Share

Masa, Sih Aku Cemburu?

"Apa ...?" Aku kontan terbelalak mendengar jawaban Ibu. Setelah itu menggeleng-gelengkan kepala ini sebagai ungkapan ketidakpercayaan jika Kak Dinda setega itu pada Ibu.

"Sha, kamu yang tenang, ya, Nduk." Ibu mengusap pelan bahuku. Tangan beliau gemetaran saat ini.

"Bu, kenapa tidak bilang? Kenapa hal seperti ini harus Ayesha ketahui setelah semuanya terlambat?"

"Nduk, sudah, ya. Kamu harus percaya sama kakakmu."

Aku tercenung memikirkan sikap Kak Dinda yang serakah. Tak bisakah dia menggelar resepsi di rumah? Kenapa harus di hotel mewah? Kasihan Ibu, harus memadamkan impian ke Tanah Suci demi gaya hidup sang putri. Aku kecewa!

"Nduk, kamu mau ke mana?" Ibu mencekal lenganku ketika aku hendak berdiri. "Jangan bahas hal ini pada Dinda sekarang, ya. Biarkan dia bahagia."

What? Membiarkan Kak Dinda bahagia? Menikah dengan Azka mungkin masih bisa aku terima, tapi membuat Ibu menderita, tak akan aku ampuni.

Aku tak memedulikan Ibu yang terus berteriak memanggilku. Mulut ini sudah gatal ingin memaki Kak Dinda yang tidak bermoral itu. Selama ini aku sudah dia peralat menjadi mesin ATM, masa tabungan Ibu pergi haji pun dia embat. Di mana otaknya? Lagipula si Azka, kan kaya, kenapa membebankan biaya sewa hotel pada Kak Dinda? Pria macam apa dia? Dasar sampah!

***

Dengan terburu-buru aku terus berjalan menuju kamar Kak Dinda dan Azka berada. Persetan dengan istilah pengantin baru. Mereka itu tak pantas bahagia di atas penderitaan Ibu. Tahu begini, lebih baik aku hancurkan saja resepsi pernikahan mereka tadi. Ah, kenapa diri ini mendadak kejam sekali?

Mungkin, karena amarah ini sudah membuncah. Niat pulang ingin melepas rindu dengan keluarga, nyatanya malah mengetahui segala hal menyakitkan. Aku rela mengadu nasib di tempat orang demi keluarga, tapi kenapa Kak Dinda malah tega bermuka dua?

Baru saja hendak mengetuk pintu kamar Kak Dinda, seseorang memanggilku dengan lantang. Lengkap dengan wajah judes, dia menarik tangan ini.

"Eh, kamu kenapa bisa ada di sini?! Mau apa kamu ke sini? Oh, pasti kamu tidak ikhlas Azka menikahi wanita kaya itu, kan? Sini kamu!" Wanita itu menarik tanganku agak menjauh dari kamar Kak Dinda. "Jangan mimpi, ya kamu bisa merebut Azka!"

Wanita itu mendorong tubuhku hingga agak terhuyung. Ya, dia ibunya Azka, wanita yang dulu menghinaku miskin dan tak pantas jadi menantunya. Oh, aku baru tahu jika dia mengira Kak Dinda itu kaya. Ternyata itu alasan dia merestui hubungan Azka dan Kak Dinda. Hmm ... menjijikkan!

"Maaf, ya, Tante. Ada baiknya Anda sopan. Saya di sini tidak ada urusannya dengan Anda. Dan saya sudah tidak berminat dengan putra Anda."

"Oh, dasar, Gatel! Sudah ketahuan mengelak lagi. Jadi ada urusan apa kamu mau mengetuk pintu kamar Azka kalau bukan mau gangguin Azka bulan madu dengan istrinya?"

Mendengar kata bulan madu, mendadak tenggorokanku mual. Hei, mereka bisa tidur nyaman dan berdua-duaan itu karena uangku, Nyonya. Andai aku bisa mengatakan hal itu langsung. Tak terbayang bagaimana bentuk wajah wanita ini. Jijik sekali membayangkan adegan Azka dan Kak Dinda. Hmm ... entahlah.

Memang saat akad tadi, aku tak menyaksikan. Aku memilih di kamar menikmati kesendirian. Mungkin karena itu ibunya Azka tak tahu keberadaanku di sini. Dan sekarang dia mengira aku baru datang dan mau menggoda Azka. Huh, dia pikir aku sebegitu mengenaskan?

"Ayesha ...," panggil Ibu dari kejauhan. "Ya, Allah, Nduk kamu ngapain di sini. Biar mereka istirahat, ya. Jangan diganggu." Ibu menghampiri aku dan mengatakan hal itu.

"Lho, Jeng. Kamu kenal dia?" tanya ibunya Azka dengan wajah bingung.

"Ini anakku yang bungsu. Selama ini dia kuliah dan bekerja di Surabaya. Dia baru pulang karena mau melihat Dinda nikah."

Aku diam saja ketika Ibu menjelaskan siapa aku pada wanita siluman di hadapan kami. Dia pasti tidak menyangka, bahwa Kak Dinda adalah kakakku. Parahnya lagi, dia, kan tahunya Kak Dinda anak tunggal.

"Jadi si Dinda punya adik? Dan dia ini adiknya Dinda?"

"Iya, Jeng Santi. Apa Dinda ndak cerita? Selama ini Ayesha lah yang menjadi tulang punggung keluarga kami. Alhamdulillah, sekarang dia sudah sukses dan punya beberapa cabang butik dan toko kue."

Sekakmat! Kapokmu kapan, Nyonya? Makanya sebelum nyinyir, pastikan dulu kondisinya. Ah, lagi-lagi aku hanya bisa bicara dalam dada. Gini-gini aku tidak mau dinilai tidak punya etika sama orang tua. Ya, walaupun tak ada gunanya beretika pada orang seperti ibunya Azka.

"Oh, begitu, ya, Jeng. Sa-saya ...." Ibunya Azka gelagapan. Ah, malu, kan sekarang? Makanya jangan suka merendahkan orang.

"Kenapa, Jeng?" Ibu bertanya dengan wajah heran. Hmm ... mati kutu si Bu Santi.

"Saya permisi, ya, Jeng. Lain waktu kita ngobrol lagi." Ibunya Azka berlalu begitu saja dari hadapan kami. Kini, aku dan Ibu saling melempar pandang. Pasti Ibu kebingungan.

***

"Ayesha, ibu minta kamu tahan emosi kamu, ya. Ibu tidak mau kamu ribut sama kakakmu. Lagian, dia, kan janji mau bayar nanti."

Hari masih terlalu pagi, tapi Ibu sudah membahas hal itu lagi. Pasti karena beliau tahu amarahku belum padam hingga saat ini.

Saat ini kami sudah berada di rumah. Bercakap-cakap sambil menyesap teh hangat. Ah, hal seperti ini sudah lama aku rindukan. Namun, demi keluarga dan juga masa depan, aku harus berjuang agar bisa hidup mapan.

Kak Dinda dan Azka tidak ada di sini. Mereka masih di hotel menikmati bulan madu. Aku dan Ibu memutuskan pulang lebih dulu. Biar mereka puas bersenang-senang, baru setelah itu diajak memperhitungkan berapa banyak uang Ibu yang mereka pakai.

Jika teringat ucapan Kak Dinda yang tidak bisa menyewa kamar khusus untukku, jujur, aku sakit hati. Nyatanya, uang Ibu dia gunakan untuk kesenangannya sendiri. Sementara Ibu, pasti sebenarnya sedih karena tabungan ke Mekah berkurang banyak. Kejam!

"Bu, tapi Kak Dinda sudah keterlaluan. Ayesha tidak suka cara dia memperlakukan Ibu," sanggahku mencoba membuat Ibu memahamiku.

"Ibu tau, Nduk. Tapi jika kamu bicarakan sekarang, dia akan sedih dan Ibu juga ndak enak sama Azka."

"Kenapa mesti tidak enak, Bu? Seharusnya dia yang mendanai resepsi pernikahan mereka. Laki-laki, kan harus punya modal kalo mau nikah, masa membebankan sama istri? Nggak etis, dong. Pokoknya, aku harus bicara sama Kak Dinda. Bagaimanapun dia harus kembalikan uang itu secepatnya. Ibu harus segera daftar haji. Kalau Ayesha ada uang lebih, pasti sudah Ayesha daftarkan sekarang. Masalahnya, Ayesha baru belanja isi toko." Aku kesal sekali. Sampai-sampai nada bicaraku sedikit tinggi. Semoga Ibu tidak sakit hati. Ini semua demi beliau.

"Nduk, ibu minta tolong. Biarkan dulu, ya. Pasti Dinda ndak lupa, kok. Dia, kan sayang ibu juga. Ndak mungkin dia tega sama ibu."

Aku memejamkan mata sejenak. Oh, Allah, kenapa harus seperti ini? Aku paham bagaimana perasaan Ibu pada Kak Dinda, tapi seharusnya beliau bisa membuka mata jika putrinya itu sudah sangat tega. Jika aku bisa berkata, selama ini apa yang sudah Kak Dinda berikan pada Ibu? Namun, lagi-lagi aku diam dan menelan kekecewaan.

"Bu, tinggal sama Ayesha, yuk. Biar Ayesha bisa jagain Ibu terus. Kalo ada apa-apa Ayesha bisa cepet tahu." Aku sangat berharap Ibu mau menerima tawaranku itu.

"Bukan ibu ndak mau, Nduk. Tapi di rumah ini kenangan sama bapakmu sulit ibu lupakan. Ibu mau di sini aja. Kamu aja yang netep di sini ndak usah balik ke Surabaya lagi. Kuliahmu, kan sudah usai. Kamu bangun aja bisnismu itu di sini."

Sekali lagi aku hanya bisa memejamkan mata. Ternyata tak mudah mengajak Ibu pindah. Padahal, kerja kerasku selama ini hanya untuk membahagiakan beliau. Namun, apa daya jika Ibu lebih betah bersama Kak Dinda.

"Assalamualaikum ...." Suara salam terdengar di depan pintu.

"Waalaikum salam," sahutku bersamaan dengan Ibu. Ternyata itu adalah Kak Dinda dan Azka. Baguslah kalau mereka sudah pulang. Artinya tabungan Ibu tak berkurang lagi untuk membayar biaya sewa hotel.

Azka terlihat serba salah berada satu ruangan denganku. Padahal, aku biasa saja. Toh, aku tidak perlu tak enak hati padanya, kan?

Berulang kali Azka ketahuan sedang memperhatikanku. Pria itu benar-benar sedang memantik api yang sebenarnya masih membara dalam dada ini. Bukan api asmara, tapi amarah karena kelicikannya.

"Sha, kamu ke pasar, ya. Belanja buat makan siang kita. Ini uangnya." Kak Dinda menyerahkan uang dua ratus ribu di tanganku sambil berlalu pergi. Oh, Allah apa ini? Kenapa dia memperlakukan aku begini? Seolah-olah, dialah yang menghidupi kami selama ini. Astaghfirullah!

Aku memasang wajah geram dan siap meneriaki Kak Dinda. Namun, Ibu buru-buru memanggilku. Membuat aku mengerti bahwa Ibu menginginkan diri ini bersabar lagi.

"Kenapa, Sha? Kamu keberatan pergi belanja?" Kak Dinda rupanya menyadari raut wajahku yang masam. Dia berbalik dan bertanya demikian.

"Aku nggak keberatan jika yang aku lakukan untuk Ibu. Tapi aku nggak akan terima diperlakukan seperti ini oleh seorang penjilat."

"Apa maksudmu?!" Mata Kak Dinda membulat.

"Masa, nggak sadar, sih?" Aku berkata sambil melenggang pergi. Membiarkan keadaan rumah tegang seperti gambaran hati ini.

***

"Ayesha! Aku antar, ya." Azka dengan lagaknya menawari aku demikian. Dia ternyata mengikuti aku dari belakang. Dasar gila!

"Aku bisa sendiri. Pulang sana! Temani istrimu!"

"Kamu cemburu, ya?"

Seketika aku menghentikan langkah dan langsung menatap Azka tajam. "Tolong, ya kalo punya mulut dijaga! Bersihin hati kamu biar kalo ngomong gak nyakitin hati orang."

Setelah mengatakan hal itu, aku melanjutkan langkah ini. Persetan dengan Azka yang terluka dengan ucapanku tadi. Siapa suruh bicara seenak jidat?

"Sha! Tunggu!"

"Apa lagi, sih?" Aku terpaksa menghentikan langkah karena tak ingin suara Azka didengar orang.

"Sha, sebenarnya aku ...."

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nyaprut
ibu sama kakak nya juga sama saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status