“Maaf, ya.” Sinar meringis penuh penyesalan. Niat baiknya untuk tidur berempat tadi malam, berujung ricuh.Bagaimana tidak? Asa tidur seperti ninja kecil. Bergerak lincah ke sana kemari.Entah sudah berapa tendangan dan pukulan yang diterima oleh Pras tadi malam. Sementara itu, Aya justru tidur dengan lelap tanpa peduli kekacauan yang ada di sekitarnya.“Aku hampir lupa rasanya tidur nyenyak,” sahut Pras setelah menguap untuk yang ke sekian kalinya. “Nggak lagi-lagi bawa Asa tidur di kamar.”“Ya, nggak papa,” ujar Sinar sambil menutup tas kecil yang berisi seluruh dokumen milik Pras. “Tapi, nanti biar dia tidur di kasur sendiri. Nggak usah bareng-bareng kayak tadi malam.”“Padahal ranjangnya dua, tapi dia mutar ke mana-mana.”“Iya, iya, maaf.” Sinar menunduk lalu mengecup pipi Pras. “Nggak usah ngomel-ngomel. Nanti, kamu bisa tidur di mobil, terus lanjut di pesawat.”“Barang-barangku sudah siap semua?” tanya Pras sambil melihat jam tangannya. “Sudah.”“Ayo ke depan,” ajak Pras menjal
Pagi itu, sama seperti hari-hari biasanya. Namun, ada rasa lega yang berbeda, mengalir di antara dua insan yang masih betah saling berbagi kehangatan meski mata mereka sudah sama-sama terjaga.“Pras …”“Hm?”“Apa kakimu belum ada perubahan selama terapi di sini?” tanya Sinar bersila di samping Pras, lalu menusuk-nusuk paha sang suami dengan telunjuknya. Pras terdiam sejenak. Menahan ekspresinya karena ulah Sinar. “Kamu sudah capek ngurusin suami cacat sepertiku?”“Ini masih pagi,” ujar Sinar mencubit gemas sisi pinggang sang suami. “Jadi jangan cari gara-gara! Jangan bikin aku kesel! Tinggal jawab aja, apa susahnya.”“Oh.”“Kok cuma oh?” Tangan Sinar kembali menepuk lengan Pras. “Kamu nggak mau cepet-cepet jalan lagi?”“Jadi, kamu ingin aku cepat sembuh?”“Ya iyalah! Gimana sih!”“Kalau aku nggak bisa jalan lagi, bagaimana?”Sinar sontak mengurut dada, karena jawaban Pras benar-benar menguji kesabarannya. “Dahlah! Aku pergi!”“Jawab dulu pertanyaanku.” Pras dengan segera mencekal tan
Kembali, Sinar tidak memedulikan Pras setelah sarapan selesai dan seluruh keluarga berpencar dengan kesibukannya masing-masing. Hatinya masih terlampau sakit, karena sikap otoriter Pras di hari ulang tahun Asa dan Aya. Sinar sadar ia salah, tetapi tetap saja rasa sakit di hatinya belum bisa hilang begitu saja. “Nar!” panggil Wati menghampiri Sinar sambil menggendong Aya. “Pak Bintang tadi bilang, dia mau bawa Aya nginep di rumah minggu depan. Hari sabtu, malam minggu.”Sinar yang sedang mengaduk susu cokelatnya terdiam seketika. Ini kali pertama Bintang meminta izin untuk membawa putrinya bermalam bersama. Namun, akan bermalam di tempat siapa?“Di rumah papanya Aya atau neneknya?” tanya Sinar memastikan. Ia tidak mungkin melarang, karena Aya sudah berusia satu tahun. Gadis kecilnya sudah bisa makan nasi dan susunya pun bisa diselingi dengan susu UHT kemasan. Meski Sinar nantinya juga akan membawakan ASIP, tetapi membawa Aya di usia sekarang tidak akan terlalu merepotkan Bintang.“N
Pras hanya menggeleng pasrah, ketika Sinar kembali menempatkan tubuhnya di pangkuan begitu mereka tiba di rumah.“Kamu beneran capek?” tanya Pras terus memasuki rumah, tanpa peduli dengan pandangan para pekerja yang berada di sana. Istrinya itu benar-benar penuh kejutan dan tidak bisa ditebak. “Lagi malas jalan atau sebenarnya betah ada di pangkuanku?” “Semuanya.” Sinar mengendik bahu dengan santai. “Badanku pegel, perut juga nggak enak. Tamu bulananku mau datang kayaknya.”“Kayaknya?” Pras sedikit memperlambat kursi rodanya, ketika mereka memasuki lorong penghubung menuju rumah belakang. “Kamu nggak pernah catat tanggalnya atau memang lupa?” “Habis lahiran Aya, haidku jadi nggak teratur. Maju mundur nggak jelas.”“Sudah periksa?”“Dulu pernah. Kata dokter cuma karena stres.”Pras menghentikan kursi rodanya di depan pintu. Menunggu Sinar membukanya. “Sekarang masih stres?”Sinar menggeleng pelan. Hatinya ragu dan merasa aneh karena seperti sedang berselingkuh. Tubuhnya memang bersam
Bintang menyingkir, membawa Aya menjauh dari kerumunan teman-teman sekelas Astro yang tengah riuh mengikuti permainan ulang tahun. Ia sekaligus menghindari para ibu wali murid, yang sejak tadi silih berganti ingin menggendong Aya karena gemas.Bagaimana tidak, bayi cantik itu tampil menggemaskan dengan gaun ala Princess Sofia, lengkap dengan mahkota kecil yang menghiasi rambut pendek gelombangnya. Sebenarnya, gaun itu baru akan dipakai bulan depan, tepat di hari ulang tahun Aya dan Asa. Namun, karena pemberitahuan ulang tahun Astro datang mendadak, Sinar pun memutuskan memakaikannya untuk menghadiri acara tersebut.“Mau ke mana?” tanya Ruby segera menghampiri Bintang. Mengulurkan kedua tangan pada cucunya, tetapi Bintang menggeleng. “Aya sepertinya ngantuk, habis minum susu sama bu Wati.” Bintang mengendik ke arah luar. “Biar aku ajak duduk di luar. Karena di sini terlalu ribut. Dia nggak mau tidur.”“Nanti Aya nggak usah dikembalikan,” ujar Ruby. “Biar sekali-kali nginap di rumah.
“Cih!” Sinar berdecih tanpa sungkan, setelah Rista pergi dari ruang kerja Kaisar yang digunakan Pras untuk membahas pekerjaan. “Seumur-umur aku jadi sekretaris, baju yang kupake nggak pernah seketat itu. Mana roknya pendek. Seneng, kan, kamu liatnya?”Tadinya, Sinar sudah meminta Irfan untuk menemani Pras bertemu Rista di ruang kerja. Namun, wanita itu datang lebih awal di saat Sinar masih berada di rumah.Karena itulah, Sinar yang akhirnya menemani Pras untuk bertemu dengan wanita itu.“Hm.” Pras hanya menggumam sambil memilah berkas yang ada di meja. “Pras!” panggil Sinar geregetan.“Hm,” gumamnya tanpa melihat Sinar.“Ck! Apa Rista pernah jadi partnermu?” selidik Sinar mulai curiga. “Aku punya aturan dan batasan sendiri dalam mencari partner,” jawab Pras enteng dan masih menatap berkas-berkasnya. “Selama mereka masih berada di circle yang sama denganku. Pengacara, jaksa, hakim, dan sejenisnya, aku nggak akan menyentuh mereka.”Sinar kembali berdecih. Kali ini lebih keras untuk me