Home / Zaman Kuno / Dari Pecundang Jadi Pahlawan / Bab 4. Kediaman Tuan Morvane

Share

Bab 4. Kediaman Tuan Morvane

Author: Casanova
last update Last Updated: 2025-07-21 16:38:27

Sebagai bangsawan tinggi ibukota yang seumur hidupnya hanya belajar dan dilayani, bekerja di pertanian Tuan Morvane ---bangsawan kecil dan tuan tanah terbesar di Vale Ardan--- bukanlah hal mudah. Sebulan itu, fisiknya ditempa kelelahan luar biasa karena harus membersihkan lahan baru yang harus siap untuk ditanami dalam dua minggu. Setelah istirahat, minggu berikutnya menyemai benih jagung. Dia benar-benar jadi budak kecil menyedihkan di antara para budak lain milik Tuan Morvane.

Tapi sebenarnya bukan itu saja yang dia tanggung. Kondisi mental ibunya yang terus bersedih dan sering mendapat hukuman akibat tak dapat menyesuaikan diri dari nyonya bangsawan menjadi budak rendahan, juga menjadi beban paling berat bagi Harvey. Ditambah kekhawatirannya terhadap keamanan Willow. Putra ketiga Tuan Morvane jelas terpikat pada kecantikan adiknya. Dan sebagai pria, Harvey tahu bahwa kesukaan itu bukan cinta, melainkan nafsu belaka.

“Bagaimana kondisi ibu?” tanya Harvey kala mereka kembali setelah dua minggu tinggal di ladang. Keduanya bersembunyi dekat gudang belakang agar tak terlihat orang.

“Ibu sakit, aku tak dapat berbuat banyak selain membantu menurunkan demamnya.” Willow menunduk sedih, mengingat biasanya di musim seperti ini mereka biasanya sering duduk di taman belakang menikmati hangatnya sinar matahari setelah musim dingin yang panjang.

“Apa tak bisa membawa ibu keluar untuk berjemur matahari?” tanya Harvey berbisik. Dia tak boleh ketahuan bicara dengan budak wanita, meskipun itu adik atau ibunya sendiri.

“Ibu dihukum setelah memecahkan porselen berharga milik Nyonya Besar.” Willow menjawab dengan nada rendah.

Mata Harvey terkejut dan menyala marah sebentar, sebelum akhirnya melemah kembali setelah ingat posisinya saat ini yang hanya seorang budak. “Dihukum di mana?” tanyanya lemah. Merasa jadi anak tak berguna karena tak mampu melindungi keluarga.

“Gudang hukuman. Tapi aku masih diijinkan merawat ibu dua kali sehari.” Willow menggaris tanah dengan kaki telanjangnya yang kini terlihat kasar dan pecah-pecah.

Harvey sontak berjongkok untuk melihat apa yang terjadi pada kaki adiknya. Tapi Willow buru-buru menyembunyikannya dengan wajah sedih. “Yang harus Kakak khawatirkan adalah ibu.”

“Apa mereka menghukum fisiknya?” Harvey berdiri dan kembali memikirkan ibunya.

Willow mengangguk lemah. “Ibu berulang kali mengamuk dan memecahkan barang-barang di dapur. Nyonya tak berbelas kasihan lagi.”

“Apa mereka mencambuknya?”

Harvey takut jika Willow membenarkan pertanyaannya. Matanya menyipit dan bahunya jatuh saat melihat anggukan kepala adiknya. Mata Willow berkaca-kacaa, tapi tak ada isak tangis yang keluar. Hanya bahunya terguncang, menggambarkan beratnya beban yang dia tanggung selama ini.

“Sudah kukatakan sejak awal, aku tak menyukai Darren! Tapi kau tak mempercayaiku!” Mata Willow menyala-nyala penuh kemarahan pada kakaknya. Tangan kecil kurus dan pucat itu meninju Harvey yang terdiam.

Insting Willow ternyata lebih peka terhadap pengkhianat. Tapi dulu Harvey justru mengira adiknya menyukai ketampanan Darren dan mengingatkan dengan tegas agar tidak jatuh cinta pada sahabat kakaknya sendiri.

“Maafkan aku ….” Harvey memeluk Willow yang kini sudah menangis sesenggukan di dalam pelukannya. “Maafkan aku karena tak mempercayaimu saat itu.”

