Bintang tidak mengindahkan pesan dari ibunya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, lalu memilih untuk melihat keluar selama perjalanan.
Setelah hampir satu jam, Bintang sudah berada di lobi kampus. Dia kembali merasakan ponselnya bergetar. Saat membukanya, Bintang melihat nama Wina di sana. Dia pun segera menekan tombol panggil. “Halo, Win. Aku di lobi. Kamu di mana?” “Di kantin. Kamu cepet ke sini,” jawab Wina. Bintang bisa mendengar suara sendok di seberang. “Kantin? Oke, aku ke sana.” Tidak lama kemudian, Bintang sudah duduk di depan Wina. “Kamu udah makan?” tanya Wina keheranan. Pasalnya, mereka memiliki kebiasaan sarapan bareng di kantin setiap pagi. Bintang mengangguk sambil membuka tasnya. “Tumben,” sahut Wina sambil meneruskan sarapan. Bintang hanya mengangkat bahunya. Dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana kalau sepertinya mulai sekarang dia tidak akan sarapan di kantin lagi. “Tugasmu sudah beres?” Bintang mengalihkan pembicaraan. “Baru setengah. Gampang. Masih ada tiga hari lagi.” “Hah? Bukannya harus dikumpulkan hari ini?” Mata Bintang membelalak. “Siapa yang bilang?” Wina mengernyit. “Kamu, kemarin.” Wina berdecak. “Aku cuma bilang kalau ada tugas. Memangnya aku juga bilang kalau harus dikumpulkan hari ini?” Bahu Bintang meluruh. Ternyata dia salah menangkap informasi. “Ya sudah, selesai hari ini juga bagus.” “Kemarin ada acara apa sampai kamu salah tangkap begitu? Kemarin sibuk banget ya?” Wina menggeser piringnya yang sudah kosong lalu menyedot es tehnya. Bintang terdiam. Otaknya menyusun cerita yang masuk akal karena baginya mendadak pulang dan mendadak menikah itu sangat tidak masuk akal. “Hei! Ditanya malah bengong. Kamu pulang? Bertengkar lagi sama kakakmu?” Bintang mengerjap, lalu menggeleng. Ya, sebenarnya memang dia tidak bertengkar dengan Luna. Hanya saja…. “Bukan hal penting kok. Tidak usah dibahas. Biasa, ayah ibu sedang berdrama.” Wina mengangguk. Sedikit banyak, dia memang tahu cerita Bintang. Ingin membantu, tapi dia sendiri bukan dari keluarga kaya. “Sudah selesai? Ayo ke kelas!” Bintang menepuk lengan Wina. Kedua gadis itu pun berdiri dan keluar dari kantin. Suasana kampus semakin ramai. Mahasiswa hilir mudik. Bintang berjalan dengan tenang hingga tiba-tiba pundaknya ditepuk dari belakang. Dia sontak menoleh. “Kevin?” Kevin melebarkan kakinya agar bisa menyamai langkah Bintang. “Kemarin ke mana? Tidak biasanya kamu absen.” “Ada acara mendadak di rumah dia.” Bukan Bintang yang menjawab, tapi Wina. “Acara mendadak? Apa?” Kevin tampak penasaran. “Kawin paling!” Bukan Bintang lagi, tapi Wina. “Serius??” Mata Kevin membola. Dia tampak begitu terkejut. Wina tertawa keras. “Nggak lah! Biasa, ayah ibunya kangen katanya.” Bintang hanya tersenyum canggung. Selama percakapan, dia hanya terdiam. “Sebentar dulu! Kenapa dari tadi yang jawab kamu? Aku bertanya pada Bintang.” Kevin terlihat kesal, merasa dipermainkan oleh Wina. “Bintang?” Kevin menatap Bintang, menunggu penjelasan. “Apa? Tadi sudah dijawab Wina, ‘kan?” Bintang mencoba memperlihatkan senyumannya. Dia tidak menyangkal atau mengiyakan. Kevin menghela nafas. Susah sekali menebak Bintang. Mulutnya kembali terbuka untuk bertanya. Untungnya, Bintang melihat dosen kuliah pertama berjalan di depan mereka. Dan dia bisa menghindari pertanyaan itu. “Eh, dosennya hadir tuh. Ayo cepat!” Selama kuliah, Bintang berusaha keras tetap fokus. Namun, bayang-bayang Charles dan pernikahan mendadaknya lebih menyita perhatian. Tepat pukul satu siang, akhirnya perkuliahan selesai. “Langsung