Bab 4
"Dek, Mas mau ke luar sebentar. Kamu mau nitip sesuatu?" ujar Hans ketika sore telah tiba.
Laki-laki itu baru saja menghampiri Nida yang sedang bersantai di taman belakang bersama Bi Retno.
Ya begitulah Nida. Bukannya memanfaatkan waktu untuk bermanja-manja pada suaminya yang jarang sekali berkunjung, wanita itu justru lebih suka menghindar dari Hans.
"Nggak, Mas," jawab Nida tanpa minat.
"Memangnya kamu nggak ngidam lagi, Dek? Siapa tahu kamu ingin makan sesuatu, biar sekalian Mas balikan," ujar Hans lagi, berusaha menarik perhatian istri pertamanya tersebut.
"Nggak ada, Mas. Lagi pula semua yang aku pingin sudah ada di kulkas, baru aku beli kemarin, jadi aku sudah nggak ingin dibelikan apa-apa lagi," ujar Nida, kembali menolak tawaran suaminya.
Hans lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang menghadapi sikap dingin istrinya. Dari sejak kapan sebenarnya hubungan mereka jadi berjarak seperti ini? Kenapa juga Hans baru menyadari saat ia hendak memperbaiki hubungan mereka?
"Ya sudah, Mas pamit dulu. Mas nggak akan lama. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan telepon Mas ya, Dek," ujar Hans lagi, masih berusaha bersikap manis, meski respons Nida justru sebaliknya.
Nida hanya membalas ucapan suaminya dengan anggukan kecil. Ia bahkan terlihat sudah sangat jengah karena turus diajak bicara oleh laki-laki yang berstatus sebagai suaminya tersebut.
"Oh iya, Bi, nanti saya mau beli makanan di luar sekalian, jadi Bibi nggak perlu masak untuk makan malam. Bibi temani istri saya saja, ajak dia mengobrol biar nggak kesepian atau bosan," ujar Hans lagi, kali ini ditunjukkan untuk pembantunya.
"Baik, Tuan," sahut Bi Retno.
Hans akhirnya mengulurkan tangan kanannya ke arah Nida, meminta agar wanita itu menyalaminya. Namun, Nida tak langsung menyambutnya. Wanita itu justru menatap bingung ke arah suaminya, karena memang sejak ada Diaz di antara mereka, Hans sudah tak pernah membiarkan Nida menyalami tangannya saat hendak pergi.
"Salim, Sayang," kata Hans, terdengar begitu manis. Bahkan, panggilan sayang yang sudah tak lagi terdengar sejak satu tahun ini, kini keluar lagi dari bibir laki-laki itu.
Tak mau terlalu mempermasalahkan hal sepele seperti itu, Nida pun langsung menyalami tangan Hans dengan cepat.
"Mas pergi dulu, ya. Nanti Mas hubungi kalau Mas sudah sampai di tempat tujuan," ujar laki-laki itu, seolah begitu berat meninggalkan istrinya yang tengah hamil muda.
Nida hanya membalas perkataan Hans dengan anggukan pelan, lantas membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Nida bahkan tak bertanya suaminya hendak ke mana, membuat Hans jadi merasa sedih karena Nida benar-benar sudah tidak peduli pada dirinya sedikit pun.
"Sepertinya Tuan Hans ingin memperbaiki hubungannya dengan Nyonya. Mungkin Tuan Hans merasa bersalah karena setelah menikah dengan Mbak Diaz, Tuan Hans jadi jarang punya waktu untuk Nyonya," komentar Bi Retno begitu Hans tak lagi terlihat dalam pandangan mereka.
Bi Retno memang cukup akrab dengan Nida. Jadi tak heran jika wanita tua tersebut bisa berkata sebebas itu pada majikannya.
"Mas Hans melakukan itu karena aku sedang hamil. Kalau nanti aku sudah melahirkan, mungkin sikapnya akan kembali seperti sebelumnya lagi," ujar Nida terdengar begitu datar.
Wanita itu tak lagi merasa sedih meski Hans hanya bersikap manis karena anak yang dikandungnya. Lagi pula Nida sudah kebal karena kerap menjadi yang tersisih.
