Satu jam setelah Tara mengirimkan foto papanya dirawat, suasana di kantor menjadi heboh. Sebagian karyawan berinisiatif mengumpulkan dana seikhlasnya untuk membantu gadis itu.
Sementara itu, Juan mengamuk karena teleponnya sejak tadi tak dijawab oleh sang sekretaris. Dia bergegas keluar dan menjadi geram saat mendapati gadis itu tidak ada di ruangannya.
"Tara mana?" tanya Juan saat berkunjung ke bagian administrasi.
"Tadi info dari HRD, Mbak Tara izin ke rumah sakit."
"Ada apa?"
"Papanya kena serangan jantung. Sekarang lagi koma, Pak. Pulang nanti kami mau ke sana buat besuk. Sekalian mau antar uang bantuan."
"Apa saya sudah memerintahkan untuk mengumpulkan dana? Saya aja baru tau kalau papanya sakit," protes Juan.
"Ini ini cuma inisatitif dari kami, Pak. Kasihan Mbak Tara kan hidupnya susah," jelas yang lain.
"Papanya Tara dirawat di rumah sakit mana?"
Staf administrasi itu menyebutkan salah satu nama rumah sakit yang letaknya agak jauh dari kantor mereka. Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup rinci, Juan bergegas pergi untuk menemui Tara. Lagipula dia tidak mempunyai janji temu dengan siapa pun hari ini. Hanya beberapa laporan yang harus diselesaikan. Namun, lelaki itu bisa mengerjakannya di rumah karena besok libur.
"Kalau ada yang tanya saya ke mana, bilang aja saya ke luar, ya," pesannya sebelum meninggalkan kantor.
Juan melajukan mobil menuju rumah sakit yang dimaksud. Lelaki itu membuka g****e maps untuk memandunya tiba di tempat tujuan. Letaknya memang agak jauh dari kantor karena berada di daerah pinggiran kota.
Begitu sampai, Juan langsung bertanya kepada resepsionis di mana ruang intensive berada. Dia sengaja tidak menghubungi Tara karena tahu gadis itu masih marah.
Juan bertanya kepada perawat yang lewat. Lelaki itu dipersilakan bertemu dengan kepala ruangan. Dia mengaku keluarga dari Rahadi dan menanyakan diagnosis penyakitnya.
Juan juga bertanya besar biaya perawatan yang dihabiskan Rahadi di ruang itu selama pengobatan. Angka yang cukup fantastis membuatnya terkejut. Namun, baginya uang sebesar itu tak seberapa.
"Bapak Rahadi tidak mempunyai asuransi pemerintah."
"Jadi?"
"Seluruh biayanya ditanggung sendiri. Kecuali dari pihak keluarga meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat. Sehingga kami bisa memberikan keringanan untuk pengobatan tertentu," jelas kepala ruangan.
"Jadi apa sudah fix akan menghabiskan biaya sebesar ini?" tanya lelaki itu sekali lagi.
"Belum pasti, Pak. Ini hanya perkiraan dari kami karena sudah berpengalaman pada pasien yang lain. Untuk lebih jelasnya bisa ditanyakan ke bagian administrasi. Tagihan akan kami kirimkan setelah Bapak Rahadi keluar nanti. Tapi, rincian biaya per harinya akan dijelaskan juga di sana."
Juan mengangguk dan kembali bertanya beberapa hal. Lelaki itu berani masuk karena tak melihat Tara sama sekali di sana. Setelah merasa puas, dia meninggalkan rumah sakit dengan berbagai rencana di kepala.
***
Tara mengetuk pintu ruangan Juan dengan jantung berdebar. Wanita itu begitu gugup karena hari Jumat kemarin telah meninggalkan kantor tanpa sepengetahuan lelaki itu. Setelahnya dia tak memberikan kabar sama sekali karena fokus mengurus papanya di rumah sakit.
"Masuk," ucap Juan dingin. Lelaki itu tentu saja sudah tahu siapa yang datang berkunjung ke ruangannya pagi-pagi.
"Pak, saya mau bicara," izin Tara.
