Saat Sekar sudah kembali dengan baskom berisi air hangat di tangannya.
“Sekar,” ucapnya mantap. “Aku butuh bantuanmu lagi.” “Apa pun, Tuan Putri. Katakan saja.” “Saya butuh tanaman dan bahan-bahan. Kita akan buat masker dan salep untuk memudarkan luka dan lebam.” Sekar sempat terdiam. “Tapi… bahan apa yang Anda maksud?” Elina menatapnya dalam. “Bisa kau dapatkan daun lidah buaya, kunyit, madu, dan minyak kelapa.?” Sekar mengangguk cepat. “Saya akan cari sekarang.” Begitu bahan-bahan yang dibutuhkan terkumpul. Ia mulai meracik sendiri di atas meja. Pertama, ia memotong lidah buaya dan mengeruk gel beningnya ke dalam mangkuk. Ia menumbuk kunyit hingga halus dengan batu penumbuk. Lalu menambahkan madu dan minyak kelapa. Tangannya cekatan, seperti telah melakukannya seribu kali. Sekar hanya bisa menatap takjub. “Campuran ini akan membantu memudarkan luka dan memar. Kunyit untuk anti radang, madu untuk regenerasi kulit, dan lidah buaya untuk melembabkan dan mempercepat penyembuhan,” jelas Elina sambil mengaduk. “Putri… Anda benar-benar hebat bisik Sekar. Elina berhenti sejenak, menatap adonan di tangannya. “Kalau aku tetap menjadi Elina yang dulu maka aku akan mati perlahan di tempat ini.” Suaranya lirih namun tegas. “Tapi jika aku berubah mungkin aku bisa mengubah segalanya. Termasuk nasib kita berdua.” “Tapi kenapa tiba-tiba Anda tahu cara mengobati luka? Anda sudah seperti tabib ahli.” Jelas Sekar bingung karena Elina tidak pernah belajar ilmu pengobatan sebelumnya. Elina hanya tersenyum. Ia tak bisa berkata jujur, bahwa jiwanya berasal dari masa depan seorang dokter spesialis yang terbiasa mengoperasi dengan pisau laser. Zaman ini belum bisa memahami. Empat hari telah berlalu sejak malam pertama Elina mengoleskan racikan dari bahan-bahan alami itu ke wajah dan tubuhnya. Hasilnya luar biasa. Lebam di pipi kirinya mulai memudar, luka-luka sayatan cambuk di lengannya mengering lebih cepat dari biasanya, dan warna kulitnya perlahan kembali cerah. Sekar hampir menangis tiap kali mengganti perban dan melihat perubahan itu. “Tuhan benar-benar memberkati Anda, Tuan Putri…” Namun Elina hanya tersenyum tipis. “Ini baru awal.” Selama empat hari itu pula, Pangeran Raeshan tidak pernah datang. Ia dikabarkan pergi ke perbatasan barat untuk memadamkan pemberontakan. Elina tidak terlalu peduli ia justru merasa tenang bisa memulihkan diri tanpa harus menghadapi tatapan penuh benci dari sang pangeran. Namun pagi kelima, ketenangan itu hancur. Langkah-langkah cepat para pelayan terdengar dari lorong. Sekar baru saja selesai mengganti kain perban ketika pintu kamar dibuka tanpa izin. Dua dayang asing masuk lebih dulu, lalu sosok perempuan tinggi, berbalut gaun merah marun dengan sulaman benang emas melangkah angkuh ke dalam ruangan sempit itu. Liora. Wajahnya cantik sempurna, tapi matanya, mata ular. Ia yang selalu menyiksa dan merendahkan pemilik tubuh asli ini. “Oh,” Liora menyeringai, menatap Elina dari kepala sampai kaki dengan pandangan jijik. “Jadi kau belum mati?” Elina langsung menunduk dalam, cepat-cepat meraih cadar tipis warna abu dari dekat ranjang dan menutup wajahnya. Sekar buru-buru berdiri di samping Elina, membungkuk hormat. “Permaisuri, Tuan Putri Elina belum pulih sepenuhnya…” “Diam, pelayan hina!” bentak Elina. “Kau pikir aku datang ke tempat menjijikkan ini hanya untuk mendengar alasan busukmu?” Langkah Iiora mendekat, sepatunya yang berhias permata mendekat kearah Elina yang membungkuk menyambutnya. Iiora langsung menginjak ujung rok Elina. “Dengar, kau wanita jalang tak tahu diri,” katanya dengan suara manis yang membunuh. “Kau pikir dengan bersembunyi dan memakai cadar, kau bisa menutupi wajahmu yang seperti kain pel lantai dapur itu?” Elina tetap membungkuk. Suaranya pelan, parau. “Ampun, Permaisuri…” Iiora menyipitkan mata. “Atau jangan-jangan wajahmu sudah lebih