Home / Fantasi / Dendam Jendral Dewa Tertinggi / bab 4: Masa Lalu dan Mimpi Buruk

Share

bab 4: Masa Lalu dan Mimpi Buruk

Author: Adaha Kena
last update Last Updated: 2025-05-29 11:03:16

Meski telah meraung seperti orang gila, Arundari tetap tidak dapat menghalangi dua penjahat itu membawa Bima Bayukana ikut bersama mereka.

Sepanjang jalan menuju ke tengah desa, tampak jasad perempuan tua dan laki-laki dibiarkan bergelimpangan begitu saja. Saat sampai, sudah banyak gadis muda berwajah pucat yang dikumpulkan.

"Mana wanita cantik tadi? Kenapa kalian malah membawa wanita penuh darah dan seorang bayi ini?" Pimpinan pendekar aliran hitam tampak sangat geram akan kedatangan mereka. "Aku sudah bilang kita hanya butuh wanita muda ... laki-laki, perempuan tua, dan anak-anak langsung saja dihabisi!"

"I—ini wanita cantik tadi," lapor salah satu dari mereka gemeteran setengah mati. "Se—sedangkan bayi ini adalah anaknya."

"Be—benar, dia melukai wajah dan tubuhnya sendiri," tambah yang satunya tidak kalah ketakutan.

Pimpinan pendekar aliran hitam melirik Arundari yang hampir tak dapat dikenali. Seluruh wajah dan tubuh wanita tersebut dipenuhi darah, berbeda sekali dengan saat dia pertama kali melihatnya.

"Dasar tidak berguna! Aku bilang apa? Bawa dia tanpa terluka sedikitpun!"

"Ma-maaf kam—"

Swasss

Belum sempat meminta pengampunan, dua orang itu ditebas oleh pimpinan mereka sendiri. Bima Bayukana yang berada di gendongan salah satunya ikut terjatuh.

Meskipun hampir muntah, Arundari dengan khawatir melonjak memeriksa keadaan anaknya. Sementara itu, hawa yang dipancarkan pimpinan pendekar aliran hitam semakin mencekik pernapasan. Dia dengan kejam menjambak Arundari dan merebut Bima Bayukana yang baru saja kembali ke pelukannya.

"kembalikan anakku! Kembalikan anakku!"

Arundari kesetanan untuk merebut kembali Bima Bayukana. Dia terus-terusan berusaha bahkan setelah dipukul berulang kali. Hingga akhirnya dia tersungkur sambil terbatuk-batuk di tanah.

"Komohon! Anakku tidak bersalah, lepaskan dia," pinta Arundari masih berupaya berdiri.

Bima Bayukana sangat ingin menolong ibunya. Namun, dengan tubuh seorang bayi berumur satu tahun apa yang bisa dia lakukan? Jangankan menolong ibunya, melepaskan dirinya sendiri dari pimpinan pendekar aliran hitam tersebut saja dia tidak bisa.

"Kau hanya punya kecantikanmu. Apa yang bisa kamu tawarkan padaku setelah kau melukai dirimu sendiri?" jawab sinis pimpinan pendekar aliran hitam. "Ah, aku menyesal memerintahkan dua sampah ini mengurusmu."

"Aku akan melakukan apapun," mohon Arundari sekali lagi. "Apapun itu."

Melihat tekat kuat Arundari, pandangan pimpinan pendekar aliran hitam beralih pada bayi di tangannya. Dia terkejut Bima Bayukana balas menatapnya dengan tajam. Seharusnya bayi dengan umur tidak lebih dari satu tahun tidak akan paham tentang yang sebenarnya terjadi.

"Anakmu tidak memiliki tenaga dalam dan cacat. Bahkan di luar jalan pendekar, dia akan melalui hidup penuh penderitaan. Tangkap anakmu jika kau ingin dia hidup," ucap pimpinan Pendekar aliran hitam kemudian melempar Bima Bayukana tinggi ke atas.

Tepat sebelum terjatuh ke tanah, Arundari dengan sigap menangkap anaknya. Bima Bayukana menghela napas lega karena dirinya tidak membentur tanah. Namun, dia terkejut melihat mata ibunya melotot ingin keluar.

Sebuah golok entah sejak kapan tertancap di punggung ibunya.

"Sialan! Aku akan membunuhmu! Dasar bumi sekalipun tidak akan membuatmu mampu lari dari kematian!"

Begitulah yang sekiranya ingin diteriakkan Bima Bayukana yang telah kehilangan kendali. Sayangnya, yang keluar dari mulut kecilnya tidak lain dan tidak bukan adalah kata-kata tak beraturan. Dibandingkan sumpah serapah, Itu lebih terdengar seperti tangisan seorang bayi.

