LOGINSetelah kejadian Anya kemarin yang bisa Alma dan Gio atasi, gosip tentang mereka yang saling melindungi juga menjaga makin menyebar. Sesekali, banyak yang mendoakan mereka untuk segera jadian.
Alma menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Presentasi untuk klien utama mereka, Surya Kencana Cosmetics, harusnya sudah final semalam. Tapi sekarang, di depan matanya, tagline andalannya yang berbunyi "Bare You: Real is Beautiful" telah berubah menjadi "Flawed is the New Perfect"—disertai foto close-up seorang model dengan bekas jerawat yang sengaja tidak di-retouch. "GIO ARDIAN!" teriaknya, suaranya menggelegar di seantero lantai 12. Beberapa rekan kerja langsung menoleh, termasuk Wina yang sedang mengantarkan dokumen. "Wah, perang dunia ketiga lagi nih," bisiknya pada Rian yang sedang asyik menggambar doodle di notepad. Gio mengangkat kepala dari sketsanya, kacamata aviator-nya melorot di hidung. "Hm?" ujarnya santai, seolah tidak menyadari amarah yang sedang meledak di depan matanya. "Lo ubah konsep gue—LAGI—tanpa bilang?" Alma berdiri dengan gemetar, tangan menunjuk ke layar laptopnya yang sekarang menampilkan visual yang sama sekali berbeda dari yang telah disepakati tim. Dengan langkah santai, Gio mendekat. Tubuhnya yang tinggi membuat Alma harus mendongak. "Gue cuma bikin lebih baik," ujarnya sambil mengambil mouse dari tangan Alma. Dengan beberapa klik, dia memperbesar foto model itu. "Lihat, ini lebih jujur. Lebih berani. Lebih... lo." Alma menatap tajam. "Ini bukan soal berani atau nggak. Ini soal konsistensi branding! Kita udah sepakat—" "Kalian punya tiga puluh menit sebelum klien masuk!" suara Bu Henny memotong dari balik pintu ruang meeting. Alma menarik Gio ke sudut ruangan yang lebih sepi, tapi nada suaranya tetap terdengar oleh setengah kantor. "Lo tahu kenapa gue benci kerja bareng lo?" bisiknya dengan getir. "Karena lo selalu berpikir diri lo paling tahu segalanya. Lo ubah hasil gue seolah-olah itu sampah!" Gio menghela napas, matanya yang biasanya santai sekarang terlihat serius. "Gue nggak pernah bilang hasil lo sampah. Justru sebaliknya— gue tahu lo bisa lebih dari sekadar tagline aman yang biasa-biasa saja." "Biasa?" Alma tersentak, seperti ditampar. "Ya, biasa!" Gio mengambil langkah lebih dekat. "Lo punya bakat luar biasa, tapi selalu main aman. Takut ambil risiko. Takut nunjukkin siapa diri lo yang sebenarnya." Dada Alma naik turun dengan cepat. Kata-kata Gio menusuk lebih dalam dari yang ingin dia akui. "Lo nggak kenal gue cukup baik untuk bilang itu," desisnya Gio mengangkat alis. "Bukankah kita udah kerja sama selama enam bulan? Atau selama itu lo hanya memainkan peran 'Alma si copywriter sempurna'?" Sebelum Alma bisa membalas, bel pintu ruang meeting berbunyi. Wina muncul dengan wajah panik. "Kak, Mbak Larasati datang lebih awal! Dia sedang ngopi di lobby!" Udara di ruang meeting terasa pengap meskipun AC sudah menyala maksimal. Alma berdiri di depan layar presentasi, mencoba mengatur napas sambil menunggu Larasati Wijaya dan Mas Raka masuk. "Tenang," bisik Gio tiba-tiba di sebelahnya, menyodorkan segelas air mineral dingin. "Lo akan baik-baik saja." Alma ingin menolak, tapi tangannya otomatis menerima gelas itu. Jari mereka bersentuhan sejenak, dan entah mengapa sentuhan itu membuat detak jantungnya yang tadinya kencang perlahan melambat. Pintu terbuka. Larasati masuk dengan blazer merahnya yang ikonik, diikuti oleh Mas Raka dan dua staf lainnya. "Kami sangat antusias dengan konsep kalian," ujar Larasati sambil duduk. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Alma, seolah bisa merasakan kegelisahannya. Dengan tangan sedikit gemetar, Alma mulai presentasi. Suaranya perlahan semakin percaya diri saat menjelaskan riset pasar di balik kampanye ini. Tapi ketika sampai pada slide yang diubah Gio—foto model dengan kulit tidak sempurna itu—suaranya tercekat. "Dan di sini kami ingin... eh, menonjolkan nilai kejujuran dalam..." Gio tiba-tiba menyela dengan mulus. "Izinkan saya menjelaskan bagian ini." Dia berdiri dan mendekati layar, tubuhnya yang tinggi dengan mudah menarik perhatian semua orang. "'Flawed is the New Perfect' lahir dari observasi mendalam kami tentang bagaimana perempuan muda sekarang justru merespon positif terhadap ketidaksempurnaan. Mereka lelah dengan standar kecantikan yang tidak realistis." Alma menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Gio berbicara dengan keyakinan penuh, seolah-olah ini memang konsep bersama dari awal. "Bahkan," lanjut Gio dengan senyum kecil yang hanya ditujukan pada Alma, "Alma sendiri yang menginspirasi ide ini. Dia rela menjadi model tanpa makeup untuk tes shoot kami kemarin, menunjukkan keberanian yang sebenarnya." Alma nyaris tersedak air mineralnya. Apa yang dia katakan?! Wajah Larasati berbinar. "Wah! Jadi Anda sendiri yang akan menjadi model untuk kampanye ini, Alma?" Sebelum Alma bisa menyangkal, Bu Henny sudah menyambar, "Tentu! Alma adalah representasi sempurna dari nilai-nilai brand Surya Kencana." Di bawah meja, kaki Alma menendang kaki Gio dengan keras. Tapi pria itu hanya tersenyum lebih lebar, matanya berbinar seperti anak kecil yang berhasil melakukan kenakalan. --- Begitu pintu ruang meeting tertutup, Alma langsung menyeret Gio ke pantry kosong. "LO GILA?" desisnya sambil mendorong Gio ke dinding. "Kenapa lo bohong ke klien? Sekarang mereka mengharapkan gue jadi model!" Gio tidak terlihat terganggu oleh amarah Alma. Malah, dia terlihat terhibur. "Santai, mereka hanya ingin tes shoot. Dan lo cantik, nggak perlu khawatir." "Ini bukan soal gue cantik atau nggak!" Alma berteriak, lalu menurunkan suaranya ketika melihat seorang intern lewat. "Ini tentang lo yang selalu mengambil keputusan sepihak! Ubah konsep gue, membuat janji atas nama gue—" Gio tiba-tiba mendekat, memotong amarah Alma. "Gue tahu lo bisa lebih dari sekadar menulis tagline aman," bisiknya. "Gue punya cerita yang layak dibagi. Lihat saja presentasi tadi— lo luar biasa ketika berbicara dari hati." Alma tercekat. Bau kopi hitam dan sedikit kayu manis dari parfum Gio memenuhi ruang antara mereka. Jarak mereka sekarang sangat dekat, hingga Alma bisa melihat bintik-bintik emas di mata cokelat Gio yang biasanya tidak terlihat. "Kapan terakhir kali lo buat sesuatu yang benar-benar lo percaya?" tanya Gio dengan suara yang tiba-tiba sangat lembut. HP Alma bergetar. Notifikasi dari Bu Henny: "Klien sangat puas! Tes shoot besok jam 8. Datang dengan wajah aslimu ya 😉 -Henny" Diikuti pesan