Patah hati.
Itulah yang mendorong Sinar untuk pergi menonton konser. Ia memanfaatkan profesinya sebagai sekretaris redaksi sebuah perusahaan media cetak—Metro, agar bisa berada di backstage dan leluasa bergerak di sekitar panggung. Tempat para wartawan dan fotografer sibuk meliput.
Tidak hanya itu, Sinar juga meminta name tag dari Andri, rekan kerjanya yang sekaligus ketua event organizer, agar dirinya terlihat sebagai bagian dari tim penyelenggara.
“Minum, Nar.” Andri menyodorkan sebotol air mineral pada Sinar saat menghampiri gadis cantik itu di backstage. “Haus banget kayaknya.”
“Hmm.” Sinar mengangguk dan menerima botol air mineral tersebut dengan ragu. Saat hendak memutarnya, ternyata tutup botolnya sudah lebih dulu terbuka. Namun, Sinar melihat sekali lagi jika air di dalamnya masih terisi penuh. “Makasih.”
“Baru gue bukain,” kata Andri ketika melihat Sinar terkejut dengan keadaan tutup botolnya.
“Hmm.” Sinar kembali mengangguk. Karena memang haus, ia segera meminum air tersebut hingga tersisa separuh. Ia menutupnya kembali lalu duduk pada kursi plastik yang dilihatnya baru saja kosong. “Nggak lihat Bima, Ndri?”
“Sama ceweknya,” ujar Andri kembali mendekati Sinar dan berdiri di sebelahnya. “Nggak tahu, pergi ke mana tadi.”
Dasar fùckboy. Sinar hanya bisa memaki dalam hati.
Entah wanita mana lagi yang sedang dikencani Bima kali ini, padahal pria itu baru saja putus dengan pacarnya dua hari yang lalu.
Sebenarnya, Sinar datang ke konser bersama Bima. Jadi, seharusnya ia juga pulang dengan pria itu. Namun, melihat situasinya sekarang, ia ragu Bima akan muncul tepat ketika konser selesai. Pria itu pasti akan terlambat, karena sedang menikmati waktu bersama "kekasih" barunya.
“Ndri! Dicari Mike,” ujar seorang pria yang datang terburu. “Dia komplain makanan buat artisnya.”
“Masa’ gue yang harus turun tangan?” Andri protes dengan keras. Ia menatap Sinar yang masih tampak tenang, dengan kaki yang bergoyang karena musik kembali dimainkan. “Cari Dita coba.”
“Dia maunya elo!”
Andri berdecak. Kembali menatap Sinar lalu menepuk bahu gadis itu. “Nar, gue pergi bentar. Lo jangan ke mana-mana. Tunggu gue di sini. Nggak lama.”
Sinar hanya mengernyit tidak mengerti. Ia tidak mengangguk untuk mengiyakan, pun menggeleng untuk menolak. Sinar hanya bingung, karena sikap Andri barusan.
Kenapa juga ia harus menunggu Andri kembali?
Begitu pria itu pergi, Sinar segera mengeluarkan ponsel. Ia mencoba menghubungi Bima, tetapi tidak kunjung diangkat. Alhasil, Sinar hanya mengirimkan sebuah pesan pada pria yang sudah menjadi temannya sejak kuliah.
Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, Sinar merasakan ada yang tidak beres pada dirinya. Kepalanya mendadak berat dan matanya pun mulai berkunang-kunang. Pandangannya mengabur, suara riuh konser di sekitarnya terasa semakin jauh, seolah dunia mulai berputar pelan.
Tatapannya tertuju pada botol air mineral yang masih di genggaman. Mengingat tutup botol tersebut sudah terbuka ketika diterimanya, Sinar menjatuhkannya seketika. Memaki Andri dalam hati dan merutuki kecerobohannya sendiri.
Di sisa kesadarannya, Sinar memaksakan diri untuk bangkit. Dengan langkah tergesa, ia mencari jalan keluar. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini adalah menjauh dari Andri. Ia terus berjalan, berusaha menuju area parkir khusus, tempat mobil Bima terparkir.
