Home / Romansa / Dead&Queen / Bab 4 : Tipe Gio

Share

Bab 4 : Tipe Gio

Author: Ucyl_16
last update Huling Na-update: 2025-07-09 21:14:56

Kantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi.

"Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu."

Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian."

Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya.

Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT!

From: Anya Listiana (Finance Dept)

To: Tim Kreatif (CC: All Department)

"Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboard besok max Rp3,5 juta (sesuai PO) gak bisa Rp5 juta. Tapi aku ada solusi! 💖 Voucher diskon 30% dari vendor langgananku. Nanti aku email ya! 😘 P.S: Jangan lupa isi laporan pengeluaran kemarin, aku tunggu sampai jam 5!"

Alma mengerutkan hidung. Urusan finance kok CC semua divisi? Dan perlu pakai 3 emoticon?

"Waduh," Rian bersiul pelan sambil membaca dari balik bahu Alma. "Si Mbak Finance lagi demam sama Mas Gio nih. Tuh liat, buat urusan angka-angka aja pake bintang-bintang dan hati."

Alma menutup laptop dengan keras. "Gue cuma nggak suka orang ngurusin anggaran pake gaya alay gini."

"Alma," Rian memiringkan kepalanya, tato lengan kirinya bergerak, "lo tau kan lo nggak pernah peduli sama laporan keuangan? Bahkan waktu kantor hampir bangkrut tahun lalu lo santai aja."

Dari balik partisi, Wina magang bidang digital ads iba-tiba muncul dengan mata berbinar. "Kak Alma, kata Bu Henny tadi meeting sama Mbak Larasati bakal ada perubahan konsep. Katanya—"

"Wina," Alma memotong, "gue sedang sangat sibuk."

Tapi gadis itu terus berbicara, "Katanya bakal ada budget tambahan buat tim yang kerja extra! Tapi..." Matanya melirik ke arah pantry, "Kak Anya tadi bilang ke Mas Gio mungkin bakal ada pemotongan."

Alma menatap kosong ke layar laptopnya. *Kenapa Gio selalu dapat info duluan?*

Di pantry, mesin kopi berdesis mengeluarkan espresso pahit yang Alma pesan. Dari balik tirai kaca, ia melihat Anya—dengan blazer pink dan high heels—sedang berdiri terlalu dekat dengan Gio di sudut ruangan.

"Gio, aku bisa approve tambahan dana buat software desainmu..." Anya memainkan rambutnya yang diwarnai ombre. "Tapi traktir aku makan siang dong~"

Gio meneguk kopi hitamnya—tanpa gula, seperti biasa. "Nggak usah, gue mending pakai versi trial aja."

"Ah, dasar!" Anya tertawa sambil menyentuh lengan Gio. "Nanti aku kasih diskon vendor fotografi favoritku deh! Mereka punya model-model cantik, tipe favoritmu!"

Gelas di tangan Alma bergemeretak saat ia meletakkannya terlalu keras di meja.

Gio menoleh, matanya langsung bertemu dengan Alma. "Alma? Lo baik-baik aja?"

"Perfectly fine," jawab Alma singkat sebelum berbalik pergi. Tapi dadanya terasa sesak. Sejak kapan dia peduli dengan tipe favorit Gio?

Di ruang meeting, Bu Henny menunjuk grafik di layar. "Kita harus realistis dengan budget Q3 ini. Anya, tolong jelaskan alokasi dana untuk tim kreatif."

Anya berdiri dengan blazer pinknya yang menyolok. Gayanya sangat percaya diri, tak lupa tatapan yang terkadang sinis saat menatap sosok perempuan di samping Gio. "Tim kreatif sudah menghabiskan 75% anggaran di bulan pertama, Bu. Khususnya untuk proyek Gio—"

"Wait," Alma yang berada di samping Gio memotong. "Kita semua tahu proyek Gio itu untuk klien utama. Kalau mau hemat, kenapa nggak dari acara tahunan marketing yang budgetnya Rp200 juta itu?"

Anya berusaha tersenyum manis. "Wah, Alma ternyata jago juga ya urusan angka? Tapi sayang, acara itu sudah masuk kontrak."

