Tara melempar gelas untuk melampiaskan kekesalannya. Gadis itu bahkan tak peduli jika pecahannya bisa membahayakan. Ucapan dan sikap Juan tadi benar-benar keterlaluan.
Tara mengambil sebotol air mineral, lalu duduk di kursi dengan napas naik turun. Emosinya belum mereda. Gadis itu bahkan masih teringat akan perbincangan mereka tadi.
"Jadi pacar aku, Ra. Dan kamu bakal dapat pengecualian ."
"Kalau saya gak mau?"
"Siap-siap angkat kaki dari sini," ancam Juan.
"Siapa takut!"
"Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bapak dan anak sama-sama suka ngembat uang haram!"
Mendengar hinaan itu, Tara hendak menampar Juan. Sayangnya sebelum itu terjadi, lengannya dicekal erat oleh lelaki itu.
Entah bagaimana tiba-tiba saja tubuhnya sudah berada di dalam rengkuan Juan. Tara berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman lelaki itu begitu kuat.
"Jaga mulut kamu, ya!" ucap Tara tak terima. Kini dia sudah tak sudi memanggil Juan dengan sebutan 'bapak' lagi.
"Aku bicara fakta, Ra."
"Papa aku lagi sakit. Dan aku butuh uang buat biayanya."
Juan mengulum senyum sembari melonggarkan rengkuhannya karena melihat Tara yang terlihat kesakitan. Dia bahkan sengaja menarik napas panjang, lalu meniupnya ke wajah gadis itu.
"Kamu gak perlu ngambil uang haram kalau kamu jadi pacar aku," bisik Juan mesra.
"Maksud kamu apa?"
"Aku bakal sediain apa yang kamu mau, asal--" ucap Juan sembari mengedipkan mata.
"Kamu udah punya tunangan, kan? Masih berani ngerayu cewek lain," sindir Tara. Kini dia tak mau meronta lagi karena sepertinya justru membuat lelaki itu senang.
"Baru tunangan, belum jadi istri. Jadi aku masih bisa main-main bentar."
"Sinting!" umpat Tara.
"Kamu kenapa jadi kasar gini, sih? Mana Tara yang dulu?"
Juan menatap wajah Tara yang terlihat begitu emosi. Ternyata gadis ini banyak berubah. Entah kemana sosok anggun dan lembut yang dulu pernah melekat padanya sewaktu SMA.
"Lepasin aku! Sakit," lirih Tara.
"Kamu jawab dulu baru aku lepas," pinta Juan. Lelaki itu ingin kepastian dari sang pujaan hati karena sudah tak dapat menahan diri.
"Kasih aku waktu. Kalaupun aku nolak, paling gak aku punya persiapan buat keluar dari kantor ini," ucap Tara tegas.
Juan melepaskan rengkuhannya dan menatap gadis itu lekat.
"Papa aku emang koruptor. Aku juga nilep uang kantor karena kebutuhan. Tapi, aku udah ingetin Pak Andre setiap kali mau ngadain event tentang aturan kantor."
Tara mulai menceritakan kronologis kejadian demi kejadian yang pernah mereka lalui sewaktu kepemimpinan Andreas dulu.
"Kami cuma bawahan yang mematuhi atasan. Pak Andre juga udah janji kalau gak akan ngelibatin kami seandainya ada pemeriksaan dari kantor pusat."
Tara terengah-engah karena terlalu bersemangat saat menjelaskannya. Dia menatap Juan dengan lekat, berharap sosok di hadapannya mau mendengar. Lelaki itu pasti masih memiliki empati untuk tak menghakimi mereka secara sepihak.
"Aku udah bilang dari tadi kalau gak ada dispensasi untuk itu. Gelembungan dana ini udah terjadi selama empat tahun."
"Selama ini kami juga udah bekerja dengan sebaik-baiknya. Jika memang dananya harus dikembalikan, kami siap."
Kali ini Tara merubah rencana. Gadis itu sudah mencoba melawan tetapi hasilnya nihil. Mungkin dengan mendramatisir keadaan bisa meluluhkan hati pewaris utama Rahardjo itu.
"Event yang kalian adain itu cukup banyak dengan budget yang gak sedikit," lanjut Juan.
"Tapi omset juga naik drastis. Cabang ini bahkan tiga tahun berturut-turut menempati posisi pertama dalam penjualan selama satu tahun," jelas Tara berargumen.
"Dengerin, Ra. Mau alasan apa pun, mencuri itu ya tetap mencuri."
Tara menatap Juan dengan kecewa. Dalam hatinya berkata mungkin ini memang sudah saatnya dia meninggalkan kantor. Sikap Juan yang arogan membuatnya tidak nyaman.
"Oke terserah. Kamu bosnya, jadi kamu yang tentuin. Aku ini cuma kacung!"