Namun, dalam perjalanannya, ia melihat bayangan seorang pria menghampiri. Entah siapa, karena kesadarannya benar-benar menipis. Pandangannya semakin kabur, langkahnya terhuyung, dan tubuhnya terasa semakin lemah.
“Nar ... Sinar?”
Suara itu menggema di telinga, tetapi Sinar tetap tidak mampu mengenali siapa pria yang sudah berada di dekatnya. Ia mencoba melangkah mundur, tetapi keseimbangan tubuhnya tidak lagi bisa dikendalikan. Sinar limbung, dunia di sekelilingnya seolah berputar dan ... segalanya hilang dalam kegelapan.
~~~~~~~~~~~~
NOTE:
Sesuai request, akhirnya versi asli Sinar bisa terbit di sini.
Cerita ini prequel dari MY DEAREST CAHAYA yang sudah terbit di GN lebih dulu.
Versi asli Sinar sebelum di-remake jadi MAL [Pembaca lama sudah tahu, ya]
Yes, another anti-mainstream story dari saya.
Untuk yang sudah membaca lebih dulu di sebelah, mungkin akan menemukan banyak sekali perbedaan dari versi awal. Ada bagian yang saya rombak, pun dengan beberapa nama tokoh di dalamnya karena beberapa alasan. Tapi, semua perubahan tetap akan mempertahankan esensi dari jalan cerita aslinya.
Hepi riding, Mba beb ter💙
Kisseeesss
💋💋💋💋
Pada akhirnya, Elo berhasil membujuk Sinar untuk diantar pulang. Elo berasalan, nantinya mereka akan menjadi rekan kerja. Untuk itu, tidak boleh ada permusuhan agar pekerjaan mereka berjalan baik ke depannya.“Uhhh ...” Sinar membuang napas besar dari mulutnya ketika Elo membuka pintu mobil untuknya. Mengibas tangan di depan wajah, dengan pipi yang menggembung menatap pria itu. “Mobilnya bau rokok. Parah ini, sih!”“Namanya juga mobil cowok, Nar.” Elo tertawa tanpa rasa bersalah sama sekali. “Tapi aku jamin bersih, baru dicuci tadi pagi.”“Tapi bau rokok.” Sinar menggeleng. Kemudian, ia mulai berakting mual di depan pria itu. “Masa’ baru dicuci tapi dah bau? Itu artinya, Pak El nyebatnya parah ih. Coba mobilnya Pak Bin, wangi kopi. Enak.”Elo tersenyum tipis. Lantas, ia membuka semua pintu mobilnya dengan lebar. Termasuk pintu bagasi. “Tunggu lima menit.”“Kena ....” Sinar menutup mulutnya ketika Elo tiba-tiba berlari meninggalkannya. Pria itu memasuki kantor dan tidak lama kemudian k
Asing.Semua benar-benar tidak bisa seperti dahulu lagi. Meskipun mengatasnamakan profesionalisme kerja, tetapi tetap saja ada jarak yang membentang antara Sinar dan Bintang.“Ehm!” Sinar berdehem, menegur sekretaris redaksi cabang yang sejak tadi hanya menatap Bintang. “Fokus, Lis.”Lilis buru-buru memalingkan wajah, lalu tertawa melihat Sinar. “Cakep, ya! Tapi sayang sudah ada yang punya.”“Siapa?” tanya Sinar pura-pura tidak tahu.“Pak Bintang.” Lilis meringis lebar. “Dulu, aku pernah magang di kantor pusat. Dan beliau itu orangnya humble banget sama semua orang.”“Kapan magang di kantor pusat?”“Lima tahun yang lalu,” jawab Lilis kembali fokus pada layar komputernya. “Pak Bintang waktu itu belum jadi redpel.”“Ooo.” Sinar membulatkan bibirnya. Ternyata bukan dirinya saja yang kagum dengan pria itu, tetapi wanita lainnya juga seperti itu.“Udah ketemu istrinya belum?” tanya Lilis.“Belum.” Sinar menggeleng. Menghela panjang sembari menatap Bintang yang berada di sisi ruang yang ber