kedua: "Oh dan... chemistry kalian berdua tadi? Perfect. Jangan rusak itu." Alma menatap Gio dengan mulut terbuka. "Lihat apa yang lo lakukan?" Gio hanya tersenyum, matanya berbinar. "Gue nggak menyesal." Dia berjalan meninggalkan pantry, meninggalkan Alma dengan detak jantung yang tidak karuan dan satu pertanyaan yang mengganggu: Mengapa setiap kali Gio Ardian muncul, hidupnya selalu berantakan... tapi entah mengapa, dia tidak benar-benar membencinya?Hujan turun lama. Bukan deras yang dramatis, tapi cukup konsisten untuk membuat kota terlihat buram. Alma berdiri di depan jendela kantor, menatap tetesan air yang jatuh berurutan, saling mengejar, lalu pecah di ambang. Polanya berulang, seperti pikiran yang tidak bisa ia hentikan meski sudah ia coba alihkan seharian. Dulu Gio pernah bilang, “Hujan tuh bikin orang jujur sama pikirannya sendiri.” Alma mendengus kecil. “Kebanyakan baca quotes,” gumamnya pelan— meski orangnya sudah tidak ada di sampingnya untuk tersenyum setengah tersinggung. Ia tetap berdiri beberapa menit lagi, membiarkan hujan mengisi ruang kosong di kepalanya. Tidak ada rapat. Tidak ada notifikasi mendesak. Hanya suara air dan pantulan lampu kota di kaca. Saat jam pulang tiba, Alma tidak memesan kendaraan seperti biasa. Ia melangkah keluar gedung, langsung disambut gerimis yang dingin dan tipis. Ia berjalan kaki lebih lama dari biasanya, membiarkan sepatu basah, membiarkan rambutnya kena hujan sampai berat dan men
Alma masih bangun pagi seperti biasa. Alarm jam enam berbunyi. Ia meraih ponsel setengah sadar, refleks membuka chat Gio. Tidak ada pesan baru. Ia menutup layar, bangkit, dan tetap mandi. Tetap pakai kemeja kerja. Tetap mengikat rambut dengan rapi. Semuanya berjalan… normal.Normal versi Alma adalah bergerak tanpa berpikir terlalu jauh. Air hangat mengalir di kulitnya, kopi menetes pelan di mesin, sepatu dipakai sambil berdiri. Tidak ada yang berubah—kecuali dadanya yang terasa sedikit lebih kosong dari biasanya, seperti ada ruang kecil yang lupa diisi. Di jalan menuju kantor, ia hampir mengetik, Udah sampe? Tapi jarinya berhenti di atas layar. Kata-kata itu terasa terlalu biasa untuk sesuatu yang tidak biasa. Terlalu ringan untuk situasi yang sejak semalam menggantung tanpa penjelasan. Alma mengunci ponselnya, menaruhnya kembali ke tas, dan menatap jalanan yang bergerak mundur di balik kaca mobil. Lampu merah. Klakson. Orang-orang menyebrang dengan wajah setengah mengantuk. Kota t
Alma menatap layar laptopnya, jari-jari menggantung di atas keyboard, tapi tidak bergerak. Beberapa kali ia mulai mengetik email, lalu menghapusnya. Kata-kata yang ingin ia tulis terasa tidak cukup, tidak pantas, atau terlalu lemah untuk menjangkau Gio. Ia menarik napas panjang. Mata berkeliling ruang kantor yang riuh—keyboard diketik cepat, percakapan bisik-bisik di sisi meja, aroma kopi dari mesin di pojok—namun semuanya terdengar jauh. Kosong. Seperti dunianya sendiri tiba-tiba tertahan di udara, dan tidak ada yang bisa ia pegang. Akhirnya, ia mengetik hanya satu kalimat, seolah itu cukup untuk mengekspresikan seluruh kegelisahan yang menumpuk. To: gio@skala.co.id Subject: Sayang, kamu baik-baik saja? Hatinya berdegup keras ketika menekan tombol send. Ia menunggu, berharap ponselnya akan bergetar, suara notifikasi muncul, apapun—tanda bahwa Gio masih ada di dunia yang sama dengannya. Tapi tidak sampai lima menit, balasan otomatis muncul di layar: Out of Office Terima kasih at