"Jika saja ibumu tidak menangkapmu dengan benar, sudah pasti kau akan mati," ungkap pimpinan pendekar aliran hitam. "Setelah kejadian ini, pendekar aliran putih pasti akan datang. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak mengetahui namaku. Kau bebas datang untuk membalas dendam suatu hari nanti. Itu pun jika kau bisa tumbuh menjadi pendekar dengan kecacatanmu itu."

Bima Bayukana terlahir prematur tanpa satu tangan. Karena dia menyegel tenaga dalamnya, tiada seorang yang bisa merasakan akan bakatnya. Pimpinan penjahat sangat yakin, bahkan tanpa membunuhnya, Bima Bayukana akan tumbuh dengan banyak sekali penghinaan.

Pemimpin pendekar aliran hitam kemudian menyuruh bawahannya membakar setiap rumah. Setelah itu para gadis yang dikumpulkan ikut serta dibawa pergi oleh mereka. Mayat lelaki desa dibiarkan bertebaran begitu saja dengan ekspresi penasaran.

"Bima! Anakku," panggil Arundari yang ternyata masih hidup meski golok menancap di punggungnya. Ia dengan perlahan merangkul Bima Bayukana untuk memberikan cinta terakhirnya.

"Syukurlah mereka Melepaskanmu. Kamu bersabarlah sampai pendekar aliran putih datang. Mama harap kamu hidup hingga dewasa dan bahagia," pesan Arundari penuh kelegaan dan kemudian kesadarannya hilang untuk selamanya.

***

"MAMA!"

Dengan bola mata yang hampir keluar seorang pemuda berumur 17 tahun tiba-tiba melonjak dari tidurnya. Napas pemuda tersebut memburu dan keringat dingin sudah membanjiri tubuh.

"Bermimpi buruk lagi?" tanya seorang perempuan.

Sontak saja pemuda yang tidak lain adalah Bima Bayukana tersebut menoleh. Di sampingnya sudah ada seorang gadis cantik dengan ukiran tubuh sempurna, memegang nampan berisi semangkok bubur.

Setelah menyadari ia lagi-lagi bermimpi buruk, Bima Bayukana beralih memandangi sekitar. Dia ada di gubuk reyot yang selama 16 tahun ini menjadi tempatnya berteduh di perguruan Angkinang, salah satu perguruan aliran putih.

Lyra meletakkan bubur di samping pembaringan dan duduk di sebelah Bima Bayukana. Dia tahu ketika tidur mimpi buruk selalu menempati pikiran pemuda tersebut, karena dirinya pun sama.

Mimpi itu tentang bagaimana desa mereka dihancurkan 16 tahun lalu. Mimpi yang seharusnya hanya menjadi miliknya karena waktu itu Bima Bayukana masih bayi.

Saat itu, di sebuah pagi menuju siang, Lyra yang masih berusia 5 tahun mencari jamur di dalam hutan bersama ibunya, Arumi. Dan ketika asap terlihat mengepul dari arah desanya, ibunya segera kembali lebih dulu.

Karena dia khawatirkan akan asap serta api yang kian membesar, Lyra melanggar perintah ibunya dan menyusul kembali ke desa.

Apa yang dia saksikan saat sampai adalah hasil kekejaman. Dia muntah melihat darah membanjiri tanah dan ekspresi penasaran dari mayat orang-orang yang sangat dia kenal. Bangunan-bangunan desa yang mewarnai masa kecilnya terbakar hingga rata dengan tanah.

Hanya ada Bima Bayukana yang masih hidup di pelukan Arundari yang sudah tak bernyawa. Lutut Lyra melemah dan jatuh ketika melihat ibu dan ayahnya juga telah terbunuh bersimbah darah.

Setengah hari setelah kejadian, para pendekar Aliran putih datang ke desa. Mereka merasa bersalah karena terlambat. Apalagi dua hari kemudian para gadis desa yang diculik ditemukan menumpuk tak bernyawa tanpa pakaian sehelai benang pun. Orang-orang yang menyerang desa benar-benar keji!

Bima Bayukana dan Lyra yang tanpa tujuan dipungut ke perguruan Angkinang. Selama 16 tahun dengan membawa dendam yang sama mereka berdua berlatih keras di salah satu perguruan terbaik tersebut.

Namun, takdir Bima Bayukana dianggap tidak sebagus Lyra. Pemuda tersebut hanya memiliki sedikit tenaga dalam. Ditambah tubuhnya yang cacat, dia menjadi murid tingkat rendah dan bahan ejekan seluruh perguruan.

"Kau semalaman di sini?" tanya Bima Bayukana.

Semalam dia berlatih keras di bawah guyuran hujan. Seingatnya kemarin dia pingsan di tengah latihan. Anehnya, sekarang dia ada di gubuk reyot bersama gadis yang tidak seharusnya ada di sana.