baik, ya? Kau pasti sedang merencanakan sesuatu. Buka cadarnya.” Sekar langsung bergerak maju. “Permaisuri, mohon jangan—” Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sekar. Gadis itu jatuh tersungkur ke lalanta Elina refleks ingin menolong, namun batuk keras lebih dulu mengguncang dadanya. Batuk berdahak yang parah ia sengaja. Elina langsung menutup mulut dengan lengan. Beberapa tetes darah yang sudah disiapkan dengan menggigit bagian dalam bibir sebelumnya terlihat di ujung kain cadarnya. “Permaisuri…” katanya dengan suara lemah. “Jangan dekati saya…” Liora masih ingin melangkah maju. “Saya… saya mengidap penyakit paru yang menular. Batuk darah. Tabib menyarankan saya mengasingkan diri agar tak menyebar ke istana.” Mata Liora melebar. Ia jelas tidak menyukai wanita di depannya saat ini, namun ia memilih melindungi dirinya sendiri. Liora langsung berhenti melangkah. Pelayan-pelayannya saling pandang, ketakutan. “Menjijikkan,” desis Liora, menahan rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan. “Kau cocoknya disembunyikan seumur hidup. Dan kau, pelayan rendahan sekali lagi kau melawan, kau akan kukirim ke neraka!” Kemudian ia berbalik dan meninggalkan ruangan dengan gaunnya yang berayun megah, disusul oleh pelayan-pelayannya yang masih menyeringai jahat. Di dunia ini, ia adalah seorang wanita yang tidak punya kedudukan penting bahkan tidak dihormati meski oleh pelayan. Begitu pintu tertutup, Sekar memegangi pipinya yang merah “Tuan Putri apakah Anda baik-baik saja?” tanyanya sambil menahan tangis. Elina mengangguk perlahan. “Kita berhasil menahan mereka untuk hari ini.” Tapi matanya menatap lurus ke depan, dalam diam. Ia tahu Permaisuri Liora tidak akan berhentiMusik merdu dari orkestra mulai mengalun lembut ketika MC mempersilakan pasangan yang berbahagia maju ke panggung utama.Zahira lalu menerima kotak kecil yang disodorkan Raka. Senyum hangat pria itu berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. Perlahan, cincin indah itu melingkar di jemari Zahira. Lalu giliran Raka yang menerima cincin darinya. Tepuk tangan meriah pun menggema, menandai resminya pertunangan mereka.Zahira sempat melirik ke arah Raeshan yang berdiri bersama Kania. Tatapan pria itu begitu sulit dibaca, yang pasti Zahira sangat kecewa padanya.Di sisi lain, Febri yang baru saja dari toilet tiba-tiba merasa ada tarikan kuat di lengannya. Belum sempat ia berteriak, seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya keluar lewat lorong servis hotel. Dalam kepanikan, ia melihat yang membekapnya adalah Zidan.Sementara itu, Raeshan beranjak mendekati Zahira dan Raka untuk memberi selamat. Ketika ia berjalan pergi dan melewati Zahira, ujung koreknya dengan lembut menyapu punggun
Melihat Zahira tak ingin menjawab, Raeshan kembali melajukan mobil kali ini lebih kencang.Tapi Raka malah terus mengomel, suaranya serak mabuk tapi menusuk telinga. Raeshan yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menghentikan mobilnya.Zahira spontan ingin menolong saat Raeshan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Raka keluar begitu saja. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu, Raeshan segera menahan pergelangan Zahira.“Biarkan dia,” suaranya datar tapi penuh kuasa. Klik! Pintu segera terkunci.Zahira terpaku, jantungnya berdegup liar. Mobil kembali melaju. Ia melirik cemas ketika mobil berhenti di sebuah hotel tak jauh dari rumah Raka. Raeshan keluar tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu. Ia membungkuk, mengangkat Zahira ke punggungnya meski wanita itu meronta lemah.Begitu sudah dikamar, tubuh Zahira dilempar ringan ke atas kasur kamar hotel. Nafas Zahira tercekat, sementara Raeshan menindih tubuhnya dan langsung merebut bibirnya dalam ciuman panas penuh gaira