balik?” tanya Kevin kepada Bintang. Dia pun mengangguk. “Hmm, capek.” "Oke, kita ke perpustakaan kapan-kapan saja." Bintang memejamkan matanya. Dia lupa akan pergi ke perpustakaan siang ini, tapi dia sendiri sedang tidak ingin berlama-lama dengan kedua temannya ini, takut ditanya tentang kemarin. “Eh omong-omong, di asrama masih ada kamar kosong nggak? Sebelah kamarmu dulu kosong, ‘kan?” Ganti Wina yang bertanya. Bintang mengerjap, lalu menggeleng. Iya, minggu lalu memang masih kosong. Kalau sekarang, Bintang tidak tahu. “Aku kurang tahu. Coba tanya ke kantornya aja! Aku duluan ya!” Bintang melambaikan tangan, lalu berlari keluar dengan cepat, seperti menghindari sesuatu. Kevin menatap punggung Bintang yang menjauh dengan pandangan rumit. “Dia kenapa?” tanya Wina keheranan. Kevin tidak menjawab. Matanya sendu. Lalu, tanpa kata, dia juga keluar. Langkahnya lebar dan kasar. “Lah, dia juga kenapa?” tanya Wina pada dirinya sendiri. Saat yakin Wina dan Kevin tidak mengikutinya, Bintang akhirnya bisa berjalan dengan santai. Dia menghubungi sopir dan memintanya menunggu di mini market dekat kampus. Tidak lama kemudian, Bintang sudah berada di dalam mobil. Gadis itu sontak menyandarkan punggungnya di kursi, menikmati udara dingin yang menyapa kulitnya. Ingin sekali dia segera beristirahat. Sayangnya, Bintang tahu dia tidak akan bisa. Sore ini, dia harus pulang untuk mengambil sesuatu. Bintang menghela nafas. “Ke rumah orang tuaku dulu ya, Pak.” “Baik, Non.” Sepanjang perjalanan, Bintang hanya diam menatap jalanan yang ramai. Dia tidak pernah merasa tenang jika mau pulang. Setelah hampir satu jam, mereka akhirnya sampai. Bintang menatap rumah sederhana di depannya. Jika biasanya, banyak yang bilang meski sederhana yang penting nyaman, maka Bintang sama sekali tidak merasakan itu. Rumah sederhana yang tidak nyaman. Setelah tiga kali menghela nafas, dia turun dari mobil. Baru satu langkah, Sekar keluar dengan senyum lebar di wajahnya. “Bintang, kamu pulang?” Bintang tersenyum tipis. Bukan, bukan senyuman. Lebih mirip seringai. Bagi yang tidak tahu, mereka pasti mengira Sekar adalah ibu yang baik. “Ada yang ketinggalan kemarin,” jawab Bintang sambil terus melangkah masuk. Senyum Sekar menghilang. Tangannya mengepal erat, lalu berbalik mengikuti Bintang. Di ruang tamu, Bintang bisa melihat ayahnya sedang bermain TTS. Mendengar ada yang masuk, Bayu mendongak dan langsung berdiri. “Bintang, kamu pulang? Ada apa? Jangan bilang kalau kamu kabur dari tuan muda! Jangan jadi anak durhaka kamu! Sudah bagus kamu menikah dengan tuan muda. Jangan punya pikiran aneh-aneh! Meskipun tuan muda buta dan lumpuh, tapi dia kaya dan tampan. Kamu sudah untung banyak!” Wajah Bayu tampak merah, penuh dengan emosi. Bintang, yang tadinya hanya ingin mengambil barang yang tertinggal dan langsung kembali, kini terpaksa menghentikan langkahnya. “Jadi, ayah ibu tahu kondisi tuan muda tapi tetap memaksaku untuk menikah dengannya. Padahal bukan aku yang berhutang! Itu hutang Kak Lina! Ke mana dia? Kabur! Tidak bertanggung jawab. Aku sampai rela tidak mendapat uang saku agar ayah bisa membayar angsuran. Aku sudah lama mengalah! Lalu kalian masih memaksaku menikah. Apa kalian masih pantas disebut orang tua?” “Kurang ajar!” Bayu mendekat dengan tangan terangkat, siap menampar Bintang. Namun, Sekar dengan cepat menahannya. “Ayah! Dia masih harus pulang ke rumah tuan muda. Jangan emosi.” Sekar menggenggam tangan Bayu. Sekar menoleh kepada Bintang. Dengan suara lembut, dia berkata, “Sebagai anak, sudah sepantasnya kamu berkorban. Apa kamu tidak bangga bisa membantu keluargamu? Masalah Luna, mengalah saja. Kita juga tidak tahu dia di mana. Apa dia baik-baik saja. Tidurnya di mana. Kita sama sekali tidak tahu. Ibu hanya bisa berdoa semoga dia bahagia.” Satu sudut bibir Bintang terangkat. Wajah dan matanya memerah. “Dan ibu tidak ingin mendoakan aku bahagia? Ibu tidak bertanya apakah aku baik-baik saja?” “Bintang, ibu tidak begitu!” Bintang tertawa pilu. “Tidak apa-apa. Ayah dan ibu tidak perlu khawatir. Bagaimana kehidupanku di masa depan, bukan menjadi masalah bagi kalian. Aku sudah memberikan hidupku kepada tuan muda. Jadi ke depannya, jangan meneleponku lagi kalau tidak ingin tuan muda marah. Dan satu lagi, aku berterima kasih karena memaksaku menikah dengan tuan muda.” Bintang melangkah ke kamar, mengambil tas lusuh yang dibawanya kemarin, lalu keluar rumah tanpa menoleh. Hatinya sakit, tapi dia juga merasa lega. Lepas dari keluarga yang membuatnya sesak, dia disambut dengan baik oleh keluarga Smith. Bayu dan Sekar hanya menatap kepergian Bintang. Tidak ada ekspresi berlebih di wajah mereka.Luna begitu marah hingga dia ingin muntah darah. Adiknya, kini, begitu sombong dan arogan. Apa dia tidak ingat? Kalau bukan karena dirinya, Bintang tidak akan bisa mencicipi segala kemewahan yang dia dapat.Matanya terus mengikuti langkah Bintang. Tangannya terkepal melihat pakaian dan tas yang dikenakan adiknya. Batinnya menjerit. Dia ingin memiliki itu semua.Jika mengingat Bintang pergi dengan mobil dan sopir pribadi, ingin rasanya Luna menyeretnya keluar. Itu adalah mobil yang seharusnya menjadi miliknya! Kemeja mahal yang dia pakai adalah haknya! Tas yang ada di pundak Bintang juga punya dia.Saat dia melihat sepatu Bintang, darahnya semakin mendidih. Itu adalah sepatu yang dia idam-idamkan. Dia pernah melihatnya di internet dan harganya setara dengan harga ponselnya. Sepatu itu seharusnya menjadi miliknya. Bintang tidak memiliki satupun hak atas kemewahan dan kekayaan Charles. Semua itu adalah miliknya! Bintang telah merebutnya darinya.Dada Luna naik turun. Emosinya naik berka
Banyaknya pedagang bercampur dengan para pecinta kuliner malam, membuat suasana begitu ramai dan ceria. Lampu warna-warni dipasang di kanan dan kiri untuk memeriahkan suasana.Bintang tidak bisa menahan senyumannya. Dia berjalan dengan antusias, menuju satu pedagang ke pedagang lainnya. Di belakangnya, Charles mengikuti dengan sabar, kakinya melangkah ke manapun Bintang pergi. Dalam sekejap, kedua tangan Bintang sudah dipenuhi dengan aneka makanan. Dia berbalik, mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar bahagia.“Ayo kita makan!” serunya bahagia.“Kalau kamu makan sebanyak ini, perutmu tidak akan muat makan malam lagi,” ucap Charles sambil merapikan rambut Bintang yang berantakan karena angin.“Tidak perlu makan lagi. Aku membeli dua bungkus burger, kentang goreng, mochi, telur gulung, dan es kepal.”Charles sedikit mengernyit mendengar nama-nama makanan yang asing itu. Namun, dia tidak ingin membuat kebahagiaan Bintang hilang. Jadi, dia menurut saat istrinya itu menyeretnya d