Tak ada yang dapat dilakukannya sekarang. Semarah dan sedendam apa pun dia pada Darren dan Selene, nasi sudah menjadi bubur. Harvey menyesali kebodohannya, terlalu mudah percaya pada kata-kata manis Darren yang berbisa.

“Willow!” Terdengar panggilan halus sebelum seorang pelayan wanita lain muncul dengan wajah panik.

“Liora! Ada apa?” Willow terkejut, tapi dengan cepat menarik tangan gadis asing itu agar ikut bersembunyi bersama.

Gadis itu kaget melihat seorang budak pria kotor, berdiri terlalu dekat dengan Willow. Seolah memahami pertanyaan di mata temannya, Willow berbisik. “Dia kakakku yang baru kembali dari ladang. Menanyakan kondisi Ibu,” jelasnya tanpa diminta.

“Oh ….” Gadis itu mengangguk pelan dan wajahnya kembali berubah cemas. “Nyonya muda mencarimu. Dia menanyai banyak pelayan tentang keberadaanmu. Sebaiknya kau punya alasan yang tepat agar tidak jadi tertuduh!”

“Kenapa bisa begitu?” Harvey tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

“Karena issu bahwa Tuan Muda Ketiga memiliki Mistress baru.” Liora berbisik. Kepalanya menoleh pada Willow. “Nyonya sudah beberapa kali memergoki suaminya melirik Willow dengan keinginan. Itu sebabnya saat berita ini berembus, yang pertama dicari adalah Willow!”

“Aku tidak pernah bicara dengannya!” bantah Willow. Gadis itu menoleh pada Harvey minta dukungan. “Bukankah dia pergi sebagai pengawas di ladang selama dua minggu ini?”

“Ya,” Harvey mengangguk membenarkan. “Wanita itu bukan Willow!” Harvey berkata dengan yakin. Dia ingat bahwa Tuan Muda Ketiga setiap malam mengundang wanita datang ke kediaman kecilnya di ladang, tanpa peduli pandangan para budak yang tidur di bawah langit.

Liora berwajah masam. “Kurasa Nyonya muda hanya butuh korban untuk kemarahannya.”

Perbincangan mereka terganggu oleh keributan dari dalam rumah. Lalu orang-orang meneriakkan nama Willow berulang kali. Harvey yang khawatir memeluk adiknya erat, melarangnya keluar.

“Memangnya apa yang bisa kau lakukan sekarang? Apa kau ingin membawa lari adikmu untuk melindunginya? Bagaimana dengan ibumu yang dikurung di gudang?”

Kata-kata Liora menusuk tajam ke hati Harvey. Pelukannya melemah. Willow ditarik Liora keluar dari tempat tersembunyi itu. “Ayo, kau harus muncul. Akan kukatakan kalau kita bersama sejak tadi!”

Kata-kata Liora terdengar di telinga harvey. Tapi itu tak mampu menenangkannya. Karena, bahkan Liora juga tak punya kuasa jika Nyonya muda yag sedang kalap itu tetap ingin mencambuk Willow tanpa alasan.

“Apa yang harus kulakukan?” pikir Harvey putus asa. Kata-kata Liora sebelumnya menusuk tepat ke jantungnya. Dia tak bisa berbuat apa pun untuk melindungi Willow, karena ada ibunya yang mereka tahan di gudang!

Harvey masih berdiri putus asa di tempat itu, ketika Willow lari dengan teriakan histeris. “Kakak … Kakak!” Matanya telah basah. Itu mata sedih, bukan mata yang takut pada hukuman. “Ibu!”

Kata terakhir Willow menyadarkan Harvey. Dia keluar dari bayangan bangunan. “Kenapa dengan ibu?”

Liora menyusul lari di belakang Willow. Menarik tangan gadis itu ke bagian belakang komplek kediaman Tuan Morvane. Harvey ikut lari mengejar mereka dengan pertanyaan besar. Hingga tiba di gudang tempat ibunya dihukum. Sudah ada dua penjaga berdiri di sana serta seorang wanita paruh baya yang kalau dilihat dari pakaiannya, dia masihlah pelayan, namun punya posisi lebih tinggi dari Willow dan Liora.

Willow masuk gudang sambil menangis dan terus memanggil ibunya dengan sedih. “Ibu ….”

