Share

Bab 3

Author: Phoenixclaa
last update Last Updated: 2025-04-13 16:42:26

Senja menggantung merah di langit Azmeria saat derap kuda memenuhi halaman utama istana.

Pangeran Raeshan tiba dengan wajah dingin, tubuhnya berbalut debu perjalanan, namun matanya menyala puas.

Ekspedisi selama seminggu berakhir dengan kemenangan. Semua bandit dan pembelot yang merongrong stabilitas kerajaan telah ditangkap dan dieksekusi.

Belum sempat ia beristirahat, dayang dari permaisuri Liora datang berlari-lari dengan wajah panik.

“Yang Mulia!” ia berlutut tergesa. “Permaisuri… beliau terbaring lemah. Tuan Selir Elina menularkan penyakit pada Permaisuri.”

Raeshan langsung melangkah cepat ke kediaman istrinya. Di sana, Liora tampak pucat dan berkeringat, terbaring tak berdaya di ranjang megahnya. Aroma obat dan rempah tajam memenuhi ruangan.

“Siapa yang berani melakukannya pada permaisuriku?” suaranya dalam dan menahan amarah.

Salah satu dayang bersujud. “Setelah beliau mengunjungi kediaman Selir Elina, beliau langsung jatuh sakit. Hanya itu, Paduka… hanya itu.”

Raeshan mengepalkan tangan. Matanya menyipit, tatapannya membeku.

“Lagi lagi wanita itu, ingin mencelakai Liora.”

Angin senja membawa ketegangan tajam ke dalam kediaman Elina. Lantai bergema ketika Pangeran Raeshan menerobos masuk, langkahnya cepat, tatapannya hitam seperti malam tak berbintang.

Elina berdiri lemah di tengah ruangan, tubuhnya menggigil di balik kain cadar yang menyembunyikan wajahnya. Sekar yang diluar hanya bisa berharap keselamatan tuannya.

“ELINA!”

Suara Raeshan bergemuruh, memenuhi udara seperti badai yang turun dari langit.

Tanpa peringatan, ia menerjang dan mencekik leher Elina, mendorong tubuh mungil itu menabrak dinding.

“Ini yang kau inginkan, bukan?! Perhatianku?” desisnya. Nafasnya panas di wajahnya. “Kau selalu menciptakan kekacauan karena itu satu-satunya cara membuat aku datang padamu!”

Elina tercekik, wajahnya masih tersembunyi di balik cadar. Tubuhnya menggeliat pelan, namun tak melawan. Matanya berair, napasnya memburu.

Raeshan terdiam sejenak. Tatapannya turun ke leher Elina yang rapuh. Entah kenapa, tangannya gemetar.

Lalu tiba-tiba, seperti dirasuki amarah yang lain, ia menarik tubuh Elina dalam pelukan mendadak, mendekatkan wajahnya dan mencium lehernya.

Sentuhan itu dingin namun membakar.

Elina membeku. Namun sesaat kemudian, Raeshan mendorong tubuh Elina kasar ke lantai, seperti ia baru sadar akan kelemahannya sendiri.

“Menjijikkan…” bisiknya pelan, hampir gemetar.

Ia berbalik. Tak sekalipun menoleh ke wajah yang masih tersembunyi.

“Mulai hari ini, jangan beri dia makanan. air, bahkan remah roti sekali pun. Biarkan dia tahu bagaimana rasanya kelaparan seperti anjing jalanan.”

Pengawal membeku sejenak, sebelum mengangguk dan berlalu.

Elina kini terbaring, tubuhnya masih lemas. Namun air matanya jatuh. Betapa tersiksanya di zaman ini.

Sekar jatuh berlutut, memeluk tubuh tuannya yang dingin dan penuh debu.

Di sudut ruangan, senja perlahan tenggelam dan malam Azmeria tak pernah terasa sedingin ini.

Malam ketiga, Elina di kurung tanpa makanan dan minuman.

Hujan turun perlahan, menetes di sela genting kediaman Elina. Sekar duduk di samping ranjang, menggenggam tangan tuannya yang dingin, air matanya jatuh satu per satu. 

Ia tahu tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan tuannya dari hukuman.

Para pengawal berjaga di luar, siap menyeret siapa pun yang melanggar perintah.

Namun tiba-tiba, pintu yang selalu terkunci itu berderit pelan nyaris tak terdengar. Sekar tersentak, tubuhnya menegang.

Seseorang dengan mantel gelap, rambut panjang yang basah oleh gerimis, dan sepasang mata perak yang memancarkan keteduhan. Ia melangkah masuk tanpa suara. Ia membawa kotak kayu kecil dalam pelukannya.

Sekar langsung mengenalinya, dan berlutut dalam-dalam.

“Yang Mulia Pangeran Kael, hamba mohon ampun, hamba tak tahu—”

Kael mengangkat tangannya pelan. “Tenang, saya tak datang hanya untuk memastikan keadaan Elina.”

