"Berhenti, Azka!" Aku berteriak sambil memukul-mukul punggung Azka.Azka tak berubah pikiran. Pria berkemeja biru itu terus saja fokus menyetir tanpa memedulikan aku yang berteriak di belakangnya. Sial! Azka ternyata memang berniat buruk padaku.Air mataku sudah tak terbendung lagi. Saat ini perasaanku kacau balau tak menentu. Penyesalan akan keputusan menumpang motor Azka semakin membuat dada ini sesak."Berhenti, Azka! Tolong!" Lagi, aku memohon pada Azka agar pria itu berbaik hati menghentikan laju sepeda motornya.Azka seperti orang yang sudah hilang belas kasih. Tanpa iba sedikit pun pada seseorang yang dulu pernah menjadi kekasih. Dia sama sekali tak menggubris. Malah sesekali tawanya membahana membuatku semakin bergidik.Pikiran buruk terus menari-nari dalam benakku. Aku takut, Azka berbuat nekad yang hanya akan membuat keluarga kami hancur. Namun, aku juga terus berdoa. Berharap Azka tidak menuruti hawa nafsunya."Tolong sadar, Azka! Ingat Kak Dinda! Dia sayang banget sama kam
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Azka, mengingatkan aku pada masa lalu bersamanya. Memori di kepala ini seperti diputar kembali. Bagaimana dulu dia memperlakukan aku dan sikap orang tuanya yang jika teringat masih menyisakan perih.Bu Santi sekali pun tak pernah bersikap manis padaku. Setiap kali bertemu dengannya, aku hanya menjadi bahan hinaan saja. Apalagi, dulu aku adalah gadis yang tidak bisa dandan dan pakaian yang menempel di badan selalu itu-itu saja.Dua tahun aku dan Azka menjalin cinta. Namun, tak sekali pun Azka berani membelaku di hadapan ibunya. Hal itulah yang akhirnya membulatkan tekad ini untuk mengakhiri hubungan dengan pria itu. Terlebih, saat itu Bu Santi juga mengancam jika aku tak meninggalkan Azka, dia akan membuat keluarga kami menderita.Masalah hidupku yang pelik tak pernah sekali pun diketahui Ibu. Meski, terkadang wajah ini tak bisa menipu wanita yang melahirkanku itu. Ya, seringkali Ibu bertanya ada masalah apa. Namun, diri ini lebih memilih mengatakan
Pria yang menyapaku tampak menarik turunkan alisnya sembari menatap diri ini lekat menanti jawaban. Namun, aku masih bengong dan heran kenapa manusia itu bisa di hadapanku sekarang. Bukankah dia ...?"Kok, bengong? Bukannya kamu itu nggak butuh aku, ya?" Dengan nada mengejek pria itu bertanya.Azka tersenyum tipis padaku. Ya, dia yang menyapa setelah aku pikir dia meninggalkan aku di sini sendiri."Kamu jahat, Azka! Kamu pikir ini lucu?""Jangan galak-galak. Mau aku tinggal beneran?""Resek!" Aku mengalihkan pandangan darinya."Kamu ternyata masih penakut, ya. Aku pikir setelah jadi wanita karir, kamu jadi pemberani." Lagi-lagi Azka mengejekku."Azka, udah, ya. Aku males bicara. Aku mohon, bawa aku pulang. Aku capek dan lapar.""Kamu sepertinya kepedean, ya. Siapa yang mau jemput kamu? Motor aku tu, bocor. Makanya terpaksa aku balik ke sini lagi.""Nggak usah bercanda, deh. Nggak lucu!" Aku kembali waswas setelah mendengar ucapan Azka."Emangnya wajahku terlihat sedang bercanda? Pulan
Aku tak mampu membendung air mata ini ketika mengetahui kebenaran tentang jati diriku. Ucapan Kak Dinda benar-benar menghempas hati ini hingga remuk redam. Pahit, tapi itulah kenyataannya.Tega sekali Ibu tak memberiku tahu selama ini. Bukankah, sepantasnya beliau tak perlu menutupi kenyataan hingga usiaku sudah dewasa? Lantas, kenapa juga baru sekarang Kak Dinda mengungkap? Apa baru kali ini dia merasa jika kehadiran diri ini sudah sangat meresahkan baginya?"Ayesha, jangan dengarkan Dinda, Nduk. Kamu anak ibu, sampai kapan pun tetap anak ibu. Bagaimanapun keadaannya." Ibu mengusap air matanya yang memang sejak tadi bercucuran sembari mengusap-usap bahuku pelan.Aku hanya diam, tapi batin ini terus saja meracau. Merutuki nasib diri yang ternyata tak seberuntung orang-orang. Entahlah, rasa syukur ini tiba-tiba lesap, berganti amarah yang semakin membuncah."Nduk, ibu minta maaf kalo ibu tidak jujur. Ibu cum—""Bu, kenapa Ayesha tahu dengan cara seperti ini? Kenapa Ibu tidak jujur sama
