Share

2~DS

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-03-19 15:21:54

Sinar mengerang pelan, tubuhnya menggeliat tanpa membuka mata. Ia kembali membungkus dirinya rapat-rapat dengan selimut, berusaha menghalau hawa pendingin ruangan yang menembus pori-porinya. Kepalanya terasa berat, sedikit pusing, hingga masih enggan membuka mata.

Seingat Sinar, ini adalah hari Minggu. Hari di mana ia bisa berlama-lama bergelung di kasur yang begitu nyaman. Ia menghirup dalam-dalam aroma asing yang entah kenapa terasa menenangkan.

Namun, sedetik kemudian, Sinar terkesiap. Matanya terbuka lebar dan mulai menelusuri ruang asing yang ditempatinya.

Di mana ini?

Pikirannya berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Begitu potongan-potongan ingatan mulai tersusun di kepala, matanya langsung membulat sempurna. Sinar buru-buru bangkit. Duduk sambil mengerang pelan dan memegangi kepalanya yang masih terasa pening.

Refleks, Sinar menatap tubuhnya sendiri, mengamatinya dengan seksama. Napasnya akhirnya meluruh lega, saat menyadari pakaiannya masih lengkap. Hanya jaketnya yang terlepas dan kini terlipat rapi di nakas, di samping tempat tidur. Sneakernya pun sudah tersusun rapi di lantai.

Namun, tetap saja Sinar bertanya-tanya, di mana sebenarnya dia berada? Suara siapa gerangan yang menggema di telinga, sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri?

Namun, aroma masakan yang tercium begitu nikmat, membuat Sinar melupakan banyak pertanyaan di kepala. Ia beranjak perlahan keluar kamar dan mendapati punggung tegap seorang pria sedang berkutat di dapur.

Sinar berdehem pelan. Meski sempat terkejut, tetapi Sinar justru semakin lega. Ternyata, suara pria yang sempat di dengarnya adalah suara Bintang, redaktur pelaksana di tempatnya bekerja. Pria pertama yang dijumpainya di Metro, sekaligus orang yang mewawancarainya ketika melamar pekerjaan. 

“Sudah bangun.” Bintang hanya memutar kepala sebentar dan tersenyum.

“Sudah, Pak,” jawab Sinar canggung.

“Teh, susu, atau kopi?” tawarnya kembali beralih pada wajan di kompor.

“Nggak usah repot-repot, Pak,” ucap Sinar semakin tidak enak hati.

“Mau mandi dulu atau sarapan?” Bintang kembali mengajukan pertanyaan. “Saya sudah siapkan peralatan mandi buatmu. Ada di kamar mandi dalam, di wastafel.”

“Mandi dulu.”

Tidak nyaman dengan kondisinya, Sinar berpamitan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia kembali ke kamar dan bergegas mandi dengan peralatan yang sudah disiapkan oleh Bintang.

Setelah selesai, ia kembali keluar dan mendapati dua piring omelet sudah tersaji di meja bar.

“Ayo sarapan,” ajak Bintang menarik stool bar kosong di sampingnya. “Dan cerita ke saya, semalam kamu kenapa?”

Sinar menurut, meski rasa segan masih bergelayut di dalam dada. Ia duduk di samping Bintang dan menatap pria tampan itu dengan debaran jantung yang tidak biasa.

Tidak ...

Ini tidak boleh terjadi. Bintang sudah memiliki istri dan anak. Jadi, tidak seharusnya jantungnya berdebar seperti sekarang. Lagi pula, Sinar baru saja patah hati dengan cinta pertamanya yang telah kembali pulang ke negaranya. Untuk itu, tidak boleh ada perasaan yang tumbuh sedikit pun. Tidak sekarang, tidak pula untuk seseorang seperti Bintang.

“Sepertinya ada yang nyampurin minuman saya sama obat tidur.” Sinar tidak bisa berterus terang, karena ia sendiri yang akan langsung mengkonfrontasi hal tersebut pada Andri. “Tapi karena kemarin lagi rame-rame, saya nggak tahu siapa yang sudah berniat jahat sama saya.”

