Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.
Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.
Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?
CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s
Kedua alis Zahra bertaut usai mendengar kata-kata Zyan. “Memangnya setelah dari sini kita tinggal di mana, Pak?” tanyanya. Mereka memang tak pernah membahas akan tinggal di mana setelah menikah karena waktu pernikahan yang mepet.Zyan menghela napas. “Mama ingin kita tinggal bersama mereka. Kalau kamu setuju kita tidak tinggal bersama mereka, aku akan bicara sama Mama dan Papa. Aku akan bilang kita ingin hidup mandiri setelah menikah jadi mau tinggal di rumah sendiri. Kamu juga tidak mau ‘kan terus-terusan bersandiwara?” Dia menatap mata gadis berhijab itu.“Saya ikut saja mana yang terbaik, Pak. Tapi memang lebih bebas kalau tinggal berdua. Kita bisa tidur di kamar yang terpisah,” timpal Zahra.“Berarti kamu setuju ‘kan kita tinggal berdua?” Zyan memastikan.Zahra mengangguk. “Setuju, Pak.”“Kalau kita boleh tinggal berdua, kamu maunya tinggal di apartemen atau rumah bia
“Pak, bisa tolong lepaskan tangan saya?” pinta Zahra yang ditarik saja oleh Zyan.Pria tampan itu menghentikan langkah tanpa melepaskan tangan Zahra. “Bukannya kamu lapar?”“Iya, tapi apa Bapak tidak melihat pakaian saya.” Zahra menunduk, menunjukkan pakaian tidur yang dikenakannya.“Memangnya kenapa pakaianmu?” Zyan menaikkan sebelah alis tebalnya.Zahra menghela napas karena bosnya itu tidak peka. “Saya ‘kan pakai baju tidur, Pak. Masa masuk ke restoran pakaian saya begini.”“Mereka tidak akan menolak kita, Ra. Lagian kita cuma makan malam biasa bukan makan malam resmi. Penampilan tidak masalah, yang penting kita mampu bayar di sana,” tukas Zyan.“Pak, penampilan kita tuh jomplang! Pak Zyan rapi sementara saya kaya gini. Setidaknya biarkan saya ganti baju yang lebih layak agar tidak mempermalukan Bapak kalau tidak sengaja bertemu orang yang kita kenal. Masa
Zyan memandang Zahra meminta pertimbangan, tapi gadis itu tak memberikan respon dan malah terlihat bingung.“Bagaimana, Pak Zyan? Apa boleh?” Yudhis kembali bertanya karena belum mendapat jawaban.Zyan yang merasa kasihan dan tak enak hati akhirnya mengizinkan Yudhis duduk bersamanya dan Zahra.“Terima kasih atas kebaikan hatinya, Pak Zyan.” Yudhis lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Zahra, sementara Zyan sejak awal duduk di samping kanan sekretarisnya.Yudhis kemudian memanggil salah satu pramusaji dan meminta buku menu. Setelah menyebutkan menu yang diinginkan, dia berpesan agar tagihannya tidak dijadikan satu dengan milik Zyan.“Zahra, sudah lama bekerja sebagai sekretaris Pak Zyan?” Yudhis bertanya pada gadis berhijab itu untuk memecah kesunyian dan kecanggungan yang terjadi di meja itu.“Kurang lebih dua tahun, Pak,” jawab Zahra dengan ramah.“Lumayan juga, tapi kenapa a
Zyan melirik Zahra yang terus diam sejak Yudhis mengungkapkan keinginan hatinya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Apakah dia akan mempertimbangkan Yudhis yang berniat serius menikahinya ataukah mengabaikan begitu saja?“Pak Zyan, apakah ada proyek baru lagi?” tanya Yudhis untuk mencairkan suasana yang terasa canggung. Berbicara tentang bisnis dan proyek pasti lebih santai daripada soal pribadi.“Kalau ada, apa Pak Yudhis berniat untuk investasi?” Zyan malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan pria berkacamata itu.Yudhis tertawa kecil. “Wah, Pak Zyan meledek saya ini. Perusahaan saya belum mampu berinvestasi di proyek-proyek besar Pak Zyan. Sementara ini saya masih menawarkan diri sebagai rekanan seperti biasa,” ucapnya dengan jujur. Pria berkacamata itu memang selalu berkata apa adanya. Tidak pernah berpura-pura mampu kalau nyatanya tidak mampu. Karena hal itu, Zyan senang bekerja sama dengan Yudhis yang jujur da