Kesiangan.Tanpa sempat berpikir panjang, Sinar bergegas membereskan kamar seadanya. Semuanya serba buru-buru, karena pagi itu Bintang akan menjemputnya untuk berangkat ke kantor cabang.Tadinya, Sinar sudah meminta agar mereka bertemu di kantor saja. Namun, tanpa bisa dibantah dan dengan alasan efisiensi, Bintang mengatakan akan menjemputnya di rumah.Tepat pukul setengah enam, Bintang menelepon dan mengatakan sudah berada di luar rumahnya. Karena itulah, waktu Sinar benar-benar terbatas dan tidak bisa melakukan banyak persiapan seperti biasa.“Maaf, Pak Bin,” ucap Sinar ketika memasuki mobil pria itu. Ia harus bersikap profesional dan mengabaikan semua hal yang pernah terjadi di antara mereka. “Saya kesiangan. Insomnia.”“Gini yang katanya mau ketemu di kantor aja?” Bintang segera menjalankan mobilnya dengan perlahan. Menyusuri jalan sempit di tengah perkampungan, jalur satu arah yang hanya cukup dilalui satu mobil.“Maaf,” ucap Sinar sekali lagi. Perasaannya masih tidak karuan kare
Dari balik kemudi, Axel menatap setiap motor yang lewat atau berhenti di depan lobi kantor Sinar. Hingga pagi ini, gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Sinar memblokir nomornya dan tidak mau menerima panggilan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya.Karena itulah, pagi-pagi sekali Axel sudah berada di halaman kantor Sinar. Ia tidak punya muka datang ke rumah wanita itu, karena semua masalah yang telah terjadi.Hampir setengah jam menunggu, akhirnya Axel melihat sebuah motor berhenti di samping pelataran kantor. Sinar berangkat ke kantor menaiki ojek dan tidak membawa motornya.Menurut Axel itu lebih baik, karena kondisi gadis itu pasti sedang tidak baik-baik saja.“Sinar!” panggil Axel yang bergegas keluar mobil dan berlari menghampiri. “Ayo bicara sebentar.”Sinar menunduk dengan helaan berat. Ia tidak menduga, jika Axel masih berani menunjukkan wajah di depannya.“Aku nggak mau,” tolak Sinar setelah kembali mengangkat kepala. “Kita sudah selesai.”“Kamu bilang selesai semud
Mata Sinar melebar menatap Bintang dan ternganga. Jelas ia terkejut karena Izac melamarnya dengan tiba-tiba melalui panggilan telepon. Baginya, semua ini sungguh-sungguh berada di luar nalar. Mereka baru bertemu satu kali, tetapi Izac dengan berani mengajaknya menikah.Kemudian, sebuah sentuhan lembut di punggung tangannya membuat Sinar tersadar. Bintang memecah lamunannya, sehingga Sinar segera berdehem.“Kak, jangan korbankan diri demi Axel,” ucap Sinar menutup mata sejenak. “Biar Axel sama Ruri yang nikah minggu depan.”“Nggak ada yang saya korbankan,” sanggah Axel. “Tadi malam, kami ke rumahmu dan bundamu sudah setuju kalau saya yang menggantikan Axel.”“Bu-bunda?” Sinar kembali melebarkan mata dan merampas ponselnya dari tangan Bintang. “Jadi tadi malam, kalian ke rumah?”“Ya,” jawab Izac. “Dan kamu belum pulang tadi malam. Jadi—”“Jangan memutuskan sesuatu secara sepihak,” sela Sinar sembari bangkit dan menonaktifkan mode loudspeakernya. “Yang nikah saya, jadi, saya juga yang me
Sinar menyandarkan kepalanya di lengan Bintang. Mereka berbaring saling berhadapan, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu. Tatapan mereka bertaut, tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dipikirkan satu sama lain.“Sudah hubungi orang tuamu?” tanya Bintang berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai berlarian ke mana-mana. “Bilang ke mereka kalau kamu menginap di luar?”Sinar mengangkat bahunya samar. “Nggak akan ada yang peduli,” jawabnya enteng. “Mereka hidup di dunianya masing-masing, begitu juga saya. Jadi, pulang atau nggak, kayaknya sama aja.”Bintang tidak langsung menanggapi. Ucapan gadis itu membuat semua prasangkanya pada Sinar selama ini memudar. Sinar yang selalu ceria, penuh tawa, ternyata menyimpan sepi yang tidak pernah ditunjukkan. Dan entah kenapa, hatinya terasa sesak mendengar hal tersebut.“Tapi—”“Ayah sama bunda sudah pisah lama,” sela Sinar. Tanpa diminta, ia mulai membuka kisah tentang keluarganya. “Mereka sudah nggak tinggal bareng dari ... saya TK,” lanjutn
