Setelah kejadian Ibu mengusir Kak Dinda dari rumah, hari-hari Ibu lewati dengan termenung. Terkadang, aku melihat beliau menangis, tapi ketika aku mendekat, Ibu dengan segera menyeka air matanya.Raga Kak Dinda memang tak ada di rumah ini. Namun, bayangannya pasti sangat melekat di hati Ibu. Sungguh, aku jadi merasa bersalah. Karena diri ini Ibu sampai mengusir anaknya sendiri.Meskipun Ibu tak mengatakan apa-apa, tapi aku yakin jika wanita itu merindukan Kak Dinda. Sudah tiga hari Kak Dinda angkat kaki dari rumah ini. Parahnya, dia membawa semua hal yang pernah dia beli. Termasuk pakaian milik Ibu. Luar biasa."Bu, kalau Ibu mau, Ayesha bisa minta Kak Dinda pulang. Ayesha nggak tega lihat Ibu sedih terus." Aku memulai pembicaraan. Semoga Ibu tidak tersinggung dengan ucapanku."Jangan, Nduk. Biarkan dia seperti itu. Ibu hanya kecewa dengan sikapnya. Ibu minta, kamu jangan merasa bersalah, ya. Ini bukan salah kamu." Ibu menggenggam tanganku. Wajah tua Ibu yang terlihat sendu, menghadir
"Maaf, Ning. Aku juga ndak tau kenapa dia begini. Maaf banget, ya, Pak Handoko, mungkin lebih baik kita tunda dulu perundingan ini. Saya sekeluarga benar-benar minta maaf atas kejadian tak terduga ini." Ibu berbicara dengan nada sungkan. Entah bagaimana menghilangkan rasa itu karena kini pun aku merasakan hal yang sama.Pak Handoko dan Bu Wening saling pandang. Mereka pasti berpikir keluarga kami sangat aneh. Mungkin juga menyesal karena mau menjodohkan putranya denganku. Ah, entahlah jika semua praduga ini benar. Mungkin, aku harus siap menerima cap perawan tua lebih lama lagi."Begini saja, Bu Misnah. Menurut saya, akan sangat tidak adil kalau kita tunda lagi niat baik kita. Lagipula, Athaar sudah yakin dengan Ayesha. Hanya tinggal menunggu keputusan Ayesha saja, apakah dia setuju dijodohkan dengan Athaar." Pak Handoko berbicara dengan tegas, tapi tetap lemah lembut. Hal itu yang aku suka dari pribadi beliau.Sungguh aku tak menyangka Pak Handoko tetap melanjutkan rencana perjodohan
Ibu memijat pelipis kiri, wajah tuanya terlihat sekali tengah menahan sakit. Namun, beliau menolak dibawa ke rumah sakit. Katanya, itu hanya sekadar masuk angin saja. Padahal, aku tahu betul jika itu terjadi akibat faktor pikiran yang berlebihan.Beruntung jarak antara rumah kami dan makam dekat, jika jauh mungkin Ibu terlambat mendapat pertolongan pertama. Beruntungnya lagi ada Mas Athaar. Ya, pria itu yang menggendong Ibu hingga ke rumah."Sekali lagi terima kasih, ya, Mas. Lagi-lagi, kamu bantuin aku," kataku ketika mengantarkan Mas Athaar ke depan pintu. Ya, pria itu baru saja hendak pulang setelah memastikan Ibu susah siuman."Iya, Sha. Selagi aku bisa bantu, aku pasti bantu, kok. Jangan sungkan," sahutnya sambil merapikan kemeja yang dia kenakan.Mataku kini tertuju pada kemeja yang Mas Athaar kenakan. Terlihat ada seekor semut yang menempel di bagian bahu kanan. Aku bingung, apakah aku harus memberitahunya saja? Atau langsung membuang hewan kecil itu?Akhirnya, aku inisiatif me
Aku mengerjap berulang kali ketika merasakan sesuatu menyilaukan mata ini. Sebelumnya, aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku. Namun, suaranya tidak jelas, seperti jauh.Setelah beberapa menit, akhirnya aku bisa membuka mata meski rasanya berat sekali. Seketika pening kembali menjalari kepala. Tubuhku rasanya juga sakit semua. Mungkin karena hal itu, sekarang aku berada di hotel putih ini."Ayesha ... alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Mas Athaar berkata sambil tersenyum senang. Dialah orang yang pertama kali aku lihat. Apa dia yang sejak tadi memanggilku? "Mas panggilkan dokter, ya?"Aku menggeleng cepat, karena merasa tak perlu diperiksa dokter sekarang. "Mas, kok kamu di sini?" tanyaku sambil melihat sekeliling. Aku tak mendapati Ibu berada di sini."Mas nungguin kamu sadar, Sha. Sudah dua hari kamu pingsan." Mas Athaar berkata dengan suara berat.Dua hari aku pingsan? Pantas saja tubuh ini rasanya kaku semua. Ternyata benturan keras itu membuatku jadi seperti ini. Mengi