Lyra menyentil kening Bima Bayukana. "Kenapa kau berlatih sampai demam?"

Bima Bayukana mengaduh dan memegangi dahinya sembari balas menatap kesal. Dia tersadar akan pakaian yang sudah berubah.

"Kau mengganti pakaianku. Apa sekarang aku harus menikahimu?"

"Hhhmm ...." Lyra mengangguk. "kau harus menikahiku. Jadilah pengusaha yang kaya. Jalan pendekar tidak cocok untukmu."

"Tch, Kalau begitu lupakan. Aku akan mencari gadis lain saja," jawab Bima Bayukana kesal karena di kalimat Lyra terkandung keinginan untuknya berhenti menjadi pendekar.

"Aku menyukai pria kaya ketimbang pria kuat. Kau yakin tidak ingin menikah denganku?" Lyra sedikit memajukan tubuh, manik matanya penuh pengharapan.

Jika orang biasa mungkin dia akan langsung jatuh cinta. Tapi berbeda dengan Bima Bayukana yang telah mengarungi Lautan Dunia. Dia melihat lebih banyak gadis cantik dengan latar belakang luar biasa.

Lebih dari itu, hati Bima Bayukana seakan dibangun dinding tebal. Pengkhianat kekasihnya ketika masih menjadi jendral dulu membangun dinding curiga pada setiap gadis, tak terkecuali pada Lyra yang dia kenal sejak kecil sekalipun.

"Aku berjanji akan menikah denganmu jika kau mau jadi pedagang," tambah Lyra mengakat tangan untuk menyatakan dia tidak mungkin berbohong.

"Jauh-jauh dariku dan cepatlah kembali ke tempatmu," usir Bima Bayukana mendorong dahi gadis itu menjauh. "Ada dewi kecantikan di gubuk reyotku ini hanya akan mengundang masalah. Pagi ini akan ada cek Khodam setelah sesi latihan pagi. Aku tidak boleh terlambat karenamu!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 47: Pusaka Kerajaan Lawas

    "Aku akan menjelaskannya sambil istirahat," putus Arkadewi dan berhenti berjalan. "Aku tidak masalah melakukan perjalanan sejauh apapun, tapi ingat sejak tadi kita berlari dan berjalan tanpa henti." Kondisi tubuh wanita dan lelaki jauh berbeda. Bahkan tubuh sesama lelaki tidak bisa dibandingkan dengan Bima Bayukana yang telah menjalani latihan ekstrem. Keluhan yang datang dari gadis itu merupakan hal yang wajar. Bima Bayukana menghela napas. "Baiklah, kita istirahat. Jelaskan kepadaku hal-hal yang tidak aku ketahui padaku." Dia mengikuti Arkadewi yang duduk lebih dahulu di sisi lorong. Tanpa melepaskan deteksi sukma ia menunggu gadis itu berbicara. "Kau tahu? Ada seorang putri dengan kecantikan tiada tara di kerajaan Kastara?" mulai Arkadewi. "Tidak," jawab Bima Bayukana jujur. Alam fana terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan dan Kerajaan Kastara salah satunya. Bima Bayukana tidak mengetahui keadaan politik atau bagian-bagian yang menurutnya tidak penting. Apalagi sampai me

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 46: Melarikan Diri

    "Kau berhutang penjelasan tentang memilihku sebagai tunangan," imbuh Bima Bayukana melangkah ke samping Arkadewi lalu dengan dingin menatap Abinaya Bayukana. "Karena kau sudah tahu aku, kurasa aku tidak lagi perlu menyembunyikan kebencianku terhadapmu." "Memang seperti itu seharusnya." Abinaya Bayukana menyeringai. "Gadis di belakangmu pasti telah menjelaskan bagaimana orang tuamu terbunuh karena ayahku. Bagaimana mungkin kita masih bisa bersikap selayaknya sepupu?" Gelap langsung menelan sebagian ekspresi Bima Bayukana. Dengan ringannya pemuda itu mengakui bahwa ia anak dari dalang yang menyebabkan keluarga serta desanya dibantai. Sekarang Bima Bayukana bisa menarik jelas orang seperti apa sepupunya tersebut. "Nanti, aku sendiri yang akan mengambil kehidupan kalian," tegas Bima Bayukana dengan dingin, matanya berkilat penuh dendam. "Seni Tubuh! Langkah Gelombang Cahaya!" Bima Bayukana segera mengais pinggang Arkadewi dan bergerak cepat melarikan diri ke dalam istana Kerajaan L

