Azka tak meneruskan ucapannya. Hmm ... paling-paling dia sengaja agar aku penasaran dan mau berbicara dengannya. Namun, Ayesha tidak sebodoh itu. Aku memilih melanjutkan langkah kaki.
"Sha! Sebenarnya hingga detik ini aku masih sayang kamu!" tutur Azka lantang.Astaghfirullah, dasar pria gila. Apa dia tidak sadar posisi dia sekarang siapa? Sungguh, aku tak mau terkena masalah karena ulah Azka. Jangan sampai aku dituduh pelakor. Huh!Sha, aku tau, dalam hati terdalam, kamu juga masih mencintai aku, kan? Jujur, Sha!"Azka semakin menjadi-jadi. Padahal seharusnya dia bisa menahan diri. Apalagi saat ini kami berada di luar rumah. Bagaimana jika ada tetangga yang melihat? Belum lagi jika Kak Dinda muncul. Pria ini harus aku beri pelajaran!"Kamu kalo ngomong mikir, nggak? Apa pantas kamu menanyakan hal seperti itu sama aku? Sadar, sekarang kamu siapa. Masa lalu adalah masa lalu, nggak akan mungkin aku ulang dan kenang! Paham kamu?!" Aku puas sekali setelah mengatakan hal itu. Aku yakin, Azka pasti kesal dan tahu diri sekarang.Aku melanjutkan langkah kaki yang tadi sempat terhenti gara-gara meladeni Azka. Semoga ada angkot ataupun ojek yang melintas. Harusnya tadi aku memesan ojek online, tapi gara-gara kesal sekali pada Kak Dinda, aku jadi tidak berpikir ke sana.Azka tak mengekori aku lagi. Baguslah kalau sekarang dia mengerti. Dia pikir, aku mau menerima dia kembali? Huh! Sorry!Setelah kami putus, tidak ada komunikasi terjalin di antara kami. Seharusnya sekarang dia tidak perlu mengingat masa lalu bersamaku, kan? Bukankah sebenarnya dia sudah lupa pada diri ini. Terbukti dia menikahi wanita lain daripada mencari keberadaanku. Kenapa sekarang membahas perasaannya setelah kami bertemu lagi? Konyol!"Ayesha!" Azka berteriak sambil memeluk tubuh ini erat sekali.Astaghfirullah! Pria ini benar-benar sudah tidak waras. Bisa-bisanya dia berbuat hal seperti ini padaku."Lepasin aku!" Aku mendorong keras tubuh Azka. Seketika pelukannya terlepas dan dia sedikit menjauh dariku. Syukurlah, saat ini kondisi jalan sedang sepi. Semoga tidak ada yang melihat kami.Lantaran emosi dengan perlakuan Azka, gerakan tangan ini tak dapat aku kontrol lagi. Sebuah tamparan keras melayang tepat di wajah Azka.Azka terlihat kesakitan. Namun, aku merasa itu belum seberapa untuk memberinya pelajaran. Dia pikir, aku murahan? Seenaknya main peluk seperti wanita jalanan."Ayesha! Kamu ...!"Detik berikutnya aku kaget dengan suara itu. Ternyata Kak Dinda melihatku menampar Azka. Ah, bagaimana ini? Apa dia melihat Azka memelukku juga? Bagaimana menjelaskan padanya?"Sayang, kok kamu ada di sini? Bukannya tadi kamu bilang mau masak nasi?" Azka memecah ketegangan di antara kami. Akan tetapi, wajah Kak Dinda semakin memerah."Jelasin ke aku, kenapa kalian bisa berduaan di sini? Dan kenapa tadi, kamu nampar suamiku?"Oh, Allah, hal ini yang paling aku takutkan. Harus dari mana aku menjelaskan? Masa iya, aku jujur jika aku dan Azka pernah ada hubungan. Tak mungkin juga aku ceritakan jika Azka tadi merayuku. Kak Dinda pasti akan hancur. Bagaimanapun aku tidak tega jika harus membuat hati dia terluka karena Azka. Namun, alasan apa yang tepat, Tuhan?"Sayang ... kamu salah paham. Biar aku aja yang menjelaskan. Jadi gini–""Kamu diam! Biar Ayesha saja yang menjelaskan." Kak Dinda memotong ucapan Azka dengan cepat. Emosi wanita itu sudah menjalar ke mana-mana sepertinya.Aku tertunduk. Entah kenapa aku mati kutu. Padahal, ini bukan salahku. Hanya tak ingin membuat hati Kak Dinda terluka, eh malah aku yang seperti terdakwa."Kenapa kamu diam, Ayesha? Suamiku ngapain kamu sampe kamu harus nampar dia? Dia kurang ajar atau apa? Jawab Ayesha! Jangan diam aja!""Kak, aku minta maaf sebelumnya sama kamu. Tadi itu a-aku–""Ayesha tadi refleks karena mengira aku penjambret, Sayang. Padahal, aku tadi nyusul dia karena mau nitip buah sama dia. Eh, dia kaget gara-gara aku nepuk pundak dia." Azka mengarang cerita sedemikian rupa. Sementara aku hanya diam dan berharap Kak Dinda percaya.Kak Dinda masih menatapku tajam. Sepertinya dia ragu untuk mempercayai ucapan Azka. Namun, akhirnya wajah dia sedikit santai. Ah, semoga dia tidak memperpanjang lagi.Azka masih terlihat tegang. Dia pasti sangat ketakutan dan merasa bersalah karena semua yang terjadi karena kelakuannya. Jika saja dia tidak terus-terusan mengganggu aku, mungkin saat ini tidak perlu berbohong pada istrinya."Lain kali kalo punya tenaga laki, lihat kondisi," kata Kak Dinda padaku. Kemudian dia berbalik arah menuju pelataran rumah diikuti Azka yang sepertinya masih ketakutan.Aku menghela napas lega. Bersyukur, Kak Dinda tidak ada menanyakan kenapa Azka memeluk diri ini. Itu artinya dia tak melihat kejadian itu tadi. Sebenarnya dalam hati, aku masih ragu apakah Kak Dinda benar-benar percaya. Aku memang kesal padanya dan ingin mempertanyakan uang Ibu yang dia pakai. Namun, tidak tepat jika aku campur adukkan dengan masalah yang barusan terjadi.***Gemintang di atas cakrawala sangat apik menghias semesta. Berkelap-kelip memancarkan keindahan yang tidak semua memilikinya. Aku memandanginya sembari memikirkan semua hal yang terlewati beberapa hari ini. Drama yang luar biasa dan jika suatu saat sandiwara itu terbongkar, sudah pasti Kak Dinda akan hancur sekali.Mataku enggan untuk terlelap, padahal malam sudah semakin larut. Ibu sudah tidur sehabis salat Isya, dan beliau tidak tahu jika anak gadisnya ini begadang. Entahlah, rasanya sulit sekali mengajak diri menyelami alam mimpi. Mungkin, karena beban pikiran yang aku pendam menari-nari dalam ingatan.Dering telepon milikku membuat kaget. Sebaris nomor tanpa nama terpampang di layar berukuran lima inci itu. Siapa, ya kira-kira? Jangan-jangan itu Azka. Jika benar, nekad sekali dia.Aku memutuskan tak mengangkat telepon dari penelepon misterius itu. Jika orang itu ada kepentingan biar dia mengirim pesan saja. Takutnya, itu memang Azka yang berniat mengganggu. Sudah cukup semua drama yang aku mainkan di depan Kak Dinda. Aku lelah bersandiwara.Saat ini Azka dan Kak Dinda tidak berada di rumah. Mereka menginap di rumah orang tua Azka. Makanya aku berani duduk di depan rumah. Jika ada Azka, biasanya aku lebih banyak mengurung diri di kamar.Kejadian tempo hari alhamdulilah tidak panjang. Ibu juga tidak ada mempersoalkan. Namun, aku selalu waswas, takut suatu saat Azka bisa saja berbuat lebih nekad. Sebaiknya aku harus segera mempertanyakan uang Ibu pada Kak Dinda. Kemudian kembali ke Surabaya.Jujur, aku sedih meninggalkan Ibu di sini. Apalagi, sekarang Kak Dinda sudah menikah. Beliau tidak ada yang menemani jika putri sulungnya itu menginap di rumah mertuanya. Namun, aku bisa apa jika Ibu kekeh tak mau tinggal denganku."Nduk ... kenapa malam-malam masih duduk di luar? Ibu pikir, kamu sudah tidur. Rupanya di sini." Ibu menghampiri aku. Sepertinya beliau terbangun karena haus. Karena aku lihat di tangannya ada segelas air putih.Aku tersenyum pada Ibu. Kemudian berdiri menghampirinya. "Ayesha belum ngantuk, Bu. Tadi Ayesha minum kopi, jadinya malah gak bisa tidur." Aku memberi alasan."Ibu, kan selalu pesen, kamu jangan suka minum kopi. Nanti kamu punya penyakit asam lambung seperti almarhum bapakmu." Ibu terlihat khawatir. Dulu, almarhum Bapak meninggal karena penyakit asam lambung kronis yang dideritanya. Karena itulah, Ibu sangat takut hal itu terjadi juga pada anak-anaknya."Cuma sesekali, Bu. Yuk, masuk, Ibu harus lanjut istirahat biar sehat. Ayesha juga udah mulai ngantuk, ni." Aku mengajak Ibu masuk sambil menutup pintu dan menguncinya.Ibu menurut, beliau memintaku mengantarnya ke kamar. Namun, baru saja sampai di ambang pintu kamar, Ibu tiba-tiba bertanya."Nduk, tadi ada nomor asing menghubungi kamu, ndak?"Aku menatap Ibu penuh keheranan. Kok, Ibu bisa tahu ada nomor asing yang meneleponku? Bukannya tadi beliau tidur dan tak mungkin Ibu bisa melihat layar handphone tanpa kacamata. Lagipula, Ibu tidak ada melihat handphone milikku barusan. Aneh."Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku penuh selidik."Kalo ada angkat aja, ibu lupa ngasi tau kamu kalo ibu mau ngenalin kamu sama anaknya temen ibu. Ibu yang ngasi nomor kamu ke dia," jawab Ibu sambil merebahkan dirinya ke ranjang.Aku terdiam. Berpikir, apa itu artinya Ibu mau menjodohkan aku? Usiaku memang sudah matang untuk menikah. Dua puluh enam tahun adalah usia ideal untuk wanita berumah tangga. Namun, jujur, aku belum siap. Bukan karena Azka, tapi banyak mimpi yang harus diperjuangkan. Termasuk harga diri yang sempat diinjak-injak."Kamu mau, kan, Nduk? Dia anak baik dan terpelajar. Dia juga rajin ibadah. Insya Allah, ibu tenang jika kamu menikah sama dia."Ucapan Ibu memang terdengar biasa. Namun, mampu menggetarkan sisi hatiku hingga mata ini berkaca-kaca. Entah kenapa, tiba-tiba aku sangat takut Ibu tinggalkan. Oh, Allah, panjangkan umur ibuku.Saat pikiran ini dipenuhi rasa takut kehilangan, handphoneku kembali berdering membuyarkan pikiran. Sebaris nomor tanpa nama yang tadi menghubungi, kini terpampang di layar handphone. Haruskah aku mengangkat telepon itu?"Siapa, Nduk? Kenapa ndak diangkat?""Nggak ada namanya, Bu. Paling orang iseng.""Ayo angkat, siapa tau itu dari anaknya temen ibu."Ibu bersemangat sekali membuat aku tak tega jika tak menurutinya. Akhirnya, telepon itu aku letakkan di telinga kiri setelah sebelumnya menekan ikon hijau."Halo ...."Bersambung ....Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan