LOGINKantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi.
"Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu." Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian." Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya. Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT! From: Anya Listiana (Finance Dept) To: Tim Kreatif (CC: All Department) "Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboard besok max Rp3,5 juta (sesuai PO) gak bisa Rp5 juta. Tapi aku ada solusi! 💖 Voucher diskon 30% dari vendor langgananku. Nanti aku email ya! 😘 P.S: Jangan lupa isi laporan pengeluaran kemarin, aku tunggu sampai jam 5!" Alma mengerutkan hidung. Urusan finance kok CC semua divisi? Dan perlu pakai 3 emoticon? "Waduh," Rian bersiul pelan sambil membaca dari balik bahu Alma. "Si Mbak Finance lagi demam sama Mas Gio nih. Tuh liat, buat urusan angka-angka aja pake bintang-bintang dan hati." Alma menutup laptop dengan keras. "Gue cuma nggak suka orang ngurusin anggaran pake gaya alay gini." "Alma," Rian memiringkan kepalanya, tato lengan kirinya bergerak, "lo tau kan lo nggak pernah peduli sama laporan keuangan? Bahkan waktu kantor hampir bangkrut tahun lalu lo santai aja." Dari balik partisi, Wina magang bidang digital ads iba-tiba muncul dengan mata berbinar. "Kak Alma, kata Bu Henny tadi meeting sama Mbak Larasati bakal ada perubahan konsep. Katanya—" "Wina," Alma memotong, "gue sedang sangat sibuk." Tapi gadis itu terus berbicara, "Katanya bakal ada budget tambahan buat tim yang kerja extra! Tapi..." Matanya melirik ke arah pantry, "Kak Anya tadi bilang ke Mas Gio mungkin bakal ada pemotongan." Alma menatap kosong ke layar laptopnya. *Kenapa Gio selalu dapat info duluan?* Di pantry, mesin kopi berdesis mengeluarkan espresso pahit yang Alma pesan. Dari balik tirai kaca, ia melihat Anya—dengan blazer pink dan high heels—sedang berdiri terlalu dekat dengan Gio di sudut ruangan. "Gio, aku bisa approve tambahan dana buat software desainmu..." Anya memainkan rambutnya yang diwarnai ombre. "Tapi traktir aku makan siang dong~" Gio meneguk kopi hitamnya—tanpa gula, seperti biasa. "Nggak usah, gue mending pakai versi trial aja." "Ah, dasar!" Anya tertawa sambil menyentuh lengan Gio. "Nanti aku kasih diskon vendor fotografi favoritku deh! Mereka punya model-model cantik, tipe favoritmu!" Gelas di tangan Alma bergemeretak saat ia meletakkannya terlalu keras di meja. Gio menoleh, matanya langsung bertemu dengan Alma. "Alma? Lo baik-baik aja?" "Perfectly fine," jawab Alma singkat sebelum berbalik pergi. Tapi dadanya terasa sesak. Sejak kapan dia peduli dengan tipe favorit Gio? Di ruang meeting, Bu Henny menunjuk grafik di layar. "Kita harus realistis dengan budget Q3 ini. Anya, tolong jelaskan alokasi dana untuk tim kreatif." Anya berdiri dengan blazer pinknya yang menyolok. Gayanya sangat percaya diri, tak lupa tatapan yang terkadang sinis saat menatap sosok perempuan di samping Gio. "Tim kreatif sudah menghabiskan 75% anggaran di bulan pertama, Bu. Khususnya untuk proyek Gio—" "Wait," Alma yang berada di samping Gio memotong. "Kita semua tahu proyek Gio itu untuk klien utama. Kalau mau hemat, kenapa nggak dari acara tahunan marketing yang budgetnya Rp200 juta itu?" Anya berusaha tersenyum manis. "Wah, Alma ternyata jago juga ya urusan angka? Tapi sayang, acara itu sudah masuk kontrak." Ruangan menjadi sunyi tidak seperti biasanya, Gio yang sejak tadi menyimak tiba-tiba bersuara, "Gue setuju sama Alma. Kita bisa nego ulang vendor acara itu, pakai venue yang lebih murah." Anya terlihat tercengang dengan Gio yang sangat jelas membela Alma. Bu Henny mengangguk-angguk akan ucapan dari Gio, "Good point, boy! Anya, tolong follow up kembali dana tersebut." Anya mendengar hal itu hanya bisa pasrah menerima, tapi matanya diam-diam menatap tajam Alma yang tengah berbincang dengan Gio yang sesekali tersenyum lebar ke arah lelaki itu. --- Esok harinya, Alma menemukan pengajuan dananya untuk font premium ditolak dengan alasan "tidak esensial". Email penolakan dari Anya diakhiri dengan: "Pakai font gratis aja ya, Alma. Kantor kita lagi hemat~ 😘" Darah Alma mendidih akan email Anya di pagi hari, dia menghampiri meja anak finance yaitu Anya dengan langkah tegas. "Lo pikir ini lelucon? Font itu untuk rebranding klien besar!" Anya berpura-pura kaget. "Loh kok kamu marah-marah gini sih nggak cantik tau, Alma. Apalagi ini masih pagi," "Lo yang cari masalah! Bisa nggak lo kerja profesional tanpa emoticon dan sindiran murahan?" Ruangan kantor menjadi hening. Semua mata tertuju pada mereka. Tiba-tiba, Gio muncul di belakang Alma. "Gue butuh font itu untuk project ini," katanya sambil meletakkan tangan di bahu Alma. "Kalau nggak approve, kita semua nggak bisa kirim karya besok. Lo mau tanggung, kalo project ini batal. Gara-gara, lo nggak profesional hah!" Anya memerah. "Tapi—" "Atau mau gue lapor ke Bu Henny soal cara kerja lo yang hampir buat project ini gagal?" tambah Gio dengan suara rendah. Anya mengepal tangan, dan hanya bisa menyerah tanpa bisa melawan balik. Di parkiran basement, Alma menemukan Gio sedang menunggu di dekat motornya. Iya kali ini dia membawa motor kesayangannya, berhubung mobil Ayahnya di pakai kembali. "Untuk lo," ujar Gio sambil memberikan USB. "Font premium yang lo mau, versi cracked." Alma terkejut. "Lo nggak serius, kalo ada yang tau gimana? Gio tersenyum. "Iya lo, jangan bilang siapa-siapa. Gue benci orang yang main blokir kreativitas cuma karena urusan anggaran." Mereka tertawa bersama. "By the way," bisik Gio ketika Alma hendak pergi, "tipe favorit gue itu cewek galak yang suka ngambek. Dan ingin sempurna," Alma tersedak. "Maksud lo?!" Tapi Gio sudah berlalu, meninggalkannya dengan detak jantung yang tak karuan dan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.Alma masih bangun pagi seperti biasa. Alarm jam enam berbunyi. Ia meraih ponsel setengah sadar, refleks membuka chat Gio. Tidak ada pesan baru. Ia menutup layar, bangkit, dan tetap mandi. Tetap pakai kemeja kerja. Tetap mengikat rambut dengan rapi. Semuanya berjalan… normal.Normal versi Alma adalah bergerak tanpa berpikir terlalu jauh. Air hangat mengalir di kulitnya, kopi menetes pelan di mesin, sepatu dipakai sambil berdiri. Tidak ada yang berubah—kecuali dadanya yang terasa sedikit lebih kosong dari biasanya, seperti ada ruang kecil yang lupa diisi. Di jalan menuju kantor, ia hampir mengetik, Udah sampe? Tapi jarinya berhenti di atas layar. Kata-kata itu terasa terlalu biasa untuk sesuatu yang tidak biasa. Terlalu ringan untuk situasi yang sejak semalam menggantung tanpa penjelasan. Alma mengunci ponselnya, menaruhnya kembali ke tas, dan menatap jalanan yang bergerak mundur di balik kaca mobil. Lampu merah. Klakson. Orang-orang menyebrang dengan wajah setengah mengantuk. Kota t
Alma menatap layar laptopnya, jari-jari menggantung di atas keyboard, tapi tidak bergerak. Beberapa kali ia mulai mengetik email, lalu menghapusnya. Kata-kata yang ingin ia tulis terasa tidak cukup, tidak pantas, atau terlalu lemah untuk menjangkau Gio. Ia menarik napas panjang. Mata berkeliling ruang kantor yang riuh—keyboard diketik cepat, percakapan bisik-bisik di sisi meja, aroma kopi dari mesin di pojok—namun semuanya terdengar jauh. Kosong. Seperti dunianya sendiri tiba-tiba tertahan di udara, dan tidak ada yang bisa ia pegang. Akhirnya, ia mengetik hanya satu kalimat, seolah itu cukup untuk mengekspresikan seluruh kegelisahan yang menumpuk. To: gio@skala.co.id Subject: Sayang, kamu baik-baik saja? Hatinya berdegup keras ketika menekan tombol send. Ia menunggu, berharap ponselnya akan bergetar, suara notifikasi muncul, apapun—tanda bahwa Gio masih ada di dunia yang sama dengannya. Tapi tidak sampai lima menit, balasan otomatis muncul di layar: Out of Office Terima kasih at