Sebuah air mineral dan satu kemasan susu cokelat favorit Sinar kini sudah berada di atas coffe table di hadapannya. ajah Sinar yang masih murung sedikit terangkat, menoleh ke arah pria yang kini duduk di sampingnya.“Itu...” Sinar menggumam pelan.Seolah tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu, Bintang tersenyum lembut. “Susu favoritmu, kan.” Bintang menunjuk kemasan susu cokelat di meja dengan dagu. “Saya coba beli karena sering lihat kamu bawa itu ke kantor. Ternyata enak, jadi saya stok di sini.”Bintang meraih kemasan susu itu dan membukanya, memberikan pada Sinar. Ia tahu, gadis itu tidak dalam kondisi yang baik karena datang ke tempatnya dengan wajah yang kusut. “Minum dulu.”“Makasih.”Ingin rasanya Sinar tersenyum, tetapi otot wajahnya serasa berat untuk di ajak bekerja sama. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berkali-kali.“Kamu sudah makan?” tanya Bintang.Ia tidak bertanya apa pun tentang kedatangan Sinar dengan wajah sembab ke apartemennya. Binta
“Ma!” Axel berseru tidak terima. Tanpa kejelasan, mamanya mendadak meminta Sinar menikah dengan kakaknya.“Ruri hamil.” Shania menunjuk sopan, ke arah dua tamu yang berada di ruang tengah. Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis muda bermata sembab. “Anak Axel. Jadi ... kita—"“Ha ... mil?” Sinar terpaku. Matanya membelalak menatap Ruri yang hanya menunduk dalam diam.“Nggak mungkin!” seru Axel, menunjuk tajam ke arah Ruri. “Kamu jangan main-main, Ri! Aku nggak yakin itu anakku! Jadi jangan seenaknya nuduh!”“Kalau kamu nggak yakin, nanti kita bisa lakukan tes DNA saat waktunya tiba,” sambar Izac tidak kalah keras. “Tapi, sambil menunggu kamu nggak bisa menikah dengan Sinar.”“Kak!” Axel kembali berseru, lebih keras dari sebelumnya.“APA!” Izac balas membentak semakin keras dan tegas. “Papa lagi di perjalanan dan setelah ini kita selesaikan semuanya.”“Semua sudah selesai,” ucap Sinar lirih. Ia bangkit perlahan, sambil menatap hasil USG yang tergeletak di meja.Entah mengapa, mesk
Sejak malam pertemuan dengan keluarga Axel itu, waktu terasa berlari begitu cepat bagi Sinar. Axel datang ke rumahnya, berbicara serius dengan bundanya. Dan hanya dalam hitungan hari, pertemuan antar keluarga pun terlaksana.Tidak butuh waktu lama, tanggal pernikahan mereka ditetapkan. Segala persiapan dilakukan dalam waktu singkat, semuanya serba cepat.Meski terasa terburu-buru, Sinar tidak lagi mencoba menghindar. Sebagian hatinya yakin, bahwa mungkin inilah jalan terbaik. Ia akan benar-benar lepas dari bayang-bayang Bintang.Mereka ... selesai.Segala simpul rumit yang pernah melilit hatinya, akhirnya usai. Setidaknya, itulah yang ingin Sinar yakini untuk saat ini.“Jangan lupa undangannya nanti diambil,” ujar Sinar mengingatkan seraya membuka pintu mobil.“Jangan lupa izin lagi nanti,” balas Axel melakukan hal yang sama. “Jam tiga aku jemput, kita fitting.”“Oke.” Sinar sudah menurunkan satu kakinya. “Aku kerja dulu, hati-hati.”“Kamu juga hati-hati,” pesan Axel. “Jangan deket-dek