Beranda / Rumah Tangga / Dek Ajeng & Mas Abim / Perasaan yang ada tidak pernah berubah

Share

Perasaan yang ada tidak pernah berubah

Penulis: Ceeri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-05 18:30:05

Mentari senja meninggalkan langit cerah di sepanjang siang semula. Kini perlahan-lahan berganti kelabu malam yang sekejap lagi akan mengundang hawa dingin. Ajeng telah menuntaskan pekerjaannya dalam merapikan pakaian ke lemari. Kini dia mondar-mandir tenang di dapur, menghangatkan makanan yang mereka masak beramai-ramai tadi. Lalu, dia menyajikan piring per piring ke permukaan meja. Ajeng tampak sendirian, segar serta dengan raut gembira.

Heningnya suasana mengakibatkan daya pekanya cukup tanggap. Ajeng Dwi Ayu menengok ke sumber suara langkah kaki yang dia dengar. Saudara laki-lakinya ada di sana, balas menatap dia lewat senyuman berarti.

"Kakak baru pulang?! Dari mana sih? Kenapa kak Alyssa enggak diajak?" Rentet kalimat tanya terangkai licin dari belah bibirnya. Tetapi, tangan-tangan Ajeng masih cekatan menata piring-piring berisi makanan.

Arjuna menghampiri, hanya duduk begitu dia menarik satu kursi kosong. "Kakak abis ketemu teman SMA. Mau mengajak Alyssa, dia lagi asyik baren
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang mulai retak

    Kamar samar-samar masih dilingkupi wangi sabun pel. Seprai telah dirapikan, bantal disusun kembali, sebagai rutinitas mingguan demi menjaga kenyamanan dia dan suaminya. Tangannya bergerak otomatis—menarik sudut seprai dan meratakan lipatannya. Lalu, derap langkah pelan di ambang pintu membuatnya tersentak.Gerakannya terhenti. Sepasang telempap nya tengah menekan permukaan kasur, seiring jari-jarinya kaku. Ajeng mematung, tubuhnya membutuhkan jeda untuk mengenali kehadiran siapa yang baru saja datang."Boleh ibu masuk, Nak?"Suara tersebut lembut, sekaligus menyimpan beban. Di sana, ibunya berdiri di bingkai pintu, enggan langsung melangkah masuk. Pandangnya menyiratkan permohonan—dan perkara yang lebih dalam berupa kesedihan serta kegelisahan.Ajeng menelan ludah. Dadanya sesak akan perkara yang tidak bisa dia namai. Dia menengok lamban, memaksakan senyum tipis yang sesungguhnya juga mengandung sungkan. "Bu—" Kata itu menggantung, kehilangan kelanjutannya. Sejemang dia mengangguk, s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perang di antara penolakan dan konsistensi

    Abimana menatap layar komputernya, meski dia tak benar-benar membaca baris demi baris yang terpampang. Padahal kursor berkedip, seperti menyamai denyut pikiran yang berdentum ke banyak titik.Belakangan hari ada sesuatu yang mengganggu ritme kerjanya, berupa intuisi serta jenis kegelisahan yang sesungguhnya.Perubahan Diana terlalu halus jika disebut mencurigakan. Tetapi, dia kelewat konsisten untuk diabaikan. Abimana tidak menyukai hal-hal yang mengaburkan batas. Dan ketika batas itu mengabur, dia tahu dirinya perlu mengambil sikap.Panggilan internal dikirimnya ke meja personalia. Nama Dimas terlintas pertama kali. Pria muda itu pernah menggantikan posisi Diana saat cutinya beberapa waktu lalu—cepat, rapi, serta tidak pula mencampurkan urusan personal ke dalam pekerjaan.Tak lama berselang, pintu ruangannya diketuk."Masuk!" Dimas berdiri di ambang pintu dengan postur yang tegak. "Bapak manggil saya?""Duduk, Dimas," lanting Abimana sambil menutup dokumen di layarnya.Dimas duduk s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Kegigihan Diana

