Di taman timur istana utama, udara menembus sela-sela daun cemara kuno dan menimpa meja batu tempat dua pangeran tengah duduk bersandar santai setelah perjamuan. Guci kecil dari tanah liat berisi sari anggur tua tersaji di hadapan mereka, dituangkan ke dalam cawan perunggu beralaskan batu akik.
Pangeran Arven, si bungsu menjentikkan jari ke sisi cawannya, lalu melirik pada Aldrik, saudara tirinya yang lahir dari selir istana.
“Kau tahu, kadang aku heran... mengapa seluruh istana membungkuk begitu dalam pada Raeshan, seolah dia titisan dewa perang,” ucapnya pelan, nada suaranya seperti belati dalam sarung sutra. “Padahal, andai bukan karena darah ibuku, dia bukan siapa-siapa.”
Aldrik mengangkat cawan perunggunya, menyesap sedikit sari anggur yang terasa getir dan hangat di lidah. “Karena orang-orang memuja kemenangannya. Mereka tak tahu kekejaman Raeshan di medan perang itu seperti kutukan.”
“Dia bukan pemimpin, dia penjagal,” desis Arven, matanya menyipit. “Ia lebih mirip senjata yang diberi nama manusia. Bahkan pedangnya yang penuh darah lebih sering dilihat rakyat dibanding senyumnya.”
Aldrik terkekeh lembut. “Kau berani sekali pada kakakmu sendiri.”
Arven terdiam sejenak, entah sejak kapan ia sangat membenci Raeshan. Mungkin saat Raeshan menikahi Liora. Padahal jelas Reshan tahu jika Arven mencintai Liora sejak kecil.
Liora dan Arven tumbuh bersama di ligkungan kerajaan karena Liora anak dari penasihat kepercayaan Raja.
Hingga waktu berlalu dan kenangan pahit menjalar di darahnya membuat ia mengepalkan tangannya kesal. Ia akan berusaha terus menjatuhkan kakak kandungnya sendiri karena dendam dan cinta pada Liora yang masih utuh.
Arven menyandarkan diri pada sandaran batu. “Aku selalu berpikir, meski hanya anak selir akan lebih pantas menjadi penerus Raja, dari pada keturunan Raja tapi tidak punya nurani.”
Aldrik menoleh padanya, mata keemasannya menyipit. “Jadi kau bicara tentangku. atau Kael?”
“Kael?” Arven tertawa ringan. “Kakak ketiga terlalu lemah lembut. Terlalu penuh pengertian. Tak akan cukup kuat untuk melawan tikus-tikus tua di dewan kerajaan.”
Aldrik tersenyum miring. “Aku tak peduli siapapun diantara kita bertiga nantinya menjadi penerus. Asal jangan Raeshan yang tak berjiwa.”
Mereka saling pandang. Lalu Arven mengangkat cawan perunggunya tinggi, menatap cairan gelap di dalamnya seolah ingin meramal masa depan.
“Untuk masa depan Azmeria,” katanya sinis. “Semoga bukan malam panjang tanpa cahaya yang dipimpin oleh bayangan hitam.”
Aldrik mengangkat cawan miliknya, menyentuhkan ringan ke cawan Arven. “Dan semoga dewa-dewa tidak tuli mendengar harapan kita.”
Tawa dingin mereka mengalir bersama angin taman.
Sementara itu, Elina berjalan perlahan diikuti Sekar yang sibuk memegangi ujung gaun tuannya. Pipi Elina masih memerah, ia sangat ingin menjauh sejauh mungkin dari istana utama dan dari Raeshan.
Suara denting logam, derap sepatu prajurit, dan teriakan komando mengisi udara dari arah pelatihan di tanah luas halaman istana.
"Langkahkan kaki! Jangan seperti kambing mabuk di musim gugur!" teriak seseorang.
Elina menoleh.
Di lapangan latihan, berdiri seorang lelaki gagah bertubuh tinggi, dengan jubah lapangan kelabu dan sabuk perunggu bertanda kepala serigala. Rambutnya di ikat kebelakang dengan rahang tegas, dan kulit sawo matang. memutar tombak, memberi instruksi, lalu berbalik. Pandangannya terjatuh pada sosok Elina.
"Putri Elina?" ujar lelaki itu sambil menghentikan langkah. Ia memberi isyarat pada prajurit di belakangnya untuk memberi hormat.
Kapten Dasman juga membungkuk hormat, walau sikapnya tetap tegas dan tak pernah benar-benar lembut.
Elina hanya tersenyum lalu mengibaskan tangan canggung. Ia langsung memastikan keadaan Dasman. Dasman pun mengatakan jika ia baik-baik saja dan itu berkat Elina yang telah menyelamatkan nyawanya dari ambang kematian.
