“Saya tidak setuju! Apa-apaan kalian? Anak saya ini masih di bawah umur!”
Suara ibu Lila bergema di ruangan itu, tangan kirinya menggebrak meja hingga cangkir bekas minum mereka bergetar. Membuat setiap pasang mata di sana tertuju padanya.
“Bu, tenang dulu sebentar,” tegur pak RT.
“Tenang-tenang, omong kosong bapak ini sudah keterlaluan!” Ia berdiri dengan wajah memerah, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Pak RT. Sementara telunjuknya lurus mengarah ke wajah Pak RT tanpa sedikit pun menyembunyikan kemarahannya. Pak RT menelan ludah, tetapi tidak gentar.
“Bu, ini sudah aturan kami. Mereka tertangkap basah di satu kamar!” katanya, mencoba menahan tekanan emosi yang membuncah dalam suaranya.
Ibu Lila mendengus tak percaya, melayangkan pandangannya ke arah seluruh warga yang mengangguk-angguk, seolah mendukung pernyataan Pak RT tanpa berpikir dua kali.
“Kalian bahkan tidak melihat apa yang mereka lakukan! Siapa yang bisa pastikan mereka berbuat yang tidak-tidak?” katanya sinis.
Pak Damar yang duduk seberang ibu Lila, rahangnya mengeras, sementara tinjunya terkepal erat menahan malu.
Pandangannya menusuk ke arah Adip yang duduk tertunduk bersama Lila. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk pembelaan. Ia menebak bahwa keheningan anaknya adalah bentuk pengakuan.
“Ini yang dia sebut sebagai keinginan untuk menikah?” pikirnya dengan getir.
Di tengah ketegangan, tiba-tiba terdengar suara lemah, tetapi cukup lantang untuk menghentikan perdebatan.
“Enggak! Aku nggak mau menikah! Aku masih sekolah!” Lila berdiri, air matanya mengalir di pipi, tetapi tak sedikit pun sorot matanya menunjukkan ketakutan. Matanya justru memantulkan perlawanan yang keras terhadap orang-orang yang mencoba menindasnya.
Orang-orang di ruangan itu saling pandang. Ada yang terkejut, ada yang tersenyum sinis. Sementara Ibu Lila mengangguk mantap pada putrinya, merasa bahwa Lila memang tidak bersalah.
“Benar itu! Dia masih harus sekolah! Anak saya ini bukan untuk dinikahkan sembarangan!”
Akan tetapi, suara lain muncul dari kerumunan, seakan tak peduli dengan jeritan hati Lila.
“Kalau tidak mau menikah, berarti harus menerima hukumannya—digundul dan diarak keliling kampung karena mereka sudah berbuat zina!” ucap pak RT menegaskan.
“Zina? Zina apa?” Lila tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia memandang satu per satu orang-orang yang tadi masuk ke kamar kosnya dan menyeretnya ke mari.
“Kalian lihat aku melakukan zina? Kalian tidak punya bukti apa pun!” lanjut Lila menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, beberapa warga menggeleng dan tetap bertahan pada pendapat mereka.
“Laki-laki dan perempuan dalam satu kamar? Kalau bukan zina, mau apa lagi?” ujar seorang bapak-bapak sambil menoleh ke arah yang lain meminta persetujuan.
Adip yang sedari tadi diam kini mencoba menarik tangan Lila untuk duduk kembali, tetapi Lila menepisnya keras.
“Apa, sih, Dip?! Ngomong dong kalau kita emang nggak ngapa-ngapain!”
Akan tetapi, Adip malah kembali menunduk membuat Lila semakin kesal. Cowok itu duduk diam, seperti menyerah pada keadaan. Di sini ia merasa sendirian, bahkan Adip tak sedikitpun berdiri untuk membelanya.
“Saya setuju mereka dinikahkan!” seorang warga yang berada di belakang ikut bersuara.
“Daripada terus begini, lebih baik segera dinikahkan saja!” suara-suara setuju pun mulai terdengar di sana-sini.
Lila menutup matanya, air matanya sudah kering. Setiap kata yang terlontar dari warga membuat hatinya semakin hancur. Mereka bicara soal dosa, soal kehormatan, seolah tahu segalanya tanpa memberi kesempatan padanya untuk berbicara. Bahkan, gelak tawa kecil terdengar di antara mereka, seperti menganggapnya lelucon.
“Cukup! Biar saya yang berbicara!” Pak RT beralih menatap Lila, “Nak Lila, silahkan duduk dulu.” pintanya.
Pak Damar yang sudah berdiam cukup lama, akhirnya bersuara. “Pak RT, apakah tidak ada solusi lain? Misalnya, saya bisa tebus dengan…” Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tetapi semua orang tahu maksudnya.
