Sebelum melanjutkan perkembangan kasus penemuan mayat mutilasi, Akira terlebih dahulu mampir ke rumah kosnya, ia lupa memasukan kabel carger gawainya ke dalam tas ranselnya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Saat tiba di depan kos, ia melihat Romlah sang ibu kos tengah membawa sebuah kotak berukuran sedang.
"Paket buat siapa, Bu? tanya Akira saat baru saja kembali dari kantor. "Tadi ada yang mengantarkan ini. Katanya titipan untuk Mbak Akira. Nih ada namanya," ucap Romlah ibu kos sambil menunjukan selembar kartu bertuliskan nama Akira. "Tapi tak ada nama pengirimnya ya, Bu?" "Iya ya, atau mungkin saja kejutan dari kampung, Mbak," jawab wanita paruh baya itu. "Hmm ,,, ya sudah makasih ya, Bu," ucapnya tersenyum sembari membuka pintu kamar. "Tumben ada kiriman paket, apa dari kampung ya? Tapi biasanya kak Sari selalu bilang kalau mau mengirim barang," gumamnya bertanya-tanya sambil membuka plastik pembungkus kotak itu. "Haa, boneka?" ucapnya merasa aneh. "Astagfirullah!" teriaknya terkejut saat melihat benda kecil mengkilat menusuk tepat di dada boneka hello kitty itu. Jantungnya semakin berdegub kencang saat menarik selembar kertas berwarna merah yang terselip di antara mata pisau dan boneka imut berwarna putih itu. "Ya Allah! ini darah! apa maksudnya?" ucapnya perlahan sambil memberanikan diri menyentuh dengan ujung jarinya. Kertas yang kaku karena darah yang mulai mengering, entah darah siapa ia tak tahu."BERHENTI MENULIS BERITA LIMBAH PABRIK. JIKA TAK INGIN NASIBMU SEPERTI BONEKA CANTIK INI!"
"INGAT JANGAN CERITAKAN PADA SIAPAPUN. KARENA KAMI SELALU MENGAWASIMU!"
Napasnya tersengal dengan tubuh gemetar. Seketika keluar keringat dingin dari pori-pori tubuhnya karena merasa sangat takut. Ini jelas merupakan ancaman. Secara refleks ia menatap ke arah jendela. Terlihat 3 orang dengan badan besar, berambut gondrong dan bertato tengah duduk tak jauh dari rumah kos tempatnya tinggal. Mereka tampak asing baginya, karena memang tak pernah melihat sebelumnya.
"Ya Allah, aku takut!" lirihnya.
"Orang-orang itu kini mengetahui keberadaanku. Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan.Gadis itu cepat menguasai diri, memastikan pintu dan jendela terkunci rapat. Ia pun teringat pesan Ramdan, jika menemui masalah untuk segera menghubunginya. Namun, pesan agar tidak menceritakan kejadian ini kepada siapa pun masih membuatnya dilema.
"Ya Allah bagaimana ini? bila aku menghubungi seseorang bisa saja nanti mereka bertindak nekat," ucapnya bimbang.
"Ah tidak, aku harus cepat bertindak," gumamnya sembari mengambil gawai dari dalam tasnya untuk selanjutnya menghubungi Ramdan.
"Assalamualaikum, P- ak" ucapnya lirih di ujung telepon dengan suara tercekat.
"Waalaikumsalam, Akira," jawab Ramdan. "Kamu kenapa Ra? Ada masalah? Ceritakan sama saya," kata Ramdan berusaha menenangkan gadis itu. "Begini, Pak. Saya lagi terancam," ujarnya. "Maksudnya apa, Ra?" "Siapa yang mengancam?" "Bapak masih ingat berita tentang pencemaran limbah perusahaan yang dituntut warga,?" tanya Akira. "Iya. Kenapa Ra?" "Sepertinya ada orang-orang yang nggak senang berita itu kita muat di surat kabar. Baru saja saya dapat kiriman paket berisi ancaman, Pak untuk menghentikan beritanya. Kalau tidak mereka bisa bertindak nekat," jelasnya."Oke sekarang saya paham. Sekarang kamu dimana?"
"Saya di kos, Pak. Nggak berani keluar. Sepertinya mereka sudah mengawasi gerak-gerik saya," kata Akira seraya menjelaskan ada beberapa pria yang menunggu di luar kosnya. "Ya sudah. Tunggu saja di kamar, saya segera ke sana. Pastikan semua akses masuk terkunci. Dan jangan dibuka sebelum saya datang," pinta Ramdan.Waktu berjalan terasa sangat lamban. Menunggu Ramdan datang rasanya seperti sebulan. Terlebih, dua dari beberapa pria yang mengawasi kediamannya dari jauh mulai mendekat. Sementara kondisi kos setiap pagi memang selalu sepi karena sebagian besar penghuninya pergi untuk melakukan aktifitasnya masing-masing.
"Yaa Allah ... tolong saya," harap Akira lirih. Gadis itu semakin gelisah sembari terus melafaskan zikir dan doa memohon perlindungan dari sang khalik.
Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara ketukan dari luar kamar kosnya.
