Kakiku pegal karena terlalu lama berdiri sehingga aku pun memutuskan untuk berjongkok.
Tidak lama kemudian petugas penjaga pintu mendatangi lagi, dan ini sudah sekian kali dengan menyakan hal yang sama berulang-ulang.
“Apa kau benar-benar tidak apa-apa berada di sini?”
Dapat kulihat wajahnya yang cemas, karena bisa saja dia takut kedapatan membiarkan tamu berada di luar gedung malam-malam.
Untuk meyakinkannya, aku mengangguk pasti hingga membuat leherku sedikit pegal.
“Tidak apa-apa. Kembali saja ke dalam, aku lebih suka menunggu di luar,” kataku sembari mengibaskan tangan, pertanda mengusir petugas itu agar membiarkanku sendiri, tetapi dia sangat keras kepala, atau mungkin saja rasa takut berlebih membuatnya enggan beranjak.
“Di dalam lebih hangat dan nyaman,” bujuknya lagi yang membuatku ingin memutar bola mata.
Bagaimana cara mengusir petugas ini agar membiarkanku sendiri?
“Aku lebih
Aku menatap langit-langit kamar, dan dengan perasaan kesal, kedua tanganku memukul sisi tempat tidur diikuti hentakan kaki berkali-kali.Dasar pria menyebalkan!Setelah membawaku ke sini, Gavin pergi keluar dan meninggalkanku sendiri, tapi tidak lama setelahnya dia datang lagi dengan sebuah kemeja dalam genggaman bersamaan dengan T-Shirt dan juga celana boxer.Tanpa sekali pun melihat ke arahku, dia menaruh semua itu di kaki ranjang, lalu keluar begitu saja.Aku bahkan tidak mendengar sedikit pun dia bicara, membuatku sedikit menderita karena itu artinya dia benar-benar abai sehingga pergi tanpa sepatah kata.Apa aku pulang saja? Tapi … aku tidak mau di rumah sendiri.Bagaimana bila ke rumah Evan?Hhh … takutnya dia sedang ke party dan tidak di rumah.Saat kedua tanganku memukul kasur kembali, maka saat itu pula Gavin memutuskan untuk masuk ke kamar dan berdiam diri di depan pintu sembari bersandar pada kusen seda
Setelah kejadian beberapa hari lalu, aku pun melakukan apa saja untuk merusak hari-hari yang Gavin lalui dengan sengaja. Dimulai dari mendatanginya ke Red Cage, lalu mengobrak-abrik kesenangannya saat dia bersama wanita lain. Bahkan, banyak wanita yang perlahan menjauhinya karena tahu aku akan melabrak mereka satu per satu, namun hanya satu orang saja yang tidak terpengaruh, yaitu si Jalang Nayla.Tidak hanya mendatangi Gavin di mana saja, aku juga menerornya dengan pesan-pesan singkat serta menghubunginya tengah malam, hanya untuk memastikan dia sendiri apa tidak. Untungnya Om Jaxon berbaik hati memberiku nomor Gavin dan tanpa peduli dia akan kesal, aku pun mengganggunya setiap waktu.Mulai dari menanyakan apakah dia sudah makan, hingga kegiatan apa yang sedang dia lakukan. Meski dengan marah-marah, Gavin tetap membalas dan menjawab semua pertanyaan.Hanya saja, saat kami mengadakan pesta Piyama di Penthouse milik saudara laki-laki Slaine, yaitu Danny Johanson,
Malam semakin larut, tetapi aku tidak juga bisa tidur, sehingga aku pun terbangun kembali dan duduk di atas kasur sembari menatap ke arah jendela yang sengaja kubuka.Bulan tampak bersinar terang di luar, tetapi cahayanya yang lembut tidak bisa memberiku ketenangan.Bahkan aku tidak menyadari pipi yang basah selama beberapa menit. Dan begitu lelehan air mata jatuh ke lengan, barulah aku mengusap semua jejak tangis yang tidak ingin kubiarkan bertahan lama di pelupuk.Kepalaku melirik ke arah ponsel yang terletak di atas meja, namun sekuat tenaga aku mengenyahkan keinginan untuk meraihnya.Buat apa? Menghubungi Gavin tengah malam dan menangis hanya untuk diabaikan? Atau mungkin saja dia mengangkat panggilan dan aku mendengar suara feminim yang sedang menghangatkan ranjangnya di seberang.Mengingat kemungkinan terakhir, hatiku merasa sakit tiba-tiba, dan tanpa sadar aku meremas dada lalu menepuk-nepuknya pelan.“Kau bahkan tidak peduli,&r
Aku mematut diri di depan cermin dengan tidak minat, padahal bila diperhatikan sekilas, kecantikanku sangat paripurna, tanpa cela dan … sempurna.Sayang sekali, tidak ada teman dansa yang akan menghabiskan malam bersama. Dan dapat kubayangkan nantinya aku hanya akan jadi pajangan di sudut ruangan, menatap ke arah teman-temanku yang berputar di lantai bersama pasangan masing-masing, sedangkan wajah mereka tampak berbinar bahagia.“Krista?” panggil Ibu dari luar kamar yang membuat senyum tidak tulusku luntur seketika.Mendengar kekhawatiran dari nada suaranya, aku tahu bahwa Ibu pasti ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, dan di mana pria berstelan necis yang seharusnya mengetuk daun pintu sejak sejam lalu, karena jelas sekali acara Prom Night akan dimulai tidak lama lagi, tetapi tidak seorang pria pun datang ke rumah.Aku bahkan sudah tidak peduli, dan jika memang terlambat, aku hanya akan pasrah.“Krista?”