Harvey yang ikut nyelonong masuk ditahan oleh penjaga. “Kau dilarang masuk!” katanya tegas.

Tanpa aba-aba, seorang penjaga lain memukul punggung Harvey dengan tongkat yang dia pegang. Membuat pria itu jatuh berlutut di tanah sambil meringis kesakitan. “Itu … i--bu--ku.”

“Dia kakaknya Willow. Baru kembali dari ladang. Tolong … ijinkan dia melihat ibunya terakhir kali.” Liora memohon dengan lembut.

Harvey tak sempat mencerna kata-kata yang dilontarkaan Liora. Tapi dia lega karena akhirnya diijinkan masuk untuk melihat kondisi ibunya. Yang didengarnya hanya tangis pilu Willow.

“Ada apa?”

Pertanyaan itu menguap di udara kala dia akhirnya melihat tubuh yang terbujur di lantai tanah itu pucat tanpa rona darah. Harvey menyadari situasi, memeluk dan mengguncang tubuh ibunya. “Ibu … aku terlambat menemuimu.”

Air mata jatuh begitu saja dari matanya yang meredup dan tenggelam dalam kesuraman. Ibunya telah pergi dalam kehinaan, tanpa seorang pun mengetahui. Apa lagi yang akan dihadapinya di tanah terkutuk ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Ya Tuhan..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 6. Pembalasan

    “Beri dia pakaian!” perintah harvey pada Liora. Suara dinginnya terdengar menyeramkan.Pria yang semula memanggilnya, muncul dengan cepat di sana. Menatapnya tajam penuh selidik. “Apa yang ingin kau lakukan?”“Aku harus menjaga kehormatan adikku!” kata Harvery tegas. Dia menoleh sekilas pada Liora yang memakaikan baju pelayan pada Willow. Lalu melangkah lebar dan tegas. Kakinya jelas mengarah ke rumah utama.“Berhenti! Jangan bodoh!” pria itu menarik lengan Harvey untuk memperlambat langkah pria yang sedang disulut amarah itu.Harvey mendengus kasar. “Aku menjunjung tinggi kehormatan keluarga! Tak akan kubiarkan siapa pun merendahkan keluargaku seperti itu.”Pria itu lari dan berdiri tepat di depan Harvey. Tangannya yang kokoh tegap ditempa keadaan, diangkat dan diletakkan di dada pria muda di depannya, untuk menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam dalam kegelapan. Kali ini peringatannya diucapkan dengan nada suara rendah.“Jika kau mati, kau tak akan bisa lagi melindungi adikm

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 5. Willow

    Tuan Morvane mengumpat mencaci maki dan menganggap kesialan masuk ke kediaman karena kematian budak yang belum dua bulan dibelinya. Dia merasa rugi besar.Hanya Willow, Liora dan dua penjaga yang sama sekali tak bersedia membantu, yang ada di tempat itu. Harvey menggali sendiri tanah berbatu untuk memakamkan ibunya. Dia pula yang menarik gerobak kayu untuk membawa tubuh ibunya ke sana. Sementara Willow, dibantu Liora, berusaha membersihkan tubuh ibunya dengan air sungai, agar terlihat layak sebelum dimasukkan ke tempat peristirahatan yang terakhir.“Ibu, aku akan menjaga Willow dengan jiwaku!” Harvey berjanji di depan makam yang hanya ditinggikan dengan tumpukan batu sungai. Bahkan Liora tak diijinkan penjaga memetik sedikit bunga liar untuk diletakkan di situ.“Waktunya kembali!”Penjaga berdiri dari duduk di atas batu besar tak jauh dari sana. Matanya memandang langit yang menggelap di kejauhan. Harvey melihat dengan cemas, akankah makam ibunya tergenang jika sungai kecil ini dipenu

