Share

Enam

Author: pipitxomi
last update Last Updated: 2025-05-09 22:16:13

Bintang tidak mengindahkan pesan dari ibunya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, lalu memilih untuk melihat keluar selama perjalanan.

Setelah hampir satu jam, Bintang sudah berada di lobi kampus. Dia kembali merasakan ponselnya bergetar. Saat membukanya, Bintang melihat nama Wina di sana. Dia pun segera menekan tombol panggil.

“Halo, Win. Aku di lobi. Kamu di mana?”

“Di kantin. Kamu cepet ke sini,” jawab Wina.

Bintang bisa mendengar suara sendok di seberang. “Kantin? Oke, aku ke sana.”

Tidak lama kemudian, Bintang sudah duduk di depan Wina.

“Kamu udah makan?” tanya Wina keheranan. Pasalnya, mereka memiliki kebiasaan sarapan bareng di kantin setiap pagi.

Bintang mengangguk sambil membuka tasnya.

“Tumben,” sahut Wina sambil meneruskan sarapan.

Bintang hanya mengangkat bahunya. Dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana kalau sepertinya mulai sekarang dia tidak akan sarapan di kantin lagi.

“Tugasmu sudah beres?” Bintang mengalihkan pembicaraan.

“Baru setengah. Gampang. Masih ada tiga hari lagi.”

“Hah? Bukannya harus dikumpulkan hari ini?” Mata Bintang membelalak.

“Siapa yang bilang?” Wina mengernyit.

“Kamu, kemarin.”

Wina berdecak. “Aku cuma bilang kalau ada tugas. Memangnya aku juga bilang kalau harus dikumpulkan hari ini?”

Bahu Bintang meluruh. Ternyata dia salah menangkap informasi. “Ya sudah, selesai hari ini juga bagus.”

“Kemarin ada acara apa sampai kamu salah tangkap begitu? Kemarin sibuk banget ya?” Wina menggeser piringnya yang sudah kosong lalu menyedot es tehnya.

Bintang terdiam. Otaknya menyusun cerita yang masuk akal karena baginya mendadak pulang dan mendadak menikah itu sangat tidak masuk akal.

“Hei! Ditanya malah bengong. Kamu pulang? Bertengkar lagi sama kakakmu?”

Bintang mengerjap, lalu menggeleng. Ya, sebenarnya memang dia tidak bertengkar dengan Luna. Hanya saja….

“Bukan hal penting kok. Tidak usah dibahas. Biasa, ayah ibu sedang berdrama.”

Wina mengangguk. Sedikit banyak, dia memang tahu cerita Bintang. Ingin membantu, tapi dia sendiri bukan dari keluarga kaya.

“Sudah selesai? Ayo ke kelas!” Bintang menepuk lengan Wina.

Kedua gadis itu pun berdiri dan keluar dari kantin.

Suasana kampus semakin ramai. Mahasiswa hilir mudik.

Bintang berjalan dengan tenang hingga tiba-tiba pundaknya ditepuk dari belakang. Dia sontak menoleh. “Kevin?”

Kevin melebarkan kakinya agar bisa menyamai langkah Bintang. “Kemarin ke mana? Tidak biasanya kamu absen.”

“Ada acara mendadak di rumah dia.” Bukan Bintang yang menjawab, tapi Wina.

“Acara mendadak? Apa?” Kevin tampak penasaran.

“Kawin paling!” Bukan Bintang lagi, tapi Wina.

“Serius??” Mata Kevin membola. Dia tampak begitu terkejut.

Wina tertawa keras. “Nggak lah! Biasa, ayah ibunya kangen katanya.”

Bintang hanya tersenyum canggung. Selama percakapan, dia hanya terdiam.

“Sebentar dulu! Kenapa dari tadi yang jawab kamu? Aku bertanya pada Bintang.” Kevin terlihat kesal, merasa dipermainkan oleh Wina.

“Bintang?” Kevin menatap Bintang, menunggu penjelasan.

“Apa? Tadi sudah dijawab Wina, ‘kan?” Bintang mencoba memperlihatkan senyumannya. Dia tidak menyangkal atau mengiyakan.

Kevin menghela nafas. Susah sekali menebak Bintang. Mulutnya kembali terbuka untuk bertanya.

Untungnya, Bintang melihat dosen kuliah pertama berjalan di depan mereka. Dan dia bisa menghindari pertanyaan itu.

“Eh, dosennya hadir tuh. Ayo cepat!”

