Share

Kecewa

Tara tertegun menatap lembar tagihan sementara yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Mereka diminta untuk membayar sebagian dari total yang ada. Gadis itu sudah meminta waktu tenggang sembari memikirkan jalan untuk mencari biayanya. Entah bagaimana, yang pasti dia yakin pasti bisa mendapatkannya.

"Persiapan untuk meeting besok udah selesai?" 

Tara tersentak saat melihat Juan yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangannya. Dia tak sadar jika lelaki itu masuk karena begitu pusing memikirkan biaya rumah sakit. 

"Sedikit lagi, Pak," ucapnya berbohong.

"Coba saya lihat yang ada dulu. Nanti sisanya kamu lanjutin lagi," pinta Juan.

"Itu ... saya belum, Pak."

"Jadi kamu dari tadi ngapain? Ngelamun?" Juan melipat tangan di depan dada dengan tatapan marah. 

"Saya bikin sekarang juga, Pak," ucap Tara menyanggupi. 

"Sepuluh menit dan semua harus kelar. Saya gak mau tau. Saya juga harus pelajari materinya sebelum mulai presentasi besok," ucap Juan seraya meninggalkan ruangan.

Tara menghela napas lalu mencoba berkonsentrasi. Gadis itu mulai membuka beberapa file dan memasukkan data-datanya ke dalam microsoft power point. Untunglah perutnya sudah kenyang karena mamanya membawakan bekal. Nanti saat jam makan siang, dia akan pergi ke bank untuk menanyakan perihal pinjaman. 

"Asem," umpatnya. 

Setelah lima belas menit berjalan, Tara mengetuk pintu ruangan Juan. Sebelumnya, gadis itu sudah mengirimkan file ke alamat email lelaki itu agar bisa dipelajari. Jika ada kesalahan, maka dia akan memperbaikinya setelah jam makan siang nanti.

"Ada apa?"

"Saya mau izin keluar sebentar, Pak. Mungkin masuknya lagi agak telat. Habis makan siang saya mau pergi ke suatu tempat," ucap Tara gugup.

"Mau kena? Kalau gak penting-penting banget, baiknya selesaikan dulu kerjaan kamu."

"Ini penting, Pak."

"Urusan apa?"

"Papa saya."

Juan mengangguk dan memberikan izin dengan syarat. Semua persiapan untuk meeting besok harus Tara selesaikan hari ini sekalipun nanti dia akan lembur tanpa dibayar.

***

"Maaf Ibu Tara. Pinjaman yang Ibu ajukan belum bisa kami proses. Di data kami, Ibu masih ada cicilan di bank lain. Sehingga menurut perhitungan sistem ini tidak lolos verifikasi. Gaji Ibu setiap bulannya sudah dipotong sejumlah sekian. Maka tidak mungkin dipotong lagi."

"Sekalipun jaminannya sertifikat rumah?"

"Benar, Ibu. Sekarang zaman sulit. Sejak pandemi melanda, kami sangat selektif meloloskan pinjaman. Jika konsumen macet, kami memang bisa menyita jaminan. Namun, untuk menjualnya lagi juga sulit," jelas pihak bank. 

"Saya minta tolong, Pak."

"Saya mau menolong, Ibu. Tapi sebaiknya Ibu lunaskan dulu pinjaman sebelumnya. Kalau sudah lunas, maka ini langsung bisa di acc."

Tara menghela napas panjang. Sudah hampir satu jam dia menunggu dan akhirnya diterima. Gadis itu bahkan belum makan siang sejak tadi. Dia menahan lapar hanya demi memastikan agar permohonannya diloloskan.

"Kalau begitu saya permisi," ucapnya menyerah.

Tara hendak meninggalkan ruangan ketika tiba-tiba saja pihak bank itu mengucapkan sesuatu.

"Saya akan mencoba negosiasi dengan atasan. Tapi gak janji bisa lolos atau gak. Doakan saja."

"Makasih, Pak."

Tara mengangguk, lalu berjalan dengan lemas. Tadinya dia berharap ada kabar baik hari ini. Namun, ternyata semua di luar perkiraan. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk mencari makan siang sebelum kembali ke kantor. 

***

Juan melirik jam di tangan. Ini sudah hampir pukul enam sore dan Tara belum menyerahkan laporannya sejak tadi. Lelaki itu ingin segera pulang karena Amanda akan berkunjung ke apartemen. 