Pagi datang, tapi tanpa Gio. Matahari di Jakarta tidak pernah sehangat pelukan yang Alma harapkan. Cahaya masuk dari jendela, menempel di lantai, tapi tidak mampu menembus rasa hampa di dada. Tidak ada suara pesan masuk, tidak ada dering telepon, tidak ada notifikasi yang membawa sedikit kehangatan. Alma duduk di tepi ranjang, rambut masih berantakan, jaket masih tersampir di kursi, dan koper kecil yang tadi dibawa dari Tegal masih di pojok kamar. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel.Ia mencoba menelepon. Sekali. Dua kali.Tidak aktif.Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Napasnya sedikit tersengal. Ia mencoba menenangkan diri, menyuruh otak dan hatinya untuk tidak panik. Ia mengetik pesan, perlahan. Setiap huruf terasa seperti menaruh kepingan hatinya di atas layar.Alma: Sayang, kamu di mana?Satu centang.Lalu dua.Dibaca.Tapi… tidak ada jawaban.Alma menatap layar ponsel beberapa saat, mencoba mencari alasan. Mungkin… benar-benar sibuk? Mungkin ada urusan yang mendesak?Ia men
Kereta terus melaju, membawa mereka semakin jauh dari Tegal dan semakin dekat pada kota yang tak pernah benar-benar tidur. Stasiun-stasiun kecil berganti nama, berganti wajah, lalu menghilang begitu saja. Waktu seperti dipotong-potong, tapi pikiran Alma tetap utuh di satu titik yang sama. Ia membuka ponsel. Pesan dari Ibunya masuk beberapa menit lalu.Sudah berangkat, Nak?Alma membalas singkat.Sudah, Bu. Di kereta. Nanti sampai aku kabari.Ia menatap layar sebentar lebih lama dari yang diperlukan, lalu mematikannya. Rasanya seperti menutup pintu kecil yang aman, lalu memilih berdiri di lorong yang belum sepenuhnya terang. Gio masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini lebih lama. Jempolnya bergerak cepat, lalu berhenti. Mengetik, menghapus. Menghela napas pelan. Alma tidak bertanya. Ia hanya mengamati dari sudut matanya. Dulu, ia selalu percaya diam adalah bentuk pengertian. Tapi kini, diam terasa seperti ruang kosong yang makin melebar. "Kamu laper?” tanya Gio tiba-tiba, tanpa menoleh
Ruangan langsung hening. Bapak Alma mengangkat alis, jelas terkejut. “Kau… anak mereka?” Gio mengangguk. “Aku nggak pernah mau nyambungin hidup ku dengan masa lalu keluarga ku. Tapi ternyata… mereka punya dendam ke keluarga Alma karena peristiwa Aurora dulu. Dan sekarang, mereka nggak setuju aku melamar Alma.” Alma terduduk, suaranya hampir hilang. “Jadi… keluarga kamu nggak mau aku… cuma karena aku.... pihak yang ngerusak Aurora?” Gio memegang tangannya. “Sayang… akunggak peduli masa lalu itu. Aku nggak pernah lihat lo sebagai bagian dari masalah itu. Buat ku… kamu itu rumah.” Air mata Alma perlahan mengalir. “Tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa aku baru tau sekarang?” “Karena aku takut kamu bakal mikir cintanya bakal jadi ribet. Aku takut kamu ninggalin aku duluan.” Suaranya pecah. Bapak Alma akhirnya bicara, suaranya tegas namun terkendali. “Gio, pernikahan itu bukan cuma tentang hati. Ini soal dua keluarga. Kalau keluargamu sudah menolak sejak awal… bagai
Lampu ruang tamu hangat, menyinari wajah-wajah lelah tapi lega. Aroma teh hangat dan kue tradisional masih tersisa di udara. Alma duduk di samping Gio, tangannya tetap menggenggam tangan Gio. Ibunya tersenyum lembut, menyiapkan cangkir teh. “Gio, anak Ibu… duduklah. Minum dulu, biar hangat badanmu.”Gio tersenyum sopan, menerima cangkir itu. “Terima kasih, Bu. Maaf ganggu ketenangan malam Ibu dan Bapak.”Ibunya hanya tersenyum, lalu menatap Alma sebentar. “Alma, anak Ibu… kamu pasti lega sekarang, kan? Semua sudah jelas.”Alma mengangguk, mata masih basah. “Ya, Bu… akhirnya semua jelas. Gue takut aja tadi… takut dia gak datang.”Ibunya menepuk lembut pundak Alma. “Kalau sudah niat baik, insya Allah jalan akan di buka. Sekarang… nikmati malam ini. Semua masih awal, tapi hati tenang itu penting.”Bapak Alma berdiri, menatap Gio dengan tatapan tajam tapi tak sekeras tadi. “Gio… kamu datang terlambat, tapi yang penting kamu datang. Aku ingin kamu tau, pernikahan itu bukan hanya soal cinta







