, seolah aku membunuh seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa yang dia maksud.”Raeshan merangkul bahu Zahira pelan. “Kita harus tahu kenapa dia menuduhmu begitu.”Ia menatap Zidan tajam. “Selidiki Dokter Frans malam ini juga. Semua data pribadi, pasien, dan riwayat masa lalunya. Jangan biarkan satu pun celah.”“Baik, Bos.” Zidan langsung bergegas keluar.Raeshan menatap Zahira. “Mula
“Tidak mungkin…” suara Zahira bergetar. “Tidak mungkin Dokter Gita yang menyuruh orang untuk membunuhku. Selama ini dia yang merawatku, Raeshan. Kau ingatkan kan, dia yang menjaga aku saat aku koma padahal bukan waktu jaganya. Dia yang berusaha menyelamatkan hidupku. Dia bahkan yang menolongku diberbagai kesempatan. Dia tidak mungkin sekejam itu…”Tubuhnya bergetar hebat, matanya memerah. Ia ingin mempercayai kebaikan yang pernah ia lihat pada Dokter Gita, bukan tuduhan mengerikan yang kini menghantam kepalanya.Raeshan mendekat, meletakkan kedua tangannya di pundak Zahira yang masih gemetar, lalu menariknya ke dalam pelukannya. Ia menepuk punggungnya pelan, suaranya rendah namun tegas.“Zahira… aku tahu ini sulit. Tapi aku sudah curiga sejak awal. Ada sesuatu yang tidak beres dengan Dokter Gita,” katanya perlahan. “Gerak-geriknya selalu mencurikan, tapi entah apa alasan dia melakukan ini.”Zahira hanya terdiam dalam pelukannya, air matanya jatuh membasahi dada Raeshan.⋯Sementara it
Raeshan duduk di samping ranjang, matanya tak lepas dari wajah Zahira yang masih pucat.Ia belum tidur sejak pencarian berakhir. Jari-jarinya terus menggenggam tangan Zahira.Suara pintu terbuka pelan. Seorang perawat masuk membawa suntikan dan cairan tambahan.“Permisi, saya perawat yang berjaga, mau menyuntik cairan tambahan ke infus pasien,” katanya sopan.Raeshan mengangkat wajahnya perlahan, menatap curiga. “Cairan apa?”“Vitamin dosis tinggi, Dokter yang minta ini catatan medisnya,” jawab perawat itu cepat.Raeshan mendekat, menatap tangan perawat itu yang mulai membuka suntikan. Saat jarum hampir menyentuh selang infus, matanya melihat tato hitam samar di pergelangan tangan kiri.Gerakannya secepat kilat. Ia langsung menangkap pergelangan tangan perawat itu dan memelintirnya keras ke belakang hingga terdengar bunyi kecil dari sendinya.Perawat itu menjerit tertahan. Jarum suntik terjatuh ke lantai.“Aku tanya sekali,” suara Raeshan rendah tapi tajam. “Kau siapa, dan apa yang ma