"Langsung aja. Gak usah basa-basi," ucapnya ketus.
Juan sengaja tak menatap Tara dan memilih fokus kepada layar di depannya. Dia sengaja bersikap cuek, sehingga gadis itu merasa sungkan. Lagipula rencananya harus matang agar mangsanya masuk sendiri ke dalam perangkap.
"Saya mau confirm soal kepergian saya hari jumat kemarin. Saya lupa mengabari Bapak."
"Aku sudah tau."
"Saya berterima kasih sama teman-teman yang lain juga Bapak karena sudah menyisihkan bantuan untuk Papa," lanjut Tara.
Juan meletakkan mouse, lalu menggeser posisi duduknya. Lelaki itu melipat tangan di dada sembari menatap Tara dengan lekat. Dia begitu penasaran apa yang akan gadis itu sampaikan.
"Biaya pengobatan Papa saya cukup banyak, Pak. Jadi saya mengajukan pinjaman kepada bagian keuangan," ucap Tara.
"So?"
"Kata kepala keuangan, saya harus menghadap Bapak. Dia gak akan menyetujui pinjaman koperasi tanpa ACC dari kepala cabang," mohon Tara.
Mereka tidak mungkin menjual mobil karena itulah satu-satunya kendaraan yang bisa mengantar jemput papanya. Tara sudah meminta sertifikat rumah kepada untuk digadaikan ke bank agar bisa membayar biaya pengobatan. Namun, prosesnya cukup lama. Perlu dilakukan survey dan banyak hal lain yang harus dilalui hingga disetujui. Itupun belum tentu goal.
"Kalau aku setujui, apa kamu sanggup bayar?"
"Bapak meremehkan saya?" tanya Tara terpancing emosi.
"Buka gitu. Uang yang kalian korup aja belum tentu bisa dikembalikan. Sekarang malah mau ajukan pinjaman," sindir Juan.
Tara mengepalkan tangan karena kesal. Di saat seperti ini Juan malah mengungkit tentang itu. Padahal jika lelaki itu masih memiliki empati, dia tidak akan mengungit-ungkit.
"Papa saya sakit. Saya juga mengajukan pinjaman dengan jaminan pemotongan gaji setiap bulannya."
"Memangnya kamu yakin bakal lama di kantor ini. Kalau misalnya pusat memutuskan pemecatan, apa kamu masih bisa bayar?"
Rasanya Tara ingin meremas mulut Juan karena ucapannya terlalu menyakitkan. Selain biaya pengobatan papanya, dia juga memerlukan biaya lain untuk bekal mamanya selama di rumah sakit. Hal itulah yang membuatnya mengajukan pinjaman agar ada pegangan, karena prosesnya lebih cepat.
"Saya gak pinjam banyak. Cuma lima juta. Itu juga buat Mama," lirih Tara. Kali ini dia mengalah demi kedua orang tuanya.
"Lima juta itu gak sedikit. Itu juga uang perusahaan. Coba bayangin kalau sepuluh karyawan yang korupsi sejumlah itu. Udah lima lima puluh juta uang kantor melayang."
"Astagfirullah."
Tanpa menanggapi ucapan Juan yang sengaja mengungkit-ungkit kasus lama, Tara langsung meninggalkan ruangan dan berpamitan. Baginya lebih baik menghindar, daripada merendahkan diri dan diinjak-injak.
"Permisi, Pak."
Tara membuka pintu dan menutupnya dengan kasar. Itu membuat Juan tergelak.
"Kita liat aja seberapa kuat kamu bertahan, Ra."
***
"Tolongin kami, Tante."
"Kami mau nolongin kalian, Tara. Tapi dananya memang gak ada. Kalau misalnya seberapa ada, ya Tante sama Om bisa kasih."
Tara menghela napas dan menerima sodoran amplop putih walaupun isinya tidak tebal. Ini lebih baik daripada harus memohon dan dihina oleh Juan untuk meloloskan pinjaman koperasi.
"Makasih, Tante."