Bi Retno hanya bisa menatap majikan wanitanya itu dengan pandangan sendu. Padahal Nida adalah perempuan yang sangat baik, tetapi kenapa wanita itu mendapatkan kisah hidup yang begitu menyedihkan seperti ini?
Namun, meski bagaimana pun, Bi Retno selalu mendoakan yang terbaik untuk majikannya. Entah bagaimana kelanjutan hubungan Nida dan Hans nantinya, tapi Bi Retno selalu mendoakan agar Nida diberikan banyak kebahagiaan setelah semua kesulitan yang dilaluinya selama ini.
***
"Loh, Mas! Kenapa beli makanan banyak sekali? Kita hanya bertiga di sini, mana habis makanan sebanyak ini?" tanya Nida yang merasa heran saat suaminya pulang dengan membawa beberapa kantung plastik bertuliskan nama sebuah restoran.
Makanan yang sedang ditata di atas piring oleh Bi Retno itu ada beberapa jenis. Nida sampai bingung sendiri kenapa Hans membeli makanan sebanyak itu.
"Memang kita hanya bertiga saja di rumah ini, tapi nanti malam insya Allah keluarga besar kita akan ikut makan malam bersama di sini," ujar Hans, diiringi dengan senyum cerahnya.
Netra Nida seketika membulat mendengar ucapan suaminya.
"Maksud kamu apa, Mas? Kamu mengundang keluarga yang lain untuk makan malam di sini?" tanya Nida, yang terlihat sekali jika ia tak suka dengan apa yang diucapkan suaminya.
"Iya, Sayang. Mas mengundang Mama, Papa, keluarga Tante Sarah, keluarga Mbak Mila, dan juga keluarganya Diaz. Rencananya Mas akan memberikan kejutan untuk mereka dengan mengabarkan soal kehamilanmu. Mereka pasti senang sekali karena kamu akhirnya hamil, Sayang," ujar Hans, masih terlihat sangat antusias, tanpa menyadari ekspresi wajah Nida yang kini terlihat murka.
"Kamu nggak lupa kalau rumah ini adalah rumahku kan, Mas? Mungkin kamu pernah mengucurkan dana untuk merenovasi rumah ini, tapi rumah ini tetap milikku karena aku mendapatkannya dari mendiang kedua orang tuaku. Jadi nggak seharusnya kamu lancang mengundang orang lain ke rumah ini, apalagi tanpa meminta persetujuan dariku!" ujar Nida, merasa tak perlu repot-repot menyembunyikan rasa marahnya pada sang suami.
Melihat respons Nida, jelas saja Hans merasa terkejut. Bahkan Bi Retno yang berada di dekat pasangan suami istri itu pun seketika merasa tak nyaman karena atmosfer di tempat tersebut langsung berubah menjadi mencekam. Tampaknya Nida memang benar-benar marah karena Hans mengundang orang lain tanpa berdiskusi dulu dengannya.
"Sayang, kamu marah? Maaf, Mas nggak bermaksud lancang. Mas hanya merasa sangat bahagia dengan kehamilan kamu, jadi Mas berencana ingin membagi kebahagiaan ini dengan keluarga kita," ujar Hans, merasa bersalah karena telah melakukan hal yang membuat Nida marah.
"Kamu selalu saja seperti ini sejak dulu, Mas. Setiap ingin melakukan sesuatu, pasti kamu nggak pernah bertanya dulu padaku. Hal ini juga yang membuatku semakin yakin, kalau sebenarnya sejak dulu kamu memang nggak pernah benar-benar menghargaiku sebagai istrimu," ujar Nida, mengungkapkan rasa kecewanya.
Tak ingin mendengar pembelaan Hans lagi, Nida langsung pergi dari dapur dengan membawa amarah yang masih tersimpan di dalam dadanya.
Hans mencoba mengejar dan terus mengucapkan kata maaf pada istri pertamanya itu. Namun, Nida sama sekali tak peduli. Ia juga seolah menulikan telinganya dari permintaan maaf Hans yang terdengar penuh sesal.
Sampai di kamar, Nida tak mengizinkan suaminya untuk ikut masuk. Wanita itu langsung mengunci pintu kamarnya dan membiarkan Hans terus memanggil-manggil namanya dari luar kamar.
"Sayang, Mas benar-benar minta maaf karena nggak mengatakan padamu terlebih dulu soal rencana ini. Kalau memang kamu nggak setuju soal Mas yang mengundang keluarga kita, Mas akan mengatakan pada mereka jika kita membatalkan rencana makan malam bersama nanti malam," ujar Hans, terus membujuk agar istrinya tak lagi marah padanya.
"Batalkan saja, Mas. Jangan lupa bilang kalau aku yang melarang mereka untuk datang, supaya mereka semua semakin membenciku!" teriak Nida dari dalam kamar. Terdengar jelas jika wanita itu benar-benar marah pada suaminya.
Hans yang mendengar itu, langsung menyugar rambutnya dengan frustasi. Kenapa Nida jadi sekeras ini sekarang? Padahal biasanya juga Nida hanya akan menerima apa saja yang dilakukannya.
Apakah kali ini Hans memang sudah sangat keterlaluan? Atau jangan-jangan kemarahan Nida ini adalah rasa kecewa yang sudah wanita itu pendam sejak lama dan baru sekarang meledak karena sudah tak sanggup lagi menampungnya?
Arghh!!
Hans benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan. Jika tetap melanjutkan rencana makan malam bersama keluarga besar yang sudah diundangnya, pasti Nida akan semakin marah padanya. Namun, jika ia tiba-tiba saja membatalkan acara nanti malam, sementara ia sudah terlanjur mengundang semuanya, pasti itu akan menjadi pertanyaan besar bagi keluarga besarnya. Hans benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Bersambung ...Bab 5 Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans. Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan. "Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya. Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
Bab 11Sementara itu di rumah yang ditempati Diaz, Lily merasa sangat kesal ketika menemukan anak sulungnya itu masih bergelung di dalam selimut, padahal matahari di luar sana sudah semakin meninggi. "Bangun, Diaz! Bangun! Dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih enak-enakan tidur, Diaz!!" teriak Lily kesal, seraya menarik selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya. Namun, bukannya lekas bangun setalah mendengar teriakan ibunya yang tidak bisa dibilang pelan, Diaz justru hanya menggerutu dan masih tidak mau membuka matanya. Wanita itu bahkan hendak meraih kembali selimutnya, tetapi sang ibu dengan cepat menjauhkan benda tersebut dari jangkauannya. "Ayo cepat bangun, Diaz! Ibu mau bicara serius sama kamu!" ujar Lily, kembali mencoba menyadarkan sang putri dari tidurnya. "Ibu jangan berisik dong. Aku masih mengantuk, Bu," gumam istri kedua Hans tersebut seraya menutup telinganya dengan bantal, berharap suara keras sang ibu tak lagi menunggu tidur nyenyaknya. "Ini su
Bab 12"Bayangkan saja, Diaz. Suamimu nanti hanya akan mendatangimu ketika dia sedang bertengkar dengan Nida atau saat Nida sedang datang bulan hingga tak bisa melayani suamimu. Kamu hanya akan dijatah uang sebesar yang Hans berikan tanpa boleh meminta lebih, sementara Nida dan anaknya akan dibelikan barang-barang mewah di sana. Setiap Nida meminta Hans untuk datang, Hans pasti akan langsung datang, tak peduli meski saat itu seharusnya waktunya Hans bersamamu. Apa kamu mau menjadi hidup yang seperti itu, Diaz?" tutur Lily lagi, masih berusaha menanamkan pikiran buruk ke dalam otak Diaz. Diaz yang mendengar semua ucapan ibunya, sontak saja langsung mendelik karena merasa tak terima jika ia harus mengalami hal yang seperti ibunya katakan. "Tidak, Bu, aku tidak akan menjalani hidup yang seperti itu. Cukup Nida saja yang bodoh mau diperlakukan seperti itu olehku dan Mas Hans, tapi aku tidak akan membuat keadaan menjadi terbalik seperti yang Ibu katakan. Aku