    Kafetaria lantai bawah tampak lapang ketika Diana Sophia mengambil tempat di sudut yang agak tertutup. Dinding kaca memantulkan sinar mentari yang sedikit lembut di pagi ini, turun ke permukaan meja kayu berlapis pernis. Dia menyiasati segalanya. Salah satunya dengan membaca saat-saat situasi tidak ramai, supaya ranah yang dia punya cukup privat untuk percakapan yang ingin dia jaga agar tak didengar telinga lain. Dua cangkir latte mengepul halus di atas meja, ditemani sepiring ragam kue tradisional yang belum disentuh. Diana sibuk mengaduk minuman, lalu menyesapnya tipis-tipis. Rexa datang di beberapa menit kemudian. Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di seberang Diana, seiring pula napasnya berembus panjang. "Pagi-pagi banget lo ngajak ketemu, penting banget, ya?" Diana mengangkat pandangnya, sembari menyematkan seringai wajar. "Gue butuh suasana yang bersih, Rex. Makanya gue pilih jam segini.""Bersih?" Rexa menyipitkan mata usai dia mengamati sekitar mereka. "Lo gampan

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Canggung

    Meja makan malam terisi seperti biasa, diterangi cahaya remang jingga yang memantul ke permukaan set kayu sebagai pusat kebersamaan keluarga. Uap masakan mengepul dengan bau lezat yang seharusnya menggugah selera. Cahyani duduk di ujung meja, sedang merapikan serbet di pangkuannya. Mumu mondar-mandir sebentar sebelum akhirnya ikut duduk. Arjuna datang belakangan, wajahnya tenang tanpa cela. Sangat khas perawakan dia. Ajeng duduk di sisi Abimana. Tangannya bertaut di atas meja, jemarinya saling mengunci lebih erat. "Masakan hari ini luar biasa," ujar Abimana membuka percakapan, sekadar mengisi ruang yang tampaknya terlalu hening."Iya, Nak." Cahyani menyahut cepat. "Ini permintaan beberapa orang. Ibu dan Mumu memang dari siang sudah di dapur." Di seberang, Ajeng mengangguk lamban. "Makasih untuk makanan hari ini, Bu--tadi Ajeng enggak ikut bantu." Nada suaranya datar, tapi cukup sopan untuk tidak menimbulkan kecurigaan.Di samping, Abimana melirik istrinya itu sekilas. Singkat saj

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Sesuatu yang tertunda untuk diucapkan

    Suhu ruangan lebih bersahabat ketika obrolan mereka berpindah dari nada panik ke arah yang lebih tenang. Olivia menambahkan air putih ke gelas kosong, yang segera di minum oleh Ajeng. Tak lama berselang, dia mengangguk dan meneguk sedikit isinya. Sensasi hangat itu mereda di tenggorokan.Meskipun wajahnya masih menunjukkan bekas guncangan, tatapan Ajeng kini fokus. Napasnya teratur. Sesekali dia mengusap sisa basah di sudut matanya, tetapi nada suaranya tidak lagi bergetar semula."Sekarang gimana perasaanmu?" tanya Olivia, sedikit hati-hati agar ucapannya tidak memantik emosi Ajeng lagi."Aku masih pusing, tapi sekarang bisa mikir. Tadi itu ... terlalu tiba-tiba dan datangnya barengan. Aku enggak bisa bereaksi apa-apa, dan milih kabur. Untung aku langsung ingat kamu, Liv. Enggak kebayang kalau yang ku telepon Mas Abim." Olivia mengangguk, "Aku ngerti. Jadi, langkahmu sekarang apa? Kamu mau cerita ke Mas Abim?"Pertanyaan sekian membuat Ajeng terdiam beberapa detik. Dia tidak berkedi

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Kebohongan yang menyakitkan

    Setengah jam lebih tujuh menit taxi yang dinaiki Ajeng berhenti di depan rumah Olivia. Seperti orang linglung, dia menatap datar pagar rendah berwarna putih itu. Di dalamnya berdiri sebuah rumah yang menguarkan rasa hangat, keramahan juga kejujuran. Tidak ada desain mencolok, namun sedap di pandang. Fakta demikian membuat Ajeng berpikir bahwa ini bisa menjadi tempat berlindung sementara, baginya. Olivia berdiri di depan pintu. Dia sudah mengenakan pakaian rumah. Rambutnya sedikit acak-acakan, meski itu tak mengurangi kecantikan oriental yang dia miliki. Ekspresinya mencampurkan bingung, cemas, dan sedikit takut terhadap wajah Ajeng yang pucat dan mata tidak fokus. "Jeng ..." Olivia langsung menghampiri, membuka pintu lebih lebar sambil menawarkan. "Ayo, masuk! Ada apa sebenernya? Aku belum pernah melihat kamu yang seperti ini." Bungkam adalah penuntun langkah Ajeng. Sesuatu melayang di antara mereka— lebih berat dari sekadar masalah rumah tangga orang lain. Dan perkara tersebut

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status