Share

Bab 4

Author: Phoenixclaa
last update Last Updated: 2025-04-13 16:43:12

Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu. Raeshan berjalan cepat, jubah gelapnya mengepak diterpa angin. Di belakangnya, Letnan Dasman membawa lentera, menyorot jalan sempit menuju kamar Elina.

Begitu mereka sampai di ambang pintu jeritan terdengar dari dalam.

“Awas!!”

Pintu kamar terlempar terbuka. Seorang pria berpakaian hitam menerjang ke arah ranjang Elina, sebilah pisau panjang terangkat tinggi.

“TUAN PUTRI ELINA!” teriak Sekar dari sudut ruangan.

Dalam sepersekian detik, Dasman melompat lebih dulu, menahan lengan si penyusup. Mereka bergulat hebat di lantai batu. Raeshan mencabut pedangnya dan maju, namun terlalu lambat.

Pisau di tangan penyusup berhasil lolos dari genggaman Dasman dan dalam satu ayunan tajam, menghujam tepat ke bawah tulang rusuk kiri Dasman.

Suara crack terdengar pelan, diikuti semburan darah segar yang menyembur dari mulut Dasman. Penyusup itu telah mengenai organ vital limpa atau mungkin paru-paru.

Dasman terhuyung, tubuhnya jatuh bersimpuh, matanya membelalak menahan sakit. Darah mengalir deras dari luka tusuk yang dalam dan berdarah aktif, menodai lantai kamar Elina.

“DASMAN!” Raeshan berteriak keras saat tubuh pengawal setianya ambruk bersimbah darah.

Ia berlutut cepat, menahan tubuh Dasman yang gemetar, darah panas mengalir deras melewati tangan dan lengan bajunya. “Tahan! DASMAN, DENGAR AKU!”

Pasukan menyeret penyusup keluar, namun Raeshan tak peduli matanya hanya tertuju pada pria yang telah mengabdi padanya sejak muda.

Tubuh Dasman langsung dibawa pergi dari kediaman Elina. 

“Panggil SEMUA tabib istana! SEKARANG!” bentaknya garang. 

Tak sampai setengah jam, para tabib berdatangan satu per satu, membawa ramuan, kain perban, dan alat-alat sederhana. Mereka membuka luka tusukan itu dan semua membisu.

“Sangat dalam, mungkin menusuk limpa.” bisik salah satu tabib. “Atau paru.”

“Organ vital,” sahut tabib tua lainnya. “Kita tak bisa menjahit bagian dalam sebesar itu. Bahkan bila dihentikan pun, ia bisa sekarat karena perdarahan internal.”

Raeshan bangkit berdiri dengan sorot mata penuh amarah dan ketakutan. “Lalu untuk apa kalian kupelihara, hah?! Dia pengawalku! Aku tidak mengizinkan dia mati malam ini!”

Namun semua tabib hanya bisa menunduk. Mereka belum mengenal cara menanganinya di zaman ini, luka seperti itu adalah vonis kematian.

Saat semua membisu, suara pelan terdengar dari sudut ruangan.

“Aku bisa… menyelamatkannya…” 

Semua menoleh. Elina yang baru saja datang dengan didampingi Sekar. Ia masih tampak lemah, tapi sorot matanya tajam dan yakin.

Raeshan menoleh cepat, suaranya membelah ruangan seperti cambuk.

“Jangan main-main, Elina. Ini nyawa manusia, bukan permainan untuk dramamu yang murahan!”

Raeshan ingin marah karena tidak ada yang mengizinkan Elina meninggalkan kediamannya tapi ia lebih fokus dengan pengawalnya saat ini.

Semua orang menahan napas. Wajah Elina tak gentar, meski tubuhnya goyah karena lemah. Ia menatap Raeshan lurus, matanya menyala dengan tekad.

“Kalau kau ingin dia mati, lanjutkan berdiri disana dan terus mencurigai niatku. Tapi jika kau benar-benar ingin Dasman hidup beri aku tempat steril, dan beri aku alat.”

Seketika Raeshan terdiam. Ia menatapnya tajam, mencoba membaca maksud di balik sorot Elina yang asing.

“Berikan apapun yang Selir minta!” serunya akhirnya.

