Sinar mengerang pelan, tubuhnya menggeliat tanpa membuka mata. Ia kembali membungkus dirinya rapat-rapat dengan selimut, berusaha menghalau hawa pendingin ruangan yang menembus pori-porinya. Kepalanya terasa berat, sedikit pusing, hingga masih enggan membuka mata.
Seingat Sinar, ini adalah hari Minggu. Hari di mana ia bisa berlama-lama bergelung di kasur yang begitu nyaman. Ia menghirup dalam-dalam aroma asing yang entah kenapa terasa menenangkan.
Namun, sedetik kemudian, Sinar terkesiap. Matanya terbuka lebar dan mulai menelusuri ruang asing yang ditempatinya.
Di mana ini?
Pikirannya berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Begitu potongan-potongan ingatan mulai tersusun di kepala, matanya langsung membulat sempurna. Sinar buru-buru bangkit. Duduk sambil mengerang pelan dan memegangi kepalanya yang masih terasa pening.
Refleks, Sinar menatap tubuhnya sendiri, mengamatinya dengan seksama. Napasnya akhirnya meluruh lega, saat menyadari pakaiannya masih lengkap. Hanya jaketnya yang terlepas dan kini terlipat rapi di nakas, di samping tempat tidur. Sneakernya pun sudah tersusun rapi di lantai.
Namun, tetap saja Sinar bertanya-tanya, di mana sebenarnya dia berada? Suara siapa gerangan yang menggema di telinga, sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri?
Namun, aroma masakan yang tercium begitu nikmat, membuat Sinar melupakan banyak pertanyaan di kepala. Ia beranjak perlahan keluar kamar dan mendapati punggung tegap seorang pria sedang berkutat di dapur.
Sinar berdehem pelan. Meski sempat terkejut, tetapi Sinar justru semakin lega. Ternyata, suara pria yang sempat di dengarnya adalah suara Bintang, redaktur pelaksana di tempatnya bekerja. Pria pertama yang dijumpainya di Metro, sekaligus orang yang mewawancarainya ketika melamar pekerjaan.
“Sudah bangun.” Bintang hanya memutar kepala sebentar dan tersenyum.
“Sudah, Pak,” jawab Sinar canggung.
“Teh, susu, atau kopi?” tawarnya kembali beralih pada wajan di kompor.
“Nggak usah repot-repot, Pak,” ucap Sinar semakin tidak enak hati.
“Mau mandi dulu atau sarapan?” Bintang kembali mengajukan pertanyaan. “Saya sudah siapkan peralatan mandi buatmu. Ada di kamar mandi dalam, di wastafel.”
“Mandi dulu.”
Tidak nyaman dengan kondisinya, Sinar berpamitan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia kembali ke kamar dan bergegas mandi dengan peralatan yang sudah disiapkan oleh Bintang.
Setelah selesai, ia kembali keluar dan mendapati dua piring omelet sudah tersaji di meja bar.
“Ayo sarapan,” ajak Bintang menarik stool bar kosong di sampingnya. “Dan cerita ke saya, semalam kamu kenapa?”
Sinar menurut, meski rasa segan masih bergelayut di dalam dada. Ia duduk di samping Bintang dan menatap pria tampan itu dengan debaran jantung yang tidak biasa.
Tidak ...
Ini tidak boleh terjadi. Bintang sudah memiliki istri dan anak. Jadi, tidak seharusnya jantungnya berdebar seperti sekarang. Lagi pula, Sinar baru saja patah hati dengan cinta pertamanya yang telah kembali pulang ke negaranya. Untuk itu, tidak boleh ada perasaan yang tumbuh sedikit pun. Tidak sekarang, tidak pula untuk seseorang seperti Bintang.
“Sepertinya ada yang nyampurin minuman saya sama obat tidur.” Sinar tidak bisa berterus terang, karena ia sendiri yang akan langsung mengkonfrontasi hal tersebut pada Andri. “Tapi karena kemarin lagi rame-rame, saya nggak tahu siapa yang sudah berniat jahat sama saya.”
“Lain kali hati-hati.” Bintang menghela sambil menunjuk piring Sinar. “Sarapan dulu.”
“Iya, Pak, makasih,” ucap Sinar segera mengambil sendok yang sudah tersedia di piring dan mulai memakan omeletnya. “Ibu ke mana, Pak?”
“Ada di rumah,” jawab Bintang santai.
“Pak Bin nggak pulang semalaman?”
“Saya lebih sering ada di apartemen daripada di rumah.”
“Kenapa?” Sinar mulai merasa ada yang tidak beres. Kenapa Bintang lebih sering berada di apartemen, sementara istrinya berada di rumah?
Bukankah hal tersebut adalah sesuatu yang aneh?
“Habiskan sarapanmu,” titah Bintang kembali menunjuk piring Sinar dengan sendoknya. Ia mengabaikan pertanyaan Sinar, karena merasa tidak perlu menjawabnya dan memberi penjelasan.
