Tuan Morvane mengumpat mencaci maki dan menganggap kesialan masuk ke kediaman karena kematian budak yang belum dua bulan dibelinya. Dia merasa rugi besar.
Hanya Willow, Liora dan dua penjaga yang sama sekali tak bersedia membantu, yang ada di tempat itu. Harvey menggali sendiri tanah berbatu untuk memakamkan ibunya. Dia pula yang menarik gerobak kayu untuk membawa tubuh ibunya ke sana. Sementara Willow, dibantu Liora, berusaha membersihkan tubuh ibunya dengan air sungai, agar terlihat layak sebelum dimasukkan ke tempat peristirahatan yang terakhir.
“Ibu, aku akan menjaga Willow dengan jiwaku!” Harvey berjanji di depan makam yang hanya ditinggikan dengan tumpukan batu sungai. Bahkan Liora tak diijinkan penjaga memetik sedikit bunga liar untuk diletakkan di situ.
“Waktunya kembali!”
Penjaga berdiri dari duduk di atas batu besar tak jauh dari sana. Matanya memandang langit yang menggelap di kejauhan. Harvey melihat dengan cemas, akankah makam ibunya tergenang jika sungai kecil ini dipenuhi air? Tapi tak ada waktu untuk mengkhawatirkan hal itu. Mereka sudah digebah untuk kembali ke kediaman yang jaraknya hampir 1 mil.
***
“Willow, kami akan pergi ke ladang lagi. Tolong, jaga dirimu baik-baik.”
Harvey berseru pada adiknya yang melintas dekat para budak yang sedang dikumpulkan. Mereka baru diberitahu bahwa akan pergi ke ladang siang itu.
Willow mengangguk dan berjalan cepat bersama Liora, menghindari pandangan mata para budak di sana.
“Hoho … kau punya adik yang sangat cantik!” Seorang budak bahkan sampai memutar badan untuk bisa terus melihat Willow dan temannya hingga hilang di dalam bangunan dapur.
“Jaga matamu!” tegur Harvey ketus.
“Ya! Jangan macam-macam!” Pekerja lain menimpali.
“Apa salahnya menyukai budak wanita?” balas pria kasar itu. Mereka bukan bangsawan lagi setelah menggelapkan harta negara!” katanya tak terima.
Harvey berdiri dengan marah. “Itu fitnah! Aku tak pernah melakukannya!”
Para pekerja di situ tertawa mengejek. Siapa yang percaya bualan seorang pencuri. “Apa kau mau bilang kalau Raja telah menghukum tanpa keadilan?”
Harvey ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi seorang pria menarik tangannya turun dengan sentakan keras, hingga dia jatuh terduduk di tanah. Baru saja Harvey ingin memaki, pria itu menunduk dengan tatapan mengancam. “Jaga bicaramu di sini! Jangan kira kau akan dilepas tanpa hukuman tambahan karena bicara lancang tentang Raja!”
Harvey terdiam. Mulutnya yang terbuka segera mengatup rapat. Itu peringatan yang serius, agar dia selamat.
“Heh! Apa sekarang kau sadar kalau pembelaan dirimu tak berarti di sini?” Budak lain menatapnya sinis. Harvey tak lagi menjawab. Dia menahan emosinya dengan mengetatkan rahang hingga gigi-giginya gemeletukan.
“Yang kukatakan tadi benar!” pria yang sebelumnya bicara dan terhenti, melanjutkan kataa-katanya. “Jangan coba-coba menyukai adiknya!”
“Kenapa?” tanya pria kasar yang semula menantang Harvey.
“Apa kau mau bersaing dengan Tuan Muda?”
Tempat itu tiba-tiba hening, lalu meledaklah tawa melihat tingkah lucu pria tadi yang menyerah jika harus bersaing dengan putra tuan mereka. Tapi Harvey justru semakin tak tenang setelah mengetahui bahwa hal itu bukan lagi rahasia di antara para pekerja.
“Adikmu akan berakhir buruk!” Pria yang tadi menjatuhkan Harvey bicara singkat sebelum beranjak pergi.
Demi melihat bahwa Tuan Muda Ketiga dan istrinya masuk ke kereta yang memandu perjalanan mereka, dada Harvey yang semula sesak, jadi sedikit lega. Bangsawan muda itu tak ada di kediaman. Maka Willow pasti aman, begitu pikirnya.
