“Beri dia pakaian!” perintah harvey pada Liora. Suara dinginnya terdengar menyeramkan.
Pria yang semula memanggilnya, muncul dengan cepat di sana. Menatapnya tajam penuh selidik. “Apa yang ingin kau lakukan?”
“Aku harus menjaga kehormatan adikku!” kata Harvery tegas. Dia menoleh sekilas pada Liora yang memakaikan baju pelayan pada Willow. Lalu melangkah lebar dan tegas. Kakinya jelas mengarah ke rumah utama.
“Berhenti! Jangan bodoh!” pria itu menarik lengan Harvey untuk memperlambat langkah pria yang sedang disulut amarah itu.
Harvey mendengus kasar. “Aku menjunjung tinggi kehormatan keluarga! Tak akan kubiarkan siapa pun merendahkan keluargaku seperti itu.”
Pria itu lari dan berdiri tepat di depan Harvey. Tangannya yang kokoh tegap ditempa keadaan, diangkat dan diletakkan di dada pria muda di depannya, untuk menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam dalam kegelapan. Kali ini peringatannya diucapkan dengan nada suara rendah.
“Jika kau mati, kau tak akan bisa lagi melindungi adikmu. Ini baru permulaan. Tanpa kehadiranmu, dia akan lebih sengsara dan jadi mainan hingga mereka bosan!”
Harvey tertegun sejenak, berusaha mencerna peringatan tersebut. Tapi emosi sedang membuncah di dadanya. Dengan kasar dia menepis tangan si pria dan kembali melanjutkan langkah panjang menuju ke rumah utama.
“Kalau aku mati, maka tangung jawabku selesai!” Suaranya yang sedingin es, membuat pria itu tak lagi menghalanginya.
Panggilan Willow membuat dia mengabaikan Harvey sepenuhnya dan beranjak ke gubuk tempat dua gadis berada.
Mengikuti Harvey,
Seorang penjaga menegurnya karena berada di area kediaman yang terlarang untuk para budak pria. “Berhenti! Apa yang kau lakukan di sini!”
Sebuah tinjuan melayang ke wajah penjaga sebagai jawaban. Penjaga yang tak menyangka akan diserang di area patrolinya, berteriak terkejut.
“Diam!”
Sebuah pukulan kembali mendarat tepat di mata penjaga yang kini meraung berputar-putar di halaman.
Melihat pintu samping tanpa penjagaan, Harvey segera menyelinap masuk. Meski tak tau ke mana arah pintu itu menuju, dia tak punya pilihan selain bersembunyi dari kejaran penjaga lain yang suara derap langkahnya terdengar jelas.
Setelah mengunci pintu dari dalam, ia segera masuk lebih jauh, meninggalkan suara-suara panik di luar. Tempat itu gelap gulita. Harvey tak tahu tempat apa itu sebenarnya. Tapi tak lama sebuah cahaya samar muncul dari sisi lain ruangan. Makin lama makin terang dan terdengar langkah kaki tergesa dari arah itu. Ruangan makin terang dan Harvey terpaksa menyelinap agar tidak terlihat.
“Aku tak melihat gadis baru itu sejak pagi.” Terdengar percakapan seorang pelayan yang baru datang.
“Dia terlalu cantik. Bahkan aku pernah melihat Tuan Besar meliriknya penuh keinginan!” Rekannya menjawab dengan suara rendah.
“Apa menurutmu sesuatu terjadi padanya semalam?” Rekannya kembali berbisik, penasaran.
“Itu bukan urusan kita. Bersyukurlah kita tidak cantik, jadi masih bisa hidup damai.”
“Ayo cepat! Nanti Nyonya marah jika menunggu penganan malamnya terlalu lama.”
Harvey menahan rasa geram mendengar percakapan kedua pelayan. Bahkan Tuan Besar juga punya keinginan atas adiknya? Willow mungkin akan lenyap, jika Nyonya Rumah mendengar gossip itu.
