"Kamu nggak apa-apa nak Akira?" tanya Romlah yang merasa khawatir akan keselamatan Akira.
"Iya, Bu saya nggak apa-apa," jawabnya singkat. "Oh gitu ya udah, nanti kalau ada perlu apa aja panggil ibu yah," ucap Romlah.Bagi wanita paruh baya itu, Akira bukan hanya sebagai penyewa kos-kosan miliknya saja, tapi sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Maklum saja, sejak pindah dari Sulawesi 6 tahun lalu, gadis berjilbab itu langsung memilih tempatnya sebagai tempat berteduh. Sehingga ia tahu benar bagaimana keseharian Akira. "Baik saudari Akira, keterangannya sudah cukup. Silahkan istirahat. Nanti perkembangan selanjutnya akan kami kabari," ucap salah seorang petugas penyidik kepolisian. "Baik, Pak. Terimakasih atas bantuannya," jawabnya. Polisi kemudian pergi meninggalkan tempat kejadian perkara. Sementara Ramdan masih terus menemani Akira, sampai membuatnya tenang. Pasalnya, kejadian tadi cukup membuat gadis cantik itu syock.
"Gimana sudah agak baikan?" tanya Ramdan.
"Kamu mau saya belikan makan, Ra?" tambahnya.
"Nggak usah. Terima kasih banyak, Pak. Nanti saja, saya mau istirahat dulu," jawab Akira.
"Baiklah kalau begitu. Hari ini kamu nggak usah ke kantor. Kalau ada penugasan, biar nanti saya hubungi Edy untuk minta yang lain lanjutkan," kata Ramdan.
"Iya, Pak," ucap Akira.
"Satu lagi. Sesuai janji saya, hari ahad nanti kamu dan teman-teman kantor lainnya saya ajak liburan," ujar Ramdan.
Sontak senyum manis terlihat di wajah Akira.
"Serius, Pak?" tanya Akira.
"Yah serius lah. Bagaimana kamu setuju?"
"Setuju, Pak".
@@@@
Langit begitu cerah ketika harapan terlihat jelas di hadapan. Sinar matahari yang menelisik masuk ke kamar Ramdan membuat kedua matanya mengerjap dan tersenyum lebar. Hatinya kini sedang berbunga.
Sudah lama ia tak berkeinginginan untuk menangkap sinyal hati dari seorang perempuan. Ia merasa sia-sia saja mendekati wanita apalagi menjaga dan memanjakannya bila pada akhirnya akan lari ke pelukan lelaki lain. Rasa sakit saat ditinggal menikah oleh kekasihnya Merlyn, berhasil membuat ia jatuh dan enggan menjalin hubungan dengan gadis manapun selama bertahun-tahun.
Namun kini berbeda, sejak 3 bulan ia menjabat sebagai Eksecutive Direktur di perusahaan ayahnya di kota industri yang terbilang kecil ini. Ia menemukan sosok berbeda dari gadis sederhana yang unik. Kehadiran Akira memberi warna tersendiri baginya. Masih terbayang wajah gadis asal Sulawesi itu di ingatan. Beberapa hari lalu dengan berat hati masuk ke mobilnya lantaran sepeda motor miliknya tak diantar ke kantor saat kehabisaan bensin.
Ia tahu gadis itu sengaja mengurangi intensitas berdekatan dengan lawan jenis apalagi hanya berdua. Ia sepertinya tahu aturan dalam bergaul, itu terlihat dari sikapnya yang begitu menjaga jarak.
"Akira ... Akira ... sebenarnya sikap kamu itu terkesan kolot dan kuper. Tapi justru itu yang membuatmu menarik dan semakin membuatku ingin tahu banyak tentangmu," ucap Ramdan sembari menatap foto Akira yang diam-diam diambil saat sedang bersamanya.
Pagi-pagi sekali pria itu bersiap untuk berangkat ke kantor. Ramdan menepati janjinya kepada Akira. Ia mengajak gadis itu berlibur ke suatu tempat untuk merefresing otak yang katanya selalu penuh dengan masalah.
Masalah orang lain sebenarnya. Namanya juga wartawan pekerjaannya mengorek masalah orang. Sementara masalahnya sendiri saja belum ada titik terangnya.
"Meta, Akira, Gita dan Rima bertanggung jawab menyiapkan perbekalan. Apa semua sudah disiapkan?" tanya Ramdan sebelum menaiki kendaraannya.
"Sudah, Pak!" ucap Gita diamini yang lain.
"Bagus."
"Bimo, Andre, Faisal, Edi, Pak Eko dan Pak Ismail bertanggung jawab dengan perlengkapan lainnya. Apa sudah disediakan?"
"Sudah, Bos!" tukas mereka serempak.
Sementara Edi yang datang belakangan nampak tidak bersemangat seperti rekannya yang lain. Sesekali pria berkulit putih itu memandang ke arah Akira yang wajahnya terlihat begitu ceria bersama kawan-kawannya.