Tara meninggalkan ruangan dengan menghentak-hentakkan kaki. Gadis itu menutup pintu dengan keras untuk meluapkan kekesalannya.
***
"Ya, Ma?"
"Papa kamu kena serangan. Sekarang di rumah sakit."
Lamunan Tara terhenti saat mendapatkan telepon dari mamanya. Gadis itu mencoba menenangkan diri mendengarkan semua penjelasan sebelum akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah sakit secepatnya.
"Mama tenang, ya. Aku ke sana sekarang."
Tara menutup panggilan dan memasukkan beerapa barang ke dalam tasnya. Tanpa mengabari Juan, gadis itu langsung pergi meninggalkan kantor. Dia hanya mengirimkan pesan kepada kepala HRD untuk meminta izin.
Motornya melaju dengan cukup kencang. Tara bahkan sempat menyenggol seorang pemulung yang hendak menyeberang dengan mendorong gerobak. Dia berhenti dan meminta maaf. Namun, gadis itu segera pergi tanpa memberikan ganti rugi.
Begitu tiba di sana, Tara langsung menemui mamanya di rungan intensif, tempat di mana papanya dirawat. Gadis itu duduk lemas di kursi tunggu saat mendengar penjelasannya.
"Nak, papa kritis," isak Diana di pelukan putrinya.
Tara menatap ke arah kaca di depannya, di mana di dalam ruangan itu papanya terbaring tanpa boleh dibesuk. Sejak keluar dari penjara, Rahadi menjadi stres dan kerap melampiaskan kemarahannya dengan meminum alkohol. Lelaki paruh baya itu telah menjadi tumbal dari sang penguasa untuk menutupi borok mereka.
"Papa kenapa tiba-tiba gini, Ma?"
"Mama gak tau. Papa tiba-tiba aja pulang terus marah-marah lalu kena serangan."
"Memangnya tadi malam gak pulang?"
Diana menggeleng, lalu kembali terisak. Hal itu membuat Tara memeluk mamanya semakin erat. Gadis itu memang tinggal di kos karena jaraknya lebih dekat dengan kantor.
"Ya Allah."
Setelah semua aset di sita, kedua orang tuanya tinggal di daerah pinggiran dengan membeli sebuah perumahan sederhana. Untunglah ada keluarga yang berbaik hati memberikan mereka sebuah mobil tua. Sehingga mama dan papanya tak perlu merasakan panas dan hujan jika berpergian ke luar rumah.
Tara sendiri memilih naik motor dan membuang semua gengsi demi bertahan hidup. Gadis itu merelakan Toyota Fortuner miliknya dijual demi membayar hutang yang masih ada agar segera lunas. Sehingga mereka hanya perlu mencari biaya untuk hidup sehari-hari.
"Papa sama cewek lagi?"
Diana tersentak, lalu membuang pandangan. Wanita paruh baya itu tak perlu menjawab karena tebakan putrinya sudah benar.
"Udah Tara duga."
Dulu Rahadi adalah sosok yang setia dan sayang kepada keluarga. Tak seperti pejabat lain yang suka bermain wanita, Rahadi justru sibuk bekerja dan menambah aset untuk masa depan. Sayangnya, setelah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, lelaki itu menjadi berubah.
Setelah bebas, Rahadi berharap rekan kerja dan relasinya akan membantu. Ternyata dia salah mengira. Keluarga besar bahkan merasa malu karena beritanya menyebar ke mana-mana.
Rahadi semakin terpuruk dan melampiaskan semua kekecewaannya dengan mengkonsumsi alkohol. Entah bagaimana dia bertemu dengan Clarisa, seorang gadis muda seusia Tara. Lalu, menjadikannya istri kedua di saat kondisi keuangan mereka sedang sulit.
"Mama sabar, ya."
"Mama gak tau lagi harus gimana, Ra. Kita gak punya biaya--"
"Aku yang akan bayar semua. Mama tenang, ya. Jangan pikirin itu lagi."
"Mama pengen nyerah, Ra."
"Jangan, Ma. Mau gimanapun Papa yang sekarang, dia pernah sayang sama kita. Papa cuma tersesat. Semoga nanti dia balik lagi sama kita."
Tara mengajak mamanya untuk duduk sembari mengucapkan kata-kata yang menenangkan. Gadis itu sebenarnya kebingungan hendak berbuat apa, tetapi mencoba menguatkan diri.
"Aku bakal sediain apa yang kamu mau, asal kamu jadi milik aku."
Tiba-tiba saja ucapan Juan tadi pagi berkelebat di benaknya. Tara menggeleng untuk menepis semua. Lalu, gadis itu mengambil ponsel dan mengambil gambar ruang intensive untuk dikirimkan kepada HRD sebagai bukti izinnya hari ini.
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak