Bohong kalau Sinar tidak kecewa. Meski Bintang pernah mengatakan gugatannya mungkin ditolak, tetapi mendengar dan menghadapinya langsung seperti sekarang, rasanya begitu perih.Di satu sisi, Sinar tahu ia salah. Namun, di sisi lain ia tidak bisa mengontrol perasaannya pada Bintang. Sinar menyayangi pria itu, pun sebaliknya.Menurut Sinar, cinta mereka tidaklah salah. Mereka hanya bertemu di waktu dan tempat yang tidak seharusnya.“Ngapain?” tanya Sinar datar begitu membuka pintu dan melihat Elo.Ia sempat melirik ke arah jam dinding, sebelum membuka pintu dan mendapati pria itu sudah tersenyum di hadapannya. “Ini jam tujuh. Kok, ada di sini? Bukan di kantor?”“Kerjaanku sudah selesai.”“Terus ngapain ke sini?”“Sudah makan, belum?” tanya Elo mengabaikan pertanyaan Sinar.Sinar mendesah. Merosot pelan lalu duduk bersila di bibir pintu. Kenapa, sih, pria itu tidak mundur saja?Sudah jelas-jelas Sinar sering menunjukkan penolakan, tetapi Elo tidak menyerah. Andai tidak mengingat ia sedan
“Nar, titip Angel sebentar bisa?” tanya Abbas yang sedang menggendong balita berusia dua tahun. “Saya mau ke toilet. Mamanya masih di nursing room sama adeknya.”Sinar membuka lebar mulutnya dan mengangguk-angguk. Mengulurkan kedua tangan pada balita cantik itu, lalu mendudukkan di meja, menghadapnya.“Allo, aku Tante Sinar,” ucapnya sambil menarik maju kursi yang diduduki. Merapat pada Angel, lalu mencium pipi balita menggemaskan itu.“Ah! Mendadak pengen jadi Angel.” Elo duduk di samping Sinar. Meletakkan dua buah potongan cake dan dua botol air mineral di meja. “Oh! Pengen jadi bayi lagi?” Sinar memicing pada Elo, lalu mengangkat Angel dan meletakkan di pangkuan.“Nggak.” Elo terkekeh, mengulurkan kedua tangannya pada Angel dan balita itu pun langsung menyambutnya. “Aku mau bikin bayinya aja.”“Tuh, calon mamanya, tuh, tuh.” Sinar menunjuk sekilas pada Daisy yang sedang mengambil makanan. “Buruan diresmiin. Tembak dah, biar bisa bikin bayi.”“Kamu itu nggak peka atau lagi pura-pur
“Astaga Sinar!” Elo berseru ketika gadis itu baru membuka pintu untuknya. Sinar masih memakai piyama tidur dan celana pendek selutut. Rambutnya pun hanya digelung seadanya, cenderung berantakan. Namun, entah mengapa wajah polos itu semakin menarik di pandang mata. “Sudah kubilang, aku jemput jam enam.”“Kan, sudah saya bilang nggak mau,” terang Sinar mengingatkan. “Ini, tuh, hari minggu Pak El. Waktunya rebahan dari pagi sampe malam, bukan waktunya ketemu sama orang kantor yang isinya itu lagi, itu lagi. Bosan, apa lagi lihat Pak El.”“Heh, nggak ingat kamu sekarang ngontrak di rumah siapa?”Sinar meringis seketika. “Ingat dong, masa’ nggak ingat.”“Buruan mandi,” titah Elo enggan berdebat dengan Sinar. “Aku tunggu di mobil.”“Saya sudah mandi.”“Ganti baju, terus kita jalan.”“Nggak mau.”“Ya sudah.” Dengan santainya, Elo duduk bersila di teras rumah. “Kalau gitu aku di sini sampe sore. Bikinin kopi satu nggak pake gula sama—”“Pak El!” Sinar segera berjongkok di samping Elo. “Kenapa