Tiga mingggu berlalu dengan cepat di ladang gandum, kelompok pekerja baru sudah datang untuk menggantikan kelompok Harvey. Seseorang tak dikenal menghampirinya. “Liora mengatakan agar aku mencari budak paling lemah. Siapa namamu?”
Demi mendengar nama Liora disebut, Harvey segera menjawab dengan mata penuh pertanyaan. “Aku Harvey. Kenapa Liora---”
Pria itu memukul dada dan menarik leher baju Harvey dengan keras sambil menyelipkan sesuatu ke pakaian Harvey yang sudah compang-camping. “Baca pesan Liora dengan hati-hati!”
Dia lalu berjalan pergi begitu saja, dengan wajah penuh amarah.
Harvey paham maksud pria itu dan menunduk menunjukkan sikap kalah. Dia kembali mempersiapkan segala sesuatu agar kelompok mereka bisa segera berangkat dan dia dapat membaca pesan secepatnya.
Dalam kepalanya, timbul berbagai pertanyaan. “Apakah Liora yang menulis pesan, atau Willow yang menulis pesan dan meminta Liora mengirim lewat orang kepercayaannya?”
Karena letih, pesan itu baru dibacanya setelah sampai di kediaman. “Aku menjaga Willow. Kau bisa temui dia setelah jam 7. Aku akan menunggu di tempat waktu itu.”
“Apa maksudnya ini?” Harvey khawatir jika ini adalah jebakan seseorang.
Beberapa pekerja saling berbisik dengan suara rendah. Mereka segera diam saat Harvey datang untuk duduk bersama. Kemudian seorang pria yang waktu itu pernah memberinya peringatan, berteriak memanggil. “Hei, kau! Anak bangsawan, bantu aku menyelesaikan pekerjaan ini!”
Orang-orang tertawa mengejek, tapi Harvey segera berdiri.
“Ikut aku!” Pria itu berjalan lebih dulu hingga Harvey terpaksa mengikuti dengan patuh. Meski mereka sama-sama budak, pria itu lebih senior dan dihormati di kalangan pekerja.
Seseorang menarik tangan Harvey dan membekap mulutnya agar tidak berteriak. Tapi, entah kenapa, Harvey justru tak berani bergerak, karena yakin, yang menariknya bukan tenaga pria yang kuat. Setelah beberapa lama, terdengar suara halus wanita. “Aku Liora!”
Harvey segera membalikkan badan dan melihat gadis itu memang berdiri di sana. “Di mana adikku?” tanyanya.
“Ikuti aku.”
Tanpa aba-aba, Liora menyelinap keluar dari tempat persembunyiannya dan bersembunyi di balik bayangan gedung lain. Harvey terpaksa mengikuti dengan jengkel. Di kepalanya hanya ada satu pikiran. Willow mungkin sedang dikurung di gudang.
Mereka akhirnya sampai di satu bangunan paling jauh dan tak terawat di kediaman itu. Tempat busuk paling bobrok yang mungkin sudah tak diingat oleh pemilik rumah. Bahkan gudang tempat ibunya ditahan, masih lebih layak.
“Bagaimana Willow bisa ada di sini?”
Pertanyaan Harvey menggantung di udara kala melihat keadaan adiknya yang nyaris tanpa busana. Tangan dan kakinya diikat ke setiap ujung dipan kayu reot. Sementara gadis itu terus berontak dan menjerit tanpa suara karena sehelai kain diikatkan di mulutnya untuk meredam suara.
Harvey lari menghampiri dan memeluk adiknya dengan mata berkaca-kaca. Tangannya ingin membuka kain yang membekap mulut Willow, tapi tangan Liora menahannya disertai gelengan kepala.
“Kenapa dia dihukum seperti ini?” tanya Harvey tak sabar.
“Aku menemukannya pingsan di belakang dapur dalam keadaan buruk dan darah mengalir dari bawahnya. Meskipun takut, aku tetap melaporkan itu pada Nyonya Besar. Setelah melihat sekilas, Nyonya berkata agar aku merawatnya di tempat yang tak diketahui siapa pun.”