“Lain kali hati-hati.” Bintang menghela sambil menunjuk piring Sinar. “Sarapan dulu.”

“Iya, Pak, makasih,” ucap Sinar segera mengambil sendok yang sudah tersedia di piring dan mulai memakan omeletnya. “Ibu ke mana, Pak?”

“Ada di rumah,” jawab Bintang santai.

“Pak Bin nggak pulang semalaman?”

“Saya lebih sering ada di apartemen daripada di rumah.”

“Kenapa?” Sinar mulai merasa ada yang tidak beres. Kenapa Bintang lebih sering berada di apartemen, sementara istrinya berada di rumah? 

Bukankah hal tersebut adalah sesuatu yang aneh?

“Habiskan sarapanmu,” titah Bintang kembali menunjuk piring Sinar dengan sendoknya. Ia mengabaikan pertanyaan Sinar, karena merasa tidak perlu menjawabnya dan memberi penjelasan.

Sinar spontan menekuk wajahnya. Menunduk dan langsung memakan omelet di hadapan tanpa bicara. Sepertinya, Bintang memang menyembunyikan sesuatu.

Namun, saat sebuah ingatan kembali menyeruak, Sinar pun kembali melontarkan pertanyaan.

“Bukannya Pak Bin cuti?” tanya Sinar. “Bilangnya mau pulang kampung ke tempat istri. Tapi, kenapa masih ada di Jakarta?”

“Apa harus saya jawab?” tanya Bintang tetap bersikap santai sejak tadi dan terus menyantap sarapannya.

“Nggak, sih.” Sinar menggeleng dengan kekehan hambar. “Itu, urusannya Pak Bin.”

Bintang menatap Sinar dengan senyum kecil. “Bule yang datang nemui kamu waktu itu, pacarmu bukan?”

“Bukan.” Begitu mengingat cinta pertamanya yang tidak akan mungkin bersatu, kesedihan kembali menyelinap di hati Sinar. Ia menunduk, jemarinya perlahan meletakkan sendok di atas piring. “Dia... cuma teman.”

Bintang mendesah dan ikut meletakkan sendoknya di piring. “Kalau cuma teman, mukamu nggak mungkin ditekuk seperti itu.”

“Kami ... berbeda.”

“Kamu produk lokal, sementara dia—”

“Kami beda agama,” putus Sinar lalu menghela panjang.

Setelah menunduk beberapa saat, Sinar akhirnya mengangkat kepala. Menatap Bintang. Mengangkat kedua bahu dan kembali mengambil sendoknya.

“Begitu rupanya.” Bintang manggut-manggut. “Nggak usah cemberut,” sambung Bintang. “Kamu masih muda. Nanti pasti akan ada penggantinya. Yang terbaik.”

“Susah kayaknya,” jawab Sinar pesimis. “Dia itu ... cinta pertama saya.”

Kali ini, Bintang geleng-geleng. “Senyum, Nar.”

“Nggak bisa, Pak.” Sinar menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Di sini, tuh, sakiiit banget kalau ingat dia. Jadi, gimana bisa senyum?”

“Bisa, bisa,” kata Bintang sambil memutar stool bar-nya ke arah Sinar. “Coba sini.”

Tanpa pikir panjang, tangan Bintang meraih wajah Sinar agar menatapnya. Dengan kedua telunjuk, ia menarik sudut bibir gadis itu ke atas, membentuk sebuah lengkungan.

“Nah, gini, kan, cantik,” ucapnya tanpa sadar dengan senyum yang mengembang di wajah.

Jantung Sinar seperti diobrak-abrik. Ia bahkan harus menahan napas karena sentuhan Bintang. Sejak awal, ia memang mengagumi pria tersebut. Selain tampan, Bintang juga sangat pintar dan baik pada semua orang. Karena itulah, Sinar merasakan sebuah getaran yang tidak biasa ketika mereka berada dalam posisi seperti sekarang.

