Lampu indikator ponsel pertanda pesan masuk menyala. Rossa mengecek ponselnya dan membuka aplikasi W******p. Kasimin mengirimkan pesan.
[Mak Nani dan Ilyas datang ke rumah mencarimu, Nak. Mereka menuntut ganti rugi atas mahar yang Soleh berikan sebesar 30 juta. Bapak bingung, bagaimana mencari uang sebanyak itu. Tapi bapak akan mencari bantuan. Kamu di sana jaga-jaga dan lebih waspada, ya, Nak. Salam dari ibunu. Doa kami selalu menyertai.]Wajah Rossa berubah mendung setelah membaca pesan yang masuk. Membuat Inah mencurigainya. Inah khawatir keponakannya mendapat masalah besar.“Ada apa, Rossa?’ tanya Inah sambil menutup buku rincian penjualan pulsa.“Nggak apa-apa, Bi. Rossa hanya khawatir terhadap kedua orang tua di rumah. Mak Nani dan Ilyas pasti akan mencari keberadaan Rossa.” Mendengar penuturan Rossa, Inah turut prihatin. Wanita itu tahu betapa perihnya kehidupan gadis itu sejak kecil. Dari dalam kandungan, ayah kandungnya yang asli Arab dikabarkan wafat. Rossa hanya mampu melihat ayah kandungnya melalui foto buram satu-satunya yang masih tersimpan rapi di laci dalam kamarnya. Setelah Rossa lahir, sang ibu bertemu dengan Kasimin yang saat itu bekerja menjadi kuli bangunan.Sifat pekerja keras dan bertanggung jawab Kasimin membuat hati sang ibu melunak dan mau menerima pinangannya. Ibunya pernah sempat hamil, tapi keguguran. Setelah itu dokter menyatakan bahwa sang ibu tidak bisa dengan mudah untuk hamil karena suatu kondisi yang akan membahayakan nyawanya jika dipaksakan hamil. Jadilah Rossa sebagai anak semata wayang.Tapi sejak kecil nasib janda kembang yang masih perawaan itu selalu naas. Teman dan tetangga sering mengucilkannya. Bahkan ketika dewasa dan menjelma menjadi gadis cantik, dirinya sering diperlakukan tidak manusiawi oleh para lelaki hidung belang. Sampai-sampai menjadi bulan-bulanan ibu-ibu di kampung karena dicap pelakor.Nasib naas semakin parah diterimanya setelah ia gagal dalam dua kali pernikahan. Kedua suaminya meninggal secara misterius. Tanpa diketahui sebab musababnya. Takada lelaki yang berani maju meminang janda perawan itu.Hingga Soleh akhirnya memberanikan diri melamarnya menjadi istri meski keluarganya sangat menentang. Mak Nani sangat tidak suka dengan Rossa karena kemiskinannya. Sementara Ilyas sangat iri dan ingin memiliki Rossa seutuhnya. Pria itu sering membayangkan wajah Rossa jika sedang berhubungan intim dengan istrinya. Sungguh keji.Namun nasib Soleh tidak jauh berbeda dengan yang dialami kedua suami sebelumnya. Ia mati misterius sebelum menyentuh sang istri dan menikmati malam pertamanya. Semakin gempar lah fitnahan terhadap Rossa sebagai perempuan terkutuk pembawa sial.“Sabar, ya, Rossa. Kamu perempuan tangguh. Gusti Allah pasti punya berita gembira untukmu suatu saat nanti." Inah mengelus lembut bahu Rossa.Tak terasa bulir air mata menetes dari kedua matanya. Sejauh ini, Rossa masih berpegang teguh pada pendiriannya untuk tetap menjadi wanita baik-baik.***Sore harinya, datang seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahunan ke konter bi Inah. Dari penampilannya, bisa dipastikan pria ini punya cukup uang. Ia bertanya soal Rossa pada bi Inah, yang saat itu sedang menunaikan salat Asar.“Rossa ada, Bi?” tanyanya tanpa basa-basi.“Ada, sedang salat Asar. Maaf, mas ini siapa, ya?” Inah bertanya balik.“Perkenalkan, saya Anwar. Saya CEO di salah satu perusahaan kecil di kota ini. Saya ada perlu dengan Rossa.” Pria itu menjelaskan singkat latar belakang dirinya.