تسجيل الدخولSejak mobil berhenti di basement apartemen, Nayla tidak berkata apa-apa. Ucapan Rafael terakhir—“Yang aku takutkan cuma satu. Kalau kamu pergi duluan.”—masih berputar di kepalanya dengan cara yang sulit ia uraikan. Rafael memarkir mobil dengan rapi, lalu mematikan mesin. Ia tidak langsung turun. Sebaliknya, ia hanya menatap kemudi seolah sedang menimbang sesuatu. “Kamu makan dulu,” katanya akhirnya. Nayla tersenyum kecil. “Kita baru makan dua jam lalu.” “Dan kamu cuma habisin setengah roti,” Rafael membalas pelan. “Itu bukan makan.” Nada suaranya biasa, tapi ada sesuatu yang berubah sejak kejadian di bandara: cara ia memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya tidak pernah ia komentari—berapa gigitan roti yang dimakan Nayla, bagaimana ekspresi Nayla ketika menerima pesan, bahkan bagaimana ia memegang tas saat berjalan. Seolah Rafael takut Nayla pecah kapan saja. Mereka naik lift tanpa banyak bicara. Begitu pintu apartemen terbuka, Nayla langsung melepas sepatu, lalu duduk di so
Nayla tidak benar-benar tidur malam itu. Bukan karena kasur apartemen Rafael tidak nyaman—kasur itu bahkan jauh lebih empuk daripada apa pun yang pernah ia tiduri—tapi karena otaknya terus memutar ulang adegan di bandara. Tatapan Arman. Cara pria itu memicingkan mata, seolah sudah tahu apa yang terjadi tanpa Rafael harus menjelaskan apa pun. Dan satu kalimatnya terus menggema: > “Kalau kamu jatuh, kamu tarik dia ikut jatuh.” Nayla menarik napas panjang. Ditatapnya jam di nakas: pukul 06.12. Tiga jam lagi ia harus kuliah. Ia baru hendak bangun ketika terdengar suara ketukan halus. Pintunya terbuka sedikit, dan Rafael muncul sambil memegang segelas air. “Pagi.” Suaranya lebih lembut dari biasanya, seolah hati-hati agar tidak menakutinya. “Pagi,” Nayla membalas, mencoba tersenyum tipis. Rafael masuk tanpa banyak bicara dan meletakkan gelas itu di meja. “Kamu nggak tidur semalaman.” Itu bukan pertanyaan. Lebih seperti pengamatan yang sudah ia simpulkan sejak tadi. Nayla mengusap
Rafael datang lima menit lebih awal. Bukan karena ingin terlihat siap, tapi karena semalaman ia tidak benar-benar tidur. Kafe kecil di pojokan Senopati itu masih sepi. Aroma roti hangat dan kopi baru diseduh memenuhi udara. Kursi-kursi masih kosong, hanya pelayan yang mondar-mandir menyiapkan meja. Rafael duduk menghadap kaca besar, agar ia bisa melihat ketika Arman tiba. Ia membuka jam tangan, seolah memastikan kembali bahwa ia tidak salah waktu. Padahal bukan itu yang membuatnya gelisah. Yang membuatnya gelisah adalah satu hal: Bagaimana ia harus menjelaskan Nayla tanpa menghancurkan semuanya? Pintu kaca berbunyi kecil. Arman masuk. Rafael sudah menduga ekspresi apa yang akan ia lihat—tapi tetap saja terasa berat saat kenyataannya muncul di depan mata. Arman berjalan dengan langkah tegas, wajahnya serius, bukan marah, tapi juga bukan wajah ramah seorang sahabat yang sudah berteman bertahun-tahun. Itu wajah seseorang yang memegang kebenaran tapi belum tahu harus meletakkannya
Rafael belum sempat menyalakan lampu apartemen ketika ponselnya bergetar untuk ketiga kalinya. Ia menghela napas pendek, menatap layar sebentar. Nama yang muncul tidak mengejutkan—dan justru itu yang membuat jantungnya terasa menegang. Arman. Nayla yang berdiri di belakangnya langsung berhenti merapikan tali tas. “Itu… dia?” Rafael menoleh dan mengangguk kecil. “Iya.” Nada suaranya tidak keras, tidak panik, tapi jelas berbeda. Lebih berat. Lebih waspada. Nayla menggigit bibir bawahnya. “Kamu… mau angkat?” “Harus.” Rafael menepuk perlahan kepala Nayla, sebuah gerakan singkat yang seolah berkata, tenang, aku di sini. Lalu ia melangkah ke ruang tamu dan menggeser pintu balkon sedikit—bukan untuk bersembunyi, tapi supaya Nayla tidak mendengar seluruh percakapan dan semakin cemas. Namun Nayla justru maju dua langkah, berdiri di lorong, menatap punggung Rafael sambil meremas sweaternya. Ia tidak ingin mendengar semuanya, tapi juga tidak sanggup pergi. Rafael menekan tombol hijau.
Begitu Arman menghilang di antara kerumunan bandara, Nayla masih berdiri mematung di tempat. Suaranya hilang, detaknya kacau, dan napasnya terasa tidak stabil. Troli di depan Rafael bahkan tidak ia lihat lagi—yang ada hanya satu kalimat yang berputar-putar di kepalanya: “Setelah ini… keadaan nggak akan sama lagi.” Nayla memegangi lengan sweaternya, mencoba menenangkan diri, tapi semakin ia berpikir, semakin panik dirinya. “Rafael… itu tadi… kita ketahuan, kan?” suaranya kecil, hampir tak terdengar. Rafael kembali mendorong troli dengan pelan, lalu mendekat ke arah Nayla. “Nay, lihat aku.” Ia menunduk sedikit agar sejajar dengannya. “Tenang dulu.” “Tadi dia nanya soal Larissa… dan kamu nggak jawab apa-apa. Itu—itu berarti dia curiga. Sangat curiga.” Nayla menunduk, seolah takut melihat reaksi Rafael. “Aku… aku bikin kamu dalam masalah, ya?” Rafael langsung menggeleng. “Nggak.” Nadanya tegas tapi lembut. “Bukan kamu.” “Tapi—” “Nayla.” Rafael menghela napas, satu tangannya menyent
Nayla tidak tidur nyenyak malam itu. Bukan karena lelah, bukan pula karena cuaca Kyoto yang mulai dingin. Tapi karena sesuatu yang masih terasa di dadanya—campuran hangat, malu, dan perasaan yang belum ia berani beri nama. Setiap kali ia menutup mata, ia teringat lagi bagaimana Rafael memandangnya siang tadi. Tatapan yang bukan sekadar “kagum”, bukan sekadar “senang”, tapi seperti… ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari itu. Dan itu menakutkan. Dan menyenangkan. Dan membingungkan. Terlalu membingungkan. Nayla berguling di tempat tidur. “Aduh… kenapa sih aku begini?” Rafael yang sudah tertidur di sisi lain ranjang—setelah ia dengan panik menarik selimut dan memunggungi laki-laki itu selama beberapa jam—tiba-tiba bergerak kecil. “Apa?” gumamnya setengah sadar. “T-tidak apa-apa,” Nayla buru-buru berbalik, memejamkan mata kuat-kuat. Rafael tidak menjawab lagi. Napasnya kembali teratur. Entah kenapa, mendengar kepastian bahwa Rafael tidur justru membuat Nayla makin susah tidur. “







