LOGIN"Yuu~ki~~!!"
"Uwah!!! -eh maaf aku kaget.” “Hahaha imutnya!!" "Hah?" "Pffttt.. Kamu lagi ngapain sibuk sendirian kaya gitu?" "Milah sampah, kan aku piket hari ini." "Sini aku bantuin deh.." "Nggak usah, kamu juga besok piket kan?" "Heee, kok Yuuki tau sih?" "Gimana gak tau, kamu nulis nama di jadwal segede harapan orang." "Hmm? Kamu ngomong apa? Jangan bisik-bisik gitu dong kan aku jadi gak denger kamu ngomong apa.." "Ahahah iya juga ya. Gapapa kalo gak kedengeran, bukan hal penting juga kok. Jangan dipikirin." "Gitu kah? Mm ya udah deh.. Yamazaki kemana kok kamu sendiri?" "Ah, Yamazaki? Dia tadi masih di kelas, tapi aku emang ngajuin diri buat buang sampah kok, sekalian aja sebelum pergi ke ruang musik." "Kamu mau masuk ekstra musik?" "Engg- eh belum tau maksudnya." "Kalo gitu aku ikutan deh!, hehehe." "Emang yang selama ini anak-anak tanya 'Shima kok kamu belum nentuin mau ikut ekstra apa?', itu bener?" "Iya dong. Tidak pernah ada kebohongan dalam hidupku huahaha~" Terheran, aku hanya menghela nafas. "Permisi.." "Ya. Masuk aj- loh??!?" "Ehh, kenapa?" Tanyaku sebelum akhirnya Shima ikut menimbrung, "kenapa-kenapa?" "Ngapain dia ikut?" Tanya Souta menyipitkan matanya. Shima yang tetap santai, ia tertawa dan masuk dengan percaya diri sambil berkata kalau ia juga ingin melihat bagaimana kegiatan ekstra musik sekolahnya ini. "Maaf ya, kami tadi ketemu di tempat pembuang-“ "Gapapa, aku paham kok, pasti bukan salahmu." "Heee kalian berdua jangan bisik-bisik sendirian dong, ada aku juga nih ajak ajak." "Males." Jawab Souta dengan muka datarnya. "Anak musik yang lain?" "Pada belum dateng, biasanya sih sebentar lagi." Jreeengggggg..... Alunan gitar itu berbunyi. Seakan ingin mengetes nada dari senar gitar, Shima membunyikan gitar itu dan duduk memangkunya. Bernyanyi, ia alunkan lagu sampai reff selesai. Souta dan aku hanya terdiam mendengarnya. Keheningan berakhir saat suara tepuk tangan dari seseorang hadir. "Jago banget loh, gila!" Ucap orang itu. Dari gaya bicaranya yang santai, apa mungkin senior?? Agak canggung juga ya, ternyata mereka semua laki-laki.. Orang tadi menunjuk ke arahku sambil bertanya siapa aku. Dengan cepat aku menunduk menyapanya. Saat Shima menyusul memperkenalkan dirinya, kakak kelas itu berkata, "yah kalo sekelas dia mah tahu, siapa sih anak sini yang gak tahu ni anak. Ya, kan?” "Ahahaha.. Segitunya kah?" Setelah sesi perkenalan selesai, dua kakak kelas tadi bersiap di posisi masing-masing. Dilengkapi kertas lirik dan chord seadanya, Shima turut diajak. Ketukan dari sang drummer sebagai tanda untuk para kawannya memasuki lagu, memimpin dengan cakap. Semuanya menyuarakan perasaan mereka melalui musik masing-masing, aku merinding saking terpesonanya. Apa ini, perasaan bergejolak yang hadir begitu saja dalam diriku.. Suara nyanyian dari sang vokalis begitu menyayat hati, terlebih rasa sakit yang baru kurasakan hari ini. Setitik air mata dari rasa haru akhirnya lolos. Mendekati ending, buru-buru kuseka wajahku. "Gimana, dengan ini kamu mau gabung kan sama kami?" "Tapi saya gak bisa main musik kak." "Hah apaan itu?!" Mendengar pertanyaan ini, terlintas seketika dalam pikiranku, 'Ya kan, pasti mustahil..', tapi ternyata aku hanya berpikiran negatif. "Semua orang disini juga awalnya gak ada yang bisa. Kami belajar