Ia mendekat ke sisi ranjang, membuka kotak kayu dan mengeluarkan semangkuk bubur kaldu dengan ramuan herbal dari akar manis, kayu manis, dan sejumput daun selvi kering. Aromanya menenangkan dan hangat.

“Berikan ini pada tuanmu perlahan. Perutnya terlalu lama kosong,” ucapnya datar, namun ada ketegasan dalam nadanya.

Sekar menerimanya dengan tangan gemetar. “Bagaimana Anda bisa masuk, Pangeran?”

Kael menatapnya singkat. “Tak semua pintu di istana ini terkunci bagiku.” Ia lalu memandangi wanita di depannyayang menggigil. “Dan aku tidak akan membiarkannya tersiksa begitu saja.”

Elina menggeliat pelan. Bibirnya pecah-pecah, matanya perlahan terbuka. Samar, ia melihat wajah Kael yang remang di bawah cahaya lilin.

“Terima kasih Kael…” gumamnya lemah.

Kael tidak menjawab, hanya menatapnya sejenak. Lalu, sebelum berbalik pergi, ia mencondongkan tubuh dan berbisik pelan di telinga Elina:

“Berhati-hatilah, Elina. Di istana ini siapa saja bisa menjadi musuh dan menyerangmu..”

Meskipun lemah, ingatan tubuh ini memberikan gambaran singkat tentang Kael. Meski tidak saling kenal namun semenjak Elina di Azmeria, Kael beberapa kali menolongnya.

Kini Kael bangkit, memberi anggukan kecil pada Sekar, dan melangkah keluar dengan tenang dan hati-hati.

Elina menatap kosong ke langit-langit, senyum kecil muncul di sudut bibirnya yang pecah. Sekar menyeka matanya, memegang tangan Elina dengan lembut.

Sementara itu di ruang baca Istana Timur. Pangeran Raeshan sibuk membaca buku strategi perang dengan tenang. Aroma cendana memenuhi udara, namun pikirannya dipenuhi oleh gambaran selirnya.

Ketukan terdengar. “Masuk.”

Letnan Damas melangkah masuk dan memberi hormat. “Ampuni saya, Yang Mulia. Ini soal Tuan Selir Elina.” Ucap Dasman hati-hati.

Raeshan tak menoleh. “Apa dia pura-pura mati lagi sekarang?”

“Tidak yang Mulia. Mungkin beliau lupa jika, Selir Elina sudah tiga hari tanpa makanan dan terkurung. Hanya pelayannya yang sempat menyelundupkan seteguk air.”

Raeshan meletakkan bukunya. Matanya menatap kosong ke depan. “Kepala batu seperti biasa. Ia belum juga punya niat baik untuk minta maaf.”

Damas bicara hati-hati, “Kalau dia mati sekarang, bisa memicu rumor buruk terhadap kediaman Yang Mulia.”

Hening sejenak. Lalu Raeshan berdiri.

“Siapkan jubahku. Aku akan ke istana barat sekarang.”

Damas terkejut. “Sekarang, Yang Mulia?”

Raeshan menatap tajam. “Kalau dia begitu ingin mati di hadapanku, biar aku yang melihatnya langsung.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 146

    Musik merdu dari orkestra mulai mengalun lembut ketika MC mempersilakan pasangan yang berbahagia maju ke panggung utama.Zahira lalu menerima kotak kecil yang disodorkan Raka. Senyum hangat pria itu berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. Perlahan, cincin indah itu melingkar di jemari Zahira. Lalu giliran Raka yang menerima cincin darinya. Tepuk tangan meriah pun menggema, menandai resminya pertunangan mereka.Zahira sempat melirik ke arah Raeshan yang berdiri bersama Kania. Tatapan pria itu begitu sulit dibaca, yang pasti Zahira sangat kecewa padanya.Di sisi lain, Febri yang baru saja dari toilet tiba-tiba merasa ada tarikan kuat di lengannya. Belum sempat ia berteriak, seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya keluar lewat lorong servis hotel. Dalam kepanikan, ia melihat yang membekapnya adalah Zidan.Sementara itu, Raeshan beranjak mendekati Zahira dan Raka untuk memberi selamat. Ketika ia berjalan pergi dan melewati Zahira, ujung koreknya dengan lembut menyapu punggun

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 145

    Melihat Zahira tak ingin menjawab, Raeshan kembali melajukan mobil kali ini lebih kencang.Tapi Raka malah terus mengomel, suaranya serak mabuk tapi menusuk telinga. Raeshan yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menghentikan mobilnya.Zahira spontan ingin menolong saat Raeshan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Raka keluar begitu saja. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu, Raeshan segera menahan pergelangan Zahira.“Biarkan dia,” suaranya datar tapi penuh kuasa. Klik! Pintu segera terkunci.Zahira terpaku, jantungnya berdegup liar. Mobil kembali melaju. Ia melirik cemas ketika mobil berhenti di sebuah hotel tak jauh dari rumah Raka. Raeshan keluar tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu. Ia membungkuk, mengangkat Zahira ke punggungnya meski wanita itu meronta lemah.Begitu sudah dikamar, tubuh Zahira dilempar ringan ke atas kasur kamar hotel. Nafas Zahira tercekat, sementara Raeshan menindih tubuhnya dan langsung merebut bibirnya dalam ciuman panas penuh gaira

