Senja menggantung merah di langit Azmeria saat derap kuda memenuhi halaman utama istana.
Pangeran Raeshan tiba dengan wajah dingin, tubuhnya berbalut debu perjalanan, namun matanya menyala puas. Ekspedisi selama seminggu berakhir dengan kemenangan. Semua bandit dan pembelot yang merongrong stabilitas kerajaan telah ditangkap dan dieksekusi. Belum sempat ia beristirahat, dayang dari permaisuri Liora datang berlari-lari dengan wajah panik. “Yang Mulia!” ia berlutut tergesa. “Permaisuri… beliau terbaring lemah. Tuan Selir Elina menularkan penyakit pada Permaisuri.” Raeshan langsung melangkah cepat ke kediaman istrinya. Di sana, Liora tampak pucat dan berkeringat, terbaring tak berdaya di ranjang megahnya. Aroma obat dan rempah tajam memenuhi ruangan. “Siapa yang berani melakukannya pada permaisuriku?” suaranya dalam dan menahan amarah. Salah satu dayang bersujud. “Setelah beliau mengunjungi kediaman Selir Elina, beliau langsung jatuh sakit. Hanya itu, Paduka… hanya itu.” Raeshan mengepalkan tangan. Matanya menyipit, tatapannya membeku. “Lagi lagi wanita itu, ingin mencelakai Liora.” Angin senja membawa ketegangan tajam ke dalam kediaman Elina. Lantai bergema ketika Pangeran Raeshan menerobos masuk, langkahnya cepat, tatapannya hitam seperti malam tak berbintang. Elina berdiri lemah di tengah ruangan, tubuhnya menggigil di balik kain cadar yang menyembunyikan wajahnya. Sekar yang diluar hanya bisa berharap keselamatan tuannya. “ELINA!” Suara Raeshan bergemuruh, memenuhi udara seperti badai yang turun dari langit. Tanpa peringatan, ia menerjang dan mencekik leher Elina, mendorong tubuh mungil itu menabrak dinding. “Ini yang kau inginkan, bukan?! Perhatianku?” desisnya. Nafasnya panas di wajahnya. “Kau selalu menciptakan kekacauan karena itu satu-satunya cara membuat aku datang padamu!” Elina tercekik, wajahnya masih tersembunyi di balik cadar. Tubuhnya menggeliat pelan, namun tak melawan. Matanya berair, napasnya memburu. Raeshan terdiam sejenak. Tatapannya turun ke leher Elina yang rapuh. Entah kenapa, tangannya gemetar. Lalu tiba-tiba, seperti dirasuki amarah yang lain, ia menarik tubuh Elina dalam pelukan mendadak, mendekatkan wajahnya dan mencium lehernya. Sentuhan itu dingin namun membakar. Elina membeku. Namun sesaat kemudian, Raeshan mendorong tubuh Elina kasar ke lantai, seperti ia baru sadar akan kelemahannya sendiri. “Menjijikkan…” bisiknya pelan, hampir gemetar. Ia berbalik. Tak sekalipun menoleh ke wajah yang masih tersembunyi. “Mulai hari ini, jangan beri dia makanan. air, bahkan remah roti sekali pun. Biarkan dia tahu bagaimana rasanya kelaparan seperti anjing jalanan.” Pengawal membeku sejenak, sebelum mengangguk dan berlalu. Elina kini terbaring, tubuhnya masih lemas. Namun air matanya jatuh. Betapa tersiksanya di zaman ini. Sekar jatuh berlutut, memeluk tubuh tuannya yang dingin dan penuh debu. Di sudut ruangan, senja perlahan tenggelam dan malam Azmeria tak pernah terasa sedingin ini. Malam ketiga, Elina di kurung tanpa makanan dan minuman. Hujan turun perlahan, menetes di sela genting kediaman Elina. Sekar duduk di samping ranjang, menggenggam tangan tuannya yang dingin, air matanya jatuh satu per satu. Ia tahu tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan tuannya dari hukuman. Para pengawal berjaga di luar, siap menyeret siapa pun yang melanggar perintah. Namun tiba-tiba, pintu yang selalu terkunci itu berderit pelan nyaris tak terdengar. Sekar tersentak, tubuhnya menegang. Seseorang dengan mantel gelap, rambut panjang yang basah oleh gerimis, dan sepasang mata perak yang memancarkan keteduhan. Ia melangkah masuk tanpa suara. Ia membawa kotak kayu kecil dalam pelukannya. Sekar langsung mengenalinya, dan berlutut dalam-dalam. “Yang Mulia Pangeran Kael, hamba mohon ampun, hamba tak tahu—” Kael mengangkat tangannya pelan. “Tenang, saya tak datang hanya untuk memastikan keadaan Elina.” Ia mendekat ke sisi ranjang, membuka kotak kayu dan mengeluarkan semangkuk bubur kaldu dengan ramuan herbal dari akar manis, kayu manis, dan sejumput daun selvi kering. Aromanya menenangkan dan hangat. “Berikan ini