dan terus belajar, bukan jago dari lahir. Jadi gimana? Mau gak?" "M-mau kak!" "Oke, nanti kita cari apa keahlianmu. Sampe jumpa di hari besok ya, untuk sekarang kalian para anak baru bisa pulang duluan aja. Kalo kami mau lanjut latihan dulu." "Para anak baru, maksudnya anak itu juga ikut kak?" Tanya Souta menunjuk Shima. "Ikutlah dia jago begitu kok mainnya. Kamu juga mau kan masuk musik?" "Jelas mau dong!" Souta berdecak dan sengaja memperlihatkan ekspresi kecewanya itu. Entah hal apa yang membuatnya kurang suka pada Shima, padahal semua anak sangat menyukainya. Ya itu bukan urusanku juga sih.. Akhirnya aku dan Shima pulang duluan. Kami berpisah di persimpangan gang kecil. Dia mengambil arah kiri, sedangkan aku sebaliknya. "Aku pulang~" Wussshhhhhhh... Hanya ada keheningan yang menyapaku. 'Ternyata belum ada orang di rumah, ya tak heran sih, mereka semua bekerja. Tak sepertiku yang masih sekolah ini, semua kakak kos sudah memasuki kehidupan yang sesungguhnya.' Menaruh tas kuraih handuk berniat mandi. Setelah turun, handuk yang tadinya kupegang erat dengan kedua tangan terlepas begitu saja saat melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat.. Bersambung..Sudah hitungan hari sejak Ryo ikut tinggal di kos. Walau begitu, dia tetap punya kesehariannya tersendiri. Tak pernah Ryo mengikutiku kemana aku pergi meskipun terkadang dia seperti anak kecil. Di weekend ini, aku sudah janjian bareng Kak Masao, Shima dan Souta. Kak Masao yang mengajak kami untuk ngopi bareng, sambil merencanakan kejutan untuk ulang tahun Kak Kenta. Kami saling menghubungi lewat pesan pribadi tentunya. Karena di grup kan ada Kak Kenta, dan ketiga orang itu sudah sampai di cafe. "Tunggu ya, 3 menit lagi aku sampai," balasku cepat. Sesampainya, kulihat mereka bertiga sedang mengobrol dengan tenangnya. Momen yang jarang sekali untuk dilihat. Bahkan beberapa wanita di cafe itu tak hanya sekali menengok ke arah ketiganya. Tanpa sadar, aku sudah memotret mereka dengan ponselku. "Yuuki!" seru Shima. Lihat, ketenangan itu hilang begitu saja oleh kelakuannya. Dia bergerak menghampiri dan menarikku begitu saja.
"Terima kasih Pak, kalau begitu proses penandatanganan sudah terlaksana. Percayakan proyek ini pada kami. Bapak tinggal pantau saja perkembangannya melalui berita." "Baik, jangan sia-siakan kepercayaan yang saya beri ya." Lelaki itu pergi setelah menghabiskan satu gelas americano miliknya. Berkas dokumen ditata rapi kembali dimasukkan ke dalam tas laptop. Hina, beranjak bermaksud kembali ke kantornya. Namun, kedua kaki itu dihentikan saat ia melihat anak laki-lakinya bersama dengan wajah yang dia kenali dengan baik. “Ryo?” “M-mama?” “Kamu sedang apa di sini? K-kamu.. kenal dia?” “Ryo. Kamu ikut mama sekarang. Kita pulang.” Sesampainya di rumah, bertepatan dengan Ren yang baru saja pulang dari dinasnya. Hina, tadinya penuh amarah, kini menjadi lemah. Tak mungkin dia mengungkit soal Yuuki pada Ren. Hari-hari berikutnya pun Ryo terus menghi
