Hai, para pembaca setia novel ini. Terima kasih sudah mau membaca dan meluangkan waktu untuk mengikuti kisah romance ini. Semoga kalian sehat selalu dan murah rezeki, ya. Aamiin.
"Kenapa, Sha? Bukannya kamu sudah punya rasa sama mas?" Mas Athaar kembali menggenggam tanganku."Ya, karena aku nggak mau kamu sakit hati lagi, Mas. Aku nggak mau mengulang kisah salah di hidupku. Aku minta maaf jika selama kita kenal, aku ada salah sama Mas. Setelah ini, mungkin aku akan kembali ke Surabaya. Aku akan mencari orang yang bisa jagain ibuku di sini.""Kamu serius? Kamu nggak kasihan kalo misalnya ibumu tiba-tiba mendadak sakit?" Mas Athaar seolah-olah memancing sesuatu yang menjadi ketakutanku jika diri ini kembali ke Surabaya."Sebaik-baik penjaga adalah Allah. Dan aku cuma bisa berdoa, ibuku baik-baik saja di sini."Mas Athaar mendengkus. Mungkin kesal lantaran sulit merobohkan keyakinan diri ini. Namun, ada satu yang aku suka dari pria itu. Dia tak memaksa, bahkan tak mau berteriak marah. Padahal, aku tahu dia sangat kecewa saat ini."Ya, sudah. Kalo itu pilihan kamu, mas bisa apa. Mas harap, setelah ini kamu bahagia, ya. Maaf, jika beberapa hari ini banyak luka yang
Mas Athaar melotot tajam pada Azka yang baru saja dia dorong ke lantai. Wajah pria itu terlihat merah padam. Sepertinya amarah sudah membuncah memenuhi dadanya."Athaar, Azka, sabar ... kalian jangan bertengkar di sini." Ibu tampak ketakutan. Beberapa kali kalimat istighfar meluncur dari bibirnya. Sementara aku berusaha menenangkan Ibu dengan cara mengusap-usap bahu wanita itu."Maumu apa?!" Mas Athaar menarik kerah kemeja milik Azka, membuat pria itu mau tak mau terpaksa berdiri. "Selama ini aku udah sabar dan nggak mau ladenin kamu, eh kamu masih juga nggak sadar! Kamu pikir, aku nggak tau permainan busukmu?!""Maksudmu apa? Jangan melempar kesalahanmu ke aku lah!" Azka melepaskan cengkraman tangan Mas Athaar. Kemudian dengan gesit melayangkan tinju ke wajah rivalnya."Munafik!" Mas Athaar rupanya membalas dengan menghadiahi wajah Azka dengan bogem mentah. Membuat Azka terpental beberapa langkah."Astaghfirullah, Athaar, Azka! Sudah! Ibu ndak mau ada kekerasan di sini.""Iya, Mas. U
"Azka ....""Kenapa? Kaget?" Dengan santainya, Azka bertanya demikian sambil menatapku sinis. Kemudian dia berjalan mengitari tubuh ini dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. "Kalo kamu mau, aku bisa, kok temuin kamu sama perempuan itu. Ya, itu pun kalo kamu siap." Tanpa peduli dengan perasaan ini, Azka seolah-olah sengaja meluluh lantakan hati ini bertubi-tubi.Aku bergeming, rasanya ini semua bagai mimpi. Kenapa di saat keyakinan hati sudah mantap membina rumah tangga bersama dengan Mas Athaar, justru jalannya semakin berserakan ditaburi kerikil tajam? Entah apa yang harus aku lakukan menghadapi ini semua. Haruskah aku percaya pada Azka?"Nggak usah lama-lama kagetnya. Aku, kan udah bilang kalo calon suami kamu itu belum tentu lebih baik dari aku. Jangan jadikan orang yang salah menjadi tempat pelarian kamu, Sha." Azka kini membungkukkan tubuhnya agar sejajar denganku. Entah apa maksud kalimat terakhir pria itu."Menjauh dariku! Aku nggak mau ada yang salah paham lagi." Aku mend
"Mas, kamu nggak apa-apa, kan?" tanyaku penuh dengan kekhawatiran. Bagaimanapun aku tak tega melihat Mas Athaar batuk-batuk.Mas Athaar mengangkat tangannya, mungkin memintaku agar tak perlu khawatir. Namun, mana mungkin aku tak mencemaskan dia. Apalagi pria itu dibarengi dengan sesak ketika batuk."Mas, kamu beneran nggak apa-apa? Mas! Astaghfirullah!" Aku panik, karena Mas Athaar tiba-tiba pingsan. Ya, Allah Sebenarnya pria itu kenapa?Beberapa pengunjung lain datang menghampiri kami. Mereka pasti kaget dan tentunya refleks ingin menolong karena aku berteriak meminta tolong."Masnya kenapa, Mbak?" Salah seorang pengunjung bertanya padaku. Sementara aku hanya bisa menggeleng karena di situasi yang panik, diri ini memang tak bisa jika ditanya-tanya."Ya, sudah sebaiknya kita bawa saja mas ini ke rumah sakit."Aku hanya mengangguk saja sebagai respons. Jujur, aku takut Mas Athaar kenapa-kenapa. Bagaimanapun dia seperti itu karena ulahku. Andai, tadi diri ini tak berinisiatif membicarak
"Waalaikum salam," jawabku dan Mas Athaar secara bersamaan. Aku yang sejak tadi deg-degan, kini bertambah tidak keruan. Anggota keluarga Mas Athaar yang berjumlah tiga orang melempar senyum pada diri ini. Aku pun membalas senyuman mereka sembari menyalami mereka satu persatu. Sungguh, saat ini aku diliputi canggung luar biasa. Biasanya, kan aku bertemu mereka di rumah dan didampingi Ibu."Nak Ayesha, terima kasih, ya. Kamu sudah menjaga Athaar. Ibu bahagia melihat kalian seperti ini." Bu Wening kembali tersenyum padaku. Kali ini beliau mengusap lembut bahu ini setelah aku mencium punggung tangannya.Aku membungkukkan badan. Kemudian dengan segan menjawab. "Sudah menjadi keharusan buat saya, Bu. Apalagi, kejadian itu terjadi ketika kami sedang makan berdua di kafe.""Ciee ... Athaar. Diem-diem rupanya udah lancar nge-date. Pantes wajahnya sekarang fresh banget," goda Mas Agung sembari melirik Mas Athaar. "By the way, kamu, kok bisa sampe teledor?" Wajah Mas Agung kini berubah serius.
Mas Athaar akhirnya diizinkan pulang oleh dokter setelah hampir dua hari di rawat. Pria itu terlihat bahagia ketika aku datang menjemputnya di rumah sakit. Bu Wening memang memintaku untuk menemani anak bungsunya itu pulang ke rumah."Mas, kenapa, sih senyum-senyum dari tadi?" Aku heran karena sejak aku datang ke ruang perawatan, Mas Athaar senyum-senyum terus."Nggak ada. Cuma seneng aja lihat kamu," jawabnya sambil terus mengumbar senyum. Jujur, aku jadi kikuk berhadapan dengannya. Beberapa kali barang di tangan ini terlepas begitu saja lantaran grogi. Saat ini aku tengah membereskan barang-barang milik Mas Athaar sebelum pulang ke rumah.Lantaran tak mungkin mengedepankan rasa grogi, sebisa mungkin aku fokus berkemas. Tidak baik jika kami berlama-lama di tempat ini. Takutnya ada pasien lain yang mau menempati ruangan ini. Namun, satu insiden kecil terjadi. Ada seekor anak cicak tiba-tiba merayap ke tangan ini. Spontan diri ini terpekik dan bergerak tak beraturan. Intinya aku jijik
"Lihat, Kak! Bener, kan apa yang aku bilang. Mas Azka itu selingkuh!" Usai mengatai Azka biadab, aku berusaha membuka mata Kak Dinda yang sebenarnya tidak tertutup."Cukup, Sha! Kalo nggak tau apa-apa, nggak usah sok tau! Dia itu Dina, sepupunya Mas Azka."Aku dan Mas Athaar kembali saling melempar pandang. Sungguh, aku bingung harus bagaimana. Memangnya ada, ya sepupu, tapi dikecup pipinya? Oke kalau cuma usap perut karena menyapa calon bayi masih bisa dipertimbangkan. Akan tetapi kalau sudah berciuman, apakah pantas?"Kenapa? Kaget? Lain kali kalo orang jelasin itu denger, ini main marah dan pergi aja." Azka seolah-olah berusaha membuatku semakin tersudut.Entahlah, rasanya aku tak percaya jika Dina adalah sepupunya Azka. Herannya, kenapa Kak Dinda percaya begitu saja? Sebagai adiknya, aku tak bisa berbuat apa-apa jika Kak Dinda lebih percaya pada suaminya."Ini kenapa ribut-ribut? Bikin pusing aja." Bu Santi muncul dari dalam rumah. Sepertinya dia baru saja bangun tidur."Nggak ada
"Kenapa bicaramu kasar sekali? Dia itu mertua kakakmu. Ndak pantas kamu seperti itu sama dia." Ibu menasihati aku dengan wajah sedih. Inilah yang aku takutkan. Namun, sudah terjadi."Jeng, sudah. Jangan marahi Ayesha. Aku yang salah, makanya dia begitu." Bu Santi sok peduli, padahal aku tahu jika dia senang sekali jika Ibu memarahi aku. Dasar muka dua!"Maaf, ya, Jeng. Mungkin dia capek makanya begitu. Dari tadi terus mikirin Dinda. Katanya Azka—""Itu bukan masalah besar, Jeng. Azka dan Dinda baik-baik aja, kok. Ayesha cuma salah paham." Bu Santi memotong ucapan Ibu dan menjelaskan dengan wajah sok polos."Syukurlah, Jeng. Tolong, Jeng jagain Dinda. Jeng, kan tau sekarang Dinda udah ndak mau pulang ke sini." Ibu berujar dengan nada sedih."Iya, Jeng. Jangan khawatir. Kalo gitu saya pamit dulu, ya. Takutnya nggak dapet ojek kalo kemaleman.""Oh, iya, Jeng. Maaf sekali lagi. Sampe ndak nyuruh masuk ni saya.""Nggak apa-apa. Mari." Bu Santi pun berlalu pergi setelah Ibu mempersilakan wa