“Pembelinya nggak jadi lihat rumah hari ini, diundur besok jam 9. Jangan ke mana-mana.”Sinar mengeratkan cengkraman pada ponselnya, setelah membaca pesan dari Praba. Pria itu, sungguh serius ingin ‘menyiksa’ Sinar.“Nar! Minggu ini, kan, famgath!” Elo pergi ke meja Sinar lebih untuk mengingatkan tentang acara kantor. “Masa’ mau pindah minggu ini? Sudah cari pick up belum?”“Ha?” Sinar sempat bengong untuk sesaat, karena pikirannya masih tertuju pada Praba. “Pak El ngomong apa?”“Ming-gu, i-ni, fam-gath,” ulang Elo sangat pelan. “Te-tap ma-u pin-dah ha-ri—"”“Stop!” henti Sinar. “Ngomongnya biasa aja.”“Jadi gimana?” Elo berdecak, bergeser dan berdiri di samping Sinar. “Udah cari pick up?”“Belum.” Sinar menggaruk kepala dengan jari telunjuknya. “Tapi, kalau pindahnya besok gimana, Pak? Maju sehari. Boleh?”“Boleh-boleh aja.” Tentu saja Elo tidak bisa menolak. “Pick up gimana?”“Barang besarnya nyusul aja,” ucap Sinar. “Saya bawa baju-baju aja dulu. Yang penting orang dulu.”“Kamu mau
“Nar.”Sinar mendesah, hampir frustasi ketika melihat Praba kembali mendatangi kantornya di sore hari.“Apa lagi sekarang?” tanya Sinar malas. Berusaha memasang senyum karena mereka masih berada di area kantor. “Masa’ Ayah nggak paham-paham waktu aku bilang jangan ke sini lagi.”“Jangan blokir nomor Ayah, kalau memang kamu nggak mau Ayah ke sini,” ujar Praba.Sinar berdecak. “Nanti aku buka, asal Ayah jangan lagi datang-datang ke kantorku!”“Buka sekarang,” titah Praba menunjuk ponsel yang ada di genggaman Sinar. “Kamu bisa lupa kalau nunggu nanti-nanti.”Malas berdebat, Sinar pun membuka ponselnya dan melakukan perinta Praba. “Sudah. Sekarang Ayah bisa pergi. Telpon aku kalau mau bicara, jangan pernah datang ke sini lagi.”“Besok ada pembeli yang mau lihat rumah.”Tidak ada lagi senyum di wajah Sinar setelah mendengar perkataan Praba. “Secepat itu?”Praba mengangguk. “Makanya Ayah bilang, tinggallah dengan Ayah. Ibumu sudah setuju—”“Ibuku?” putus Sinar tajam. “Ibuku cuma satu. Ibu R
Elo menginjak rem mobilnya. Memelankan laju kendaraan yang dibawanya saat melihat jenis mobil yang digunakan Bima di carport sebuah rumah. Separuh badan mobil ada di dalam halaman dan separuhnya menjorok keluar, tetapi tidak sampai memakan bahu jalan.Setelah memastikan plat nomor mobil tersebut benar milik Bima, Elo dengan mantap menepi. Berhenti di depan mobil milik pria itu dan melihat ke dalam rumah.Baru saja ia menarik handrem, kaca jendela mobil yang berada di sisinya diketuk. Dengan segera Elo menurunkan kacanya dan mendapati wajah Bima di hadapannya.“Mas El!” seru Bima agak terkejut. “Lo ngapain di sini?”“Rumahku di sini.” Elo melepas sabuk pengamannya. “Aku lihat mobilmu pas lewat, makanya aku berhenti. Siapa tahu kamu diculik.”Bima sontak tertawa lepas. “Gue aja ke sini mau ngusir lo, Mas,” ujarnya sembari bergeser karena Elo membuka pintu mobilnya. “Lo parkir pas di depan mobil gue.”“Terus, kamu ngapain di sini?” tanya Elo setelah keluar da menutup pintu mobilnya. “Ngg