"Ke mana aja, sih? Lama banget," rutuknya.

Mereka sudah lama tidak berjumpa sehingga hari ini ingin menghabiskan malam berdua. Lagipula besok dia akan menyampaikan berita penting. Sehingga lelaki itu butuh penyegaran dengan berduaan bersama kekasihnya. 

"Kamu sudah selesai apa belum?" tanya Juan kepada Tara lewat telepon. 

"Sedikit lagi, Pak."

"Ini sudah malam. Aku mau pulang."

"Tadi saya salat magrib dulu, Pak."

"Jangan ditunda-tunda, Ra. Aku udah berbaik hati ngasih kamu waktu."

"Tapi materi yang mau dibawakan besok lumayan berat. Saya harus sesuaikan dengan yang Bapak minta."

Tara menggerutu dalam hati. Harusnya Juan yang mengerjakan semua. Dia hanya seorang sekretaris. Tugasnya memang menyiapkan dokumen yang atasannya minta atau membuat janji temu dengan klien.

"Aku tunggu tiga puluh menit lagi. Kalau gak beres juga mending kamu tidur di kantor sekalian."

Juan menutup panggilan dengan kasar. Setelahnya lelaki itu tertawa geli karena berhasil mengerjai Tara. Dia memang sengaja menekan gadis itu agar menyerah. Rasa peansaran saat ditolak dulu menimbulkan dendam di hatinya. Bukan untuk menyakiti gadis itu, tetapi untuk memenangkan egonya sendiri. 

Sembari menunggu, Juan membuka laptop dan membuka situs gelap. Lelaki berselancar melihat gaya apa yang akan dia coba malam ini dengan Amanda. Gadis blasteran itu benar-benar membuatnya tergila-gila. Sayang, keluarga besarnya tak setuju sehingga mereka mengadakan pertunangan tanpa restu.

Suara menggoda dari para pemain film gelap itu membuat hasrat Juan bengkit. Dia ingin segera pulang. Apalagi kekasihnya sudah menelepon dan mengatakan bahwa sudah berada di apartemen. 

"Manda," lirihnya sembari membayangkan gadis itu. 

Juan memejamkan mata saat pikirannya berkelana. Lelaki itu terkejut saat mendengar pintu ruangannya diketuk.

"Saya pamit pulang, Pak. Laporannya sudah saya email," ucap Tara sopan.

Juan mengangguk, lalu tiba-tiba saja berjalan mendekati Tara.

"Aku antar kamu pulang."

"Gak usah, Pak."

"Ini udah malam. Bahaya kamu naik motor sendirian."

"Makasih. Tapi kos saya dekat sini," tolak Tara.

Juan menghadang gadis itu saat hendak keluar. Tangannya meraih pinggang Tara dan merengkuhnya dengan mesra. Sepertinya ini efek dari menonton film gelap tadi, sehingga lelaki itu jadi tergoda. 

"Saya mau pulang, Pak," ucap Tara mengelak. 

"Tapi bareng. Motor kamu simpan aja di kantor. Besok naik taksi," bujuk Juan.

"Saya lebih baik naik motor daripada pulang sama Bapak," tolak Tara lagi.

Juan terkekeh, lalu mengusap helaian rambut Tara yang berantakan. Sekalipun telah menghabiskan banyak waktu dengan Amanda, tetapi pesona gadis itu tak dapat dilupakan. Dia merasa bahwa Tuhan sangat baik dengan mempertemukan mereka lagi di sini. 

"Lepasin, Pak. Ini udah malam."

Tara mencoba melepaskan tangan Juan di pinggangnya. Sementara lelaki itu berusaha merapatkan pelukan. Gadis itu masih meronta ketika terdengar suara teriakan yang berasal dari laptop. 

Seketika keduanya terdiam. Juan mengulum senyum sembari menggigit bibir. Hal itu dimanfaatkan Tara untuk mendorong tubuh lelaki itu dengan kuat sehingga terhuyung ke belakang. Gadis itu berlari dengan sekuat tenaga menuju area parkir. Dia melajukan motor dengan kencang agar segera tiba di kos. 

"Untung selamat," ucap Tara terengah-engah sembari memasukkan motor ke garasi. 

"Dasar gentong sialan. Mentang-mentang udah jadi bos. Maunya seenaknya aja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status