Bagaimana Yuuki bisa mengenal dan akrab dengan siswa seperti itu? Pertanyaan itu pasti sedang terngiang-ngiang di pikiran Kyohei. Dirinya tak tenang, ia sangat penasaran. Namun, gerak-geriknya terbatasi. Dia belum bisa menemukan celah saat Minami lengah. "Kamu tahu, ada saat dimana kita rela mencegah pisau yang sengaja ditusuk orang lain untuk orang yang kita sayang," lamunan Kyohei dipatahkan. "Maksudnya? Ada apa sih Kak tiba-tiba??" "Bayangkan saja, ada orang yang bermaksud menusuk orang yang kita sayang dari belakang. Dan tanpa kita sadari, kita jadi menggenggam pisau itu erat. Lalu apa yang harus dilakukan?" "Enggak tahu kalau orang lain. Kalau itu aku, kubuang pisau itu dan beri pelajaran orang yang ingin menusuknya! Barulah kuobati telapakku yang terluka." "Loh, itu pintar? Lalu kenapa sekarang kamu masih menyedihkan seperti itu?" Kening Kyohei mengerut begitu dalam. Dia marah diejek oleh kakaknya,
Kring kriing .. “Hei, pesanan kita udah jadi tuh ambil gih!” pinta Minami sembari ia ketuk lembut meja. Si pacar, Kyohei malah asik melirik ke depan cafe mengikuti langkah seseorang yang Minami sendiri tak sempat melihatnya siapa dia. ‘Bukan Yuuki kan?’ batin si cantik licik itu sebelum ia panggil lagi nama pacarnya dengan nada tinggi namun tetap lirih. Masih sadar ini tempat umum rupanya. Sedangkan Kyohei, ia masih memikirkan Shima dan sesosok asing yang tadi dilihatnya. Dia bahkan tak begitu merespon pacarnya yang asik bercerita. Penasaran, ia seakan ingin cepat-cepat mengakhiri kencannya kali ini. “Habis ini, kita mau ke mana lagi?” “Maaf, kali ini kita pulang dulu ya. Aku ada urusan.” “Kok gitu, janjinya kan bakal seharian sama aku?!” “Maaf. Aku anter kamu pulang.” Ngambek? Tentu. Mana mungkin seorang Minami terima begitu saja. Tapi, karena belanjaann
“Gak bisa dateng tepat waktu ya?” “Mika, baru kali ini juga dia telat, kamu-“ “Gapapa Ka, emang aku yang salah. Maaf ya, kalian jadi nunggu.” Karena bos di tempat kerja sedang terlambat menggantikanku, aku jadi telat untuk datang kerja kelompok. Yah, walaupun cuma lima belas menit, tapi Mika ini memang tegas anaknya. Bahkan sejak pertama kami saling mengenal dia sudah terus terang akan ketegasannya. Usai minta maaf, Fuka dan lainnya menggelengkan kepala mereka seakan tak masalah akan keterlambatanku ini. Kecuali Mika, tapi tak apa. Fuka menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Kerja kelompok selesai, masing-masing anak sibuk mengerjakan tugasnya. Waktu berlalu begitu saja, sampai malam tiba. “Inget ya, nilai presentasi kita harus bagus. Gak wajib buat jadi yang terbaik, tapi jangan sampai bikin malu nilainya. Oke?!” tekan Mika sipaling ketat urusan nilai. Semua anak menga
Kreeeekkk… Suara pintu tergesek seakan penuh dengan debu diantaranya dengan lantai. Menyusul kak Hikaru, aku masuk ke dalam rumah. Jujur kali ini aku tetap saja tercengang. Menatap sebal sosok di depanku yang masih saja tertawa seakan mengejek. Siapa yang mengira kalau hubungannya dengan kak Aimi yang sedekat itu benar-benar hanya sebatas teman? Aku yakin banyak yang berpikir kalau mereka ada dalam hubungan serius. Ah,, malu banget. “Kak, udah Kak..” protesku setengah memohon. Lelaki tampan itu keasikan menutup mulutnya demi berhenti tertawa. Karena kesal, kusuruh saja dia tertawa terus. Kaki ini melangkah ke kamar dan mengurung diri di sana. Sengaja kuputar musik dengan keras agar suara tawa kak Hikaru tak terdengar. Harapanku hanya satu. Semoga ia simpan rapat-rapat aibku ini. Kalau sampai yang lain tahu, apalagi kak Aimi, pa




![Without You [Indonesia]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)