Sinar spontan menekuk wajahnya. Menunduk dan langsung memakan omelet di hadapan tanpa bicara. Sepertinya, Bintang memang menyembunyikan sesuatu.
Namun, saat sebuah ingatan kembali menyeruak, Sinar pun kembali melontarkan pertanyaan.
“Bukannya Pak Bin cuti?” tanya Sinar. “Bilangnya mau pulang kampung ke tempat istri. Tapi, kenapa masih ada di Jakarta?”
“Apa harus saya jawab?” tanya Bintang tetap bersikap santai sejak tadi dan terus menyantap sarapannya.
“Nggak, sih.” Sinar menggeleng dengan kekehan hambar. “Itu, urusannya Pak Bin.”
Bintang menatap Sinar dengan senyum kecil. “Bule yang datang nemui kamu waktu itu, pacarmu bukan?”
“Bukan.” Begitu mengingat cinta pertamanya yang tidak akan mungkin bersatu, kesedihan kembali menyelinap di hati Sinar. Ia menunduk, jemarinya perlahan meletakkan sendok di atas piring. “Dia... cuma teman.”
Bintang mendesah dan ikut meletakkan sendoknya di piring. “Kalau cuma teman, mukamu nggak mungkin ditekuk seperti itu.”
“Kami ... berbeda.”
“Kamu produk lokal, sementara dia—”
“Kami beda agama,” putus Sinar lalu menghela panjang.
Setelah menunduk beberapa saat, Sinar akhirnya mengangkat kepala. Menatap Bintang. Mengangkat kedua bahu dan kembali mengambil sendoknya.
“Begitu rupanya.” Bintang manggut-manggut. “Nggak usah cemberut,” sambung Bintang. “Kamu masih muda. Nanti pasti akan ada penggantinya. Yang terbaik.”
“Susah kayaknya,” jawab Sinar pesimis. “Dia itu ... cinta pertama saya.”
Kali ini, Bintang geleng-geleng. “Senyum, Nar.”
“Nggak bisa, Pak.” Sinar menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Di sini, tuh, sakiiit banget kalau ingat dia. Jadi, gimana bisa senyum?”
“Bisa, bisa,” kata Bintang sambil memutar stool bar-nya ke arah Sinar. “Coba sini.”
Tanpa pikir panjang, tangan Bintang meraih wajah Sinar agar menatapnya. Dengan kedua telunjuk, ia menarik sudut bibir gadis itu ke atas, membentuk sebuah lengkungan.
“Nah, gini, kan, cantik,” ucapnya tanpa sadar dengan senyum yang mengembang di wajah.
Jantung Sinar seperti diobrak-abrik. Ia bahkan harus menahan napas karena sentuhan Bintang. Sejak awal, ia memang mengagumi pria tersebut. Selain tampan, Bintang juga sangat pintar dan baik pada semua orang. Karena itulah, Sinar merasakan sebuah getaran yang tidak biasa ketika mereka berada dalam posisi seperti sekarang.
Tatapan mereka bertemu, terjebak dalam diam yang begitu mengikat. Bintang tidak langsung melepas sentuhannya. Justru, perlahan ibu jarinya bergerak, mengusap pipi gadis itu dengan lembut.
Sinar terpaku, tubuhnya membeku. Hingga akhirnya, ia menyadari wajah Bintang semakin dekat. Dekat sekali.
Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu dalam pagutan lembut, Sinar hanya bisa memejamkan mata. Pasrah pada getaran aneh yang kini menguasainya dan melupakan cinta pertamanya ... Angkasa.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y
Dengan memakai piyama lengkap, Sinar keluar dari kamar mandi. Mengambil ponselnya yang ada di nakas, tanpa memedulikan Pras sama sekali.Begitu ia berbalik dan hendak melangkah pergi, Pras membuka suara.“Masih mau pergi tidur di kamar Aya dan balik ke sini waktu pagi?”Sinar tidak jadi melangkah. Ia menatap Pras, tajam. Akhirnya, setelah tiga hari mereka tidak bertegur sapa karena masalah pil KB, Pras lebih dulu membuka mulut. Sinar baru membuka bibirnya, tetapi Pras lebih dulu melanjutkan kalimatnya. “Tidur di sini malam ini,” titah Pras tegas, tanpa mau dibantah. “Jangan berani-berani melangkah keluar kamar, atau kamu terima akibatnya.”“Kamu ngancam aku?”“Ya,” jawab Pras. “Matikan lampunya, terus tidur. Nggak perlu beralasan mau lihat Asa atau Aya, karena mereka tidur di kamar mami malam ini.”Sinar menghempas ponselnya di tempat tidur. Tidak lagi memiliki alasan untuk pergi keluar kamar, Sinar akhirnya menuruti perintah Pras. Mematikan lampu utama kamar, lalu berbaring di sam
