Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu. Raeshan berjalan cepat, jubah gelapnya mengepak diterpa angin. Di belakangnya, Letnan Dasman membawa lentera, menyorot jalan sempit menuju kamar Elina.
Begitu mereka sampai di ambang pintu jeritan terdengar dari dalam.
“Awas!!”
Pintu kamar terlempar terbuka. Seorang pria berpakaian hitam menerjang ke arah ranjang Elina, sebilah pisau panjang terangkat tinggi.
“TUAN PUTRI ELINA!” teriak Sekar dari sudut ruangan.
Dalam sepersekian detik, Dasman melompat lebih dulu, menahan lengan si penyusup. Mereka bergulat hebat di lantai batu. Raeshan mencabut pedangnya dan maju, namun terlalu lambat.
Pisau di tangan penyusup berhasil lolos dari genggaman Dasman dan dalam satu ayunan tajam, menghujam tepat ke bawah tulang rusuk kiri Dasman.
Suara crack terdengar pelan, diikuti semburan darah segar yang menyembur dari mulut Dasman. Penyusup itu telah mengenai organ vital limpa atau mungkin paru-paru.
Dasman terhuyung, tubuhnya jatuh bersimpuh, matanya membelalak menahan sakit. Darah mengalir deras dari luka tusuk yang dalam dan berdarah aktif, menodai lantai kamar Elina.
“DASMAN!” Raeshan berteriak keras saat tubuh pengawal setianya ambruk bersimbah darah.
Ia berlutut cepat, menahan tubuh Dasman yang gemetar, darah panas mengalir deras melewati tangan dan lengan bajunya. “Tahan! DASMAN, DENGAR AKU!”
Pasukan menyeret penyusup keluar, namun Raeshan tak peduli matanya hanya tertuju pada pria yang telah mengabdi padanya sejak muda.
Tubuh Dasman langsung dibawa pergi dari kediaman Elina.
“Panggil SEMUA tabib istana! SEKARANG!” bentaknya garang.
Tak sampai setengah jam, para tabib berdatangan satu per satu, membawa ramuan, kain perban, dan alat-alat sederhana. Mereka membuka luka tusukan itu dan semua membisu.
“Sangat dalam, mungkin menusuk limpa.” bisik salah satu tabib. “Atau paru.”
“Organ vital,” sahut tabib tua lainnya. “Kita tak bisa menjahit bagian dalam sebesar itu. Bahkan bila dihentikan pun, ia bisa sekarat karena perdarahan internal.”
Raeshan bangkit berdiri dengan sorot mata penuh amarah dan ketakutan. “Lalu untuk apa kalian kupelihara, hah?! Dia pengawalku! Aku tidak mengizinkan dia mati malam ini!”
Namun semua tabib hanya bisa menunduk. Mereka belum mengenal cara menanganinya di zaman ini, luka seperti itu adalah vonis kematian.
Saat semua membisu, suara pelan terdengar dari sudut ruangan.
“Aku bisa… menyelamatkannya…”
Semua menoleh. Elina yang baru saja datang dengan didampingi Sekar. Ia masih tampak lemah, tapi sorot matanya tajam dan yakin.
Raeshan menoleh cepat, suaranya membelah ruangan seperti cambuk.
“Jangan main-main, Elina. Ini nyawa manusia, bukan permainan untuk dramamu yang murahan!”Raeshan ingin marah karena tidak ada yang mengizinkan Elina meninggalkan kediamannya tapi ia lebih fokus dengan pengawalnya saat ini.
Semua orang menahan napas. Wajah Elina tak gentar, meski tubuhnya goyah karena lemah. Ia menatap Raeshan lurus, matanya menyala dengan tekad.
“Kalau kau ingin dia mati, lanjutkan berdiri disana dan terus mencurigai niatku. Tapi jika kau benar-benar ingin Dasman hidup beri aku tempat steril, dan beri aku alat.”
Seketika Raeshan terdiam. Ia menatapnya tajam, mencoba membaca maksud di balik sorot Elina yang asing.
“Berikan apapun yang Selir minta!” serunya akhirnya.
Pelayan bergerak cepat. Sekar ikut membantu membersihkan meja besar dari perabot, sementara Elina menyebutkan bahan yang dibutuhkan “Air mendidih, madu hutan, daun biranti, cuka apel, jarum logam yang bisa dipanaskan dan pisau kecil, yang tajam!” Elina mendikte cepat, napasnya memburu. Sorot matanya membara.
Seorang tabib tua langsung berdiri, menepuk tongkatnya ke lantai. “PISAU?! Untuk apa kau minta pisau? Ini luka dalam! Kau mau membedah tubuhnya? Ini bukan keahlianmu, Putri Elina!”
Tabib lainnya ikut mengangguk keras. “Jangan biarkan dia menyentuhnya, Tuanku. Dia hanya ingin membunuh pengawal Anda, bukan menyelamatkan! Ini… ini hanya niat jahat!”
“Benar!” seruan lain menyusul dan pada saat itulah, langkah anggun terdengar dari ambang pintu.
Liora datang mengenakan jubah lembut warna ungu kabut, wajahnya masih pucat namun tetap menawan. Ia tampak rapuh, namun sorot matanya menusuk.
“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucapnya lembut pada Raeshan, “aku mendengar kekacauan ini dan tak bisa diam di tempat tidur.”
Ia mendekat dengan lambat, lalu melirik Elina dengan senyum samar. “Meski aku masih lemah aku ingin memastikan keadaan Dasman.”
Sekar membuang muka mendengar trik licik wanita jahat yang selalu menyiksa tuannya itu.
Sementara Raeshan langsung menoleh cepat. “Kau belum sembuh. Kenapa—”
“Tak mengapa Yang Mulia. Aku sudah lebih baik,” potong Liora manis, lalu kembali melirik Elina.
“Namun… sungguh mengerikan bila seorang yang dikenal tak tahu ilmu pengobatan tiba-tiba ingin membedah tubuh orang yang sekarat. Terlebih itu pengawal kepercayaan Yang Mulia Tidakkah Yang Mulia curiga?”
Beberapa pelayan dan tabib langsung mengangguk lagi, bisik-bisik mulai memenuhi ruangan.
Elina berdiri di antara semuanya, tubuhnya masih lemah, tapi wajahnya teguh. Ia menatap Pangeran Raeshan lurus-lurus.
“Percayalah padaku. Jika aku ingin dia mati, aku akan biarkan saja dan tidak berlumuran darah untuknya.”
Raeshan diam. Matanya gelap, rahangnya mengeras.
Elina melangkah pelan, lalu menatap dalam ke mata sang pangeran.
“Kalau aku gagal, hukum aku seumur hidup pun tak masalah. Tapi kalau aku berhasil, kau harus mengabulkan satu permintaanku. Apapun itu.”
Suasana ruangan langsung menegang. Tabib-tabib saling pandang. Liora menegang, menatap penuh tanda tanya.
Raeshan memicingkan mata. “Satu permintaan?”
Elina mengangguk. “Hanya satu.”
Hening sesaat. Liora lalu angkat bicara lagi. “Selir Elina, aku tahu ini pasti hanya akal-akalanmu. Bila ingin perhatian Yang Mulia, tak perlu memakai nyawa orang yang setia padanya sebagai korban.”
Kalimat itu seperti cambuk di tengah kerumunan. Beberapa tabib dan pelayan mengangguk, menimpali. Sedang Liora tersenyum licik.
Elina menarik napas dalam, lalu menatap Raeshan lurus. “Percayalah. Atau pergilah. Tapi biarkan aku menyelamatkannya.”
Raeshan diam. Nafasnya berat. Matanya masih menyimpan murka.
Namun kali ini, ia menunduk sejenak… lalu memalingkan wajah.
“Semua keluar.”
Raeshan menggeram, suaranya serak dan tajam.
“Jika dia gagal dan Dasman meninggal maka aku sendiri yang akan menguliti Elina hidup-hidup.”
Elina menegang. “Yang Mulia, tidak mungkin engkau percaya padanya kan.”
“Diam dan keluar, Permaisuri.” Nada suara Raeshan tak bisa dibantah.
Satu per satu orang meninggalkan ruangan. Tatapan mereka mencemooh, curiga, atau menggeleng penuh belas kasihan. Tapi Elina tidak goyah.
Raeshan adalah yang terakhir melangkah pergi. Sebelum menutup pintu, ia menatap Elina tajam.
“Selamatkan dia… atau matilah bersama dia.”
Pintu tertutup.
Sunyi.
Yang tersisa kini hanya Elina, Sekar dan Dasman, yang nyaris tak tertolong lagi.
Tangannya gemetar saat membuka perban yang sudah penuh darah. Luka tusuk itu terlalu dekat dengan arteri besar.
Elina mengatupkan gigi, mengambil air panas dan pisau.
“Kau harus bertahan, Dasman… Aku tak bisa gagal.”
Cahaya lentera menyinari wajah Elina yang tampak pucat namun mulai membaik. Luka-lukanya dibalut rapi, napasnya perlahan stabil.Pangeran Raeshan kini duduk di tepi ranjang.Di tangannya, semangkuk kecil ramuan pahit yang bahkan membuat para tabib meringis mencium baunya.Elina masih setengah duduk, bersandar lemah pada bantal.“Minum.” Suara Raeshan terdengar datar, meski ada nada yang sulit dijelaskan antara kesal, cemas, dan bingung.Elina menatap mangkuk itu malas. “Aku tak kuat aromanya.”Raeshan mendesah tajam. Tanpa bicara, ia menyendokkan ramuan itu dan menyuapkannya langsung ke mulut Elina.Elina terkejut. Ia tak sempat mengelak.“Kalau kau bisa membedah tubuh seseorang dengan tangan berlumur darah, minum ini bukan hal sulit, kan?” ucap Raeshan tajam.Ramuan pahit itu mengalir melewati tenggorokannya. Elina hampir batuk, tapi ia menahan.Setelah dua suapan, ia menatap Raeshan dengan lirih. “Terima kasih.”Namun Raeshan langsung menatapnya dingin. “Jangan salah paham. Ini buka
Tangan Elina bergetar saat menggenggam pisau kecil yang diberikan Sekar dengan ragu-ragu.Di luar pintu, suasana mencekam. Para tabib berbisik-bisik, beberapa menghentakkan kaki tak sabar, dan Liora duduk anggun namun menyimpan senyum puas, yakin bahwa selir akan gagal mempermalukan dirinya sendiri.Sekar berdiri disisi Elina, wajahnya pucat. Kedua tangannya mencengkeram erat kusen kayu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Tuan Putri… aku mohon, jangan lakukan ini. Kalau Dasman tidak tertolong, Anda bisa dihukum mati,” bisik Sekar panik, nyaris menangis.Elina menoleh sekilas, matanya tajam. “Aku tahu risikonya, Sekar. Tenanglah semuanya akan baik-baik saja.”Ia kembali menunduk. Nafasnya berat. Luka tusuk di dada Dasman sangat dalam tepat di bawah tulang rusuk keempat. Terlalu dekat dengan jantung dan paru-paru.Elina menekan sepotong kain bersih yang direndam cuka ke luka terbuka. Dasman menggeliat, meski tidak sadarkan diri. Tubuhnya kejang-kejang pelan. Nafasnya terputus-putu
Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu. Raeshan berjalan cepat, jubah gelapnya mengepak diterpa angin. Di belakangnya, Letnan Dasman membawa lentera, menyorot jalan sempit menuju kamar Elina.Begitu mereka sampai di ambang pintu jeritan terdengar dari dalam.“Awas!!”Pintu kamar terlempar terbuka. Seorang pria berpakaian hitam menerjang ke arah ranjang Elina, sebilah pisau panjang terangkat tinggi.“TUAN PUTRI ELINA!” teriak Sekar dari sudut ruangan.Dalam sepersekian detik, Dasman melompat lebih dulu, menahan lengan si penyusup. Mereka bergulat hebat di lantai batu. Raeshan mencabut pedangnya dan maju, namun terlalu lambat.Pisau di tangan penyusup berhasil lolos dari genggaman Dasman dan dalam satu ayunan tajam, menghujam tepat ke bawah tulang rusuk kiri Dasman.Suara crack terdengar pelan, diikuti semburan darah segar yang menyembur dari mulut Dasman. Penyusup itu telah mengenai organ vital limpa atau mungkin paru-paru.Dasman terhuyung, tubuhnya jatuh bersimpuh, matanya m