“Semoga saya tidak akan lagi merepotkan tuan Putri,” ujarnya lagi kaku.
Elina tersenyum kecil. “Tidak sama sekali. Saya justru ingin mengucapkan terima kasih juga kepadamu karena belum sempat.”
Dasman mengerutkan alis. “Terima kasih Tuan Putri?”
“Untuk tabib Feran yang datang kemarin malam mengobati luka cambukku atas permohonanmu.”
Kapten Dasman terdiam. Ia memandang Elina beberapa detik, lalu menggeleng pelan.
“Maaf, Putri. Tapi bukan saya yang mengirim tabib itu. Saya sama sekali tidak punya kuasa mengundang beliau.”
Elina memucat. “Bukan Anda?”
Dasman menyipitkan mata, lalu mengangkat bahu. “Kalau begitu, satu-satunya orang yang bisa memerintahkan tabib utama istana untuk melanggar protokol dan masuk ke ruang tahanan pribadi hanyalah...”
Ia tidak melanjutkan.
Elina melangkah mundur perlahan, menyadari satu kemungkinan yang tak pernah ia pikirkan atau mungkin yang ia tolak untuk percaya.
“Pangeran Raeshan?” bisiknya sendiri.
Dasman melihat ekspresi Elina dengan sorot mata bingung.
Elina menunduk sekali lagi. “Terima kasih, Kapten Dasman. Maaf telah mengganggu.”
Ia melangkah pergi, pikirannya kacau. Angin membawa suara-suara para prajurit ke telinganya.
Dalam benaknya, jika memang itu ulah Reshan maka dia benar-benar suami yang tidak manusiawi. Hanya bisa menyiksa lalu menyembuhkan.
“Keparat Raesha.” Kutuknya ambigu menyusuri lorong menuju kamarnya yang kini jauh lebih hangat. Sekar yang berjalan di belakangnya melirik khawatir.
Di Paviliun Sendika, Raeshan tiba-tiba bersin keras. Ia menggosok hidungnya, alis berkerut.
“Jangan-jangan ada yang mengutukku.” gumamnya dingin.Tangannya kembali menggosok hidungnya pelan, lalu ia menatap kosong ke arah taman. Di matanya ada sedikit kejengkelan dan keraguan. Pikirannya yang kembali pada satu sosok: Elina.
Ia membenci tatapan gadis itu yang selalu berontak padanya. Tapi lebih dari itu, ia membenci bagaimana wajah itu terus menghantui.
“Bodoh,” gumam Raeshan, menggenggam pedang kayu. “Mengapa aku peduli?”
Musik merdu dari orkestra mulai mengalun lembut ketika MC mempersilakan pasangan yang berbahagia maju ke panggung utama.Zahira lalu menerima kotak kecil yang disodorkan Raka. Senyum hangat pria itu berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. Perlahan, cincin indah itu melingkar di jemari Zahira. Lalu giliran Raka yang menerima cincin darinya. Tepuk tangan meriah pun menggema, menandai resminya pertunangan mereka.Zahira sempat melirik ke arah Raeshan yang berdiri bersama Kania. Tatapan pria itu begitu sulit dibaca, yang pasti Zahira sangat kecewa padanya.Di sisi lain, Febri yang baru saja dari toilet tiba-tiba merasa ada tarikan kuat di lengannya. Belum sempat ia berteriak, seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya keluar lewat lorong servis hotel. Dalam kepanikan, ia melihat yang membekapnya adalah Zidan.Sementara itu, Raeshan beranjak mendekati Zahira dan Raka untuk memberi selamat. Ketika ia berjalan pergi dan melewati Zahira, ujung koreknya dengan lembut menyapu punggun
Melihat Zahira tak ingin menjawab, Raeshan kembali melajukan mobil kali ini lebih kencang.Tapi Raka malah terus mengomel, suaranya serak mabuk tapi menusuk telinga. Raeshan yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menghentikan mobilnya.Zahira spontan ingin menolong saat Raeshan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Raka keluar begitu saja. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu, Raeshan segera menahan pergelangan Zahira.“Biarkan dia,” suaranya datar tapi penuh kuasa. Klik! Pintu segera terkunci.Zahira terpaku, jantungnya berdegup liar. Mobil kembali melaju. Ia melirik cemas ketika mobil berhenti di sebuah hotel tak jauh dari rumah Raka. Raeshan keluar tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu. Ia membungkuk, mengangkat Zahira ke punggungnya meski wanita itu meronta lemah.Begitu sudah dikamar, tubuh Zahira dilempar ringan ke atas kasur kamar hotel. Nafas Zahira tercekat, sementara Raeshan menindih tubuhnya dan langsung merebut bibirnya dalam ciuman panas penuh gaira
