Masuk"Owalah, kamu nunggu?" Tanyanya, "padahal bisa loh di taroh sini aja."
"Gapapa, lagian ini bukan wilayah kami jadi tak sopan jika kami bertindak seenaknya seperti itu." Aku mengangguk menyapanya saat kami bertatapan, tapi dia alihkan pandangan matanya itu dengan cepat. Diam, aku mendengarkan saja dua orang ini mengobrol. Untungnya Michio memahami posisiku, ia menutup obrolan lebih dulu dan pamit untuk kembali ke kelas. "Kalian udah kenal dari lama ya?" "Ah, ya.. Kami tetanggaan, dan satu SMP juga sih." Aku hanya memberinya anggukkan karna kurasa tidak sopan jika bertanya lagi, tapi orang ini malah dengan sukarelanya memberitahu, "Emm sejak kapan ya, akhir sekolah dasar sepertinya, dia mulai menunjukkan rasa yang lebih dari teman. Tapi sampai sekarang, ia tak pernah mengatakannya. Aku sendiri juga gak berani untuk membuka pintu yang ia tutup rapat." "Bagi orang lain mungkin ia tak terlihat menutupi. Tapi sebenarnya ia sudah dengan sekuat tenaga menahan perasaannya." Lanjutnya. Aku jadi teringat tentangku dan Kyohei. Bedanya, aku tak seberani itu menunjukkan pada setiap cewek yang bersama Kyohei dengan tatapan seperti tadi. Tak bisa menahan diri, aku menanyakan satu pertanyaan dimana jawaban yang Michio berikan cukup perih untuk kudengar. "Apa kamu otomatis menjaga jarak darinya karna tau dia menyukaimu?" .... Kembalinya kami ke kelas, sempat di tahan oleh salah satu teman kelas. Tapi aku tetap masuk begitu saja karena merasa aneh. Ahhhhhh, gila. Aku ingin menangis di tempat ini sekarang juga.. Sayangnya aku tak secengeng itu di depan orang lain. Aku masih bisa berakting untuk biasa saja dan tetap bertahan di kelas. Saat semua mulai keluar kelas, aku membereskan barangku dan pergi dari kelas juga. Aku mempercepat langkahku setelah kurasa aku sudah jauh dari kelas. Mencari tempat yang tak pernah dikunjungi oleh murid lain ataupun guru sekalipun. Ya, itu atap. Setelah pintu kututup, aku langsung jongkok menutupi wajahku dengan dua telapak tangan dan menangis sekencang-kencangnya. Malunya, ternyata ada yang mengikutiku sampai sini. Aku tak tahu kapan pintu itu terbuka, kusadari kehadirannya saat ia memelukku yang masih menangis. "Gapapa, gak ada orang lain yang tahu. Cuma ada aku disini." Ucapnya. Aku terus terpikirkan selama ini, kenapa saat kita sedih dan mendengar kata 'gapapa' baik itu pertanyaan ataupun penegasan, malah semakin runtuh pertahanan kita. Sesenggukkan aku menangis cukup lama. Aku lepaskan pelukan orang itu dan mulai menghapus sisa-sisa air mata yang menempel. "Udah nangisnya?" Tanya orang itu yang mana dia adalah Michio. Aku mengangguk saat menerima sapu tangan darinya. "M-makasih.. Kamu- kenapa kamu bisa disini?" "Emm, kenapa ya? Aku juga gak tahu." Tersenyum ia menarik tanganku. Michio melepas jaketnya, menyuruhku untuk duduk disana. Awalnya aku menolak, tapi ia terus memaksa. Tanpa bertanya apapun, seakan ia langsung tau alasanku menangis seperti ini. "Aku terlihat bodoh bukan, menangisi hal seperti itu.." "Itu bukan 'hal seperti itu' aja kok. Emangnya, aku terlihat seperti tipe orang yang suka menghakimi orang lain ya?" Aku menggeleng tak setuju. “Maaf ya karna seenaknya ngikutin kamu gitu aja, juga.." ia memalingkan sejenak matanya dariku seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Juga?" "Emm, aku minta maaf soal jawabanku atas pertanyaanmu tadi." "Ahhh, gak gak. Kamu bener kok, siapapun pasti risih