“Oh, silakan menunggu, Mas. Sebentar saya panggilkan.”Lantas Inah memasuki rumah dan memberitahu Rossa bila ada yang mencarinya. Rossa sempat merasa takut dan khawatir. Ia takut pria itu ternyata antek suruhan Ilyas atau Mak Nani. Tapi akhirnya ia memberanikan dirinya untuk menemui lelaki itu.Wajah pria ini sangat rupawan namun begitu asing.“Hai, Rossa. Masih ingat saya? Saya Anwar, atasan mendiang suamimu, Sulaiman. Saya datang ke pernikahan kalian beberapa tahun lalu.” Kali ini pria bernama Anwar itu menjelaskan lebih terperinci tentang siapa dirinya.“Oh ... iya, iya. Maaf saya baru ingat, Pak Anwar,” Rossa membungkukkan badannya seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di dada. “Ada perlu apa, ya, Pak?”“Saya tahu kamu sedang butuh uang banyak, bukan?” Anwar mengeluarkan bungkus rokok lalu memantik api. Pria ia menghisap sebentar dan mengepulkan asapnya. “Saya punya job untukmu,” lanjutnya kemudian.“Jobnya apa, ya, Pak? Saya memang sangat membutuhkan pekerjaan,” raut wajah Rossa berubah memelas.“Tapi job ini sedikit berisiko.” Anwar menatap Rossa tajam. Seolah ingin mempertegas dan memberi penekanan.“Ngga apa-apa, Pak Anwar. Saya akan lakukan apa pun pekerjaannya.”Inah yang menyimak obrolan antara Rossa dan Anwar sambil mengecek pembukuan merasakan firasat tak enak. Tapi Rossa bukan anak kecil. Gadis itu sudah dewasa dan berani menanggung risiko apa pun.“Pekerjaanmu sebagai pelakor bayaran. Saya bayar kamu untuk menjadi pelakor saingan bisnis saya. Buat karirnya hancur karena tergoda sama kamu.” Pria itu tersenyum sinis. “Bagaimana?”“Pe-pela-kor bayaran?” terbata-bata Rossa bertanya.Anwar mengangguk mantap. “Saya bayar kamu 100 juta sebagai imbalan di muka. Setelah berhasil, saya akan tambah upahnya.” Anwar mengeluarkan amplop cokelat tebal dari balik saku blazernya.Rossa menjadi gamang antara menerima tawaran pekerjaan itu atau menolaknya. Ia terlihat berpikir keras. Sementara Inah mewanti-wanti, berharap keponakannya menolak tawaran itu.“Baik. Saya siap, Pak!”***Urusan perpindahan sekolah Rani dan adik-adiknya sudah beres. Tinggal membantu bibinya melunasi utang-utangnya kepada rentenir. Rossa banyak menggelontorkan sejumlah uang demi membantu adik sepupu bapaknya itu. Di dapur, ibu dan Bi Sari sibuk mengadon kue. Ibu sudah dibekali Rossa usaha bakery. Sementara ini berproduksi skala rumahan karena baru merintis. Bila sudah berjalan lancar, barulah Rossa mencarikan tempat untuk disewa atau dibeli.Sementara bapak sudah dimodali mobil dan motor second untuk usaha angkot dan ojeknya. Masing-masing satu buah kendaraan. Bila usaha bapaknya lancar, barulah menambah jumlah kendaraannya. Tapi bukan bapak yang menyupiri. Bapak hanya tinggal menerima setoran dari supir angkot dan pengemudi ojeknya nanti. Rossa tidak ingin kedua orang tuanya di masa tua masih kerepotan mencari uang sana sini. Apalagi jika teringat masa-masa sulit dulu. Sekadar mencari pinjaman untuk sarapan saja sulit. Tidak jarang kedua orang tuanya harus menjadi kuli dulu agar m
Rossa dan kedua orang tuanya telah sampai di lobby apartemen yang ditempati Rossa. Tampak Bi Inah dan ketiga anaknya sudah menunggu di sofa ruang tunggu. Mereka membawa tas berukuran besar yang tergeletak di atas lantai.Begitu melihat Rossa, mereka langsung menghambur dan memeluk gadis itu. Bi Inah mengisakkan tangis.“Mari kita ke apartemen Rossa dulu, yuk,” ajak Rossa sambil merangkul bahu Bi Inah yang masih terguncang dan mengisakkan tangisnya. Sementara Jubaedah menuntun Rani dan kedua adiknya. Mereka memasuki lift dan meluncur ke lantai tiga.Sesampainya di apartemen, Rossa menyediakan minum untuk para tamu kesayangannya ini. Bi Inah langsung meneguk hingga tandas minuman berwarna oranye dengan rasa jeruk. Lalu Rani dan kedua adiknya juga ikut meneguk minuman yang terlihat menyegarkan dahaga itu. Mereka terlihat sangat kehausan.“Maaf, minumnya jadi habis, Rossa. Kami kehausan. Mau beli minum tidak punya uang sepeser pun,” jelas Bi Inah dengan raut wajah yang sendu dan membu