Ramdan sengaja meminta mereka untuk berkumpul di kantor sejak pukul 6 pagi tadi. Untuk mengecek semua perbekalan yang akan dibawa dan untuk mengetahui siapa saja yang ikut dalam liburan tersebut.
Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Enam orang di mobil Ramdan dan lima orang lainnya ikut di mobil kantor.
"Bim, kita ke mana? tanya Ramdan pada bawahannya yang bertubuh cungkring dengan sebiji jerawat merah di ujung hidungnya.
"Pantai Beltras Basah, Bos. Dari terminal simpang 3 Bontang, Kita ambil arah timur.
"Apa, Bim?" teriaknya pada Bimo yang duduk di kursi belakang.
"Dari terminal simpang 3 ambil jalan timur!"
"Bimo sini, duduk di samping saya!" perintahnya pada sosok yang tengah menenteng kamera DSLR dengan lensa tele yang cukup besar. Fasilitas kantor yang selalu ia bawa untuk mengintip objek apa saja yang menarik di sekitarnya.
"Siap, Bos," ucapnya girang sembari membuka pintu mobil dan berpindah ke kursi depan.
" Huss pindah, Lu," ucapnya pada Gita yang kini mengerucutkan bibir merahnya.
"Yah si Bos, masa saya duduk di belakang sih?" ucapnya dengan wajah memelas.
"Iya di belakang saja. Di sini biar Bimo kan dia tahu jalan!" tuturnya datar.
Gita yang tadinya duduk di sisi Ramdan dengan terpaksa turun dan menghempaskan bobotnya di kursi belakang berdampingan dengan Rima yang sibuk dengan game online di ponselnya.
Sementara Akira dan Meta terkikik melihat ekspresi gadis cantik itu yang sejak awal terlihat selalu ingin berdekatan dengan sang bos. Keduanya menempati kursi tengah dengan tas ransel yang terlihat penuh berada diantaranya.
Ramdan perlahan menggerakkan mobilnya menuju jalan yang diarahkan Bimo. Ia tak begitu mengenal lokasi di kota itu, hanya mengandalkan g****e map. Sesekali berbincang ringan dengan Bimo dan Meta. Sementara Akira tampak asik tertidur di kursi tengah yang searah dengannya. Gita dan Rima lebih banyak diam dan menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik yang disetel distereo mobil.
Akira dan rombongan harus menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih tiga puluhkilometer untuk tiba di pantai Beltras Basah. Jalanannya pun terbilang cukup sulit. Karena harus melintasi jalan berbatu belum beraspal yang sangat licin terasa. Suasana pedesaan di pesisir pantai mulai terasa hangat. Nampak pohon-pohon kelapa menjulang tinggi berjejer rapi di sepanjang jalan masuk arah pantai. Seketika ketegangan saat di perjalanan terbayar dengan keindahan pantai Bertras basah yang terlihat cukup lengang. Pemandangan indah terpajang di hadapan. Hamparan pasir putih di sepanjang garis pantai serta birunya air laut dengan riuh suara ombak bergulung-gulung seolah menyambut kedatangan mereka.
"Bangun, Ra. Udah sampai," ucap Meta sambil menggoyangkan bahu Akira yang tertutup jaket.
Namun gadis itu tak bergeming.
"Ra, Ayo bangun!" ucapnya lagi dengan keras.
"Astaga anak ini!" gerutunya merasa malu sendiri melihat sahabatnya begitu pulas tidur padahal sedang di mobil bos.
"Hiss, tengsin lah, Ra masa tidur kaya kebo, sih!" omelnya sambil terus menggerakan tubuh Akira. Bahkan kini menepuk cukup keras pipi gembil gadis itu.
"Auwww ... sakit, Mba Met," teriak Akira.
"Makanya ayo bangun. Ini udah sampai pantai. Mau tidur atau liburan sih kamu ini!" omelnya lagi.
"Iya, iya." sahutnya sambil meringis.
Gadis itu menggeliat dan mengusap wajahnya kasar sambil mengedarkan netranya ke luar kaca mobil.
"Masya Allah indahnya" ucapnya takjub.
Sudah lama sekali ia tak melihat pantai. Sejak bekerja di kota ini, rasanya baru kali ini ia berlibur ke tempat asri seperti ini. Diam-diam ia bersyukur diajak Bos ke tempat itu. Apalagi bersama kawan-kawannya. Sungguh perhatian bos nya itu. Eh tapi sejak kapan ya? Seingatnya sikap Ramdan akhir-akhir ini memang cukup berbeda. Lebih bersahabat dibandingkan saat awal bertemu dulu. Sosoknya terlihat begitu kaku dan arogan. Selalu memerintah seenaknya saja pada bawahan.
To Be Continued ....
***Ana'na Bennu***Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.