Dengan tergesa dia keluar dari persembunyian setelah mendengar pintu lain ditutup saat para pelayan meninggalkan tempat tersebut. Sekarang dia tahu ruangan apa itu. Itu seperti dapur bersih, di mana makanan yang disiapkan petang hari disimpan. Biasanya untuk persediaan jika pemilik rumah masih ingin menikmati makanan kecil sebelum tidur.Tempat itu punya dua pintu. Satu mengarah ke bagian dalam rumah, pintu satu lagi langsung ke halaman.
Kakinya melangkah hati-hati, mulai terbiasa dengan kegelapan di dalam ruangan. Matanya menatap tajam lemari kayu yang tak jauh dari pintu masuk. Dengan hati-hati dia membuka pintu lemari. Tadi dia mengamati seorang gadis pelayan mengambil beberapa makanan dan mengembalikan lainnya di lemari. Dia menemukan cukup banyak makanan, dan mengambil beberapa kue-kue kecildan dengan cepat memasukkan ke dalam mulut.
Keributan di luar mengembalikan kesadarannya pada tujuan semula. Sebuah pisau kecil tergeletak di meja. Dengan cekatan diraihnya pisau tersebut dan diselipkan dibalik ikat pinggang. Dia bergerak cepat ke pintu, membuka sedikit dan dan mengintip situasi. Berita seorang budak memukul penjaga pasti sudah tersebar.
“Apa menurutmu ini ada kaitan dengan peristiwa kemarin malam?”
Seorang penjaga melintas tak jauh dari pintu di mana Harvey mengintip.
“Mungkin saja. Gadis budak itu kan punya saudara laki-laki yang jadi budak juga di sini. Tapi kudengar dia ditempatkan di ladang.”
“Jadi, mungkin bukan dia.” Temannya menyimpulkan.
Harvey menguping pembicaraan dan segera keluar setelah tak ada seorang pun lagi yang terlihat di sana. Mereka mengarah ke pintu utama. Harvey mengendap-endap mengikuti dari bayang-bayang. DIa menyelinap masuk ke rumah utama dan terdengar suara marah mengelegar dari arah depan.
Setelah mengamati situasi dan posisi rumah, Harvey dapat menduga ruangan-ruangan yang ada di sana, tidak berbeda jauh dengan pengaturan kediamannya di ibu kota. Tempat pertemuan ada di kediaman utama, ruang paling depan. Di sisi-sisi adalah kediaman putra dan putri pemilik rumah. Kamar utama selalu tak jauh dari ruang pertemuan.
Suara perbincangan terdengar dari pintu salah satu kamar yang tiba-tiba terbuka. Tak ada pilihan, Harvey segera merunduk ke bawah salah satu meja besar di bagian tergelap di ruang besar tersebut.
“Ini semua karena Kakak Pertama! Aku yakin dialah yang membuat ulah kemarin malam!” Seorang gadis berjalan ke arah depan, diiringi pelayannya yang hanya diam mendengarkan.
“Sekarang dia bersembunyi di kamarku seperti pengecut!” umpatnya kesal, sebelum masuk ke ruang pertemuan dan mendengarkan kemarahan ayah dan ibunya.
Seringai menyeramkan terlihat dari bawah meja besar di kegelapan. Harvey keluar pelan-pelan dan melangkah pasti ke kamar gadis itu. Harum wewangian aroma bunga menerpa hidungnya saat pintu dibuka.
“Kenapa kau kembali? Apa---”
Kata-kata itu terhenti demi melihat pria asing berdiri di sana dengan seringai menyeramkan.
Harvey tak membiarlan kesempatan emas itu hilang begitu saja. Dia menerjang dengan pisau di tangan, sebelum pria itu sadar apa yang terjadi dan berteriak.
Tusukan bertubi-tubi mendarat di tubuh pria penuh lemak yang kini berteriak sekencang yang dia bisa, akibat sakit yang dia rasakan.