“Rossa lagi sibuk ngga?” tanya Rusydi dari seberang telepon.“Ngga, Bang. Ini habis ngobrol sama ibu soal keadaan Razan,” jawab Rossa sambil melepas jarum pentul yang mengunci hijab pashminanya. Gadis itu belum terbiasa mengenakan hijab. Tampak wajah cantik khas Timur Tengah miliknya sedikit berkeringat.“Abang lupa bilang. Tadi abang simpan box hadiah di minibar. Mudah-mudahan masih ada. Itu sengaja abang kirim buat Rossa. Karena tadi Rossa sibuk mengobrol dengan Razan, jadi abang kelupaan ngasih ke Rossa. Mohon diterima, ya.”“I-iya, Bang. Sebentar Rossa cek dulu, ya.”Rossa lalu berjalan menghampiri minibar. Benar, box berwarna merah muda itu masih tersimpan dengan baik.“Merah muda warnanya, Bang?” tanya Rossa memastikan.“Iya. Warna kesukaan Rossa, kan?” Rossa mengulum senyum dan tersipu malu. Ternyata pemuda itu masih ingat dan hafal apa warna kesukaannya. Rossa menyukai dua warna, merah muda dan ungu. Bahkan dekorasi kamarnya ini pun bernuansa pink dan ungu.Pelan-pela
Pandangan mata Rusydi mengawasi gerak-gerik pemuda yang sedang mengobrol dengan Rossa. Setelah acara tasyakuran, pria yang tidak dikenal Rusydi itu tidak langsung pulang. Dia sengaja menunggu Rossa.Sikap Rossa yang terlihat hangat dan ramah membuat hati Rusydi dibakar api cemburu. Namun ia harus bisa menahannya. Bagaimana pun mereka berdua tidak memiliki hubungan apa pun meskipun Rusydi sudah mengutarakan perasaannya. Rossa hingga kini belum memberi jawaban.“Baiklah, Rossa. Kapan-kapan aku mampir ke apartemenmu, ya. Jangan lupa simpan nomorku,” pesan Razan. Pemuda itu meninggalkan rumah ibu Rossa dan berjalan menghampiri mobilnya yang terparkir agak jauh dari rumah itu. Rossa berbalik hendak memasuki rumah.Namun tiba-tiba beberapa warga berteriak histeris. Terdengar suara rintihan kesakitan yang Rossa kenal. Bergegas Rossa menghampiri asal suara. Disusul Rusydi di belakangnya.Di luar rumah para warga berkerumun mengelilingi seseorang yang terluka akibat luka tusuk di perutnya.
Ponsel pintar Rossa berdering beberapa kali dan bersumber dari telepon nomor tidak dikenal. Bi Sari sampai kebingungan mengapa majikannya tidak mau mengangkat telepon itu. Padahal sejak tadi aktivitasnya menonton TV terganggu karena suara bisingnya.“Non, kenapa ngga diangkat dulu?” tanya Bi Sari dengan sopan. Wanita itu tengah membersihkan laci-laci menggunakan kemoceng dan lap basah.“Biarin aja, Bi. Nomornya ngga dikenal. Paling juga orang iseng,” jawab Rossa sambil terus mengunyah keripik singkong buatan ibunya. Jubaedah sudah tidak tinggal di apartemen ini. Ibu Rossa itu sudah menempati rumahnya sendiri. Malam ini akan diadakan tasyakuran. Pagi ini Rossa akan berkemas untuk menginap di rumah baru ibunya selama beberapa hari. “Bi, nanti tolong kemasi barang-barang keperluan saya, ya. Jangan lupa skincare yang saya pakai jangan sampai ketinggalan. Sekalian pakaian bibi juga dikemas. Kita akan menginap sekitar tiga hari di rumah ibu,” pinta Rossa.“Baik, Non. Siap, laksanakan!” sah