Selama kuliah, Bintang berusaha keras tetap fokus. Namun, bayang-bayang Charles dan pernikahan mendadaknya lebih menyita perhatian. Tepat pukul satu siang, akhirnya perkuliahan selesai.

“Langsung balik?” tanya Kevin kepada Bintang.

Dia pun mengangguk. “Hmm, capek.”

"Oke, kita ke perpustakaan kapan-kapan saja."

Bintang memejamkan matanya. Dia lupa akan pergi ke perpustakaan siang ini, tapi dia sendiri sedang tidak ingin berlama-lama dengan kedua temannya ini, takut ditanya tentang kemarin.

“Eh omong-omong, di asrama masih ada kamar kosong nggak? Sebelah kamarmu dulu kosong, ‘kan?” Ganti Wina yang bertanya.

Bintang mengerjap, lalu menggeleng. Iya, minggu lalu memang masih kosong. Kalau sekarang, Bintang tidak tahu.

“Aku kurang tahu. Coba tanya ke kantornya aja! Aku duluan ya!” Bintang melambaikan tangan, lalu berlari keluar dengan cepat, seperti menghindari sesuatu.

Kevin menatap punggung Bintang yang menjauh dengan pandangan rumit.

“Dia kenapa?” tanya Wina keheranan.

Kevin tidak menjawab. Matanya sendu. Lalu, tanpa kata, dia juga keluar. Langkahnya lebar dan kasar.

“Lah, dia juga kenapa?” tanya Wina pada dirinya sendiri.

Saat yakin Wina dan Kevin tidak mengikutinya, Bintang akhirnya bisa berjalan dengan santai. Dia menghubungi sopir dan memintanya menunggu di mini market dekat kampus.

Tidak lama kemudian, Bintang sudah berada di dalam mobil. Gadis itu sontak menyandarkan punggungnya di kursi, menikmati udara dingin yang menyapa kulitnya.

Ingin sekali dia segera beristirahat.

Sayangnya, Bintang tahu dia tidak akan bisa. Sore ini, dia harus pulang untuk mengambil sesuatu.

Bintang menghela nafas. “Ke rumah orang tuaku dulu ya, Pak.”

“Baik, Non.”

Sepanjang perjalanan, Bintang hanya diam menatap jalanan yang ramai. Dia tidak pernah merasa tenang jika mau pulang.

Setelah hampir satu jam, mereka akhirnya sampai. Bintang menatap rumah sederhana di depannya. Jika biasanya, banyak yang bilang meski sederhana yang penting nyaman, maka Bintang sama sekali tidak merasakan itu.

Rumah sederhana yang tidak nyaman.

Setelah tiga kali menghela nafas, dia turun dari mobil. Baru satu langkah, Sekar keluar dengan senyum lebar di wajahnya.

“Bintang, kamu pulang?”

Bintang tersenyum tipis. Bukan, bukan senyuman. Lebih mirip seringai.

Bagi yang tidak tahu, mereka pasti mengira Sekar adalah ibu yang baik.

“Ada yang ketinggalan kemarin,” jawab Bintang sambil terus melangkah masuk.

Senyum Sekar menghilang. Tangannya mengepal erat, lalu berbalik mengikuti Bintang.

Di ruang tamu, Bintang bisa melihat ayahnya sedang bermain TTS.

Mendengar ada yang masuk, Bayu mendongak dan langsung berdiri. “Bintang, kamu pulang? Ada apa? Jangan bilang kalau kamu kabur dari tuan muda! Jangan jadi anak durhaka kamu! Sudah bagus kamu menikah dengan tuan muda. Jangan punya pikiran aneh-aneh! Meskipun tuan muda buta dan lumpuh, tapi dia kaya dan tampan. Kamu sudah untung banyak!”

Wajah Bayu tampak merah, penuh dengan emosi.

Bintang, yang tadinya hanya ingin mengambil barang yang tertinggal dan langsung kembali, kini terpaksa menghentikan langkahnya.

“Jadi, ayah ibu tahu kondisi tuan muda tapi tetap memaksaku untuk menikah dengannya. Padahal bukan aku yang berhutang! Itu hutang Kak Lina! Ke mana dia? Kabur! Tidak bertanggung jawab. Aku sampai rela tidak mendapat uang saku agar ayah bisa membayar angsuran. Aku sudah lama mengalah! Lalu kalian masih memaksaku menikah. Apa kalian masih pantas disebut orang tua?”

“Kurang ajar!” Bayu mendekat dengan tangan terangkat, siap menampar Bintang. Namun, Sekar dengan cepat menahannya.

“Ayah! Dia masih harus pulang ke rumah tuan muda. Jangan emosi.” Sekar menggenggam tangan Bayu.

Sekar menoleh kepada Bintang. Dengan suara lembut, dia berkata, “Sebagai anak, sudah sepantasnya kamu berkorban. Apa kamu tidak bangga bisa membantu keluargamu? Masalah Luna, mengalah saja. Kita juga tidak tahu dia di mana. Apa dia baik-baik saja. Tidurnya di mana. Kita sama sekali tidak tahu. Ibu hanya bisa berdoa semoga dia bahagia.”

Satu sudut bibir Bintang terangkat. Wajah dan matanya memerah. “Dan ibu tidak ingin mendoakan aku bahagia? Ibu tidak bertanya apakah aku baik-baik saja?”

“Bintang, ibu tidak begitu!”

Bintang tertawa pilu. “Tidak apa-apa. Ayah dan ibu tidak perlu khawatir. Bagaimana kehidupanku di masa depan, bukan menjadi masalah bagi kalian. Aku sudah memberikan hidupku kepada tuan muda. Jadi ke depannya, jangan meneleponku lagi kalau tidak ingin tuan muda marah. Dan satu lagi, aku berterima kasih karena memaksaku menikah dengan tuan muda.”

Bintang melangkah ke kamar, mengambil tas lusuh yang dibawanya kemarin, lalu keluar rumah tanpa menoleh.

Hatinya sakit, tapi dia juga merasa lega. Lepas dari keluarga yang membuatnya sesak, dia disambut dengan baik oleh keluarga Smith.

Bayu dan Sekar hanya menatap kepergian Bintang. Tidak ada ekspresi berlebih di wajah mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dear Suami Butaku   64

    Charles memiliki jadwal yang padat. Pagi hari, dia disibukkan dengan banyaknya jadwal pekerjaan hingga sore bahkan sampai petang. Setelah itu, dia mencurahkan seluruh energi dan waktunya untuk Bintang. Tidak ada waktu untuk bermain-main, kecuali dengan sang istri di kamar. Wajar jika dia tidak mengetahui kabar kembalinya Luna.Matanya melirik Thomas dengan tajam seolah menyalahkan Thomas karena tidak memberi tahunya tentang ini. Kepalanya sedikit miring, bersiap menyerbunya.Thomas merasa gugup mendapat tatapan tajam itu. Keningnya basah karena keringat.Habis sudah! Bonusnya bulan ini tidak akan bertambah dan mungkin justru akan dipotong.“Nona, mohon minggir. Kami akan lewat,” ucap Thomas sopan.Tangan Luna terkepal. Dia tidak menyangka bahwa Charles melupakannya. Bagaimana bisa? Bukankah pria itu yang mengusulkan pernikahan padanya? Itu menunjukkan jika sebenarnya Charles memiliki sesuatu di hatinya, bukan? Lalu apa ini?Luna mengerjapkan matanya, menatap Charles dengan polos. Waja

  • Dear Suami Butaku   63

    Charles bekerja dengan penuh semangat. Ide-ide brilian muncul seperti air terjun. Otaknya berputar dan tangannya bergerak lincah di atas papan ketik. Hingga tiba-tiba, Thomas datang.“Permisi, Tuan, lima belas menit lagi rapat dimulai.”Charles sontak menoleh ke arah jam. Tidak disangka, dua jam sudah berlalu. Pantas saja dia merasa tenggorokannya kering.“Hmm, terima kasih.” Charles menyimpan pekerjaannya, lalu membuka botol air di depannya. Setelah meminum setengahnya, dia berdiri.“Ayo pergi!”Seperti yang dikatakan Thomas, rapat kali ini membahas tentang gaji dan bonus yang akan diterima karyawan.Charles mengangguk tipis sambil mendengarkan uraian direktur keuangan. Direktur tadinya merasa gugup. Dia bahkan sudah menyiapkan argumen dan rencana cadangan jika usulannya ditolak. Sepertinya, suasana hati Charles sedang baik. Semua usulan direktur diterima dengan baik dan hanya memberi beberapa masukan kecil. Saat rapat berakhir, semua keluar dengan hati lega.Thomas bergegas mengik