Pagi datang, tapi tanpa Gio. Matahari di Jakarta tidak pernah sehangat pelukan yang Alma harapkan. Cahaya masuk dari jendela, menempel di lantai, tapi tidak mampu menembus rasa hampa di dada. Tidak ada suara pesan masuk, tidak ada dering telepon, tidak ada notifikasi yang membawa sedikit kehangatan. Alma duduk di tepi ranjang, rambut masih berantakan, jaket masih tersampir di kursi, dan koper kecil yang tadi dibawa dari Tegal masih di pojok kamar. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel.Ia mencoba menelepon. Sekali. Dua kali.Tidak aktif.Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Napasnya sedikit tersengal. Ia mencoba menenangkan diri, menyuruh otak dan hatinya untuk tidak panik. Ia mengetik pesan, perlahan. Setiap huruf terasa seperti menaruh kepingan hatinya di atas layar.Alma: Sayang, kamu di mana?Satu centang.Lalu dua.Dibaca.Tapi… tidak ada jawaban.Alma menatap layar ponsel beberapa saat, mencoba mencari alasan. Mungkin… benar-benar sibuk? Mungkin ada urusan yang mendesak?Ia men
Kereta terus melaju, membawa mereka semakin jauh dari Tegal dan semakin dekat pada kota yang tak pernah benar-benar tidur. Stasiun-stasiun kecil berganti nama, berganti wajah, lalu menghilang begitu saja. Waktu seperti dipotong-potong, tapi pikiran Alma tetap utuh di satu titik yang sama. Ia membuka ponsel. Pesan dari Ibunya masuk beberapa menit lalu.Sudah berangkat, Nak?Alma membalas singkat.Sudah, Bu. Di kereta. Nanti sampai aku kabari.Ia menatap layar sebentar lebih lama dari yang diperlukan, lalu mematikannya. Rasanya seperti menutup pintu kecil yang aman, lalu memilih berdiri di lorong yang belum sepenuhnya terang. Gio masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini lebih lama. Jempolnya bergerak cepat, lalu berhenti. Mengetik, menghapus. Menghela napas pelan. Alma tidak bertanya. Ia hanya mengamati dari sudut matanya. Dulu, ia selalu percaya diam adalah bentuk pengertian. Tapi kini, diam terasa seperti ruang kosong yang makin melebar. "Kamu laper?” tanya Gio tiba-tiba, tanpa menoleh
Ruangan langsung hening. Bapak Alma mengangkat alis, jelas terkejut. “Kau… anak mereka?” Gio mengangguk. “Aku nggak pernah mau nyambungin hidup ku dengan masa lalu keluarga ku. Tapi ternyata… mereka punya dendam ke keluarga Alma karena peristiwa Aurora dulu. Dan sekarang, mereka nggak setuju aku melamar Alma.” Alma terduduk, suaranya hampir hilang. “Jadi… keluarga kamu nggak mau aku… cuma karena aku.... pihak yang ngerusak Aurora?” Gio memegang tangannya. “Sayang… akunggak peduli masa lalu itu. Aku nggak pernah lihat lo sebagai bagian dari masalah itu. Buat ku… kamu itu rumah.” Air mata Alma perlahan mengalir. “Tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa aku baru tau sekarang?” “Karena aku takut kamu bakal mikir cintanya bakal jadi ribet. Aku takut kamu ninggalin aku duluan.” Suaranya pecah. Bapak Alma akhirnya bicara, suaranya tegas namun terkendali. “Gio, pernikahan itu bukan cuma tentang hati. Ini soal dua keluarga. Kalau keluargamu sudah menolak sejak awal… bagai