Pelayan bergerak cepat. Sekar ikut membantu membersihkan meja besar dari perabot, sementara Elina menyebutkan bahan yang dibutuhkan “Air mendidih, madu hutan, daun biranti, cuka apel, jarum logam yang bisa dipanaskan dan pisau kecil, yang tajam!” Elina mendikte cepat, napasnya memburu. Sorot matanya membara.

Seorang tabib tua langsung berdiri, menepuk tongkatnya ke lantai. “PISAU?! Untuk apa kau minta pisau? Ini luka dalam! Kau mau membedah tubuhnya? Ini bukan keahlianmu, Putri Elina!”

Tabib lainnya ikut mengangguk keras. “Jangan biarkan dia menyentuhnya, Tuanku. Dia hanya ingin membunuh pengawal Anda, bukan menyelamatkan! Ini… ini hanya niat jahat!”

“Benar!” seruan lain menyusul dan pada saat itulah, langkah anggun terdengar dari ambang pintu.

Liora datang mengenakan jubah lembut warna ungu kabut, wajahnya masih pucat namun tetap menawan. Ia tampak rapuh, namun sorot matanya menusuk.

“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucapnya lembut pada Raeshan, “aku mendengar kekacauan ini dan tak bisa diam di tempat tidur.”

Ia mendekat dengan lambat, lalu melirik Elina dengan senyum samar. “Meski aku masih lemah aku ingin memastikan keadaan Dasman.”

Sekar membuang muka mendengar trik licik wanita jahat yang selalu menyiksa tuannya itu. 

Sementara Raeshan langsung menoleh cepat. “Kau belum sembuh. Kenapa—”

“Tak mengapa Yang Mulia. Aku sudah lebih baik,” potong Liora manis, lalu kembali melirik Elina.

“Namun… sungguh mengerikan bila seorang yang dikenal tak tahu ilmu pengobatan tiba-tiba ingin membedah tubuh orang yang sekarat. Terlebih itu pengawal kepercayaan Yang Mulia Tidakkah Yang Mulia curiga?”

Beberapa pelayan dan tabib langsung mengangguk lagi, bisik-bisik mulai memenuhi ruangan.

Elina berdiri di antara semuanya, tubuhnya masih lemah, tapi wajahnya teguh. Ia menatap Pangeran Raeshan lurus-lurus.

“Percayalah padaku. Jika aku ingin dia mati, aku akan biarkan saja dan tidak berlumuran darah untuknya.”

Raeshan diam. Matanya gelap, rahangnya mengeras.

Elina melangkah pelan, lalu menatap dalam ke mata sang pangeran.

“Kalau aku gagal, hukum aku seumur hidup pun tak masalah. Tapi kalau aku berhasil, kau harus mengabulkan satu permintaanku. Apapun itu.”

Suasana ruangan langsung menegang. Tabib-tabib saling pandang. Liora menegang, menatap penuh tanda tanya.

Raeshan memicingkan mata. “Satu permintaan?”

Elina mengangguk. “Hanya satu.”

Hening sesaat. Liora lalu angkat bicara lagi.  “Selir Elina, aku tahu ini pasti hanya akal-akalanmu. Bila ingin perhatian Yang Mulia, tak perlu memakai nyawa orang yang setia padanya sebagai korban.”

Kalimat itu seperti cambuk di tengah kerumunan. Beberapa tabib dan pelayan mengangguk, menimpali. Sedang Liora tersenyum licik.

Elina menarik napas dalam, lalu menatap Raeshan lurus. “Percayalah. Atau pergilah. Tapi biarkan aku menyelamatkannya.”

Raeshan diam. Nafasnya berat. Matanya masih menyimpan murka.

Namun kali ini, ia menunduk sejenak… lalu memalingkan wajah.

“Semua keluar.”

Raeshan menggeram, suaranya serak dan tajam.

“Jika dia gagal dan Dasman meninggal maka aku sendiri yang akan menguliti Elina hidup-hidup.”

Elina menegang. “Yang Mulia, tidak mungkin engkau percaya padanya kan.”

“Diam dan keluar, Permaisuri.” Nada suara Raeshan tak bisa dibantah.