“Apakah maksudmu dia dilecehkan?” Harvey ingin ketegasan. Dan darah pria itu mendidih melihat anggukan kepala Liora.
“Siapa yang melakukannya?” teriaknya marah.
“Sstt … jangan berteriak. Atau kita akan ketahuan!” Liora memperingatkan.
“Katakan padaku, siapa pelakunya. Dia harus membayar dengan harga mahal!”
“Tak ada yang mengetahui.” Liora menggeleng. Harvey merasa kalau jawaban itu jujur. Jadi dia mengarahkan pandangan pada adiknya yang kini sudah menangis setelah mengenali suara kakaknya.
“Willow, katakan padaku, siapa yang melakukan hal ini?”
Willow mencoba mengatakan sesuatu, tapi ikatan kain di mulutnya menghalangi. Harvey melepaskan ikatan itu tanpa peduli keberatan Liora. “Siapa?” tanyanya lagi.
“Tuan---”
“Tuan?” Liora yang paling terkejut mendengarnya.
Willow menggeleng. “Tuan Muda Pertama!” Lalu tangis pilunya keluar begitu saja. Harvey memeluknya mencoba memberikan kedamaian sebisanya, sementara kemarahan meledak di dalam dada.
“Kupastikan mereka membayar mahal hal ini!”
“Beri dia pakaian!” perintah harvey pada Liora. Suara dinginnya terdengar menyeramkan.Pria yang semula memanggilnya, muncul dengan cepat di sana. Menatapnya tajam penuh selidik. “Apa yang ingin kau lakukan?”“Aku harus menjaga kehormatan adikku!” kata Harvery tegas. Dia menoleh sekilas pada Liora yang memakaikan baju pelayan pada Willow. Lalu melangkah lebar dan tegas. Kakinya jelas mengarah ke rumah utama.“Berhenti! Jangan bodoh!” pria itu menarik lengan Harvey untuk memperlambat langkah pria yang sedang disulut amarah itu.Harvey mendengus kasar. “Aku menjunjung tinggi kehormatan keluarga! Tak akan kubiarkan siapa pun merendahkan keluargaku seperti itu.”Pria itu lari dan berdiri tepat di depan Harvey. Tangannya yang kokoh tegap ditempa keadaan, diangkat dan diletakkan di dada pria muda di depannya, untuk menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam dalam kegelapan. Kali ini peringatannya diucapkan dengan nada suara rendah.“Jika kau mati, kau tak akan bisa lagi melindungi adikm
Tuan Morvane mengumpat mencaci maki dan menganggap kesialan masuk ke kediaman karena kematian budak yang belum dua bulan dibelinya. Dia merasa rugi besar.Hanya Willow, Liora dan dua penjaga yang sama sekali tak bersedia membantu, yang ada di tempat itu. Harvey menggali sendiri tanah berbatu untuk memakamkan ibunya. Dia pula yang menarik gerobak kayu untuk membawa tubuh ibunya ke sana. Sementara Willow, dibantu Liora, berusaha membersihkan tubuh ibunya dengan air sungai, agar terlihat layak sebelum dimasukkan ke tempat peristirahatan yang terakhir.“Ibu, aku akan menjaga Willow dengan jiwaku!” Harvey berjanji di depan makam yang hanya ditinggikan dengan tumpukan batu sungai. Bahkan Liora tak diijinkan penjaga memetik sedikit bunga liar untuk diletakkan di situ.“Waktunya kembali!”Penjaga berdiri dari duduk di atas batu besar tak jauh dari sana. Matanya memandang langit yang menggelap di kejauhan. Harvey melihat dengan cemas, akankah makam ibunya tergenang jika sungai kecil ini dipenu
Sebagai bangsawan tinggi ibukota yang seumur hidupnya hanya belajar dan dilayani, bekerja di pertanian Tuan Morvane ---bangsawan kecil dan tuan tanah terbesar di Vale Ardan--- bukanlah hal mudah. Sebulan itu, fisiknya ditempa kelelahan luar biasa karena harus membersihkan lahan baru yang harus siap untuk ditanami dalam dua minggu. Setelah istirahat, minggu berikutnya menyemai benih jagung. Dia benar-benar jadi budak kecil menyedihkan di antara para budak lain milik Tuan Morvane.Tapi sebenarnya bukan itu saja yang dia tanggung. Kondisi mental ibunya yang terus bersedih dan sering mendapat hukuman akibat tak dapat menyesuaikan diri dari nyonya bangsawan menjadi budak rendahan, juga menjadi beban paling berat bagi Harvey. Ditambah kekhawatirannya terhadap keamanan Willow. Putra ketiga Tuan Morvane jelas terpikat pada kecantikan adiknya. Dan sebagai pria, Harvey tahu bahwa kesukaan itu bukan cinta, melainkan nafsu belaka.“Bagaimana kondisi ibu?” tanya Harvey kala mereka kembali setelah