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 4. Kediaman Tuan Morvane

    Sebagai bangsawan tinggi ibukota yang seumur hidupnya hanya belajar dan dilayani, bekerja di pertanian Tuan Morvane ---bangsawan kecil dan tuan tanah terbesar di Vale Ardan--- bukanlah hal mudah. Sebulan itu, fisiknya ditempa kelelahan luar biasa karena harus membersihkan lahan baru yang harus siap untuk ditanami dalam dua minggu. Setelah istirahat, minggu berikutnya menyemai benih jagung. Dia benar-benar jadi budak kecil menyedihkan di antara para budak lain milik Tuan Morvane.Tapi sebenarnya bukan itu saja yang dia tanggung. Kondisi mental ibunya yang terus bersedih dan sering mendapat hukuman akibat tak dapat menyesuaikan diri dari nyonya bangsawan menjadi budak rendahan, juga menjadi beban paling berat bagi Harvey. Ditambah kekhawatirannya terhadap keamanan Willow. Putra ketiga Tuan Morvane jelas terpikat pada kecantikan adiknya. Dan sebagai pria, Harvey tahu bahwa kesukaan itu bukan cinta, melainkan nafsu belaka.“Bagaimana kondisi ibu?” tanya Harvey kala mereka kembali setelah

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 3. Vale Ardan

    Setelah melewati perjalanan darat dan laut yang panjang selama tiga hari. Penuh hinaan dan penderitaan, Harvey, ibu dan adik perempuanya sampai di pelabuhan dalam keadaan mengenaskan. Sebagai pria satu-satunya, dia tak dapat lagi memikirkan keadaan ayahnya yang dihukum di tempat terpisah. Perpisahaan pertama kali dalam keadaan sehina itu, membuat batin ibunya terpukul. Maka, Harvey lah yang harus melindungi dua wanita tersayangnya itu dari lemparan batu atau tendangan orang lain. Tubuh mereka penuh luka dan kotoran yang menempel hingga kering di pakaian tahanan yang telah dipakai sejak keluar dari Kementrian Kehakiman.“Maju! Kalian harus diperiksa lebih dulu!”Seorang petugas yang terlihat berpakaian resmi, berteriak dan menunjuk pada meja yang terletak di dekat pintu gerbang bangunan yang diyakini Harvey sebagai bagunan milik pemerintah daerah Vale Ardan.Dia membantu ibunya yang hampir pingsan, untuk berjalan ke meja. Makin cepat pemeriksaan selesai, makin kecil kemungkinan mereka

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 2. Hukuman

    Siang itu para penjaga penjara lebih sibuk dari biasa. Beberapa orang berlarian dan mondar-mandir. Teriakan dan instruksi dengan suara keras terdengar di kejauhan. Di dalam sel penjara, Harvey dan ayahnya menunggu dengan gelisah. Tak ada seorang pun yang datang untuk memberi info lanjutan atas fitnah yang dikemukakan Darren di depan raja.“Aku mengkhawatirkan ibu dan adik.” Harvey bicara pelan, seperti sedang bergumam pada dirinya sendiri. “Entah berita apa yang mereka terima tentang kasus ini.”“Mereka akan baaik-baik saja,” balsa ayahnya yang sejak tadi terlihat tenang, duduk bersandar pada dinding sambil memejamkan mata. “Raja bukan orang yang gegabah memutuskan sesuatu.”“Raja bahkan langsung melucuti jabatan dan mengirim kita ke penjara!” bantah Harvey. Keheranan melihat ayahnya masih membela sang raja, alih-alih mengkhawatirkan keluarganya sendiri.“Itu harus dilakukannya untuk menunjukkan pada para pejabat lain bahwa kasus seperti iini akan diselidiki dengan cepat tanpa memihak

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 1. Pengkhianatan

    Pagi itu langit Averlin cerah, tapi udara istana terasa lebih dingin dari biasanya. Harvey Vaelmont dan ayahnya melangkah dengan anggun memasuki gerbang istana. Balairung kerajaan menjulang megah di depan sana. Pusat kekuasaan kerajaan Averlin yang telah lama mereka layani dengan setia. Seperti biasa, beberapa dayang tak dapat mengalihkan pandangan dari ketampanan pemuda bangsawan yang terkenal karena budi pekerti, dan masa depan gemilang itu, sambil berbisik-bisik, sebelum segera berlalu karena dipelototi penjaga istana.“Jangan lupa untuk tetap rendah hati, jika Baginda memujimu.” Duke Alden Vaelmont memperingatkan sang putra saat mereka berdua berada di anak tangga menuju balairung, tempat pertemuan dengan Baginda biasa diselenggarakan.Pemuda bangsawan itu tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Tentu, ayah. Aku hanya melakukan tugasku." Dia mengarahkan tangannya dengan sopan, untuk mempersilakan sang ayah melangkah naik lebih dulu.Pria paruh baya yang ketampanannya tak kalah d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status