Satu per satu orang meninggalkan ruangan. Tatapan mereka mencemooh, curiga, atau menggeleng penuh belas kasihan. Tapi Elina tidak goyah.

Raeshan adalah yang terakhir melangkah pergi. Sebelum menutup pintu, ia menatap Elina tajam.

 “Selamatkan dia… atau matilah bersama dia.”

Pintu tertutup.

Sunyi.

Yang tersisa kini hanya Elina, Sekar dan Dasman, yang nyaris tak tertolong lagi.

Tangannya gemetar saat membuka perban yang sudah penuh darah. Luka tusuk itu terlalu dekat dengan arteri besar.

Elina mengatupkan gigi, mengambil air panas dan pisau.

“Kau harus bertahan, Dasman… Aku tak bisa gagal.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 103

    Bayangan samar di balik pepohonan semakin jelas begitu ia berbalik pergi.Kisti.Semenjak Elina menghilang, Raeshan selalu menghabiskan waktunya sendirian.Kembali ke beberapa hari lalu, saat Nathan akan di eksekusi. Seisi Azmeria gempar karena tidak bisa menemukan Nathan dimanapun.“Anda melihat Nathan, Yang Mulia?” Kisti mendekat, suaranya dibuat bergetar seperti orang yang baru menangis. “Aku… aku tidak tahu harus ke mana lagi mencarinya. Dia adikku… aku takut dia…”Namun hari itu Raeshan sama sekali tidak peduli dengan hidup dan mati Nathan.“Aku tidak peduli drama apa yang kau mainkan, Kisti,” ucapnya datar. “Aku hanya ingin menemukan Elina aku tidak peduli dengan adikmu yang busuk itu.”Kisti terdiam. Penghinaan Raeshan di depan semua orang membuatnya tak bisa berbuat banyak.Meski begitu, ia tersenyum tipis, karena mulai sekarang Elina tidak akan pernah kembali ke masa ini lagi.Ia yakin Nathan juga diselamatkan oleh Mr. X. Ia tak peduli entah Nathan ke masa depan juga atau tid

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 102

    “Zahira…?” suara itu lirih, tercekat oleh tangis. Saat matanya terbuka, wajah Febri terlihat jelas di depannya.Disampingnya, seorang wanita berambut sebahu memegang tangannya erat, Kania, sahabat baiknya.“Kau akhirnya sadar lagi… ya Tuhan, kau benar-benar kembali…” Kania memeluknya, dan Febri ikut merangkul mereka berdua.Zahira menatap sekeliling, bingung. Ruangan ini… putih, dingin, dan penuh alat-alat yang mendengung.Di ujung telinganya, seperti ada gema suara anak kecil… dan tawa yang samar. Tapi begitu ia mencoba mengingat, kepalanya nyeri, dan bayangan itu memudar.“Berapa lama aku tak sadarkan diri…?” suaranya serak.“Kamu tidak sadarkan diri sudah satu bulan kak,” jawab Febri cepat mencoba mengingat sejak kakaknya pernah bangun tapi hanya dalam waktu singkat dulu. Zahira terdiam. Ada sesuatu dihatinya yang terasa hampa dan tidak bisa ia ingat sama sekali.**Selama dua hari observasi, banyak rekan kerja yang datang menjenguk. Salah satunya seorang dokter magang baru berna

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 101

    Malam itu…Elina duduk di lantai. Matanya sembab, air mata masih mengalir deras, membasahi pipinya.Raeshan berjongkok di hadapannya, lalu dengan hati-hati menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.“Elina…” bisiknya, lembut namun penuh kekhawatiran. “Kau tidak sendirian.”Elina hanya bisa menangis. Tubuhnya gemetar dalam dekap Raeshan.Lelaki itu memeluknya semakin erat, seolah pelukannya bisa melindungi Elina dari seluruh penderitaan.“Maafkan aku… Sekar… dia meninggal karena aku… karena aku yang menyuruhnya ikut ke sini…” gumam Elina di antara isaknya.Raeshan menggeleng pelan. Ia menangkup wajah Elina dengan kedua tangannya, menatap lurus ke mata istrinya.“Jangan katakan itu. Kau bukan penyebabnya. Aku akan menghukum pelakunya sekejam mungkin.”Elina memejamkan mata. Air matanya kembali tumpah, dan Raeshan tak bisa melihat istrinya seperti itu lebih lama lagi. Ia mendesah… lalu tersenyum kecil.“Kalau begini terus, kau bisa membuatku tua lima tahun lebih cepat, tahu tidak?”Elin