“Aku mau make lensa tele sabtu ini,” ujar Elo berhenti di samping Sinar. Melihat pada layar komputer gadis itu. “Tolong dikondisikan.”“Oke.” Sinar mengangguk tanpa menoleh. “Saya kabari jumat ... siang. Selambat-lambatnya jam tigaan.”“Siapa terakhir yang bawa?” tanya Elo masih berdiri di tempat yang sama.“Mas Ammar.”“Biar aku yang telpon Ammar.”“Oke.”Jawaban singkat Sinar yang cenderung tanpa minat itu, membuat Elo mendesah samar. Bahkan, sejak tadi Sinar tidak menatapnya sama sekali.“Aku mau—”“Nar!”Bibir Elo terkatup saat melihat Abbas, pria pengganti Bintang yang menghampiri Sinar.“Hadir!” Sinar segera menoleh dan tersenyum. “Kenapa, Pak?”Elo melirik malas seketika pada Sinar, sedikit kesal. Gadis itu langsung menoleh dan tersenyum pada Abbas yang baru datang, tetapi tidak padanya.“Dua mobil kantor sudah dipake anak iklan sama EO ke family gathering,” papar Abbas ketika berhenti di hadapan Sinar. Ia melihat Elo sambil mengernyit, kemudian beralih lagi pada gadis itu. “Se
“Yakin nggak mau bawa access card saya?” Untuk ke sekian kalinya, Bintang bertanya untuk memastikan. Karena malam ini adalah malam terakhirnya di Jakarta, maka ia harus menuntaskan semua hal. “Kamu bisa tidur di sini kapan pun kamu mau.”Sinar menggeleng sambil mengunyah makanannya. Menyunggingkan senyum pasti, agar Bintang bisa pergi dengan hati yang lapang. Ia tidak ingin menjadi beban pikiran Bintang setelah mereka berpisah.“Kan, saya sudah janji, mau hidup lebih baik lagi,” ujar Sinar mengingatkan obrolan mereka tempo hari. “Saya mau belajar untuk nggak lari dari masalah, tapi menghadapi dan menyelesaikannya.”“Dengan kepala dingin.” Bintang meneruskan kalimat Sinar yang terputus. “Nggak usah pake emosi.”“Itu yang lagi dicoba.” Sinar meringis. Lebih dulu turun dari stool bar karena makanannya lebih dulu habis. “Tapi, nahan emosi, kan, nggak baik juga buat kesehatan.”“Saya nggak nyuruh kamu nahan emosi,” ralat Bintang. “Tapi menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Salurkan e
Pagi itu, hati Sinar sudah tidak semendung langit yang menemaninya pergi ke kantor dengan motornya. Kendati masih ada luka yang tidak akan pernah bisa hilang, tetapi setidaknya ia sudah belajar untuk berdamai. Luka itu pasti akan tetap ada, tetapi kini tidak lagi menguasai dirinya.Ada keyakinan kecil yang tumbuh perlahan, memastikan bahwa setiap langkah yang ia ambil, sekecil apa pun, adalah bentuk keberanian untuk melanjutkan hidup. Sinar tahu, perpisahan bukan akhir dari segalanya. Bukan pula akhir dari perasaannya terhadap Bintang.“Pagi, Dai,” sapa Sinar lebih dulu ketika mereka berdua sampai di pelataran kantor.Penampilan keduanya begitu kontras. Daisy keluar dari mobil dengan dipayungi sopirnya hingga pelataran. Sementara Sinar masih sibuk melepas jas hujannya.“Pagi, Nar.” Daisy berhenti di samping Sinar. Memberi jarak agar tidak terkena imbas tetesan air dari jas hujan milik gadis itu. “Aku kira, aku aja yang telat.”Sinar meringis sambil membuka celana jas hujannya. Ia han