“Rossa ... keluarlah! Pangeranmu sudah datang!” Dengan begitu percaya diri Ilyas memanggil nama Rossa. Wanita yang sedang mengintip dari balik gorden itu tampak kesal dan tak menghiraukan. Rossa menoleh ke arah Rusydi yang tampak keheranan. Pemuda itu penasaran dan akhirnya ikut mengintip. Ia menertawakan tingkah kakak ipar Rossa yang begitu aneh itu.Bagaimana tidak? Lelaki itu datang dengan gaya berpakaian ala A Rafiq, penyanyi dangdut legendaris yang sering mengenakan celana jeans model cutbrai. Lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya dan rambut klimis. Belum lagi, wanita yang selalu menempel di lengannya seperti prangko, si ‘janda herang’ Kartika. Perempuan itu seperti tidak punya harga diri, dengan beraninya menggaet suami orang.“Kakak iparmu itu lucu sekali, Rossa. Sifatnya tidak berubah sejak kecil, ya. Jauh berbeda dengan Saleh,” ujar Rusydi berkomentar. Rossa pun tersenyum sinis.“Iya, tuh. Entah kenapa Bang Saleh harus bersaudara dengan lelaki t
“Gimana, Ros? Kamu terdampak pelet si Andra ngga?” tanya Jelita penasaran. Wanita itu tahu, kemarin Andra dan Rossa berjanji bertemu di kafe biasa mereka ketemuan.“Alhamdulillah, aman, Bu. Ngga terjadi reaksi apa pun pada saya. Perasaan saya masih seperti sebelumnya. Andra bukan tipe saya,” jawab Rossa dengan santai. Ia baru saja selesai mandi dan akan bersiap mengenakan pakaiannya. “Bagus, Rossa. Sepertinya penangkal pelet yang saya berikan kemarin sangat ampuh.”“Sepertinya begitu, Bu.”“Oh, ya. Saya sudah mengirim sejumlah uang ke rekeningmu. Kerjamu bagus, Rossa. Saya suka,” puji Jelita. Entah sudah berapa banyak rupiah ia gelontorkan untuk membayar gadis itu. Sebenarnya, Jelita seorang dermawan. Ia dan suaminya tidak sulit mengeluarkan uang untuk siapa pun. Apalagi yang membutuhkan. Hasil jerih payah mereka pun murni karena kerja keras. Bukan hasil pesugihan dan menumbalkan apa pun. Mereka juga tidak menggunakan penglaris dalam usahanya. Saat mendengar kisah Rossa dari
Akhirnya, Andra bisa bernafas lega karena Rossa mau bertemu dengan dirinya. Mereka akan bertemu di kafe biasa di jam biasa juga. Andra sudah berpesan pada istrinya agar tidak menunggunya pulang karena ia akan bertemu klien. Kebohongan yang biasa ia perbuat, seperti biasanya. Tapi wanita itu hanya mengangguk dan menurut. Pelet yang digunakan Andra membuat wanita itu takluk dan tak bisa membantah.Sepulang kerja, mobil Andra langsung melaju menuju kafe yang dituju. Tak sengaja Andra melihat mobil yang biasa dipakai Rossa sudah terparkir di parkiran. Artinya wanita itu sudah lebih dulu datang. Tidak biasanya gadis itu datang duluan. Sepertinya Rossa mulai terpikat padanya, pikir Andra. Ia memuji kerja si dukun yang ternyata memiliki minyak yang begitu ampuh. Buktinya, belum bertemu pun Rossa sudah terlihat antusias menyambut kehadirannya.Dengan langkah penuh percaya diri, Andra berjalan memasuki kafe. Di sofa yang biasa ia tempati, seorang gadis cantik sudah menunggu dirinya. Gadis it
Jelita segera meminta Rossa datang ke rumahnya. Ia dan Anwar sudah mendapatkan jimat penangkal pelet dari seorang dukun langganan kerabatnya. Jimat itu berbentuk ikat pinggang dengan tali kecil dan gandulan dari buntalan kain. Saat gadis itu tiba di rumah Jelita, wanita itu segera menarik lengannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Ruangan yang biasa ia pakai untuk membriefing Rossa.“Angkat sedikit bajumu, Rossa. Aku akan memakaikan ikat pinggang ini. Ini adalah jimat penangkal pelet.”Rossa menurut. Ia mengangkat sedikit baju bagian atasnya lalu Jelita memakaikan ikat pinggang itu di pinggang Rossa yang ramping.“Pas sekali,” ujar Jelita. “Kali ini kita tidak perlu khawatir dirimu akan terkena guna-guna lelaki hidung belang itu, Rossa. Tapi berhati-hatilah. Jimat ini harus kau lepas saat mandi,” pesan Jelita.Rossa tidak banyak bicara. Gadis itu hanya menagangguk dan menuruti apa yang diinginkan oleh orang yang menyewa jasanya.“Lalu apa lagi rencana kita, Bu?” tanya Rossa. I