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 45: Bertemu Abinaya

    Bima Bayukana mengabaikan kebingungan Arkadewi akan tindakannya. Sesuai yang dia duga, semua binatang mundur dan berhenti menyerang. Seolah takut dia akan melukai gadis itu."Sejak awal aku sudah merasa aneh," gumamnya berbicara pada diri sendiri.Setelah memulihkan diri di dalam gua selama beberapa hari, tidak terjadi serangan sama sekali. Bahkan halangan seperti gelombang binatang tidak menghadang mereka saat melanjutkan perjalanan ke gunung cincin. Rasanya itu mustahil mengingat saat melewati celah dua gunung mereka harus melawan kawanan lebah, Beruang Madu Api dan Macan Dahan, serta Ular Langit Malam."Jika aku tidak salah. Kedatangan para pendekar ke gunung ini tidak diharapkan oleh pemilik Fenomena Ghaib. Tapi melihat gadis ini, tampaknya dia berubah pikiran. Apa sebenarnya tujuannya?"Bima Bayukana tercenung dalam pikiran yang rumit. Arkadewi yang sejak tadi menunggu penjelasan menjadi kesal. Bima Bayukana tidak juga menurunkan pedang yang terhunus ke lehernya."Hei! Aku tanya

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 44: Tindakan Aneh

    Sebab sulitnya untuk merekonstruksi alam sukma ke dunia nyata, Fenomena Gaib memakan banyak tenaga dalam. Penggunanya hampir mustahil menerapkan kemampuan ini dalam jangka waktu yang lama. Bagi Bima Bayukana yang belum memiliki cara untuk melawan, hal tersebut merupakan celah satu-satunya yang memungkinkan ia keluar dari situasi sekarang. Dia dan Arkadewi harus bertahan setidaknya sampai Fenomena Ghaib berakhir. "Kau harus bertarung untuk dirimu sendiri." Merasakan banyaknya binatang di sekelilingnya, Bima Bayukana merapatkan punggung pada Arkadewi. "Baikkah, jangan khawatirkan bagianku," jawab gadis itu. Seperti makhluk haus darah, ratusan bintang segera menyerbu mereka brutal. Arkadewi mengeratkan cengkeraman pada pedangnya dan apik mempertontonkan tekniknya—memotong setiap binatang yang datang menyerang hingga mereka tak lagi dapat bangkit. Di sisi lain, demi menyimpan energi untuk pertarungan yang mungkin masih panjang, Bima Bayukana bertahan tanpa sedikitpun memaksimalka

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 43: Fenomena Ghaib

    Arkadewi masih sangat kesal. Namun, sekarang dia dan Bima Bayukana terjebak dalam keadaan genting, tidak ada kesempatan baginya untuk bersikap berlawanan. Ia terpaksa mengenyampingkan perasaannya dan menjaga pegangan terhadap pemuda itu agar tidak terpisah di dalam kabut yang menebal. "Kita harus keluar dari sini," imbuh pemuda itu. Padahal tadi berada di barisan yang sama, tapi semua orang telah menghilangkan dan menyatu dengan kabut. Persepsi sukma yang dilepas memang menangkap keberadaan di sekitar, akan tetapi, Bima Bayukana tetap kesulitan mendekat pada yang lain karena hampir semua posisi tercerai berai. Perubahan struktur tempat mulai dirasakan Bima Bayukana. Ketika dia menyeret Arkadewi untuk melarikan diri, sebuah dinding tiba-tiba tercipta di depan mereka—menutup akses pergi dari kawasan kaki bukit gunung Cincin. "Apa ini ilusi?" tanya Arkadewi menyentuh tembok di depannya dengan serius. "Dinding ini nyata. Apa artinya mekanisme kerajaan lawas membuatnya tiba-tiba mun

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 42: Melanjutkan Perjalanan

    Penglihatan Bima Bayukana memuat semua orang sesaat kelopak matanya terangkat penuh. Sosok penting seperti Bratadikara, Saktika Senjani, serta Saguna Bayukana menyambutnya dengan tatapan kagum—bercampur keingintahuan besar. "Efek samping Akar Jantung Bumi selalu membunuh pengonsumsinya. Selama ini tidak ada yang pernah berhasil selamat, bahkan pendekar tingkat Khodam Sejati sepertiku," ungkap Bratadikara masih dengan perasan sulit percaya. Ia membawa Akar Jantung Bumi sebagai rencana terakhir seandainya dirinya berada di kondisi hidup dan mati. Dalam kondisi tersebut, walaupun semua pendekar berakhir dengan kematian setelah menggunakan Akar jantung Bumi sebagai obat, resiko mengonsumsinya tidak lagi menjadi hal yang perlu ditakutkan. "Bagaimana kau bisa melakukan hal-hal menakjubkan?" tambah Saktika Senjani menatap serius pemuda itu. "Seandainya tidak membunuh tiga Ular Langit Malam, pertarungan sebelumnya pasti akan lebih banyak memakan waktu dan korban. Padahal kau berumur tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status