Sore itu, di restoran barat privat yang terletak di lantai atas sebuah gedung megah.Raka duduk di ruangan VIP, ditemani asistennya, Sinta, yang setia menyiapkan dokumen.Ia sudah menunggu lebih dari lima belas menit. Tatapannya sesekali melirik jam tangan mewah di pergelangan tangan. “Klien macam apa ini, beraninya membuatku menunggu?” gumamnya kesal.Tapi begitu pintu terbuka, langkah kaki dua orang pria terdengar memasuki ruangan. Raka sontak berdiri. Wajahnya langsung memucat lalu berubah menjadi merah padam begitu sosok yang muncul jelas terlihat.“Kenapa kau di sini?!” suara Raka membentak, telunjuknya lurus menunjuk ke arah Raeshan.Raeshan hanya tersenyum miring. Lalu dengan santai ia menarik kursi tepat di hadapan Raka. Zidan berdiri di sampingnya, menunduk hormat sambil menyalakan tablet.“Duduklah, Raka. Jangan terlalu kaku,” ujar Raeshan, nada suaranya ringan namun penuh tekanan. Ia lalu meraih tablet di tangan Zidan, dan tanpa basa-basi melemparkan perangkat itu ke atas m
Meski suasana hatinya sangat buruk, tapi Raeshan harus tetap bekerja. Dedikasinya di Azmeria juga di masa modern sama saja yaitu ulet dan sangat totalitas.Malam itu, di sebuah restoran mewah, Raeshan duduk di meja sudut bersama Zidan dan seorang klien dari luar negeri. Meski ia berusaha fokus pada pembicaraan bisnis, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.Zahira.Ia duduk anggun di meja lain, tepat di seberang ruangan, ditemani Raka yang tampak begitu percaya diri.Sesaat dunia Raeshan terasa berputar. Tatapan matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Zahira tersenyum tipis, sesekali menunduk, sementara Raka terlihat terus berusaha memonopoli perhatiannya. Raeshan mengepalkan tangan di bawah meja, menahan gejolak emosi.Ketika Zahira berdiri menuju toilet, Raeshan segera meminta izin pada kliennya, berdiri, lalu diam-diam mengikutinya.Begitu Zahira keluar, Raeshan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke
Keesokan harinya, Raeshan kembali memperhatikan rumah Zahira, tapi masih kosong. Nomor telepon Febri pun masih tak bisa dihubungi.Ia mengingat kejadian tadi malam dan sangat cemas dengan kondisi Zahira.Ia lalu berbalik, langsung membanting stir menuju rumah sakit pusat. Ada sesuatu yang harus ia pastikan.Begitu sampai, Raka langsung menghadangnya di lobi. Lelaki itu bersandar di dinding dengan senyum congkak, lengan terlipat di dada.“Sedang mencari siapa, Tuan Raeshan yang terhormat?” suaranya dingin penuh sindiran. “Zahira? Sudahlah, jangan repot-repot. Dia tidak ada disini. Kau sebaiknya berhenti mencampuri urusan orang lain.”Raeshan menatapnya sekilas, lalu hendak berjalan melewati. Tapi Raka dengan cepat menahan langkahnya.“Jangan pura-pura tidak peduli,” suara Raka terdengar menyindir.“Semua orang tahu kau hanya sumber masalah bagi Zahira. Kau pikir dia akan menerima cinta dari seseorang yang tidak pernah bisa menentukan arah hidupnya? Semua orang juga tahu, hari ini kau c
Raka tiba-tiba meraih tubuh Zahira lalu menariknya dalam pelukannya. Kepalanya ditekan hingga menempel di dada bidang Raka.Senyum licik tergambar jelas di wajah pria itu.“Kau akan terbiasa seiring waktu…” bisiknya dengan nada yang membuat darah Zahira terasa dingin.Ia menahan napas, berusaha menahan getaran tubuhnya. Tapi seketika pelukan itu terlepas begitu pintu kamar diketuk.Febri masuk dengan raut cemas. Raka berbalik tenang, menepuk bahu Zahira sebelum melangkah pergi.“Kalian bisa berbicara. Aku tidak akan mengganggu,” katanya sambil melempar tatapan penuh arti.Begitu pintu tertutup, Febri langsung menatap lekat wajah kakaknya.“Kak… kenapa? Kenapa kau menerima Raka, padahal aku tahu jelas-jelas kau tidak mencintainya?” suaranya bergetar.Zahira terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tersenyum paksa, mengelus bahu adiknya.“Ini pilihan terbaik yang kakak pernah ambil dalam hidup kakak,” ucapnya pelan.“Jangan bohong padaku, Kak…” Febri menunduk, menggen