“Pagi ini kita pulang ke rumah dulu, setelah itu baru ke kantor,” ucap Zyan yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang melilit pinggangnya. Membuat Zahra bisa melihat dengan jelas otot-otot bagian atas tubuh Zyan yang polos. Gadis itu lekas membuang muka agar tidak tergoda.“Mana pakaianku?” tanya Zyan karena tidak melihat ada bajunya di atas tempat tidur.“Maaf, Pak, belum saya siapkan.” Zahra gegas membuka koper milik bos yang juga suaminya itu. Dengan cekatan gadis itu menyiapkan pakaian ganti untuk Zyan. “Di sini tidak ada jas sama dasi, Pak. Pakai kemeja saja tidak apa-apa ‘kan?” tanyanya tanpa melihat pada pria tampan yang belum mengenakan pakaian itu.“Pakai dasi sama jas di rumah saja,” jawab Zyan yang mulai mengenakan pakaian dalamnya. Tepat saat itu Zahra menoleh pada suaminya. Sontak gadis itu mengalihkan pandangan dengan wajah tersipu malu.Daripada jadi canggung
Zyan dan Zahra sontak menoleh ke belakang, ke arah suara. Keduanya terkejut kala melihat Rania berdiri sambil bersedekap dan memberikan tatapan tajam pada mereka. Wanita paruh baya itu masih mengenakan pakaian olahraga karena baru pulang dari joging di sekitar kompleks rumahnya. “Tentu saja kami pulang, Ma.” Zyan akhirnya menjawab pertanyaan sang mama. “Bukannya kalian seharusnya masih menginap di hotel sampai besok?” cecar Rania. “Aku dan Zahra bosan di kamar terus, Ma. Kami ‘kan juga harus bekerja,” sahut Zyan. Rania berdecak. Dia menggeleng berulang kali. “Zyan, kalian itu ‘kan baru menikah. Harusnya sekarang kalian itu sedang manis-manisnya mereguk madu cinta. Maunya berduaan di kamar terus, bukannya malah ingin kerja.” "Kami 'kan masih bisa berduaan nanti malam atau saat istirahat siang, Ma. Iya 'kan, Ra." Zyan memeluk pinggang Zahra untuk meminta dukungan. Zahra tersentak saat pinggangnya tiba-tiba dipeluk. Namun gadis itu lekas menguasai diri. "Iya, Ma. Saat ini kami juga
Hari itu Zyan dan Zahra benar-benar fokus bekerja. Setelah seharian kemarin semua urusan dipegang oleh Faisal, pekerjaan Zyan jadi lebih ringan. Dia tinggal menandatangani berkas-berkas yang butuh persetujuannya karena sang asisten sudah mengecek semuanya. Zyan percaya penuh pada Faisal jadi tak mengecek lagi.“Hari ini aku tidak ada meeting di luar ‘kan?” Zyan bertanya sambil menggoreskan pena hitam di atas kertas.“Ada nanti setelah makan siang, Pak,” jawab Faisal setelah melihat jadwal sang bos di iPad-nya.“Dengan siapa dan membahas apa?” tanya Zyan lagi.Faisal kemudian menyebutkan nama para pengusaha yang akan datang dan hal yang akan mereka bicarakan.“Kamu bisa mewakiliku?” Zyan mendongak, menatap sang asisten pribadi. Dia enggan pergi karena ada nama Aswin di pertemuan nanti.“Maaf, Pak. Sepertinya tidak bisa. Saya harus menggantikan Bapak memimpin rapat dengan tim yang akan menangani proyek baru kita,” jawab Faisal.“Kita bertukar tempat saja, Fai. Aku yang akan rapat dengan