Pagi itu, Pras terbangun dengan garis bibir yang melengkung sempurna. Sinar masih terlelap di pelukannya, napasnya teratur, dan hangat tubuhnya masih menyelimuti dada Pras. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi pembatas. Tadi malam, mereka benar-benar telah menyatu. Bukan hanya raga, tetapi dengan mantap juga menyatukan hati.Pras menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah Sinar dengan perlahan. Menatap lamat-lamat, menghafal setiap garis, setiap lekuk yang selama ini hanya bisa ia sentuh di dalam mimpi.Namun, tidak kali ini. Semua telah tampak begitu nyata, begitu dekat, dan Sinar akhirnya menjadi miliknya, seutuhnya. Dengan amat perlahan, Pras menggeser tubuh Sinar agar tidak mengganggu tidur lelapnya. Kemudian, ia membenarkan selimut di tubuh sang istri lalu pergi ke kamar mandi. Dan sejak pagi itu, Pras memutuskan untuk tidak lagi memakai kursi rodanya. Ia akan kembali menjalani kehidupan normal seperti biasa dan menjadi dirinya seutuhnya. ~~~~~~~~~~~~~~~“Pras!Eila t
Sudah hampir satu jam Sinar menunggu suaminya di ruang kerja Pras. Setelah itu, Pras muncul dan langsung mengajaknya pergi ke Network.“Yakin langsung ke Network?” tanya Sinar, sambil menggandeng Asa menuju lift. “Nggak mau istirahat dulu?”“Nggak,” jawab Pras lalu menguap sebentar sambil menutup mulutnya. “Cepat selesai, cepat pulang. Aku ngantuk, mau tidur.” Bibir Sinar langsung terlipat rapat, berusaha menahan tawa yang hampir meledak. “Tumben, emang semalam tidurnya nggak nyenyak?”“Hm, kepanasan,” jawab Pras, jujur tapi dengan nada malas.“Kepanasan?” tanya Irfan sambil menekan tombol lift menuju lantai dasar. “Saya aja sampai menggigil waktu masuk ke kamar Mas tadi pagi. Apa Mas nggak enak badan? Atau, kita bisa mampir dulu ke rumah sakit?”Sinar nyaris tertawa keras, tetapi ia buru-buru menggigit pipi bagian dalamnya dan menunduk. Ekspresi penat Pras, ditambah wajah serius dan khawatir Irfan, sungguh membuat Sinar geli sendiri. “Nanti aja, sekalian jadwal terapi,” elak Pras s
Dahi Sinar berkerut, menatap tajam ke arah Irfan yang hendak melangkah ke rumah depan. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan pria itu tanpa ada Pras di sebelahnya.“Jadi, sejak kapan Mas Pras mulai bisa jalan?” tanya Sinar setelah sedikit mengeluarkan protes dan emosinya pada Irfan.Irfan meringis, salah tingkah. Dua-duanya adalah majikannya. Jika ia berbohong pada salah satu, entah apa yang akan menimpanya nanti.“Ayolah, Fan!” desak Sinar. “Saya janji, ini cuma di antara kita.”Irfan memijat tengkuknya, menatap langit malam yang bertabur bintang sekilas sambil tersenyum salah tingkah.“Bener ya, Mbak, jangan bilang siapa-siapa?” tanya Irfan memastikan.“Janji!” jawab Sinar. “Lagian aku juga taunya bukan dari kamu. Jadi, namamu aman.”Irfan membuang napas besar, lalu kembali menarik napas dalam. “Habis operasi, perkembangan mas Pras memang signifikan. Dia betul-betul semangat buat sembuh. Tapi, kalau untuk jalan sempurna seperti dulu, baru jalan tiga bulanan ini.”“Kenapa aku nggak dikasih
“Sinar, kan!”Sinar baru memasuki cabang gerai rotinya yang ketiga, saat seruan penuh semangat itu menyapanya. Sinar mengerjap dan mengingat-ingat, di mana ia pernah melihat atau bertemu dengan gadis di hadapannya.“Sorry, anak SMA Permata kan? Aku udah mulai pikun soalnya.” Aku Sinar lalu terkekeh garing. Samar di ingatan, gadis dengan tubuh langsing dan wajah tirus itu tampak seperti salah satu siswa di SMA-nya dahulu kala.“Aku Tami,” ujarnya memperkenalkan diri. “Anak IPS, jadi wajar kalau kamu nggak tau atau nggak inget.”“Ohh …” Sinar mengangguk-angguk. Agak canggung rasanya jika bertemu teman dari SMA dulu, karena Sinar tidak sering bersosialisasi saat itu. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk belajar, agar bisa masuk ke universitas incarannya dengan full beasiswa. “Oia, bentar, ya!” Tami segera mengeluarkan dompet, lalu membayar total belanjaannya pada kasir. Setelah selesai, ia bergeser dan kembali bicara dengan Sinar. “Oia, kamu nggak gabung di grup alumni kita, ya?”