pada tuanmu perlahan. Perutnya terlalu lama kosong,” ucapnya datar, namun ada ketegasan dalam nadanya. Sekar menerimanya dengan tangan gemetar. “Bagaimana Anda bisa masuk, Pangeran?” Kael menatapnya singkat. “Tak semua pintu di istana ini terkunci bagiku.” Ia lalu memandangi wanita di depannyayang menggigil. “Dan aku tidak akan membiarkannya tersiksa begitu saja.” Elina menggeliat pelan. Bibirnya pecah-pecah, matanya perlahan terbuka. Samar, ia melihat wajah Kael yang remang di bawah cahaya lilin. “Terima kasih Kael…” gumamnya lemah. Kael tidak menjawab, hanya menatapnya sejenak. Lalu, sebelum berbalik pergi, ia mencondongkan tubuh dan berbisik pelan di telinga Elina: “Berhati-hatilah, Elina. Di istana ini siapa saja bisa menjadi musuh dan menyerangmu..” Meskipun lemah, ingatan tubuh ini memberikan gambaran singkat tentang Kael. Meski tidak saling kenal namun semenjak Elina di Azmeria, Kael beberapa kali menolongnya. Kini Kael bangkit, memberi anggukan kecil pada Sekar, dan melangkah keluar dengan tenang dan hati-hati. Elina menatap kosong ke langit-langit, senyum kecil muncul di sudut bibirnya yang pecah. Sekar menyeka matanya, memegang tangan Elina dengan lembut. Sementara itu di ruang baca Istana Timur. Pangeran Raeshan sibuk membaca buku strategi perang dengan tenang. Aroma cendana memenuhi udara, namun pikirannya dipenuhi oleh gambaran selirnya. Ketukan terdengar. “Masuk.” Letnan Damas melangkah masuk dan memberi hormat. “Ampuni saya, Yang Mulia. Ini soal Tuan Selir Elina.” Ucap Dasman hati-hati. Raeshan tak menoleh. “Apa dia pura-pura mati lagi sekarang?” “Tidak yang Mulia. Mungkin beliau lupa jika, Selir Elina sudah tiga hari tanpa makanan dan terkurung. Hanya pelayannya yang sempat menyelundupkan seteguk air.” Raeshan meletakkan bukunya. Matanya menatap kosong ke depan. “Kepala batu seperti biasa. Ia belum juga punya niat baik untuk minta maaf.” Damas bicara hati-hati, “Kalau dia mati sekarang, bisa memicu rumor buruk terhadap kediaman Yang Mulia.” Hening sejenak. Lalu Raeshan berdiri. “Siapkan jubahku. Aku akan ke istana barat sekarang.” Damas terkejut. “Sekarang, Yang Mulia?” Raeshan menatap tajam. “Kalau dia begitu ingin mati di hadapanku, biar aku yang melihatnya langsung.”Dari kegelapan sudut ruangan, sesosok pria melangkah masuk dengan tenang, sorot matanya tajam seperti pedang yang baru diasah.Kael.Rambut peraknya memantulkan cahaya obor, dan mantel hitamnya bergoyang pelan seiring langkah yang tanpa suara. Tapi aura yang ia bawa membuat udara di ruang kerja Arven terasa sesak dan dingin seketika.Liora menegang. Arven menoleh cepat, tubuhnya refleks menegang. Tapi sebelum salah satu dari mereka sempat berkata apa-apa, Kael sudah angkat suara.“Kau pikir aku peduli pada perselingkuhan kalian?” lanjut Kael, langkahnya mendekat tanpa gentar. “Silakan saling menikam dengan ciuman dan pengkhianatan. Tapi jika kalian menyentuh sehelai rambut Elina saja, aku pastikan tidak ada yang ingat nama kalian lagi di Azmeria.”Liora menatap Kael dengan mata membara. “Kau tak berhak ikut campur…”Kael berhenti tepat di depan mereka. Pandangannya menusuk, tatapan dingin yang tak pernah bisa ditebak.Ia menoleh sejenak ke arah Arven.“Aku yang paling berhak memastika
Hari tepat 1 Tahun Zahira bertahan hidup di Azmeria sebagai Elina.Pagi itu, udara Istana Timur terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis masih melayang di sela-sela pilar batu saat Elina bangun dengan rasa mual yang sulit ia jelaskan.Sekar datang membawa teh herbal seperti biasa, tapi Elina hanya menatap kosong ke dinding, membiarkan uap teh menguap tanpa disentuh.Ketika Sekar keluar, Elina mengambil sebuah kotak kecil dari bawah lantai kamarnya tersembunyi rapi di balik kayu yang dilonggarkan. Di dalamnya tersimpan alat sederhana hasil rakitannya sendiri, berdasarkan ilmu kedokteran dari masa depan yang masih ia ingat detailnya.Ia meneteskan air seninya lalu mencelupkannya menunggu sejenak, lalu melihat dua garis samar terbentuk.Tangannya gemetar.Dua garis.Ia hamil.Elina menutup mulutnya. Tangisnya pecah pelan, bukan karena takut… bukan sepenuhnya karena bahagia. Tapi karena ia tahu, hidupnya akan berubah untuk selamanya.Bayi ini… bukan hanya tanda cinta.Tapi juga bel