Setelah melewati perjalanan darat dan laut yang panjang selama tiga hari. Penuh hinaan dan penderitaan, Harvey, ibu dan adik perempuanya sampai di pelabuhan dalam keadaan mengenaskan. Sebagai pria satu-satunya, dia tak dapat lagi memikirkan keadaan ayahnya yang dihukum di tempat terpisah. Perpisahaan pertama kali dalam keadaan sehina itu, membuat batin ibunya terpukul. Maka, Harvey lah yang harus melindungi dua wanita tersayangnya itu dari lemparan batu atau tendangan orang lain. Tubuh mereka penuh luka dan kotoran yang menempel hingga kering di pakaian tahanan yang telah dipakai sejak keluar dari Kementrian Kehakiman.“Maju! Kalian harus diperiksa lebih dulu!”Seorang petugas yang terlihat berpakaian resmi, berteriak dan menunjuk pada meja yang terletak di dekat pintu gerbang bangunan yang diyakini Harvey sebagai bagunan milik pemerintah daerah Vale Ardan.Dia membantu ibunya yang hampir pingsan, untuk berjalan ke meja. Makin cepat pemeriksaan selesai, makin kecil kemungkinan mereka
Siang itu para penjaga penjara lebih sibuk dari biasa. Beberapa orang berlarian dan mondar-mandir. Teriakan dan instruksi dengan suara keras terdengar di kejauhan. Di dalam sel penjara, Harvey dan ayahnya menunggu dengan gelisah. Tak ada seorang pun yang datang untuk memberi info lanjutan atas fitnah yang dikemukakan Darren di depan raja.“Aku mengkhawatirkan ibu dan adik.” Harvey bicara pelan, seperti sedang bergumam pada dirinya sendiri. “Entah berita apa yang mereka terima tentang kasus ini.”“Mereka akan baaik-baik saja,” balsa ayahnya yang sejak tadi terlihat tenang, duduk bersandar pada dinding sambil memejamkan mata. “Raja bukan orang yang gegabah memutuskan sesuatu.”“Raja bahkan langsung melucuti jabatan dan mengirim kita ke penjara!” bantah Harvey. Keheranan melihat ayahnya masih membela sang raja, alih-alih mengkhawatirkan keluarganya sendiri.“Itu harus dilakukannya untuk menunjukkan pada para pejabat lain bahwa kasus seperti iini akan diselidiki dengan cepat tanpa memihak
Pagi itu langit Averlin cerah, tapi udara istana terasa lebih dingin dari biasanya. Harvey Vaelmont dan ayahnya melangkah dengan anggun memasuki gerbang istana. Balairung kerajaan menjulang megah di depan sana. Pusat kekuasaan kerajaan Averlin yang telah lama mereka layani dengan setia. Seperti biasa, beberapa dayang tak dapat mengalihkan pandangan dari ketampanan pemuda bangsawan yang terkenal karena budi pekerti, dan masa depan gemilang itu, sambil berbisik-bisik, sebelum segera berlalu karena dipelototi penjaga istana.“Jangan lupa untuk tetap rendah hati, jika Baginda memujimu.” Duke Alden Vaelmont memperingatkan sang putra saat mereka berdua berada di anak tangga menuju balairung, tempat pertemuan dengan Baginda biasa diselenggarakan.Pemuda bangsawan itu tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Tentu, ayah. Aku hanya melakukan tugasku." Dia mengarahkan tangannya dengan sopan, untuk mempersilakan sang ayah melangkah naik lebih dulu.Pria paruh baya yang ketampanannya tak kalah d