Begitu lama aku berputar-putar di sekitar Denver, hingga akhirnya mobilku berhenti tepat di depan Klub GC.Begitu berhenti, aku pun memutuskan untuk tetap berdiam di dalam sembari melirik ke sekitar.Entah apa yang sedang kucari, karena yang kuikuti adalah kata hati begitu melewati jalanan Denver, sehingga tanpa sadar membawaku ke sini.Setelah menarik napas dalam-dalam, aku memutuskan untuk segera pergi dan pulang saja ke rumah, tetapi suara ketukan di pintu jendela membuatku terlonjak seketika.Dengan cepat kepalaku mengarah ke sumber suara, dan perasaan lega membanjiri saat mendapati ternyata Mason yang berada di luar.“Ada apa kau mengetuk?” tanyaku begitu menurunkan kaca jendela.Dia tersenyum dan mengisyaratkan dengan tiga jari dari tangan kanan agar aku keluar.Begitu berada di luar mobil, dia langsung mencecarku dengan pertanyaan bertubi-tubi.“Bukankah ini hari besarmu? Mengapa kau ada di
Suara seseorang sedang melakukan percakapan membuatku terjaga.Kelopak mataku membuka dengan berat, dan kepalaku menoleh pelan ke arah sumber suara, yang ternyata berasal dari sosok laki-laki yang tidak ingin kulihat atau sebut namanya lagi.Kini, dia berdiri menyamping, sedang fokus pandangan ada pada pemandangan di luar jendela.Sepertinya dia masih memakai baju yang tadi, karena penampilannya masih belum berubah. Yang hilang hanyalah dasi, dan tampaknya kancing baju bagian atas terbuka sedikit, memamerkan kulit indah yang sedikit berkilau ditimpa remang-remang lampu jalanan, juga memberikan sedikit pencahayaan pada wajahnya yang terlihat kaku.Aku berusaha menutup mata kembali dan berharap ini semua hanya mimpi, namun berapa kali pun mencoba, sosok itu masih berdiri di tempat semula.Kali ini aku mendengarkan apa yang sedang dia bicarakan dengan orang di ujung panggilan.“Dia masih belum bangun,” ucapnya dengan berbisik pelan.
Setibanya di rumah, Ayah pun membukakan pintu, dan matanya langsung tertuju ke arah parkiran, namun dia tidak menemukan siapa-siapa di sana.Kembali dia mengarahkan matanya padaku, dan dari balik pandangannya yang teduh, aku dapat membaca sebuah pertanyaan; ‘Di mana dia?’Yang kuyakini Ayah pasti sudah mendengar kemana saja aku semalaman.“Aku lelah,” kataku dengan suara serak karena nyeri menahan tangis yang menolak untuk tumpah sejak tadi.Mendengar ucapanku yang memiliki dua makna, Ayah pun membalas dengan senyuman lemah, dan setelahnya dia mempersilahkanku untuk masuk ke dalam rumah dengan membukakan pintu lebar-lebar.“Apa kau sudah makan?” tanya Ayah begitu aku berajalan hendak ke kamar.Mendengar nada khawatir yang kentara, ingin rasanya aku berbalik dan memeluk Ayah, tetapi aku tidak ingin terlihat lemah.“Tidak,” jawabku lagi, enggan memulai percakapan.Dapat kurasakan ma
*Tiga Setengah Tahun Kemudian*Udara pagi di Kota Boston berembus dingin, hingga membuat beberapa mahasiswa yang keluar dari asrama merapatkan jaket masing-masing. Termasuk pula gadis bertubuh petit dengan wajah cantik yang mengalihkan beberapa fokus para mahasiswa ketika melewatinya. Rambut blonde strawberry gadis itu berayun seirama dengan langkahnya yang anggun saat melewati beberapa kerumunan mahasiswa laki-laki di dekat parkiran.Salah satu dari mahasiswa di sana sampai terpaku, sehingga teman di sebelahnya harus menepuk bahu pria tersebut untuk menyadarkan dari pesona seorang Krista Reid, si dewi kampus, yang menjadi incaran banyak pria di universitas.“Kau lihat, bagaimana mungkin aku bisa mengalihkan mata dari makhluk Tuhan yang sesempurna itu,” gumam pria berambut auburn itu.“Wajahnya memang sempurna, tetapi kelakukannya …”Seketika kumpulan itu pun hening dan serentak mereka menarik napas panjang.&l