"Istighfar, Sha. Sabar," kata Mas Athaar lagi sembari menahan pukulan tangan ini yang hampir saja mengenai wajah Kak Dinda. "Ingat, kondisi kamu belum benar-benar pulih. Kamu mau kembali ke rumah sakit?" Kini, pria itu menatapku dengan tenang.Napasku masih naik turun. Dada ini rasanya seperti terbakar. Beruntung ada Mas Athaar yang bisa mengendalikan emosi ini. Jika tidak, kemungkinan kepala Kak Dinda sudah bocor sekarang.Emosiku pada Kak Dinda memang belum stabil. Melihat wajahnya saja aku malas, apalagi berdebat lagi dengannya. Namun, Kak Dinda seperti sengaja memancing keributan dan ujung-ujungnya drama lagi. Jujur, aku lelah."Yuk, duduk dulu. Mas ambilkan minum sebentar." Mas Athaar bergegas menuju dapur. Aku hanya berterima kasih dalam hati atas kebaikan dan ketulusan Mas Athaar. Jika tak ada dia, mungkin tak ada yang merawat diri ini sekarang.Ibu saat ini tidak ada di rumah. Beliau dibawa menginap di rumah Bu Wening. Kata Ibu, Bu Wening repot jika harus bolak-balik dari ruma
Keringat dingin mulai mengucur membasahi keningku. Aku ketakutan dan merasa sangat yakin jika Mas Athaar benar-benar mau memutuskan mengakhiri perjodohan kami. Bukan tanpa alasan aku berpikir seperti itu. Mas Athaar tampak memasang wajah tegang, tak semanis biasanya."Nduk ... kamu kenapa? Kok, pucet? Kamu sakit lagi, ya?" Ternyata Ibu menangkap wajah ketakutanku. Beliau tampak cemas sekali.Seketika Mas Athaar melihatku. Namun, dengan cepat pria itu mengalihkan pandangan."Ng-nggak apa-apa, Bu," jawabku gugup."Nak Athaar, katanya mau ngomong? Mau ngomong apa?" Kini Ibu bertanya pada Mas Athaar. Hal itu membuatku semakin takut.Aku memberanikan diri melirik wajah Mas Athaar. Dapat aku nilai, pria itu kini tengah gugup. Seperti sedang menimbang-nimbang kalimat yang bagus agar tidak menimbulkan masalah. Namun, entahlah jika diri ini salah.Mas Athaar menghela napas panjang sebelum akhirnya mengutarakan isi hatinya. Kini, detak jantung ini semakin tak menentu. Seperti hendak pingsan saj
Aku memejamkan mata kemudian menggeleng dengan cepat. Helaan napas kasar terdengar dari mulut ini setelahnya. Rasanya ada sedikit kesal dengan pertanyaan Mas Athaar. Namun, tidak pantas jika aku memarahinya lagi."Maaf, kalau mas salah." Mas Athaar sepertinya mulai paham dengan sikapku. Namun, tetap saja aku yang tak enak hati. "Mas akan nunggu sampai kamu siap." Kalimat itu diucapkan Mas Athaar dengan nada pelan. Bahkan hampir tak terdengar."Aku yang harusnya minta maaf, Mas. Ketulusan kamu sering kali aku abaikan dan tidak aku hargai. Aku harap, Mas jangan bahas Azka lagi, ya. Dia bukan alasan aku untuk menunda ini semua Mas. Semoga Allah melindungi niat baik kita sampai waktunya tiba, ya.""Aamiin," sahut Mas Athaar sambil menatap langit tanpa kedip, seolah-olah dia bisa menembus ruang angkasa. "Besok aku ke Surabaya, Sha." Kalimat yang baru saja diucapkan Mas Athaar mampu membuatku penasaran. Apa dia berniat meninggalkan aku?"Mas marah, ya?""Maksudnya?" Mas Athaar mengeryitkan
Kak Dinda tiba-tiba muncul. Sambil melotot, wanita itu berjalan mendekat ke arahku. "Lancang sekali kamu! Kamu tau, nggak dia siapa?!"Aku hanya bergeming. Rasa dilema tiba-tiba menyergap dalam dada. Haruskah aku jujur jika mengenal tamu itu? Atau berpura-pura tak mengenalnya. Namun, bagaimana jika ibunya Azka itu mengaku mengenalku? Ya, tamu itu adalah ibunya Azka, orang yang malas untuk aku bicarakan."Eh, Dinda. Apa-apaan kamu? Jangan kasarlah sama dia." Ibunya Azka bicara sok lembut. Hmm ... menjijikkan."Kenapa Mama malah marahin aku, sih? Harusnya Mama senang aku belain.""Dinda, mama nggak marah. Cuma nggak suka kalau kamu kasar sama orang."Sebenarnya ibunya Azka datang ke sini bersama Kak Dinda atau sendirian, ya? Jika sendirian, apa tujuannya? Apa memang sengaja untuk bertemu aku? Aku sangat curiga karena wanita itu biasanya kasar, tapi kali ini dia lembut sekali.Lantaran malas melihat dua orang yang kini saling beradu kata, aku memilih masuk ke dalam rumah. Namun, baru saja
"Nah, kebetulan kamu datang, Thar." Kak Dinda kembali memulai pembicaraan setelah kami menjawab salam Mas Athaar. "Sha, ayo jelaskan! Mumpung ada calon suami kamu di sini. Biar dia tau, kamu itu perempuan kayak apa!"Entah seperti apa wajahku saat ini. Yang jelas, detak jantungku berpacu kencang sekali. Melihat wajah Mas Athaar yang kini tampak kebingungan, aku merasa semakin berdosa padanya. Selembar foto yang tadi dilempar Kak Dinda ke meja, sudah dilihat oleh pria itu."Kamu yang tenang, Dinda. Biar Athaar nggak kaget." Ibu bertindak sebagai penengah, meski aku tahu beliau juga merasa kecewa padaku."Biar nggak kaget Ibu bilang? Bagaimana dengan aku, Bu? Ibu nggak mikirin aku? Aku sakit hati Bu!""Cukup, Kak! Oke, aku akan jelaskan!" Aku tak tahan melihat Ibu dibentak-bentak oleh Kak Dinda. Ini kesalahan dan Kecerobohanku. Ibu tak pantas menanggung beban apa yang sudah aku lakukan."Ayesha, jadi ini alasan kamu nggak mau nikah sama mas?" Kini Mas Athaar buka suara. Wajah pria itu t
Ditanya seperti itu oleh Kak Dinda, membuatku mendadak lemas. Persendian ini rasanya lunglai. Ucapan Azka waktu itu nyatanya masih diingat oleh Kak Dinda. Aku pikir, masalah ini selesai setelah aku menjelaskan tentang foto itu. Namun, malah seperti ini.Masalah dengan Mas Athaar juga harus secepatnya aku selesaikan. Agar tak menjadi buah pikiran dan kesalahpahaman berlarut-larut. Eh, Kak Dinda malah terus-terusan mengintimidasi. Entah bagaimana membuatnya percaya dan tak lagi curiga."Sayang ... masalah itu, kan karena aku mabuk. Orang mabuk ucapannya ngelantur. Aku sendiri pun bingung kenapa aku bisa ngomong begitu waktu itu." Azka rupanya berada di pihakku kali ini. Mungkin dia sudah menyadari jika menguak rahasia hanya akan menghancurkan segalanya.Kak Dinda diam. Namun, tatapannya penuh selidik. Apa dia sedang membaca mimik wajah Azka? Apa mungkin Kak Dinda tahu jika ucapan suaminya hanya sandiwara belaka?"Dinda, sudahlah. Kenapa kamu mesti cemburu sama adikmu sendiri? Jangan ber
Mas Athaar tersenyum manis kepada gadis yang menyapanya. Membuat hati ini semakin perih melihatnya. "Hai, Sel. Aku baik. Kamu belanja juga?""Nggak, tadi cuma mampir ke warung itu beli minum," jawab gadis cantik itu sembari menunjuk warung di ujung jalan. "Udah lama, ya kita, nggak ketemu? Aku pikir kamu udah lupa sama aku." Gadis yang aku taksir seusia sama denganku itu kembali tersenyum manis pada Mas Athaar.Kini, aku seperti kambing congek. Seolah-olah diri ini tak ada di antara mereka. Apa mungkin tubuh ini tak terlihat di mata keduanya? Kesal!Akhirnya, aku memutuskan pergi. Bertahan di sini pun hanya akan membuat hati ini semakin kacau. Mas Athaar juga tega memperlakukan diri ini sedemikian rupa. Apa salahnya dia mengenalkan aku pada gadis itu. Tak harus sebagai calon istri, cukup sebagai teman mungkin sudah membuatku merasa dihargai di sini."Nggak mungkin lupalah, Sel. Kita, kan berteman dari awal masuk SMA sampe lulus." Mas Athaar menanggapi ucapan gadis itu sembari menarik
"Sha, tunggu!" Mas Athaar berusaha menahan diriku agar tak pergi. Pria itu kini menarik jemari tanganku."Sudahlah, Mas. Untuk apa kita bicara lagi? Sebaiknya kita nggak usah bertemu dan bicara lagi seperti ucapan kamu di chat waktu itu.""Sha, kita belum selesai. Kita harus bicara. Aku akui aku salah. Maaf." Mas Athaar berkata sambil menangkupkan kedua tangannya."Kamu salah? Bukan, Mas! Aku yang salah!" Aku berkata lantang sembari menatap lurus ke arah Mas Athaar."Aku, Sha. Aku yang salah.""Bukan, Mas! Aku yang salah. Salah karena sudah menjatuhkan hati pada orang yang salah. Harusnya, kamu nggak perlu beri harapan jika pada akhirnya semua kamu patahkan!"Mas Athaar tiba-tiba memeluk tubuh ini ketika aku usai mengatakan hal barusan. Dekapan pria itu erat sekali. Seolah-olah takut aku pergi. Namun, rasa sakit hati tak bisa diajak kompromi. Dengan sekuat tenaga aku berupaya melepaskan diri darinya."Lepas, Mas." Aku terus mencoba melepaskan diri. Kali ini sambil memukul dada bidang p