Tatapan mereka bertemu, terjebak dalam diam yang begitu mengikat. Bintang tidak langsung melepas sentuhannya. Justru, perlahan ibu jarinya bergerak, mengusap pipi gadis itu dengan lembut.

Sinar terpaku, tubuhnya membeku. Hingga akhirnya, ia menyadari wajah Bintang semakin dekat. Dekat sekali.

Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu dalam pagutan lembut, Sinar hanya bisa memejamkan mata. Pasrah pada getaran aneh yang kini menguasainya dan melupakan cinta pertamanya ... Angkasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
loh loh kok malah lanjut.sinar jngn SMpai km JD redup gara2 JD orng ke 3 Lo ya
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
eling Nar eling..
goodnovel comment avatar
Yelloe Duassatu
nama2nya bisa jadi kalimat bintang menyinari angkasa ... Dan ttp masbin lebih bersinar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dear Secretary   Extra Part Terakhir

    Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruakPras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.Ti

  • Dear Secretary   Extra Part Lagi

    Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami. “Ada ayahmu di luar.”“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”“Aku sibuk.”“Jahat,

  • Dear Secretary   Extra Part

    Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.“Akhil!”Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.Namun, di mana?“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”“Di koran barangkali atau tivi.”Ah, ya!Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.Nam

  • Dear Secretary   175~DS

    “Papi, papi, adek Aya gelak-gelak,” ujar Aya sambil menempelkan sisi wajahnya di perut sang bunda. “Dali tadi dak mau diyem. Bunda udah kasi maem tapi masi lapal kayakna. Dak bobo-bobo.”Sinar tergelak mendengar ocehan Aya. Putri kecilnya itu, selalu memiliki sesuatu yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.“Ini memang bukan waktunya tidur,” ujar Pras sambil mengangkat Aya yang menempel pada perut Sinar. Kemudian, ia meletakkan gadis kecil itu di samping Asa yang sedang main play station seorang diri di karpet. “Mau berangkat sekarang?” tanya Sinar mengulurkan tangan pada Pras dan sang suami langsung menyambutnya. “Lima menit,” jawab Pras kemudian duduk di samping Sinar. “Lex baru datang. Biar dia ngopi du … mau apa lagi?” tanya Pras menatap datar pada Aya yang duduk di pangkuannya. Padahal, baru saja ia hendak berpamitan pada kedua calon bayi yang ada di perut Sinar, tetapi Aya tiba-tiba menyela. “Papi mau kerja, Ay,” ucap Sinar sambil mengacak rambut bergelombang Aya. “A

  • Dear Secretary   174~DS

    “Du-dua?” Eila menatap hasi USG yang diberikan oleh Pras. Melihat dua buah kantong janin yang ada di dalam sana. “I-ini ... kembar? Mami nggak salah, kan?”“Kembar,” jawab Pras untuk lebih meyakinkan sang mami. “Dan cuma dua.”Sinar reflek memukul lengan Pras. “Emang mau berapa? Enam?”Pras mengendik singkat. Sementara Eila langsung memeluk Sinar dengan erat. Menumpahkan kebahagiaan yang semakin bertambah di dalam keluarganya. Langkahnya untuk membawa Sinar masuk ke dalam hidup Pras ternyata tidak salah. Wanita itu ternyata mampu merubah banyak hal dan membuat hidup Pras semakin berwarna.Tentu tidak hanya Eila yang ikut berbahagia, Kaisar pun turut merasakan hal yang sama.“Mau apa?” Pras menahan kepala Bima yang mulai mendekat pada Sinar.“Ngasih selamatlah, Mas!”“Hm.” Pras bergeser segera. Berdiri di depan Sinar. Menjabat tangan Bima dengan segera. “Terima kasih. Sekarang kembali ke tempatmu.”Bima berdecih pelan. “Segitunya lo, Mas.”“Makanya nikah,” sindir Eila. “Bawa calonnya k

  • Dear Secretary   173~DS

    Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status