kalau terlalu dekat dengan orang yang menyukaimu tapi kamu gak menyukainya. Kalau urusan mengikutiku kesini, gak masalah. Malah aku berterima kasih jadinya.." "Ini bukan tentang risih atau enggak. Posisinya, kalau kami semakin dekat, takutnya malah menyakiti. Atau semakin diharapkan. Tapi kalo Kyohei, aku gak bisa kasih komentar apa-apa sih. Aku gak tahu isi hatinya, dan aku juga gak mau sok tahu." Aku tersenyum mengerti akan apa yang ia ucapkan. "Pasti menyakitkan ya melihatnya berci*man dengan orang lain. Ya walaupun mereka berdua sekarang udah pacaran ataupun karna katanya mereka kalah main game, tetep aja itu sangat menyakitimu bukan?" Mengangguk aku tersenyum mengiyakan pertanyaannya. Dengan berbagai kalimat ia mencoba untuk menghiburku. Aku jadi bercerita tentangku dan Kyohei. Banyak hal yang kuceritakan padanya, sampai tak sadar waktu semakin menarik matahari untuk tenggelam. Tadinya, Michio ingin mengantarku pulang, tapi karna arah kami cukup berbeda, aku menolaknya. Untungnya, ia pun tak ragu untuk menerima penolakanku. “Sampe jumpa lagi.” Ucapnya. Sesampainya di kos, aku beruntung karena rumah masih kosong. Dan dengan percumanya, aku kembali menangis setelah masuk kamar sampai aku tertidur. Saat suara orang mengobrol terdengar, dengan cepat aku berlari meraih pintu kamar untuk menguncinya sebelum kudengar suara kak Aimi memanggil-manggilku. Waktu yang tepat. Bersambung..Sudah hitungan hari sejak Ryo ikut tinggal di kos. Walau begitu, dia tetap punya kesehariannya tersendiri. Tak pernah Ryo mengikutiku kemana aku pergi meskipun terkadang dia seperti anak kecil. Di weekend ini, aku sudah janjian bareng Kak Masao, Shima dan Souta. Kak Masao yang mengajak kami untuk ngopi bareng, sambil merencanakan kejutan untuk ulang tahun Kak Kenta. Kami saling menghubungi lewat pesan pribadi tentunya. Karena di grup kan ada Kak Kenta, dan ketiga orang itu sudah sampai di cafe. "Tunggu ya, 3 menit lagi aku sampai," balasku cepat. Sesampainya, kulihat mereka bertiga sedang mengobrol dengan tenangnya. Momen yang jarang sekali untuk dilihat. Bahkan beberapa wanita di cafe itu tak hanya sekali menengok ke arah ketiganya. Tanpa sadar, aku sudah memotret mereka dengan ponselku. "Yuuki!" seru Shima. Lihat, ketenangan itu hilang begitu saja oleh kelakuannya. Dia bergerak menghampiri dan menarikku begitu saja.
"Terima kasih Pak, kalau begitu proses penandatanganan sudah terlaksana. Percayakan proyek ini pada kami. Bapak tinggal pantau saja perkembangannya melalui berita." "Baik, jangan sia-siakan kepercayaan yang saya beri ya." Lelaki itu pergi setelah menghabiskan satu gelas americano miliknya. Berkas dokumen ditata rapi kembali dimasukkan ke dalam tas laptop. Hina, beranjak bermaksud kembali ke kantornya. Namun, kedua kaki itu dihentikan saat ia melihat anak laki-lakinya bersama dengan wajah yang dia kenali dengan baik. “Ryo?” “M-mama?” “Kamu sedang apa di sini? K-kamu.. kenal dia?” “Ryo. Kamu ikut mama sekarang. Kita pulang.” Sesampainya di rumah, bertepatan dengan Ren yang baru saja pulang dari dinasnya. Hina, tadinya penuh amarah, kini menjadi lemah. Tak mungkin dia mengungkit soal Yuuki pada Ren. Hari-hari berikutnya pun Ryo terus menghi