Hari ini Tara berkeliling mengunjungi rumah keluarga papa dan mamanya untuk meminta bantuan. Hasilnya semua menolak meminjamkan dalam jumlah yang besar. Namun, mereka memberinya sedikit bantuan, yang jika dikumpulkan hasilnya lumayan juga.
"Kamu udah coba sama yang lain?"
"Udah, Tante. Semuanya malahan," jawab gadis itu cepat.
"Semua?"
"Semua orang yang pernah ditolong Papa dulu," sindirnya.
Tara juga menelepon keluarga yang tinggal jauh, sekalipun gadis itu tahu bahwa semua orang akan mencela keluarganya sebagai pengemis. Namun, dia tak peduli.
"Oh, maaf kalau gitu," ucap Tantenya dengan nada menyesal.
Dulu saat papanya berjaya, mereka banyak membantu saudara yang kesusahan. Mamanya juga kerap mengadakan acara dan mengundang keluarga besar untuk makan bersama. Sekarang ketika mereka dalam kesulitan, dia bahkan harus mengemis untuk meminta bantuan.
"Kalau gitu aku permisi."
"Hati-hati, ya."
"Tante gak besuk Papa?" todong Tara.
"Eh, itu ... nanti tunggu Om pulang dari luar kota."
Tara bergegas pergi dan langsung menuju ke ATM terdekat untuk mengambil transferan. Setelahnya gadis itu langsung kembali ke rumah sakit untuk menemui sang mama.
"Kamu darimana, Nak?"tanya Diana.
"Ini, Ma," ucap Tara sembari mengulurkan sebuah amplop yang cukup tebal.
"Uang apa ini?"
"Sumbangan dari teman-teman di kantor. Terus sama--"
Diana menatap putrinya dengan penasaran. Wanita itu masih menunggu lanjutannya sembari memegang amplop dengan penasaran.
"Dikasih sama keluarga kita," jawab Tara cepat.
"Loh, kapan mereka ngasihkan ini ke kamu? Ngeliat Papa kamu juga belum," ucap Diana kecewa.
"Tara samperin satu-satu, Ma. Sama telepon yang tinggal di luar kota. Ada yang transfer. Ada yang ngasih cash."
Diana terbelalak mendengarnya. Wanita itu kembali menyodorkan amplop dan mengembalikannya kepada Tara, tetapi gadis itu menolaknya.
"Mama gak mau terima," tolak Diana tegas.
"Jangan gitu, Ma. Kita lagi butuh," jelas Tara.
"Mama bukan pengemis yang meminta bantuan kepada orang yang sudah menghina kita."
"Tapi itu juga gak semua dari mereka. Ada dari teman kantor aku."
"Tapi Mama--"
"Dulu mereka kesusahan Mama yang bantu, kan? Kenapa sekarang kita gak boleh minta bantuan?"
"Tapi bukan kayak gini caranya, Nak."
"Ma, kita lagi terdesak. Bos Tara gak ACC pinjaman koperasi. Proses bank juga masih lama. Ini buat pegangan Mama selama jaga Papa di sini. Apa yang bisa kita bayar, ya dibayar dulu. Sisanya nanti Tara yang pikirin," janji gadis itu.
"Coba aja dulu kamu nikah sama Rama. Mungkin jadinya kita gak begini," sesal Diana.
Tara tertegun, lalu membalikkan badan. Hatinya perih jika diungkit tentang lelaki itu. Rasanya lebih menyakitkan dari ucapan Juan yang pedas.
"Ma, aku pulang dulu. Papa juga belum boleh dibesuk. Besok masih mau kerja."
"Hati-hati, Nak. Makasih untuk ini," ucap Diana terharu.
Tara meninggalkan ruangan dengan pikiran kalut. Kepala gadis itu serasa hendak pecah karena masalah bertubi-tubi yang datang. Entah bagaimana nasibnya di kantor kelak.
Info dari kepala keuangan, kasus mark-up dana yang dilakukan Andreas sudah diproses oleh pusat. Ternyata Juan diam-diam bergerak cepat. Dan mulai hari ini dia harus bersiap-siap angkat kaki dari sana untuk selama-lamanya.
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak