Share

Bab 5. Willow

Author: Casanova
last update Last Updated: 2025-07-21 17:16:12

Tuan Morvane mengumpat mencaci maki dan menganggap kesialan masuk ke kediaman karena kematian budak yang belum dua bulan dibelinya. Dia merasa rugi besar.

Hanya Willow, Liora dan dua penjaga yang sama sekali tak bersedia membantu, yang ada di tempat itu. Harvey menggali sendiri tanah berbatu untuk memakamkan ibunya. Dia pula yang menarik gerobak kayu untuk membawa tubuh ibunya ke sana. Sementara Willow, dibantu Liora, berusaha membersihkan tubuh ibunya dengan air sungai, agar terlihat layak sebelum dimasukkan ke tempat peristirahatan yang terakhir.

“Ibu, aku akan menjaga Willow dengan jiwaku!” Harvey berjanji di depan makam yang hanya ditinggikan dengan tumpukan batu sungai. Bahkan Liora tak diijinkan penjaga memetik sedikit bunga liar untuk diletakkan di situ.

“Waktunya kembali!”

Penjaga berdiri dari duduk di atas batu besar tak jauh dari sana. Matanya memandang langit yang menggelap di kejauhan. Harvey melihat dengan cemas, akankah makam ibunya tergenang jika sungai kecil ini dipenuhi air? Tapi tak ada waktu untuk mengkhawatirkan hal itu. Mereka sudah digebah untuk kembali ke kediaman yang jaraknya hampir 1 mil.

***

“Willow, kami akan pergi ke ladang lagi. Tolong, jaga dirimu baik-baik.”

Harvey berseru pada adiknya yang melintas dekat para budak yang sedang dikumpulkan. Mereka baru diberitahu bahwa akan pergi ke ladang siang itu.

Willow mengangguk dan berjalan cepat bersama Liora, menghindari pandangan mata para budak di sana.

“Hoho … kau punya adik yang sangat cantik!” Seorang budak bahkan sampai memutar badan untuk bisa terus melihat Willow dan temannya hingga hilang di dalam bangunan dapur.

“Jaga matamu!” tegur Harvey ketus.

“Ya! Jangan macam-macam!” Pekerja lain menimpali.

“Apa salahnya menyukai budak wanita?” balas pria kasar itu. Mereka bukan bangsawan lagi setelah menggelapkan harta negara!” katanya tak terima.

Harvey berdiri dengan marah. “Itu fitnah! Aku tak pernah melakukannya!”

Para pekerja di situ tertawa mengejek. Siapa yang percaya bualan seorang pencuri. “Apa kau mau bilang kalau Raja telah menghukum tanpa keadilan?”

Harvey ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi seorang pria menarik tangannya turun dengan sentakan keras, hingga dia jatuh terduduk di tanah. Baru saja Harvey ingin memaki, pria itu menunduk dengan tatapan mengancam. “Jaga bicaramu di sini! Jangan kira kau akan dilepas tanpa hukuman tambahan karena bicara lancang tentang Raja!”

Harvey terdiam. Mulutnya yang terbuka segera mengatup rapat. Itu peringatan yang serius, agar dia selamat.

“Heh! Apa sekarang kau sadar kalau pembelaan dirimu tak berarti di sini?” Budak lain menatapnya sinis. Harvey tak lagi menjawab. Dia menahan emosinya dengan mengetatkan rahang hingga gigi-giginya gemeletukan.

“Yang kukatakan tadi benar!” pria yang sebelumnya bicara dan terhenti, melanjutkan kataa-katanya. “Jangan coba-coba menyukai adiknya!”

“Kenapa?” tanya pria kasar yang semula menantang Harvey.

“Apa kau mau bersaing dengan Tuan Muda?”

Tempat itu tiba-tiba hening, lalu meledaklah tawa melihat tingkah lucu pria tadi yang menyerah jika harus bersaing dengan putra tuan mereka. Tapi Harvey justru semakin tak tenang setelah mengetahui bahwa hal itu bukan lagi rahasia di antara para pekerja.

“Adikmu akan berakhir buruk!” Pria yang tadi menjatuhkan Harvey bicara singkat sebelum beranjak pergi.

Demi melihat bahwa Tuan Muda Ketiga dan istrinya masuk ke kereta yang memandu perjalanan mereka, dada Harvey yang semula sesak, jadi sedikit lega. Bangsawan muda itu tak ada di kediaman. Maka Willow pasti aman, begitu pikirnya.

Tiga mingggu berlalu dengan cepat di ladang gandum, kelompok pekerja baru sudah datang untuk menggantikan kelompok Harvey. Seseorang tak dikenal menghampirinya. “Liora mengatakan agar aku mencari budak paling lemah. Siapa namamu?”

Demi mendengar nama Liora disebut, Harvey segera menjawab dengan mata penuh pertanyaan. “Aku Harvey. Kenapa Liora---”

Pria itu memukul dada dan menarik leher baju Harvey dengan keras sambil menyelipkan sesuatu ke pakaian Harvey yang sudah compang-camping. “Baca pesan Liora dengan hati-hati!”

Dia lalu berjalan pergi begitu saja, dengan wajah penuh amarah.

Harvey paham maksud pria itu dan menunduk menunjukkan sikap kalah. Dia kembali mempersiapkan segala sesuatu agar kelompok mereka bisa segera berangkat dan dia dapat membaca pesan secepatnya.

Dalam kepalanya, timbul berbagai pertanyaan. “Apakah Liora yang menulis pesan, atau Willow yang menulis pesan dan meminta Liora mengirim lewat orang kepercayaannya?”

Karena letih, pesan itu baru dibacanya setelah sampai di kediaman. “Aku menjaga Willow. Kau bisa temui dia setelah jam 7. Aku akan menunggu di tempat waktu itu.”

“Apa maksudnya ini?” Harvey khawatir jika ini adalah jebakan seseorang.

Beberapa pekerja saling berbisik dengan suara rendah. Mereka segera diam saat Harvey datang untuk duduk bersama. Kemudian seorang pria yang waktu itu pernah memberinya peringatan, berteriak memanggil. “Hei, kau!  Anak bangsawan, bantu aku menyelesaikan pekerjaan ini!”

Orang-orang tertawa mengejek, tapi Harvey segera berdiri.

“Ikut aku!” Pria itu berjalan lebih dulu hingga Harvey terpaksa mengikuti dengan patuh. Meski mereka sama-sama budak, pria itu lebih senior dan dihormati di kalangan pekerja.

Seseorang menarik tangan Harvey dan membekap mulutnya agar tidak berteriak. Tapi, entah kenapa, Harvey justru tak berani bergerak, karena yakin, yang menariknya bukan tenaga pria yang kuat. Setelah beberapa lama, terdengar suara halus wanita. “Aku Liora!”

Harvey segera membalikkan badan dan melihat gadis itu memang berdiri di sana. “Di mana adikku?” tanyanya.

“Ikuti aku.”

Tanpa aba-aba, Liora menyelinap keluar dari tempat persembunyiannya dan bersembunyi di balik bayangan gedung lain. Harvey terpaksa mengikuti dengan jengkel. Di kepalanya hanya ada satu pikiran. Willow mungkin sedang dikurung di gudang.

Mereka akhirnya sampai di satu bangunan paling jauh dan tak terawat di kediaman itu. Tempat busuk paling bobrok yang mungkin sudah tak diingat oleh pemilik rumah. Bahkan gudang tempat ibunya ditahan, masih lebih layak.

“Bagaimana Willow bisa ada di sini?”

Pertanyaan Harvey menggantung di udara kala melihat keadaan adiknya yang nyaris tanpa busana. Tangan dan kakinya diikat ke setiap ujung dipan kayu reot. Sementara gadis itu terus berontak dan menjerit tanpa suara karena sehelai kain diikatkan di mulutnya untuk meredam suara.

Harvey lari menghampiri dan memeluk adiknya dengan mata berkaca-kaca. Tangannya ingin membuka kain yang membekap mulut Willow, tapi tangan Liora menahannya disertai gelengan kepala.

“Kenapa dia dihukum seperti ini?” tanya Harvey tak sabar.

“Aku menemukannya pingsan di belakang dapur dalam keadaan buruk dan darah mengalir dari bawahnya. Meskipun takut, aku tetap melaporkan itu pada Nyonya Besar. Setelah melihat sekilas, Nyonya berkata agar aku merawatnya di tempat yang tak diketahui siapa pun.”

“Apakah maksudmu dia dilecehkan?” Harvey ingin ketegasan. Dan darah pria itu mendidih melihat anggukan kepala Liora.

“Siapa yang melakukannya?” teriaknya marah.

“Sstt … jangan berteriak. Atau kita akan ketahuan!” Liora memperingatkan.

“Katakan padaku, siapa pelakunya. Dia harus membayar dengan harga mahal!”

“Tak ada yang mengetahui.” Liora menggeleng. Harvey merasa kalau jawaban itu jujur. Jadi dia mengarahkan pandangan pada adiknya yang kini sudah menangis setelah mengenali suara kakaknya.

“Willow, katakan padaku, siapa yang melakukan hal ini?”

Willow mencoba mengatakan sesuatu, tapi ikatan kain di mulutnya menghalangi. Harvey melepaskan ikatan itu tanpa peduli keberatan Liora. “Siapa?” tanyanya lagi.

“Tuan---”

“Tuan?” Liora yang paling terkejut mendengarnya.

Willow menggeleng. “Tuan Muda Pertama!” Lalu tangis pilunya keluar begitu saja. Harvey memeluknya mencoba memberikan kedamaian sebisanya, sementara kemarahan meledak di dalam dada.

“Kupastikan mereka membayar mahal hal ini!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Wei Yun
Catat Kak Harvey... bakal jadi dendam pertamamu
goodnovel comment avatar
KiraYume
aihh....harvey
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Kejadian juga
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 16. Berguru

    “Kalau kau sibuk mikirin sakit, kau tak lihat seranganku berikutnya.”Tongkat Farel Moric melesat ke arah kepala.Refleks, Harvey menunduk. Tongkatnya sendiri terangkat. Bukan karena terlatih, tapi murni insting bertahan. Kayu bertemu kayu, terdengar bunyi keras.Farel Moric mengangkat alis. “Lumayan.”Harvey mengatur napas. “Kalau aku jatuh, aku mati, kan?”“Kurang lebih.” Farel Moric kembali menekan, serangannya deras, terukur. Ia tidak memberi Harvey ruang untuk berpikir panjang.Namun di tengah kepanikan, Harvey mulai melihat pola. Setiap kali Farel Moric menyerang dari kanan, ada jeda sepersekian detik sebelum serangan berikutnya. Setiap kali menyapu rendah, bahunya sedikit terbuka.Itu celahnya.Saat serangan Farel Moric berikutnya menghantam ke samping, Harvey sengaja mundur satu langkah, membiarkan pukulan nyaris mengenai dirinya. Lalu menusuk lurus ke arah perut lawannya.Farel Moric berhenti, tongkatnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Harvey. Serangan Harvey pun berhent

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 15. Farel Moric

    Harvey mendengus pendek. “Kalau cuma mau ngoceh, simpan buat dirimu sendiri.”“Bocah keras kepala,” gumam pria itu. “Padahal kau butuh sekutu di tempat macam ini.”Harvey berbalik menghadapnya, tatapannya dingin. “Sekutu? Aku sudah cukup dikhianati sahabatku sendiri. Aku nggak butuh siapa-siapa.”Pria itu tersenyum samar, seolah sudah menduga jawaban itu. “Pengkhianatan memang dendam yang sangat dalam. Tapi ada hal yang lebih parah …,”Pria itu sengaja menjeda kalimatnya, menunggu reaksi Harvey. Tapi, karena pria muda yang diajaknya bicaara tak menunjukkan reaksi sama sekali, akhirnya dia melanjutkan juga kata-katanya dengan penekanan yang dalam.“Yang paling menyakitkan adalah … dikhianati oleh kerajaan yang kau bela mati-matian!”Kening Harvey berkerut. Ia nyaris tak tertarik, tapi nada suara pria itu terlalu yakin. “Siapa kau sebenarnya?”“Aku pernah jadi kepala strategi perang Jenderal Ravian,” jawabnya pelan. “Nama Jenderal Ravian pasti pernah kau dengar, kan?”Mata Harvey membel

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 14. Pendukung Jenderal Ravian

    Harvey diseret melewati koridor panjang tambang yang beraroma segala macam. Saat ia masuk ke dalam area kerja, puluhan budak lain menoleh ke arahnya. Itu pemandangan yang mengejutkan: puluhan pria dengan rantai di kaki mereka, tubuh penuh luka, wajah pucat dengan ekspresi datar dan lelah. Harvey melihat mereka seperti robot yang bergerak berdasarkan perintah.“Kerja! Atau kelaparan!” teriak seorang pengawas, kasar. Peringatan itu ampuh membuat semua orang kembali menggenggam alat untuk mengikis dinding gunung.Harvey tahu, ia baru saja dilempar ke neraka yang sesungguhnya. Sebuah pukulan di punggung, membuatnya terhuyung ke depan. Sebuah alat penggali dihentakkan ke dadanya. Sedikit sakit, tapi teriakan pengawas bermata tajam itu, memaksanya melupakan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.“Kerja!”Pria itu menunjukkan satu area tersendiri untuk dikerjakan Harvey. Jauh dari yang lain. Kejadian sebelumnya jadi pelajaran berharga untuk tidak tidak membiarkan Harvey dekat dengan peker

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 13. Pertarungan dengan Kapten

    Sorak-sorai para pengawas dan pekerja tambang menggema gegap gempita. Kerumunan itu menciptakan lingkaran manusia yang jadi pembatas hidup, mengelilingi Harvey dan sang Kapten di tengah. Para budak diliburkan pagi itu. Kapten sangat ingin memberikan “hiburan” pada mereka.“Budak melawan Kapten?” salah seorang pengawas tertawa keras. “Ini akan jadi pertunjukan paling menggelikan!”“Kurasa itu hanya akan berakhir brutal!” Rekannya menimpali.“Mari kita taruhan,” ajak salah seorang memanaskan situasi. “Apakah dia mati, atau sekarat dihajar Kapten?”“Mati!” Seseorang menyerahkan sekeping uang pada rekannya yang membuka pertaruhan dadakan.“Sekarat!” Yang lain ikut serta.Pertaruhan makin meramaikan suasana yang tak biasa di tambang itu.Di tempatnya, Kapten mengayunkan tongkat besinya, memutarnya sekali di udara hingga terdengar suara mendesis. Senyum sinis melekat di bibirnya. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu. Aku akan memberimu pelajaran berharga, agar kau tak lupa statusmu di sini!H

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 12. Hukuman

    Pekerja yang tadi dipukuli telah mengalami banyak luka dan nyaris pingsan di sebelah pengawas yang lengannya bersimbah darah. Lalu terdengar suara dan derap langkah ramai menuju ke tempat mereka. Itu adalah para petugas dan pengawas tambang yang memeriksa apa yang terjadi di dalam.“Siapa—”Pengawas itu tak perlu bertanya lagi. Dia bisa lihat kalau Harvey yang telah melakukan tindakan seberani itu. Alat penggali itu masih digenggamnya kuat dan sorot mata penuh kebencian.“Kau sudah bosan hidup, rupanya!”Kemudian tiga pengawas menedang dan memukuli Harvey tanpa ampun. Tak ada pekerja lain yang peduli. Semua membalikkan badan dan kembali bekerja. Harvey mengingat itu dengan api amarah.***Guyuran hujan membuatnya sadar dan mencoba membuka mata. Tubuhnya menggigil keras. Tanda dia sudah lama terpapar hujan dan angin dingin. Rasa nyeri dan senut-senut di wajah, serta kesulitannya membuka mata, meyakinkannya bahwa wajahnya sudah tak berbentuk saat ini.“Kau gigih juga. Seperti kucing yan

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 11. Budak Tambang

    “Bangun! Kerja!”Petugas tambang menggebrak pintu ruangan itu. Membuat semua yang sedang istirahat terbangun dengan wajah terkejut. Begitu pula Harvey. Dia memang sudah cukup istirahat. Tapi tubuhnya makin lemah, sebab tak diberi makan sejak dia tersadar kemarin. Harvey juga tak melihat orang-orang sakit lain mendapatkan makaan kemarin.“Aku lapar, bisakah--”“Kerja dulu, baru makan!”Teriakan itu disertai pemukulan kayu ke dinding batu, membuat hati yang lemah, merasa kecut dan takut.Beberapa orang yang sudah sadar dan sanggup berdiri, segera berdiri. Kemudian berjalan secara otomatis ke pintu. Patuh tanpa suara. Harvey digebah untuk bangun, meski terhuyung-huyung.“Tak ada makan siang gratis! Semua harus kerja untuk makan!”Teriakan itu kembali terdengar dari ruangan berdinding batu lainnya, saat Harvey berjalan mengikuti barisan orang-orang. Mereka digiring ke mulut gua batu yang dapat dipastikan bahwa itu adalah pintu tambang. Beberapa orang keluar dari dalam sana dengan wajah ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status