"Dasar keterlaluan!" Kak Dinda menarik rambutku dan mendorong tubuh ini hingga kembali jatuh ke lantai.Rasa sakit di kaki ini pun semakin menjadi setelah tadi aku paksakan berjalan. Ya, nyeri itu sebenarnya teramat menyiksa, tapi karena emosi semuanya seakan-akan hilang rasa. Namun, kini aku benar-benar tak berdaya."Dinda! Cukup! Jangan keterlaluan kamu!" Ibu menahan Kak Dinda yang hendak kembali menyakitiku. "Azka, bawa Dinda ke kamar!" titah Ibu pada Azka dengan wajah penuh amarah. Mungkin Ibu kesal, karena Azka hanya diam saja menonton."Awas kamu!" gertak Kak Dinda sebelum akhirnya dibawa pergi oleh Azka. Tatapan mata wanita itu penuh gejolak amarah kala menatapku.Aku bergeming dan mencoba berdamai dengan diri sendiri. Jika menuruti sisi jahat dalam diri ini, ingin rasanya memaki Kak Dinda habis-habisan. Namun, sudahlah, kali ini lebih baik aku tahan dulu."Nduk, sudah, ya. Sudahi semua kekecewaan kamu terhadap ibu dan kakakmu. Ibu minta mulai sekarang, kamu harus nerima kalau
"Heh, Perempuan Gatel! Jangan sok baik, deh. Gayanya sok nyuruh pulang si Athaar, tapi dalam hati mengumpat, kan?!" Wanita yang aku taksir lebih muda dariku itu kini menghardik diri ini."Heh! Kamu siapa? Berani-beraninya datang ke sini marah-marahin Ayesha." Ibu muncul dengan membawa minuman yang tadi dibuatnya. Wajah beliau tampak kaget melihat tamu yang tidak sopan itu."Kebetulan ada ibunya. Begini, Bu." Wanita itu masuk ke dalam rumah ini meski tak ada yang mempersilakan dia masuk. "Saya ini pacarnya Athaar dan datang ke sini karena tidak mau pacar saya direbut anak Ibu," jelas wanita itu dan langsung membuat Ibu tercengang.Aku memilih diam. Berbicara pun tak ada yang mau dibicarakan. Melihat wajah Mas Athaar yang kebingungan membuat aku malas untuk komentar. Pria jika ketahuan bersalah, kan memang terlihat lugu. Mungkin, dia pikir aku akan tertipu, tapi sorry. Ayesha tidak sebodoh itu."Maaf, sama sekali saya tidak kenal dengan Anda. Tolong jangan membuat keributan di sini." M
Dua hari telah berlalu. Suasana hati dan juga keadaan kakiku sudah mulai membaik. Rencananya, pagi ini aku dan Ibu berniat mendaftar haji. Aku juga sudah memesan taksi online sejak pukul tujuh tadi."Nduk, apa ndak sebaiknya nunggu kakakmu pulang? Ibu takut dia tersinggung," kata Ibu ketika menungguku bersiap-siap.Aku menoleh ke arah Ibu. Kemudian melempar senyum pada wanita yang tak lagi muda itu. "Bu, udah, ya. Gak apa-apa, kok kita berdua saja. Lagian, Kak Dinda belum pasti kapan pulang ke sini."Ibu mengembuskan napas pelan. Namun, raut wajahnya masih belum ceria. Aku paham bagaimana perasaan Ibu, tapi menunda-nunda pekerjaan untuk akhirat juga tak baik, kan? Apalagi, uangnya sudah cukup. Aku takut jika tidak disegerakan untuk mendaftar haji, Kak Dinda akan meminjamnya lagi."Ya, sudah. Semoga kakakmu ndak marah. Tapi, apa kamu sudah menghitung seluruh tabungan Ibu, Nduk? Kan, malu kalo sampe di sana ternyata uangnya kurang."Ibu benar. Sebaiknya aku menghitung tabungan Ibu terle
"Astaghfirullah, Ibu!" Aku berlari menghampiri Ibu yang kini berada tak jauh dariku. Wanita yang kini mengenakan hijab biru itu tergeletak lemah di lantai. Karena terus berdebat, aku sampai lupa jika Ibu harus segera minum obat.Bukannya bergegas menolong Ibu, Kak Dinda malah menggerutu tak jelas ketika melihat wanita yang melahirkannya itu. Sepertinya dia merasa disusahkan oleh Ibu. Padahal, sebagai anak harusnya dia prihatin. Ah, dia benar-benar tak punya hati."Nduk, kenapa kalian bertengkar lagi? Ibu ndak minta apa-apa sama kalian. Ibu cuma minta kalian akur dan saling menyayangi. Bagaimana kalau ibu sudah ndak ada?" Dengan suara lemah Ibu berkata-kata. Ya, Allah, hancur rasanya hati ini mendengar ucapan beliau. Maafkan anakmu ini, Bu."Makanya Ibu jangan manjain dia! Dia itu kurang ajar sama aku, makanya aku jadi kek gini! Kalau aja Ibu nggak rawat dia, sudah di panti asuhan, kan dia? Harusnya dia itu bersyukur ini malah gak tau diri!" Kak Dinda bicara dengan lantang. Sudah menja