Sore itu, di restoran barat privat yang terletak di lantai atas sebuah gedung megah.Raka duduk di ruangan VIP, ditemani asistennya, Sinta, yang setia menyiapkan dokumen.Ia sudah menunggu lebih dari lima belas menit. Tatapannya sesekali melirik jam tangan mewah di pergelangan tangan. “Klien macam apa ini, beraninya membuatku menunggu?” gumamnya kesal.Tapi begitu pintu terbuka, langkah kaki dua orang pria terdengar memasuki ruangan. Raka sontak berdiri. Wajahnya langsung memucat lalu berubah menjadi merah padam begitu sosok yang muncul jelas terlihat.“Kenapa kau di sini?!” suara Raka membentak, telunjuknya lurus menunjuk ke arah Raeshan.Raeshan hanya tersenyum miring. Lalu dengan santai ia menarik kursi tepat di hadapan Raka. Zidan berdiri di sampingnya, menunduk hormat sambil menyalakan tablet.“Duduklah, Raka. Jangan terlalu kaku,” ujar Raeshan, nada suaranya ringan namun penuh tekanan. Ia lalu meraih tablet di tangan Zidan, dan tanpa basa-basi melemparkan perangkat itu ke atas m
Meski suasana hatinya sangat buruk, tapi Raeshan harus tetap bekerja. Dedikasinya di Azmeria juga di masa modern sama saja yaitu ulet dan sangat totalitas.Malam itu, di sebuah restoran mewah, Raeshan duduk di meja sudut bersama Zidan dan seorang klien dari luar negeri. Meski ia berusaha fokus pada pembicaraan bisnis, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.Zahira.Ia duduk anggun di meja lain, tepat di seberang ruangan, ditemani Raka yang tampak begitu percaya diri.Sesaat dunia Raeshan terasa berputar. Tatapan matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Zahira tersenyum tipis, sesekali menunduk, sementara Raka terlihat terus berusaha memonopoli perhatiannya. Raeshan mengepalkan tangan di bawah meja, menahan gejolak emosi.Ketika Zahira berdiri menuju toilet, Raeshan segera meminta izin pada kliennya, berdiri, lalu diam-diam mengikutinya.Begitu Zahira keluar, Raeshan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke
Keesokan harinya, Raeshan kembali memperhatikan rumah Zahira, tapi masih kosong. Nomor telepon Febri pun masih tak bisa dihubungi.Ia mengingat kejadian tadi malam dan sangat cemas dengan kondisi Zahira.Ia lalu berbalik, langsung membanting stir menuju rumah sakit pusat. Ada sesuatu yang harus ia pastikan.Begitu sampai, Raka langsung menghadangnya di lobi. Lelaki itu bersandar di dinding dengan senyum congkak, lengan terlipat di dada.“Sedang mencari siapa, Tuan Raeshan yang terhormat?” suaranya dingin penuh sindiran. “Zahira? Sudahlah, jangan repot-repot. Dia tidak ada disini. Kau sebaiknya berhenti mencampuri urusan orang lain.”Raeshan menatapnya sekilas, lalu hendak berjalan melewati. Tapi Raka dengan cepat menahan langkahnya.“Jangan pura-pura tidak peduli,” suara Raka terdengar menyindir.“Semua orang tahu kau hanya sumber masalah bagi Zahira. Kau pikir dia akan menerima cinta dari seseorang yang tidak pernah bisa menentukan arah hidupnya? Semua orang juga tahu, hari ini kau c
Raka tiba-tiba meraih tubuh Zahira lalu menariknya dalam pelukannya. Kepalanya ditekan hingga menempel di dada bidang Raka.Senyum licik tergambar jelas di wajah pria itu.“Kau akan terbiasa seiring waktu…” bisiknya dengan nada yang membuat darah Zahira terasa dingin.Ia menahan napas, berusaha menahan getaran tubuhnya. Tapi seketika pelukan itu terlepas begitu pintu kamar diketuk.Febri masuk dengan raut cemas. Raka berbalik tenang, menepuk bahu Zahira sebelum melangkah pergi.“Kalian bisa berbicara. Aku tidak akan mengganggu,” katanya sambil melempar tatapan penuh arti.Begitu pintu tertutup, Febri langsung menatap lekat wajah kakaknya.“Kak… kenapa? Kenapa kau menerima Raka, padahal aku tahu jelas-jelas kau tidak mencintainya?” suaranya bergetar.Zahira terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tersenyum paksa, mengelus bahu adiknya.“Ini pilihan terbaik yang kakak pernah ambil dalam hidup kakak,” ucapnya pelan.“Jangan bohong padaku, Kak…” Febri menunduk, menggen