“Kau melecehkan adikku! Kau harus membayar dengan nyawamu!” teriak Harvey kalap.
Dia terus menusukkan pisau dapur itu ke tubuh pria tambun yang suaranya kini makin parau. Mendengar pergerakan di luar kamar, Harvey membuka jendela dan melompat keluar. Dia lari ke luar kompleks kediaman di tengah kejaran para penjaga dan teriakan histeris para wanita.
Sebuah perintah penuh amarah menggelegar. “Kejar dia! Dia harus mati!”
“Beri dia pakaian!” perintah harvey pada Liora. Suara dinginnya terdengar menyeramkan.Pria yang semula memanggilnya, muncul dengan cepat di sana. Menatapnya tajam penuh selidik. “Apa yang ingin kau lakukan?”“Aku harus menjaga kehormatan adikku!” kata Harvery tegas. Dia menoleh sekilas pada Liora yang memakaikan baju pelayan pada Willow. Lalu melangkah lebar dan tegas. Kakinya jelas mengarah ke rumah utama.“Berhenti! Jangan bodoh!” pria itu menarik lengan Harvey untuk memperlambat langkah pria yang sedang disulut amarah itu.Harvey mendengus kasar. “Aku menjunjung tinggi kehormatan keluarga! Tak akan kubiarkan siapa pun merendahkan keluargaku seperti itu.”Pria itu lari dan berdiri tepat di depan Harvey. Tangannya yang kokoh tegap ditempa keadaan, diangkat dan diletakkan di dada pria muda di depannya, untuk menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam dalam kegelapan. Kali ini peringatannya diucapkan dengan nada suara rendah.“Jika kau mati, kau tak akan bisa lagi melindungi adikm
Tuan Morvane mengumpat mencaci maki dan menganggap kesialan masuk ke kediaman karena kematian budak yang belum dua bulan dibelinya. Dia merasa rugi besar.Hanya Willow, Liora dan dua penjaga yang sama sekali tak bersedia membantu, yang ada di tempat itu. Harvey menggali sendiri tanah berbatu untuk memakamkan ibunya. Dia pula yang menarik gerobak kayu untuk membawa tubuh ibunya ke sana. Sementara Willow, dibantu Liora, berusaha membersihkan tubuh ibunya dengan air sungai, agar terlihat layak sebelum dimasukkan ke tempat peristirahatan yang terakhir.“Ibu, aku akan menjaga Willow dengan jiwaku!” Harvey berjanji di depan makam yang hanya ditinggikan dengan tumpukan batu sungai. Bahkan Liora tak diijinkan penjaga memetik sedikit bunga liar untuk diletakkan di situ.“Waktunya kembali!”Penjaga berdiri dari duduk di atas batu besar tak jauh dari sana. Matanya memandang langit yang menggelap di kejauhan. Harvey melihat dengan cemas, akankah makam ibunya tergenang jika sungai kecil ini dipenu
Sebagai bangsawan tinggi ibukota yang seumur hidupnya hanya belajar dan dilayani, bekerja di pertanian Tuan Morvane ---bangsawan kecil dan tuan tanah terbesar di Vale Ardan--- bukanlah hal mudah. Sebulan itu, fisiknya ditempa kelelahan luar biasa karena harus membersihkan lahan baru yang harus siap untuk ditanami dalam dua minggu. Setelah istirahat, minggu berikutnya menyemai benih jagung. Dia benar-benar jadi budak kecil menyedihkan di antara para budak lain milik Tuan Morvane.Tapi sebenarnya bukan itu saja yang dia tanggung. Kondisi mental ibunya yang terus bersedih dan sering mendapat hukuman akibat tak dapat menyesuaikan diri dari nyonya bangsawan menjadi budak rendahan, juga menjadi beban paling berat bagi Harvey. Ditambah kekhawatirannya terhadap keamanan Willow. Putra ketiga Tuan Morvane jelas terpikat pada kecantikan adiknya. Dan sebagai pria, Harvey tahu bahwa kesukaan itu bukan cinta, melainkan nafsu belaka.“Bagaimana kondisi ibu?” tanya Harvey kala mereka kembali setelah