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 100

    Beberapa minggu yang lalu, Elina secara pribadi mengunjungi Tuan Akin."Elina…" suara Tuan Akin berat, "jejakmu semakin samar di dunia ini."Elina terdiam."Dimensi waktu yang mengikat jiwamu ke masa ini semakin menipis. Kau telah mengubah banyak hal, dan jelas sistem dunia tidak tinggal diam.""Aku tahu," bisik Elina. "Tapi aku tidak bisa meninggalkan suami dan anak-anakku.”Tuan Akin menggeleng pelan.“Lima hari lagi adalah Tragedi Bulan Merah. Jika kau masih berada di masa ini saat malam itu tiba… tubuhmu bisa lenyap, bukan hanya dari zaman ini, tapi juga dari zaman asalmu.”Elina menggenggam kalung giok di dadanya benda yang selama ini menjadi jangkar keberadaannya di masa ini. Tapi setiap hari, kilau giok itu semakin suram… dan kadang justru menyakitkan saat disentuh."Kalung itu akan menghancurkanmu jika kau terus memaksakan diri," ujar Akin tenang. "Pulanglah sebelum waktu menghancurkan jiwamu sendiri."Elina menunduk. Matanya berkaca-kaca, tapi tekadnya tetap."Aku tidak akan

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 99

    “Aahh…”Tangan Elina menekan dadanya sendiri, seolah rasa sakit itu datang dari dalam jiwanya, bukan tubuhnya.Sementara itu, di ruang kerjanya, Raeshan menatap jendela dengan gelisah. Entah mengapa, sejak beberapa saat tadi hatinya tidak tenang.Firasat buruk membuatnya tak bisa fokus membaca laporan apapun.“Kenapa hatiku… terasa sesak begini?”Ia berdiri tiba-tiba, lalu melangkah cepat keluar dari ruangannya dan bergegas menuju kamar Elina.Begitu membuka pintu, suara gaduh dan teriakan kecil langsung menyambutnya.“Elina!”Raeshan berlari dan langsung merengkuh tubuh istrinya yang tergeletak di lantai, lemas tak berdaya.Ia memeluk Elina erat, menahan kepanikannya.“Elina, aku di sini. Bertahanlah… Aku akan panggil tabib sekarang juga!”Elina meraih lengan Raeshan dengan sisa tenaganya.“Tidak… jangan…” bisiknya lemah. “Ini… bukan hal yang bisa disembuhkan tabib…”Raeshan tertegun. Matanya menatap giok di leher Elina yang masih memancarkan cahaya. Ia tak memahami apa yang terjadi

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 98

    Pagi harinya di balairung utama istana.Kisti melangkah pelan namun pasti. Raut wajahnya menunduk dengan kesedihan yang dalam. Di hadapannya, Kaisar yang duduk di singgasana, sementara Elina duduk di sisi kanan, dan Dasman siaga di kiri.“Yang Mulia,” suara Kisti serak tapi tenang. “Hamba datang bukan hanya sebagai selir Kaisar, tapi juga sebagai seorang kakak. Nathan, dia tidak bersalah.”Raeshan menatap Kisti dengan sorot mata tajam namun tetap berusaha adil. “Kau punya bukti?”Kisti mengangguk pelan. “Pada malam itu, saat dikatakan Sekar mengalami trauma, Nathan bersamaku. Kami berada di Alister, memperingati hari kematian kakak kami.”Semua yang hadir saling pandang.“Nathan sangat dekat dengan mendiang kakak kami. Ia bahkan tidur di aula leluhur, berdoa sepanjang malam. Seluruh rakyat Alister dan para pelayan di sana bisa bersaksi,” lanjut Kisti.Elina menanggapi dengan dingin. “Tapi pelayan yang melihat Nathan memasuki kamar Sekar di malam itu bersaksi jelas. Ia mengenali Nathan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status