MasukLelahnya menahan malu dan rasa sakit, aku berjalan pulang dengan malas. Perlahan mulai overthingking akan hari yang belum terjadi.
“Yuuki.” Lirih seseorang yang ternyata Michio. Kami mengobrol cukup lama sampai akhirnya aku baru ingat kalau rumahnya kan nggak searah dengan kosku. Aku mengatakan padanya siapa tahu dia juga lupa, tapi dia malah bilang memang mau mengantarku pulang. “Eh iya, kamu gak masuk angin karna tadi kan?” Aku menggelengkan kepala dan memberitahunya tentang apa yang terjadi di pagi hari tadi. Ia hanya merespon seadanya saja, tapi aku cukup puas sih dengan reaksi yang ia berikan, karna ia tak menghakimi ataupun bertanya banyak hal. Mulai tak ingin membahas Kyohei lebih lanjut, aku mengalihkan pembahasan sampai kami tiba di depan kos. “Udah sampe loh,” kataku sambil menunjuk kos. Michio tiba-tiba mengatakan kalau aku menginjak sesuatu, spontan aku menundukkan kepalaku. Tapi,.. “Kamu udah bertahan dengan baik ya..” Lirihnya sambil meletakkan tangannya di atas kepalaku. Tak lama, akhirnya ia pamit pulang. Tanpa melihat orang baik itu berlalu pergi, aku hanya berkata, ‘hati-hati’ karena menahan air mata yang sebenarnya ingin keluar. Sungguh, betapa cengengnya aku kalau bersamanya. … Di hari festival olahraga, semua telah siap dengan pakaian olahraganya. Oh iya, aku jadi ingat tentang pakaian yang Shima pinjamkan untukku waktu itu. Setelah mencucinya, aku langsung mengembalikan celana beserta jaketnya. Tak enak mengembalikannya begitu saja, aku memberinya beberapa bungkus makanan ringan dan bekal yang kubeli di minimarket. Jujur saat itu, aku cukup malu karna aku berterus terang kalau aku tak bisa memasak, jadi aku hanya membelikannya makanan di minimarket. Tapi dengan itu saja ia sudah terlihat senang. Kembali lagi ke topik awal, aku yang hanya mengikuti lomba pemandu sorak menunggu giliran lomba tiba sambil menyemangati teman-teman yang sedang berlomba. Teriknya sinar matahari yang menyentuh kulit tak mematahkan semangat semua siswa. Masing-masing kelas terlihat antusias untuk memenangkan kelasnya. “Kyohei!! Semangat!!!!!” Seru Minami berteriak saat Kyohei bersiap untuk lomba lari estafet. Dua teman yang setia bersanding dengan Minami menatap tajam ke arahku. Tatapan mereka sangat tajam sampai membuatku merinding.. Akhirnya aku menyerah untuk memandang mereka dan mengatakan pada Hiromi kalau aku ingin pergi membeli minuman dingin lebih dulu. Aku juga menawarinya barangkali ia ingin menitip, tapi ia hanya menggelengkan kepalanya saja. “Haaahhh.. Gila panas banget, kok pada bisa semangat gitu semua anak. Punya energi seberapa besar mereka..” Yah sebenarnya aku ingin sekali pergi dari keramaian dan pergi ke kelas, tapi tak ada satupun orang yang meninggalkan arena lomba, jadi aku merasa tak enak pada yang lain. Aku kembali ke lapangan dengan dua teh dingin kalengan. “Emmm, Hiromi? Kamu suka ini gak, aku terlanjur masukin uang lebih dan kepencet dua kali juga.” “Haa, bisa-bisanyaa??” “Hehe, yaa gitulah.. Gimana, suka gak ini? Aku gak mungkin sih minum dua-duanya.” “Ya oke oke aja sih.” “Kalo gitu, nih buat Hiromi satu.” “Nanti uangnya aku ganti aja.” “Gak usah lah, ngapain diganti.” “Bener nih?? Oke deh, makasih.” Kegirangan, Takumi berteriak, “Yossssha! Kelas kita menang!!” Minami pun menyombongkan pacarnya yang turut serta dalam lomba setelah mendengar teriakan ketua kelas. “Iyalah, ada Kyohei yang ikut,” begitu katanya sembari melihatku. Mungkin Hiromi juga enggan melihatnya, ia menekuk muka manisnya itu mengajakku untuk kembali ke kelas. “Padahal yang bikin kelas kita menang dari tadi Shima.” “Hehe, iya ya.. Yah biarin aja deh, biar dia seneng.” Kukira aku dan Hiromi yang pertama kali sampai di kelas, ternyata ada beberapa anak laki-laki yang sudah sampai di kelas. Diantaranya ada Souta. Raul langsung mendekat begitu ia melihatku. “Hei hei, Yuuki..,” “Ternyata si Souta waktu itu berantem loh sama Kyohei, kamu apa tahu?” Aku menoleh ke arah Souta yang terlihat mengerutkan keningnya melihat Raul. Sambil menggeleng, aku bertanya balik, “Kok bisa?” Setelah semua orang terdiam, beberapa saat setelahnya Souta menjawab. “Yah urusan cowok aja. Gak ada hal lain kok, tenang aja.” Teman-teman yang ada di kelas menyoraki Souta karena jawaban yang ia berikan seperti pengungkapan perasaannya untukku. Berbagai kegiatan selesai dilaksanakan, hari pertama festival pun berjalan dengan lancar. “Yuuki yuukii??” Terdengar suara Shima. Dia mengajakku untuk pergi bersamanya, mencari sesuatu. Hadiah untuk seseorang katanya. Sebenarnya aku berniat pulang bersama Hiromi. Setelah mengobrol banyak hal, kami jadi tahu kalau ternyata jalan pulangku dengannya satu arah. Tapi rencana kali ini kugagalkan karna Shima sampai memohon pada Hiromi. Aku dan Shima pun pergi ke mall terdekat. “Jadi? Kamu mau cari apa dan buat siapa?” Bersambung..Sudah hitungan hari sejak Ryo ikut tinggal di kos. Walau begitu, dia tetap punya kesehariannya tersendiri. Tak pernah Ryo mengikutiku kemana aku pergi meskipun terkadang dia seperti anak kecil. Di weekend ini, aku sudah janjian bareng Kak Masao, Shima dan Souta. Kak Masao yang mengajak kami untuk ngopi bareng, sambil merencanakan kejutan untuk ulang tahun Kak Kenta. Kami saling menghubungi lewat pesan pribadi tentunya. Karena di grup kan ada Kak Kenta, dan ketiga orang itu sudah sampai di cafe. "Tunggu ya, 3 menit lagi aku sampai," balasku cepat. Sesampainya, kulihat mereka bertiga sedang mengobrol dengan tenangnya. Momen yang jarang sekali untuk dilihat. Bahkan beberapa wanita di cafe itu tak hanya sekali menengok ke arah ketiganya. Tanpa sadar, aku sudah memotret mereka dengan ponselku. "Yuuki!" seru Shima. Lihat, ketenangan itu hilang begitu saja oleh kelakuannya. Dia bergerak menghampiri dan menarikku begitu saja.
"Terima kasih Pak, kalau begitu proses penandatanganan sudah terlaksana. Percayakan proyek ini pada kami. Bapak tinggal pantau saja perkembangannya melalui berita." "Baik, jangan sia-siakan kepercayaan yang saya beri ya." Lelaki itu pergi setelah menghabiskan satu gelas americano miliknya. Berkas dokumen ditata rapi kembali dimasukkan ke dalam tas laptop. Hina, beranjak bermaksud kembali ke kantornya. Namun, kedua kaki itu dihentikan saat ia melihat anak laki-lakinya bersama dengan wajah yang dia kenali dengan baik. “Ryo?” “M-mama?” “Kamu sedang apa di sini? K-kamu.. kenal dia?” “Ryo. Kamu ikut mama sekarang. Kita pulang.” Sesampainya di rumah, bertepatan dengan Ren yang baru saja pulang dari dinasnya. Hina, tadinya penuh amarah, kini menjadi lemah. Tak mungkin dia mengungkit soal Yuuki pada Ren. Hari-hari berikutnya pun Ryo terus menghi
Bagaimana Yuuki bisa mengenal dan akrab dengan siswa seperti itu? Pertanyaan itu pasti sedang terngiang-ngiang di pikiran Kyohei. Dirinya tak tenang, ia sangat penasaran. Namun, gerak-geriknya terbatasi. Dia belum bisa menemukan celah saat Minami lengah. "Kamu tahu, ada saat dimana kita rela mencegah pisau yang sengaja ditusuk orang lain untuk orang yang kita sayang," lamunan Kyohei dipatahkan. "Maksudnya? Ada apa sih Kak tiba-tiba??" "Bayangkan saja, ada orang yang bermaksud menusuk orang yang kita sayang dari belakang. Dan tanpa kita sadari, kita jadi menggenggam pisau itu erat. Lalu apa yang harus dilakukan?" "Enggak tahu kalau orang lain. Kalau itu aku, kubuang pisau itu dan beri pelajaran orang yang ingin menusuknya! Barulah kuobati telapakku yang terluka." "Loh, itu pintar? Lalu kenapa sekarang kamu masih menyedihkan seperti itu?" Kening Kyohei mengerut begitu dalam. Dia marah diejek oleh kakaknya,
Kring kriing .. “Hei, pesanan kita udah jadi tuh ambil gih!” pinta Minami sembari ia ketuk lembut meja. Si pacar, Kyohei malah asik melirik ke depan cafe mengikuti langkah seseorang yang Minami sendiri tak sempat melihatnya siapa dia. ‘Bukan Yuuki kan?’ batin si cantik licik itu sebelum ia panggil lagi nama pacarnya dengan nada tinggi namun tetap lirih. Masih sadar ini tempat umum rupanya. Sedangkan Kyohei, ia masih memikirkan Shima dan sesosok asing yang tadi dilihatnya. Dia bahkan tak begitu merespon pacarnya yang asik bercerita. Penasaran, ia seakan ingin cepat-cepat mengakhiri kencannya kali ini. “Habis ini, kita mau ke mana lagi?” “Maaf, kali ini kita pulang dulu ya. Aku ada urusan.” “Kok gitu, janjinya kan bakal seharian sama aku?!” “Maaf. Aku anter kamu pulang.” Ngambek? Tentu. Mana mungkin seorang Minami terima begitu saja. Tapi, karena belanjaann
“Gak bisa dateng tepat waktu ya?” “Mika, baru kali ini juga dia telat, kamu-“ “Gapapa Ka, emang aku yang salah. Maaf ya, kalian jadi nunggu.” Karena bos di tempat kerja sedang terlambat menggantikanku, aku jadi telat untuk datang kerja kelompok. Yah, walaupun cuma lima belas menit, tapi Mika ini memang tegas anaknya. Bahkan sejak pertama kami saling mengenal dia sudah terus terang akan ketegasannya. Usai minta maaf, Fuka dan lainnya menggelengkan kepala mereka seakan tak masalah akan keterlambatanku ini. Kecuali Mika, tapi tak apa. Fuka menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Kerja kelompok selesai, masing-masing anak sibuk mengerjakan tugasnya. Waktu berlalu begitu saja, sampai malam tiba. “Inget ya, nilai presentasi kita harus bagus. Gak wajib buat jadi yang terbaik, tapi jangan sampai bikin malu nilainya. Oke?!” tekan Mika sipaling ketat urusan nilai. Semua anak menga
Kreeeekkk… Suara pintu tergesek seakan penuh dengan debu diantaranya dengan lantai. Menyusul kak Hikaru, aku masuk ke dalam rumah. Jujur kali ini aku tetap saja tercengang. Menatap sebal sosok di depanku yang masih saja tertawa seakan mengejek. Siapa yang mengira kalau hubungannya dengan kak Aimi yang sedekat itu benar-benar hanya sebatas teman? Aku yakin banyak yang berpikir kalau mereka ada dalam hubungan serius. Ah,, malu banget. “Kak, udah Kak..” protesku setengah memohon. Lelaki tampan itu keasikan menutup mulutnya demi berhenti tertawa. Karena kesal, kusuruh saja dia tertawa terus. Kaki ini melangkah ke kamar dan mengurung diri di sana. Sengaja kuputar musik dengan keras agar suara tawa kak Hikaru tak terdengar. Harapanku hanya satu. Semoga ia simpan rapat-rapat aibku ini. Kalau sampai yang lain tahu, apalagi kak Aimi, pa