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 144

    Sore itu, di restoran barat privat yang terletak di lantai atas sebuah gedung megah.Raka duduk di ruangan VIP, ditemani asistennya, Sinta, yang setia menyiapkan dokumen.Ia sudah menunggu lebih dari lima belas menit. Tatapannya sesekali melirik jam tangan mewah di pergelangan tangan. “Klien macam apa ini, beraninya membuatku menunggu?” gumamnya kesal.Tapi begitu pintu terbuka, langkah kaki dua orang pria terdengar memasuki ruangan. Raka sontak berdiri. Wajahnya langsung memucat lalu berubah menjadi merah padam begitu sosok yang muncul jelas terlihat.“Kenapa kau di sini?!” suara Raka membentak, telunjuknya lurus menunjuk ke arah Raeshan.Raeshan hanya tersenyum miring. Lalu dengan santai ia menarik kursi tepat di hadapan Raka. Zidan berdiri di sampingnya, menunduk hormat sambil menyalakan tablet.“Duduklah, Raka. Jangan terlalu kaku,” ujar Raeshan, nada suaranya ringan namun penuh tekanan. Ia lalu meraih tablet di tangan Zidan, dan tanpa basa-basi melemparkan perangkat itu ke atas m

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 143

    Meski suasana hatinya sangat buruk, tapi Raeshan harus tetap bekerja. Dedikasinya di Azmeria juga di masa modern sama saja yaitu ulet dan sangat totalitas.Malam itu, di sebuah restoran mewah, Raeshan duduk di meja sudut bersama Zidan dan seorang klien dari luar negeri. Meski ia berusaha fokus pada pembicaraan bisnis, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.Zahira.Ia duduk anggun di meja lain, tepat di seberang ruangan, ditemani Raka yang tampak begitu percaya diri.Sesaat dunia Raeshan terasa berputar. Tatapan matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Zahira tersenyum tipis, sesekali menunduk, sementara Raka terlihat terus berusaha memonopoli perhatiannya. Raeshan mengepalkan tangan di bawah meja, menahan gejolak emosi.Ketika Zahira berdiri menuju toilet, Raeshan segera meminta izin pada kliennya, berdiri, lalu diam-diam mengikutinya.Begitu Zahira keluar, Raeshan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 142

    Keesokan harinya, Raeshan kembali memperhatikan rumah Zahira, tapi masih kosong. Nomor telepon Febri pun masih tak bisa dihubungi.Ia mengingat kejadian tadi malam dan sangat cemas dengan kondisi Zahira.Ia lalu berbalik, langsung membanting stir menuju rumah sakit pusat. Ada sesuatu yang harus ia pastikan.Begitu sampai, Raka langsung menghadangnya di lobi. Lelaki itu bersandar di dinding dengan senyum congkak, lengan terlipat di dada.“Sedang mencari siapa, Tuan Raeshan yang terhormat?” suaranya dingin penuh sindiran. “Zahira? Sudahlah, jangan repot-repot. Dia tidak ada disini. Kau sebaiknya berhenti mencampuri urusan orang lain.”Raeshan menatapnya sekilas, lalu hendak berjalan melewati. Tapi Raka dengan cepat menahan langkahnya.“Jangan pura-pura tidak peduli,” suara Raka terdengar menyindir.“Semua orang tahu kau hanya sumber masalah bagi Zahira. Kau pikir dia akan menerima cinta dari seseorang yang tidak pernah bisa menentukan arah hidupnya? Semua orang juga tahu, hari ini kau c

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 141

    Raka tiba-tiba meraih tubuh Zahira lalu menariknya dalam pelukannya. Kepalanya ditekan hingga menempel di dada bidang Raka.Senyum licik tergambar jelas di wajah pria itu.“Kau akan terbiasa seiring waktu…” bisiknya dengan nada yang membuat darah Zahira terasa dingin.Ia menahan napas, berusaha menahan getaran tubuhnya. Tapi seketika pelukan itu terlepas begitu pintu kamar diketuk.Febri masuk dengan raut cemas. Raka berbalik tenang, menepuk bahu Zahira sebelum melangkah pergi.“Kalian bisa berbicara. Aku tidak akan mengganggu,” katanya sambil melempar tatapan penuh arti.Begitu pintu tertutup, Febri langsung menatap lekat wajah kakaknya.“Kak… kenapa? Kenapa kau menerima Raka, padahal aku tahu jelas-jelas kau tidak mencintainya?” suaranya bergetar.Zahira terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tersenyum paksa, mengelus bahu adiknya.“Ini pilihan terbaik yang kakak pernah ambil dalam hidup kakak,” ucapnya pelan.“Jangan bohong padaku, Kak…” Febri menunduk, menggen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status