Setelah melewati perjalanan darat dan laut yang panjang selama tiga hari. Penuh hinaan dan penderitaan, Harvey, ibu dan adik perempuanya sampai di pelabuhan dalam keadaan mengenaskan. Sebagai pria satu-satunya, dia tak dapat lagi memikirkan keadaan ayahnya yang dihukum di tempat terpisah. Perpisahaan pertama kali dalam keadaan sehina itu, membuat batin ibunya terpukul. Maka, Harvey lah yang harus melindungi dua wanita tersayangnya itu dari lemparan batu atau tendangan orang lain. Tubuh mereka penuh luka dan kotoran yang menempel hingga kering di pakaian tahanan yang telah dipakai sejak keluar dari Kementrian Kehakiman.“Maju! Kalian harus diperiksa lebih dulu!”Seorang petugas yang terlihat berpakaian resmi, berteriak dan menunjuk pada meja yang terletak di dekat pintu gerbang bangunan yang diyakini Harvey sebagai bagunan milik pemerintah daerah Vale Ardan.Dia membantu ibunya yang hampir pingsan, untuk berjalan ke meja. Makin cepat pemeriksaan selesai, makin kecil kemungkinan mereka
Siang itu para penjaga penjara lebih sibuk dari biasa. Beberapa orang berlarian dan mondar-mandir. Teriakan dan instruksi dengan suara keras terdengar di kejauhan. Di dalam sel penjara, Harvey dan ayahnya menunggu dengan gelisah. Tak ada seorang pun yang datang untuk memberi info lanjutan atas fitnah yang dikemukakan Darren di depan raja.“Aku mengkhawatirkan ibu dan adik.” Harvey bicara pelan, seperti sedang bergumam pada dirinya sendiri. “Entah berita apa yang mereka terima tentang kasus ini.”“Mereka akan baaik-baik saja,” balsa ayahnya yang sejak tadi terlihat tenang, duduk bersandar pada dinding sambil memejamkan mata. “Raja bukan orang yang gegabah memutuskan sesuatu.”“Raja bahkan langsung melucuti jabatan dan mengirim kita ke penjara!” bantah Harvey. Keheranan melihat ayahnya masih membela sang raja, alih-alih mengkhawatirkan keluarganya sendiri.“Itu harus dilakukannya untuk menunjukkan pada para pejabat lain bahwa kasus seperti iini akan diselidiki dengan cepat tanpa memihak
Pagi itu langit Averlin cerah, tapi udara istana terasa lebih dingin dari biasanya. Harvey Vaelmont dan ayahnya melangkah dengan anggun memasuki gerbang istana. Balairung kerajaan menjulang megah di depan sana. Pusat kekuasaan kerajaan Averlin yang telah lama mereka layani dengan setia. Seperti biasa, beberapa dayang tak dapat mengalihkan pandangan dari ketampanan pemuda bangsawan yang terkenal karena budi pekerti, dan masa depan gemilang itu, sambil berbisik-bisik, sebelum segera berlalu karena dipelototi penjaga istana.“Jangan lupa untuk tetap rendah hati, jika Baginda memujimu.” Duke Alden Vaelmont memperingatkan sang putra saat mereka berdua berada di anak tangga menuju balairung, tempat pertemuan dengan Baginda biasa diselenggarakan.Pemuda bangsawan itu tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Tentu, ayah. Aku hanya melakukan tugasku." Dia mengarahkan tangannya dengan sopan, untuk mempersilakan sang ayah melangkah naik lebih dulu.Pria paruh baya yang ketampanannya tak kalah d