Bintang memasuki rumah dengan wajah terlampau datar. Matanya yang biasa bersinar, kini tampak meredup. Langkahnya panjang dan tergesa-gesa. Tanpa melihat ke kanan dan kiri, dia memasuki lift dan pergi ke kamar.Charles sedang berbincang dengan Thomas di pantry lantai tiga. Kalimatnya berhenti saat melihat sang istri datang dengan wajah jauh dari senyuman.“Selidiki apa yang terjadi padanya,” ucapnya pada Thomas.“Baik, Tuan,” jawabnya. Thomas lalu mengambil ponsel dan mengetik beberapa kata.Charles menarik kembali pandangannya, menunjuk pada satu berkas, lalu berkata, “Pantau terus perusahaan ekspedisi ini. Jika waktunya tepat, segera ajukan akuisisi. Jangan sampai direbut perusahaan lain.”Thomas memberi tanda pada berkas tersebut.Setelah yakin Thomas mengerti seluruh instruksinya, Charles menyalakan pemanas air, lalu membuka kabinet.“Mau masak sesuatu?” tanya Thomas. Berkas-berkasnya sudah disimpan. Pria itu sedang duduk dengan tenang sambil membuka ponselnya.“Hanya ingin membua
“Dengar-dengar, pertunangan Kevin dan Stela batal,” ucap Wina pada Bintang saat mereka baru duduk di dalam kelas.Bintang mengernyit. Dia membuka tasnya, mengambil buku dan pena, lalu bertanya, “Kamu yakin? Dengar dari mana?”Wina mengangguk dengan cepat. “Aku sempat mendengar beberapa anak yang dekat dengan Stela membicarakannya.”Bintang membuka bukunya, tapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Samar-samar, dia tahu jika hancurnya keluarga Kevin ada hubungannya dengan suaminya. Thomas pernah menyebutnya beberapa kali. Sayangnya, dia tidak tahu secara detail. Bahkan, perusahaan keluarga Adiwijaya di sini sudah diambil alih oleh suaminya. Dia baru mengetahuinya kemarin.“Mungkin karena keluarga Kevin sudah tidak lagi berjaya. Jadi, Stela melepasnya,” ucap Wina dengan mata menerawang.Kepala Bintang menunduk. “Jangan berpikiran buruk. Mereka hanya tidak berjodoh.”Wina mengenal nafas. “Ya, kamu benar.”Percakapan mereka terhenti.Wina membuka ponsel sambil menunggu dosen yang datang. Sed
Ada sebuah rumah kecil di pinggiran kota lain. Lingkungannya cukup ramai. Anak-anak kecil berlarian, bermain layangan, para tetangga keluar untuk bergosip, ada ibu-ibu yang meneriaki anaknya, juga bapak-bapak yang bermain catur dan merokok sambil menggoda para gadis dan janda muda.Hanya ada satu rumah yang pintunya jarang dibuka dan penghuninya jarang keluar. Suasana rumahnya agak suram. Rumput dibiarkan tinggi. Cat rumah dan pagarnya juga kusam. Televisi di depannya dibiarkan menyala, tanpa ada yang menonton. Bungkus sisa makanan berserakan di atas meja. Sepatu dan sandal tidak pada tempatnya.Di atas sofa, seorang wanita duduk dengan malas. Wajahnya ditutup masker. Hanya menyisakan matanya yang indah, fokus membaca berita di sosial media sambil sesekali bergumam kesal karena keramaian di depan.Sedang asyik menggulir layar, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Sontak, dia duduk dan menegakkan punggungnya, melepas maskernya, lalu berseru, “Itu Bintang? Tidak mun
Berita tentang Charles yang telah sembuh menyebar seperti serbuk sari yang tertiup angin. Dalam sehari, entah berapa kali Thomas mengangkat panggilan dan menjawab pertanyaan dari para kolega dan pelaku bisnis lainnya. Belum lagi menyelesaikan pekerjaan dari Charles yang tidak pernah sepi. Ini membuatnya semakin sibuk. “Tuan, apa Anda akan berangkat sekarang?” tanya Thomas saat Charles mempersilakan dirinya masuk.Charles melirik jam. “Pertemuannya sekarang?”“Iya, Tuan. Para direktur dan komisaris sudah siap. Hanya menunggu Anda.”Charles menghela nafas. Dia menyimpan pekerjaannya, merapikan berkas, lalu bertanya, “Apa yang mau dibahas?”“Tentang persiapan ulang tahun perusahaan satu minggu lagi. Seperti biasa, mereka akan mengundang seorang artis dan menyewa ballroom. Sedangkan untuk pegawai umum, manajer sudah menyiapkan lomba dan hadiah untuk mereka.”“Ayo berangkat!” Charles berdiri, merapikan pakaiannya, dan pergi diikuti Thomas di belakangnya.Thomas berjalan dengan patuh, bera