“Tidak bisa, Pak Damar,” jawab Pak RT, menahan emosi di wajahnya. “Kami tidak bisa ditukar dengan uang. Ini masalah norma, bukan harga.”
Pak Damar menelan ludah, memandang ke arah istrinya. “Baiklah. Kalau memang begitu, kami setuju menikahkan mereka!” katanya akhirnya, seolah melempar nasib Adip ke tangan orang lain.
Mendengar itu, tubuh Lila goyah, lututnya lemas dan ia nyaris jatuh kalau saja tidak dipegang oleh Adip. Namun, Lila segera menjauhkan tubuhnya dari Adip, menatapnya dengan mata merah penuh kebencian. Cowok itu tetap saja diam, tidak melakukan apa pun.
Pak RT melihat ke arah ibu Lila. “Jadi bagaimana, Bu? Apa ibu setuju?”
Ibu Lila menghela napas panjang, menatap wajah putrinya yang penuh harap. Pandangan itu cukup untuk membuat Lila tahu bahwa ibunya akan berpihak padanya.
Ibu Lila berdiri, wajahnya tegas dan tanpa ragu, “Tidak ada pernikahan. Saya akan laporkan ke polisi kalau kalian terus memaksa! Tapi—”
“Tapi apa, Bu?”
“Tunangkan saja mereka lebih dulu, mengingat mereka masih di bawah umur, saya sendiri yang akan menikahkan mereka jika mereka kembali melakukan kesalahan yang sama!”
Pak RT terdiam sejenak, memandang ibu Lila dan mempertimbangkan usulan yang belum terpikirkan sebelumnya. Sebagian warga terlihat tak puas, dan beberapa di antaranya langsung menyuarakan keberatan.
“Pak RT, apa maksudnya menunda begini? Apa tunangan bisa menjaga kehormatan kampung kita?” sergah seorang warga yang berada di barisan belakang.
Ibu Lila menarik napas panjang dan balas menatap orang-orang yang mulai ramai mempertanyakan.
“Kalau mereka memang berbuat salah, saya sendiri yang akan memastikan Lila mendapat hukumannya,” katanya dengan nada tegas, “tapi kalau terbukti mereka tidak melakukan apa pun, saya tidak akan izinkan anak saya menikah hanya untuk menuruti aturan tanpa bukti!”
Pak Damar dan istrinya tampak terdiam. Wajah Bu Rahayu tampak memerah menahan amarah, tetapi Pak Damar mengangkat tangan, memberi isyarat agar istrinya diam. Ia tahu bahwa situasi ini sudah cukup memalukan tanpa membuatnya menjadi lebih buruk dengan percekcokan yang tak ada ujungnya.
Pak RT menatap Pak Damar untuk meminta pandangannya terhadap ide ini. Akhirnya, Pak Damar mendesah dan mengangguk pelan.
“Baiklah, kami setuju... sementara kita pertunangkan saja,” ucap pak Damar dengan nada dingin.
Pak RT berpikir sejenak dan menganggukkan kepalanya, meski tampak enggan. “Baiklah. Untuk sementara, kita tunangkan saja mereka. Tapi ingat, jika ada kejadian seperti ini lagi, tidak akan ada kompromi lagi.”
Akhirnya Lila bisa bernafas lega, setidaknya ia bisa terbebas dari pernikahan konyol ini. Namun, saat ia memandang ke arah Adip yang masih saja duduk diam tanpa satu pun kata pembelaan, ia kembali merasa kesal bahkan lebih dari sekadar marah.
Lalu, saat keadaan hening, tiba-tiba Adip berbicara membuat semua orang tiba-tiba hening mendengarnya.
Adip terduduk di bangku tunggu rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu, keringat dingin mengalir dari pelipis. Di dalam sana, Lila sedang berjuang melawan maut. Dan ia? Ia harus berjuang melawan waktu dan kenyataan.“Harus ada biaya untuk operasi,” suara dokter tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.Jumlahnya tak sedikit. Adip tahu, bahkan seandainya ia menjual motornya pun, tetap tak akan cukup.“Gue cari di mana duit sebanyak itu?” Tanpa pikir panjang, Adip menghubungi semua temannya. Ia mengirim pesan ke grup, satu per satu nama ia telepon untuk meminta, memohon, bahkan mengemis. Tapi jawabannya sama … “Sorry, Dip, gue lagi nggak ada.” Ya, kebanyakan sedang tak ada uang. Beberapa hanya bisa memberi seratus, atau dua ratus ribu. Tak cukup bahkan untuk biaya pendaftaran operasi.Ia mencoba ke rumah Galang, sahabat atau mantan pacar Lila yang dulu pernah ia tikung. Tapi Galang hanya menggeleng di ujung telepon. “Gue nggak bisa bantu, Dip. Maaf banget.”“Lang, tolong,
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be