Ruangan menjadi sunyi tidak seperti biasanya, Gio yang sejak tadi menyimak tiba-tiba bersuara, "Gue setuju sama Alma. Kita bisa nego ulang vendor acara itu, pakai venue yang lebih murah."

Anya terlihat tercengang dengan Gio yang sangat jelas membela Alma. Bu Henny mengangguk-angguk akan ucapan dari Gio, "Good point, boy! Anya, tolong follow up kembali dana tersebut."

Anya mendengar hal itu hanya bisa pasrah menerima, tapi matanya diam-diam menatap tajam Alma yang tengah berbincang dengan Gio yang sesekali tersenyum lebar ke arah lelaki itu.

---

Esok harinya, Alma menemukan pengajuan dananya untuk font premium ditolak dengan alasan "tidak esensial". Email penolakan dari Anya diakhiri dengan: "Pakai font gratis aja ya, Alma. Kantor kita lagi hemat~ 😘"

Darah Alma mendidih akan email Anya di pagi hari, dia menghampiri meja anak finance yaitu Anya dengan langkah tegas. "Lo pikir ini lelucon? Font itu untuk rebranding klien besar!"

Anya berpura-pura kaget. "Loh kok kamu marah-marah gini sih nggak cantik tau, Alma. Apalagi ini masih pagi,"

"Lo yang cari masalah! Bisa nggak lo kerja profesional tanpa emoticon dan sindiran murahan?"

Ruangan kantor menjadi hening. Semua mata tertuju pada mereka. Tiba-tiba, Gio muncul di belakang Alma. "Gue butuh font itu untuk project ini," katanya sambil meletakkan tangan di bahu Alma. "Kalau nggak approve, kita semua nggak bisa kirim karya besok. Lo mau tanggung, kalo project ini batal. Gara-gara, lo nggak profesional hah!"

Anya memerah. "Tapi—"

"Atau mau gue lapor ke Bu Henny soal cara kerja lo yang hampir buat project ini gagal?" tambah Gio dengan suara rendah.

Anya mengepal tangan, dan hanya bisa menyerah tanpa bisa melawan balik.

Di parkiran basement, Alma menemukan Gio sedang menunggu di dekat motornya. Iya kali ini dia membawa motor kesayangannya, berhubung mobil Ayahnya di pakai kembali.

"Untuk lo," ujar Gio sambil memberikan USB. "Font premium yang lo mau, versi cracked."

Alma terkejut. "Lo nggak serius, kalo ada yang tau gimana?

Gio tersenyum. "Iya lo, jangan bilang siapa-siapa. Gue benci orang yang main blokir kreativitas cuma karena urusan anggaran."

Mereka tertawa bersama.

"By the way," bisik Gio ketika Alma hendak pergi, "tipe favorit gue itu cewek galak yang suka ngambek. Dan ingin sempurna,"

Alma tersedak. "Maksud lo?!"

Tapi Gio sudah berlalu, meninggalkannya dengan detak jantung yang tak karuan dan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dead&Queen   Bab 8 : Sketsa Gio

    Lembur di Paper&Pixel selalu memiliki ritme khusus. Jam menunjukkan pukul 23.57, tiga menit menuju tengah malam. Tapi bagi Alma, waktu hanyalah angka yang terus bergerak tanpa arti khusus. Proyek terakhir mereka sudah diselesaikan seminggu lalu, namun kantor tetap menjadi tempat persinggahan favoritnya - mungkin karena di sini dia merasa paling hidup.Dia berjalan pelan menyusuri koridor yang sepi, kedua tangannya memegang dua kaleng teh tarik dingin. Ritual ini tanpa sadar terbentuk sejak proyek "Bare You" selesai - satu kaleng untuknya, satu untuk Gio. Dinginnya kaleng membuat telapak tangannya berkeringat, tapi tidak cukup untuk meredakan rasa penasaran yang menggelitiknya sejak melihat notifikasi grup bahwa Gio masih berada di kantor."Apa yang lagi dia kerjain sampai larut?"Pintu ruang kerja Gio terbuka setengah. Dari celah itu, Alma bisa melihat posturnya yang membungkuk di atas meja, wajahnya diterangi cahaya lampu meja yang memancarkan warna kuning keemasan. Pensil di tangann