Bagaimana Yuuki bisa mengenal dan akrab dengan siswa seperti itu? Pertanyaan itu pasti sedang terngiang-ngiang di pikiran Kyohei. Dirinya tak tenang, ia sangat penasaran. Namun, gerak-geriknya terbatasi. Dia belum bisa menemukan celah saat Minami lengah. "Kamu tahu, ada saat dimana kita rela mencegah pisau yang sengaja ditusuk orang lain untuk orang yang kita sayang," lamunan Kyohei dipatahkan. "Maksudnya? Ada apa sih Kak tiba-tiba??" "Bayangkan saja, ada orang yang bermaksud menusuk orang yang kita sayang dari belakang. Dan tanpa kita sadari, kita jadi menggenggam pisau itu erat. Lalu apa yang harus dilakukan?" "Enggak tahu kalau orang lain. Kalau itu aku, kubuang pisau itu dan beri pelajaran orang yang ingin menusuknya! Barulah kuobati telapakku yang terluka." "Loh, itu pintar? Lalu kenapa sekarang kamu masih menyedihkan seperti itu?" Kening Kyohei mengerut begitu dalam. Dia marah diejek oleh kakaknya,
Kring kriing .. “Hei, pesanan kita udah jadi tuh ambil gih!” pinta Minami sembari ia ketuk lembut meja. Si pacar, Kyohei malah asik melirik ke depan cafe mengikuti langkah seseorang yang Minami sendiri tak sempat melihatnya siapa dia. ‘Bukan Yuuki kan?’ batin si cantik licik itu sebelum ia panggil lagi nama pacarnya dengan nada tinggi namun tetap lirih. Masih sadar ini tempat umum rupanya. Sedangkan Kyohei, ia masih memikirkan Shima dan sesosok asing yang tadi dilihatnya. Dia bahkan tak begitu merespon pacarnya yang asik bercerita. Penasaran, ia seakan ingin cepat-cepat mengakhiri kencannya kali ini. “Habis ini, kita mau ke mana lagi?” “Maaf, kali ini kita pulang dulu ya. Aku ada urusan.” “Kok gitu, janjinya kan bakal seharian sama aku?!” “Maaf. Aku anter kamu pulang.” Ngambek? Tentu. Mana mungkin seorang Minami terima begitu saja. Tapi, karena belanjaann
“Gak bisa dateng tepat waktu ya?” “Mika, baru kali ini juga dia telat, kamu-“ “Gapapa Ka, emang aku yang salah. Maaf ya, kalian jadi nunggu.” Karena bos di tempat kerja sedang terlambat menggantikanku, aku jadi telat untuk datang kerja kelompok. Yah, walaupun cuma lima belas menit, tapi Mika ini memang tegas anaknya. Bahkan sejak pertama kami saling mengenal dia sudah terus terang akan ketegasannya. Usai minta maaf, Fuka dan lainnya menggelengkan kepala mereka seakan tak masalah akan keterlambatanku ini. Kecuali Mika, tapi tak apa. Fuka menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Kerja kelompok selesai, masing-masing anak sibuk mengerjakan tugasnya. Waktu berlalu begitu saja, sampai malam tiba. “Inget ya, nilai presentasi kita harus bagus. Gak wajib buat jadi yang terbaik, tapi jangan sampai bikin malu nilainya. Oke?!” tekan Mika sipaling ketat urusan nilai. Semua anak menga
Kreeeekkk… Suara pintu tergesek seakan penuh dengan debu diantaranya dengan lantai. Menyusul kak Hikaru, aku masuk ke dalam rumah. Jujur kali ini aku tetap saja tercengang. Menatap sebal sosok di depanku yang masih saja tertawa seakan mengejek. Siapa yang mengira kalau hubungannya dengan kak Aimi yang sedekat itu benar-benar hanya sebatas teman? Aku yakin banyak yang berpikir kalau mereka ada dalam hubungan serius. Ah,, malu banget. “Kak, udah Kak..” protesku setengah memohon. Lelaki tampan itu keasikan menutup mulutnya demi berhenti tertawa. Karena kesal, kusuruh saja dia tertawa terus. Kaki ini melangkah ke kamar dan mengurung diri di sana. Sengaja kuputar musik dengan keras agar suara tawa kak Hikaru tak terdengar. Harapanku hanya satu. Semoga ia simpan rapat-rapat aibku ini. Kalau sampai yang lain tahu, apalagi kak Aimi, pa
![Without You [Indonesia]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)