"Tok ... tok ... tok"
Tak berani membukakan pintu, Akira diam layaknya sebuah patung. Keringat terus mengucur dari wajahnya. Tubuhnya gemetar, memikirkan apa yang akan terjadi.
"Tok ... tok ... tok"
Kali ini suara ketukan dari luar pintu semakin keras. Membuat wajah Akira semakin pucat. Dari dalam kamar ia mendengar secara samar percakapan kedua pria yang dilihatnya dari jendela tadi.
"Brakkk"
Suara pintu berusaha di buka paksa dari luar. Dengan sekuat tenaga Akira berusaha mempertahankan satu-satunya benteng pelindung. Kemudian lemari yang berada di sudut ruangan didorongnya untuk mengganjal pintu. Namun kekuatan pria yang berusaha masuk ke kamar kos, tak sebanding dengan Akira. Pintu kamar kos pun terbuka secara paksa. Sontak, Akira lari bersembunyi ke bawah ranjang yang sempit dan pengap. Nafasnya terasa terhenti. Tubuhnya semakin gemetar. Meski beberapa kali ia berusaha menenangkan diri, tapi tetap saja tidak dapat menutupi perasaan takutnya."Prakkk ... prakk ... prakk ... jangan bersembunyi gadis cantik. Kami tahu engkau di dalam," ucap salah seorang pria dengan suara parau sambil memukulkan benda keras yang dipegangnya.
Akira terus diam membisu. Terlebih, langkah kaki kedua orang tersebut kini terhenti tepat di sisi ranjang tempatnya bersembunyi.
Tiba-tiba tangan seorang pria menarik kakinya secara paksa keluar. Akira terus berusaha mempertahankan dirinya agar tak tertangkap. Namun apalah daya, kekuatannya tak sebanding dengan dua orang pria bertato dan bertubuh tinggi itu."Lepaskan saya!"
"Tolong!" teriak gadis itu berharap suaranya terdengar seseorang di luar kamar.
"Hahaha. Di luar sepi tak ada orang jadi ikut kami jangan banyak tingkah!" umpat lelaki bertubuh tinggi.
"Siapa kalian?" teriak Akira sambil terus meronta berusaha melepaskan cengkraman salah satu pria.
"Mau apa kalian!" sentak Akira sambil menendang paha salah satu dari kedua pria itu.
"Sial!" umpat pria yang terkena tendangan brutal Akira.
"Sudah diam! Ikut kami menghadap bos. Karena ulah kamu, bikin masalah besar!" bentak pria yang berusaha menarik Akira keluar pintu kamar kosnya.
Kondisi di luar kos pada saat itu sedang sepi. Walaupun berteriak suaranya tak akan terdengar karena mulutnya dibekap dengan lakban hitam tebal. Sementara kedua tangannya terikat. Akira ditarik dengan kasar dan didorong masuk ke dalam sebuah mobil hitam yang telah menunggu di parkiran kos.
Saat pintu mobil hendak ditutup tiba-tiba sebuah hantaman keras mendarat di tubuh pria pertama. Ya, Ramdan datang bak super hero tanpa basa-basi langsung menghajar pria yang berusaha membawa paksa Akira. Dengan wajah khawatir, netra gadis berjilbab itu terus melihat aksi Ramdan melumpuhkan kedua pria tadi. Akhirnya, dengan kemampuan beladiri yang dimilikinya, kedua pria tersebut berhasil dilumpuhkan.
"Kamu tidak apa-apa, Ra?" tanya Ramdan sembari membuka lakban yang menutup mulut gadis itu.
"Iy ... a, Pak," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Ramdan lalu melepaskan tali yang mengikat kedua tangan Akira.
"Sebentar lagi polisi akan datang. Sebelum kesini saya sudah hubungi. Jadi kamu tenang saja," ucap Ramdan.
Tak lama berselang, dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara sirine mobil polisi yang makin lama makin mendekat. Dua buah mobil polisi itu kemudian berhenti tepat di depan rumah kos-kosan yang ditempati Akira. Dengan sigap turun beberapa pria berbadan tegap lengkap dengan senjata dan atribut kepolisian. Mereka langsung mengamankan para pelaku penyerangan. Dengan tangan terborgol mereka selanjutnya dibawa masuk ke dalam mobil polisi. Sontak, pemandangan ini jadi pusat perhatian warga sekitar yang terkejut dengan kehadiran polisi.
Sementara itu, Romlah yang baru saja pulang dari pasar juga tampak kebingungan dengan kejadian yang disaksikannya. Bergegas ia masuk ke dalam rumah untuk mencari tahu perihal yang terjadi.
"Lho barusan ada apa yah. Kok banyak polisi?" tanyanya pada Basuki Ketua RT yang juga datang ke rumah itu.
"Begini, Bude tadi Akira di serang orang. Tapi syukurnya ada nak Ramdan yang cepat datang menolongnya. Jadi bisa selamat," jelasnya.
"Lha terus Akiranya sekarang di mana?" tanyanya lagi sambil mengarahkan netranya kesana-kemari.
"Masih di kamarnya bersama polisi dan Nak Ramdan untuk dimintai keterangan," jawab Basuki.
To Be Continued ...
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.