Sejak Elina kembali ke istana, Pangeran Raeshan tak pernah jauh dari sisinya.Raeshan yang dulu dikenal sebagai dewa perang tak berperasaan, dan brutal di medan perang kini memeluk seorang wanita dengan lembut, bahkan tak segan membawakan mangkuk air atau merapikan rambut selirnya sendiri.Raeshan juga lebih berempati dan sering tersenyum. Namun tidak semua orang terpesona oleh perubahan itu.Di sisi lain istana, Ratu Amaris semakin meradang. Sejak perdebatan terakhir dengan Raeshan tentang Elina, hatinya terus diselimuti amarah.“Raeshan berubah jadi budak cinta hanya karena seorang wanita rendahan,” gerutunya di depan anak bungsunya, Arven.“Seharusnya Ibu tak heran,” kata Arven sengit. “Kakak ku mulai kehilangan wibawa. Disaat pangeran Kael sibuk bermain politik dan pangeran Aldrick malah larut dalam diskusi dengan para menteri. Raeshan malah sibuk bermain-main.”Kata-kata itu menyulut bara dalam dada Ratu Amaris. Ia tidak akan terima jika anak-anak dari selir Laira menjadi penerus
Setelah menempuh perjalanan panjang, kereta berhenti di pelataran istana. Raeshan turun cepat dari kudanya, membuka pintu, lalu tanpa ragu mengangkat Elina ke dalam pelukannya.Ia membawanya langsung ke istana timur dan menurunkannya hati-hati ke atas ranjang.Begitu Elina duduk, Raeshan berdiri cepat dan berseru ke arah luar, suaranya tegas tapi panik:“Panggil tabib! Dua orang! Yang paling cermat dan paling hebat!”Tak lama kemudian dua tabib istana masuk membawa perlengkapan. Raeshan langsung berdiri menghadang mereka.“Pelan-pelan,” ucapnya, tangannya terangkat seperti menghentikan badai. “Kalau kalian buat selirku meringis sekali saja. Aku akan pastikan kalian tidak akan melihat matahari terbit lagi.”Kedua tabib itu menelan ludah gugup, lalu mengangguk cepat.Elina terkekeh pelan. “Yang Mulia…”Namun Raeshan tidak memedulikan tatapan geli itu. Ia malah mencondongkan badan ke sisi ranjang dan membetulkan selimut Elina dengan ekspresi serius yang lucu.“Kalau sakit, langsung bilan
Kael mengusap kening Elina dengan lembut. Matanya sembab, tapi sorotnya tetap tenang seperti danau dalam yang menyembunyikan badai di dasarnya. Di tengah suara hujan dan napas berat Elina, ia menunduk, menyentuhkan dahinya ke tangan perempuan itu, memastikan suhu tubuhnya.Ketika jemari Elina akhirnya bergerak lemah, Kael langsung menegakkan tubuhnya. Mata Elina perlahan membuka, pandangannya masih kabur. Namun senyum tipis muncul di bibirnya saat melihat Kael di sisinya.Kael menggenggam tangannya erat, mencium punggungnya. Lega. Rapuh. Ia hampir kehilangan segalanya.“Elina…” bisiknya pelan.“Di mana… kita?” suara Elina nyaris tak terdengar.“Kau aman,” jawab Kael lembut.Elina menutup mata sesaat. Ingatan-ingatan kembali menelusup. Ia tahu, Kael telah menyelamatkannya.Namun ketenangan itu segera pudar ketika ia bertanya, “Raeshan… bagaimana dengan Raeshan?”Kael terdiam sejenak. “Dia selamat. Kembali ke istana.”Air mata Elina jatuh. Dan di hadapan cinta tulus yang tak pernah Kael
Sore hari, langit bergelayut mendung kelabu saat derap langkah kuda terdengar nyaring memasuki istana Azmeria.Ketika pintu gerbang utama dibuka, kuda Dasman melintasi pelataran dalam dengan kecepatan terkontrol. Raeshan langsung diturunkan segera, dan para tabib sudah bersiap di depan kediaman Raeshan.Ratu Amaris berlari menembus halaman.“Raeshan! RAESHAN!!” teriaknya, suaranya nyaring menggema di antara para pelayan dan prajurit yang berlutut memberi hormat.Ia nyaris tersungkur saat mendekati anaknya, namun langsung berlutut di sisi putranya yang terbaring lemah, tak sadarkan diri.Tubuh Raeshan dibalut perban seadanya oleh Dasman, luka di bahunya masih segar, wajahnya pucat seperti marmer. Nafasnya lambat dan berat. Seolah hanya satu helaian benang halus yang menahan jiwanya dari kematian.“Anakku, bangunlah.” bisik Amaris serak, menggenggam tangan Raeshan yang dingin.Dasman berdiri kaku di belakangnya, menunduk dalam diam.“Bawa dia ke dalam. Pastikan tak seorang pun mendekat