Senja menggantung merah di langit Azmeria saat derap kuda memenuhi halaman utama istana.Pangeran Raeshan tiba dengan wajah dingin, tubuhnya berbalut debu perjalanan, namun matanya menyala puas.Ekspedisi selama seminggu berakhir dengan kemenangan. Semua bandit dan pembelot yang merongrong stabilitas kerajaan telah ditangkap dan dieksekusi.Belum sempat ia beristirahat, dayang dari permaisuri Liora datang berlari-lari dengan wajah panik.“Yang Mulia!” ia berlutut tergesa. “Permaisuri… beliau terbaring lemah. Tuan Selir Elina menularkan penyakit pada Permaisuri.”Raeshan langsung melangkah cepat ke kediaman istrinya. Di sana, Liora tampak pucat dan berkeringat, terbaring tak berdaya di ranjang megahnya. Aroma obat dan rempah tajam memenuhi ruangan.“Siapa yang berani melakukannya pada permaisuriku?” suaranya dalam dan menahan amarah.Salah satu dayang bersujud. “Setelah beliau mengunjungi kediaman Selir Elina, beliau langsung jatuh sakit. Hanya itu, Paduka… hanya itu.”Raeshan mengepal
Saat Sekar sudah kembali dengan baskom berisi air hangat di tangannya.“Sekar,” ucapnya mantap. “Aku butuh bantuanmu lagi.”“Apa pun, Tuan Putri. Katakan saja.”“Saya butuh tanaman dan bahan-bahan. Kita akan buat masker dan salep untuk memudarkan luka dan lebam.”Sekar sempat terdiam. “Tapi… bahan apa yang Anda maksud?”Elina menatapnya dalam. “Bisa kau dapatkan daun lidah buaya, kunyit, madu, dan minyak kelapa.?”Sekar mengangguk cepat. “Saya akan cari sekarang.”Begitu bahan-bahan yang dibutuhkan terkumpul. Ia mulai meracik sendiri di atas meja.Pertama, ia memotong lidah buaya dan mengeruk gel beningnya ke dalam mangkuk. Ia menumbuk kunyit hingga halus dengan batu penumbuk. Lalu menambahkan madu dan minyak kelapa. Tangannya cekatan, seperti telah melakukannya seribu kali.Sekar hanya bisa menatap takjub.“Campuran ini akan membantu memudarkan luka dan memar. Kunyit untuk anti radang, madu untuk regenerasi kulit, dan lidah buaya untuk melembabkan dan mempercepat penyembuhan,” jelas
“Di mana saya…”Kesadaran menerjang Zahira seperti badai. Ia membuka mata dalam gelap, tubuh menggigil di lantai tanah yang basah dan busuk. Seharusnya, saat ini ia sedang menolong pasien anak kecil di UGD. Namun, mengapa sekarang justru ia berada di dalam ruang kumuh dengan obor tergantung di tembok batu lembab, lantai tanah, dan jeruji karat?Ia meringis pelan, belum percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sakit dengan hebat.Kilasan ingatan seseorang menghantamnya.Selir Elina?Kerajaan Azmeria?“Aku kembali ke zaman kuno?!” batin Zahira terkejut, sambil memegang kepalanya.“Bukankah kerajaan itu sudah lama menghilang dari sejarah?” gumam Zahira lagi.Selir Elina adalah istri kedua Pangeran Raeshan yang menjadi tawanan dari negeri Varindra. Ia juga dikenal angkuh dan pembangkang terhadap sang pangeran.Pangeran Raeshan sendiri dikenal kejam terhadap Elina karena ia bukan istri yang pangeran cintai. Raeshan jarang menemuinya, dan ketika datang hanya memb