"Sha, kok bengong? Kenapa?" Mas Athaar bertanya seperti itu karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya tadi."A-aku, nggak apa-apa, kok," jawabku gugup.Mas Athaar memandangi wajahku dengan sedikit aneh. Pasti sikapku sudah membuatnya semakin curiga. Namun, aku tak tahu bagaimana bersikap biasa-biasa saja di hadapannya."Ayesha, kamu kenapa? Pertanyaan mas nggak sopan, ya? Ya, udah nggak perlu dijawab."Harusnya aku senang mendengar ucapan Mas Athaar. Namun, aku malah gundah karena merasa menyembunyikan sesuatu darinya. Memang tak ada ikatan di antara kami, tapi sebagai orang yang berniat serius padaku, Mas Athaar pasti kecewa jika ada yang diri ini tutupi.Nyatanya, aku kecewa dengan diri sendiri. Aku terlalu takut untuk jujur. Padahal, mungkin lebih baik semuanya diungkap sekarang daripada di kemudian hari. Karena sebaik apa pun aku tutupi, suatu saat pasti akan terbongkar jika Azka masih terus-menerus mendekati diri ini."Emm ... Mas, aku minta maaf sebelumnya. Mungkin kamu akan
"Istighfar, Sha. Sabar," kata Mas Athaar lagi sembari menahan pukulan tangan ini yang hampir saja mengenai wajah Kak Dinda. "Ingat, kondisi kamu belum benar-benar pulih. Kamu mau kembali ke rumah sakit?" Kini, pria itu menatapku dengan tenang.Napasku masih naik turun. Dada ini rasanya seperti terbakar. Beruntung ada Mas Athaar yang bisa mengendalikan emosi ini. Jika tidak, kemungkinan kepala Kak Dinda sudah bocor sekarang.Emosiku pada Kak Dinda memang belum stabil. Melihat wajahnya saja aku malas, apalagi berdebat lagi dengannya. Namun, Kak Dinda seperti sengaja memancing keributan dan ujung-ujungnya drama lagi. Jujur, aku lelah."Yuk, duduk dulu. Mas ambilkan minum sebentar." Mas Athaar bergegas menuju dapur. Aku hanya berterima kasih dalam hati atas kebaikan dan ketulusan Mas Athaar. Jika tak ada dia, mungkin tak ada yang merawat diri ini sekarang.Ibu saat ini tidak ada di rumah. Beliau dibawa menginap di rumah Bu Wening. Kata Ibu, Bu Wening repot jika harus bolak-balik dari ruma
Keringat dingin mulai mengucur membasahi keningku. Aku ketakutan dan merasa sangat yakin jika Mas Athaar benar-benar mau memutuskan mengakhiri perjodohan kami. Bukan tanpa alasan aku berpikir seperti itu. Mas Athaar tampak memasang wajah tegang, tak semanis biasanya."Nduk ... kamu kenapa? Kok, pucet? Kamu sakit lagi, ya?" Ternyata Ibu menangkap wajah ketakutanku. Beliau tampak cemas sekali.Seketika Mas Athaar melihatku. Namun, dengan cepat pria itu mengalihkan pandangan."Ng-nggak apa-apa, Bu," jawabku gugup."Nak Athaar, katanya mau ngomong? Mau ngomong apa?" Kini Ibu bertanya pada Mas Athaar. Hal itu membuatku semakin takut.Aku memberanikan diri melirik wajah Mas Athaar. Dapat aku nilai, pria itu kini tengah gugup. Seperti sedang menimbang-nimbang kalimat yang bagus agar tidak menimbulkan masalah. Namun, entahlah jika diri ini salah.Mas Athaar menghela napas panjang sebelum akhirnya mengutarakan isi hatinya. Kini, detak jantung ini semakin tak menentu. Seperti hendak pingsan saj
Aku memejamkan mata kemudian menggeleng dengan cepat. Helaan napas kasar terdengar dari mulut ini setelahnya. Rasanya ada sedikit kesal dengan pertanyaan Mas Athaar. Namun, tidak pantas jika aku memarahinya lagi."Maaf, kalau mas salah." Mas Athaar sepertinya mulai paham dengan sikapku. Namun, tetap saja aku yang tak enak hati. "Mas akan nunggu sampai kamu siap." Kalimat itu diucapkan Mas Athaar dengan nada pelan. Bahkan hampir tak terdengar."Aku yang harusnya minta maaf, Mas. Ketulusan kamu sering kali aku abaikan dan tidak aku hargai. Aku harap, Mas jangan bahas Azka lagi, ya. Dia bukan alasan aku untuk menunda ini semua Mas. Semoga Allah melindungi niat baik kita sampai waktunya tiba, ya.""Aamiin," sahut Mas Athaar sambil menatap langit tanpa kedip, seolah-olah dia bisa menembus ruang angkasa. "Besok aku ke Surabaya, Sha." Kalimat yang baru saja diucapkan Mas Athaar mampu membuatku penasaran. Apa dia berniat meninggalkan aku?"Mas marah, ya?""Maksudnya?" Mas Athaar mengeryitkan