  • Dear Suami Butaku   62

    Bangun di pagi hari, Bintang merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Senyumnya secerah langit biru. Matanya bersinar seperti air kolam yang terkena sinar matahari. Kakinya melangkah ringan dan panjang, berjinjit dan menapak, berjalan lurus, dan menyamping.“Hati-hati!” seru Charles. Sejak tadi, hatinya begitu gelisah melihat tingkah istrinya yang seolah tidak bisa berhenti. Apakah dia tidak memiliki rasa lelah?Semalam, mereka telah melewati pertarungan yang cukup panjang dan menyenangkan. Istri kecilnya itu kini memiliki banyak imajinasi liar. Dan Charles begitu menyukainya. Dia meladeni hingga jarum menyentuh angka dua. Siapa yang menyangka jika pagi ini, baterei Bintang masih terisi penuh?Bintang tertawa melihat wajah suaminya. Dengan tawa yang menghiasi wajahnya, Bintang duduk di sebelahnya. “Aku berhati-hati.”Charles mengelus rambut Bintang, merapikannya, lalu berkata dengan lembut, “Dua minggu lagi ujian. Jangan sampai terjadi sesuatu padamu.”Wajah Bintang berubah. “Jan

  • Dear Suami Butaku   61

    “Bajumu….” Bintang mengernyit menatap kemeja Charles yang kusut dan kotor. Tidak hanya itu, beberapa kancingnya terbuka, membuat tulang selangkanya terlihat; putih, bersih, dan menggoda. Namun, bukan itu yang mengusik pikiran Bintang.Kancing yang rusak menandakan kemeja itu ditarik paksa dengan kuat. Apa mereka berdua begitu bersemangat?Dadanya sontak berdegup kencang. Bayangan Luna datang dan menggoda Charles menari-nari dalam benaknya.Tidak, sepertinya Charles bukan tipe pria yang mudah tergoda perempuan lain. Namun, bisa saja itu terjadi. Jika Luna terus menggodanya, tidak menutup kemungkinan Charles menyerah. Bintang mengenal kakaknya dengan baik. Dia yakin Lina bahkan berani telanjang di depan Charles jika itu bisa membuatnya kembali.Darah Bintang berdesir lebih cepat, lebih panas. Sorot matanya berubah; dingin dan tajam.Charles refleks berhenti. Tenggorokannya kering dan dia kesulitan menelan ludahnya. Suara cegluk terdengar jelas di kamar yang sepi. “Sayang, ini tidak se

  • Dear Suami Butaku   60

    Coffeeshop ini sebenarnya cukup nyaman. Suasananya sejuk. Suara musiknya tidak lirih, tapi tidak juga menyakiti telinga. Makanan dan minumannya juga tidak mengecewakan. Namun, segala kenyamanan itu tidak membuat Luna tenang. Dia tidak tahu berapa lama dia duduk di dalam sini. Sejuknya pendingin ruangan tidak bisa mengusir rasa kesal dan penat yang dia rasakan. Otot matanya pegal karena terus menatap pintu utama kantor Charles, tapi yang ditunggu tidak juga keluar. Hingga matahari sudah berwarna kemerahan, sosoknya tidak terlihat.Sementara itu, Charles yang ditunggu-tunggu oleh Luna sedang berada di dalam mobil menuju bandara untuk pulang. Sejak pagi, dia berada di luar kota untuk meninjau lokasi dan penandatanganan proyek baru.“Kontrak kerja yang baru sudah saya kirim ke email anda. Perhitungan kasar valuasinya sepertinya cukup baik. Media juga sudah meluncurkan beritanya. Besok, harga saham diperkirakan naik hingga 20%. Aku tidak menyangka keputusanmu untuk mengakuisisi perusahaan

  • Dear Suami Butaku   59

    Luna begitu marah hingga dia ingin muntah darah. Adiknya, kini, begitu sombong dan arogan. Apa dia tidak ingat? Kalau bukan karena dirinya, Bintang tidak akan bisa mencicipi segala kemewahan yang dia dapat.Matanya terus mengikuti langkah Bintang. Tangannya terkepal melihat pakaian dan tas yang dikenakan adiknya. Batinnya menjerit. Dia ingin memiliki itu semua.Jika mengingat Bintang pergi dengan mobil dan sopir pribadi, ingin rasanya Luna menyeretnya keluar. Itu adalah mobil yang seharusnya menjadi miliknya! Kemeja mahal yang dia pakai adalah haknya! Tas yang ada di pundak Bintang juga punya dia.Saat dia melihat sepatu Bintang, darahnya semakin mendidih. Itu adalah sepatu yang dia idam-idamkan. Dia pernah melihatnya di internet dan harganya setara dengan harga ponselnya. Sepatu itu seharusnya menjadi miliknya. Bintang tidak memiliki satupun hak atas kemewahan dan kekayaan Charles. Semua itu adalah miliknya! Bintang telah merebutnya darinya.Dada Luna naik turun. Emosinya naik berka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status