  • Dead&Queen   Bab 7 : Kilas masa lalu & Observasi terakhir

    Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PMGio memilih tangga darurat. Setiap lompatan tiga anak tangga membuat otot betisnya terbakar, tetapi teriakan minta tolong yang samar-samar terdengar di atasnya memacu langkahnya. Ketika mencapai lantai 12, asap sudah begitu pekat hingga ia harus merangkak. Kaca jendela di koridor pecah oleh panas, serpihannya berhamburan seperti hujan beling. "Tolong... ada yang..." Suara lemah itu berasal dari ruang arsip. Gio mendobrak pintu yang sudah setengah hangus. Di balik tumpukan rak yang roboh, Lina—asisten proyek mereka—terjebak dengan kaki tertimpa besi penyangga. Darah mengalir dari luka di dahinya. "Gio... dokumennya..." Lina menggapai-gapai ke arah tas laptop yang terjepit di bawah reruntuhan. "Lupakan itu! Ayo keluar!" Gio menarik besi penyangga dengan sekuat tenaga. Otot lengannya bergetar, urat lehernya menegang. Dengan satu hentakan terakhir, besi itu bergeser cukup untuk membebaskan kaki Lina. Dia mengangkat tubuh Lina yang lemas

  • Dead&Queen   Bab 6 : Di balik hujan

    Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya. "Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada," Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi. "Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah." Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?" "Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya. Petir menggelegar di kejauhan

  • Dead&Queen   Bab 5 : Presentasi yang meledak

    Setelah kejadian Anya kemarin yang bisa Alma dan Gio atasi, gosip tentang mereka yang saling melindungi juga menjaga makin menyebar. Sesekali, banyak yang mendoakan mereka untuk segera jadian. Alma menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Presentasi untuk klien utama mereka, Surya Kencana Cosmetics, harusnya sudah final semalam. Tapi sekarang, di depan matanya, tagline andalannya yang berbunyi "Bare You: Real is Beautiful" telah berubah menjadi "Flawed is the New Perfect"—disertai foto close-up seorang model dengan bekas jerawat yang sengaja tidak di-retouch. "GIO ARDIAN!" teriaknya, suaranya menggelegar di seantero lantai 12. Beberapa rekan kerja langsung menoleh, termasuk Wina yang sedang mengantarkan dokumen. "Wah, perang dunia ketiga lagi nih," bisiknya pada Rian yang sedang asyik menggambar doodle di notepad. Gio mengangkat kepala dari sketsanya, kacamata aviator-nya melorot di hidung. "Hm?" ujarnya santai, seolah tidak menyadari amarah yang sedang meledak di d

  • Dead&Queen   Bab 4 : Tipe Gio

    Kantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi. "Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu." Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian." Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya. Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT! From: Anya Listiana (Finance Dept) To: Tim Kreatif (CC: All Department) "Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboar

  • Dead&Queen   Bab 3 : Skandal kantor

    "Nggak nyangka gue bisa bertahan meeting 12 jam sama si manusia energizer itu," gumamnya sambil membuka kunci. Di dalam, lampu menyala. Rian—sahabat sekaligus tetangga apartemennya—sudah duduk di sofa sambil memegang mangkuk mie instan. "Gue kira lo udah jadi korban pertama pembunuhan art director baru." sambutnya, mata menyipit melihat keadaan Alma. Alma melemparkan tasnya ke karpet. "Masih belum. Tapi besok mungkin." Rian mengangkat alis saat melihat senyum kecil di wajah Alma. "Wait. Lo... nggak benci dia?" "Gue benci caranya nyerobot ide orang. Tapi..." Alma menghela napas. "Konsepnya bagus. Lebih bagus dari yang gue susun seminggu." "Damn, jadi julukan 'DeadQueen' di grup WA beneran terjadi? Deadline bikin lo lunak?" Alma melemparkan bantal ke arahnya. "Diem lo. Besok kita presentasi ke Bu Henny."Saat masuk kamar, HP-nya bergetar. Notifikasi dari Gio: "Btw, gue baru inget. Lo punya alergi kacang kan? Jangan sentuh snack bowl di ruang meeting besok—gue liat ada ka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status