Meski telah meraung seperti orang gila, Arundari tetap tidak dapat menghalangi dua penjahat itu membawa Bima Bayukana ikut bersama mereka.
Sepanjang jalan menuju ke tengah desa, tampak jasad perempuan tua dan laki-laki dibiarkan bergelimpangan begitu saja. Saat sampai, sudah banyak gadis muda berwajah pucat yang dikumpulkan. "Mana wanita cantik tadi? Kenapa kalian malah membawa wanita penuh darah dan seorang bayi ini?" Pimpinan pendekar aliran hitam tampak sangat geram akan kedatangan mereka. "Aku sudah bilang kita hanya butuh wanita muda ... laki-laki, perempuan tua, dan anak-anak langsung saja dihabisi!" "I—ini wanita cantik tadi," lapor salah satu dari mereka gemeteran setengah mati. "Se—sedangkan bayi ini adalah anaknya." "Be—benar, dia melukai wajah dan tubuhnya sendiri," tambah yang satunya tidak kalah ketakutan. Pimpinan pendekar aliran hitam melirik Arundari yang hampir tak dapat dikenali. Seluruh wajah dan tubuh wanita tersebut dipenuhi darah, berbeda sekali dengan saat dia pertama kali melihatnya. "Dasar tidak berguna! Aku bilang apa? Bawa dia tanpa terluka sedikitpun!" "Ma-maaf kam—" Swasss Belum sempat meminta pengampunan, dua orang itu ditebas oleh pimpinan mereka sendiri. Bima Bayukana yang berada di gendongan salah satunya ikut terjatuh. Meskipun hampir muntah, Arundari dengan khawatir melonjak memeriksa keadaan anaknya. Sementara itu, hawa yang dipancarkan pimpinan pendekar aliran hitam semakin mencekik pernapasan. Dia dengan kejam menjambak Arundari dan merebut Bima Bayukana yang baru saja kembali ke pelukannya. "kembalikan anakku! Kembalikan anakku!" Arundari kesetanan untuk merebut kembali Bima Bayukana. Dia terus-terusan berusaha bahkan setelah dipukul berulang kali. Hingga akhirnya dia tersungkur sambil terbatuk-batuk di tanah. "Komohon! Anakku tidak bersalah, lepaskan dia," pinta Arundari masih berupaya berdiri. Bima Bayukana sangat ingin menolong ibunya. Namun, dengan tubuh seorang bayi berumur satu tahun apa yang bisa dia lakukan? Jangankan menolong ibunya, melepaskan dirinya sendiri dari pimpinan pendekar aliran hitam tersebut saja dia tidak bisa. "Kau hanya punya kecantikanmu. Apa yang bisa kamu tawarkan padaku setelah kau melukai dirimu sendiri?" jawab sinis pimpinan pendekar aliran hitam. "Ah, aku menyesal memerintahkan dua sampah ini mengurusmu." "Aku akan melakukan apapun," mohon Arundari sekali lagi. "Apapun itu." Melihat tekat kuat Arundari, pandangan pimpinan pendekar aliran hitam beralih pada bayi di tangannya. Dia terkejut Bima Bayukana balas menatapnya dengan tajam. Seharusnya bayi dengan umur tidak lebih dari satu tahun tidak akan paham tentang yang sebenarnya terjadi. "Anakmu tidak memiliki tenaga dalam dan cacat. Bahkan di luar jalan pendekar, dia akan melalui hidup penuh penderitaan. Tangkap anakmu jika kau ingin dia hidup," ucap pimpinan Pendekar aliran hitam kemudian melempar Bima Bayukana tinggi ke atas. Tepat sebelum terjatuh ke tanah, Arundari dengan sigap menangkap anaknya. Bima Bayukana menghela napas lega karena dirinya tidak membentur tanah. Namun, dia terkejut melihat mata ibunya melotot ingin keluar. Sebuah golok entah sejak kapan tertancap di punggung ibunya. "Sialan! Aku akan membunuhmu! Dasar bumi sekalipun tidak akan membuatmu mampu lari dari kematian!" Begitulah yang sekiranya ingin diteriakkan Bima Bayukana yang telah kehilangan kendali. Sayangnya, yang keluar dari mulut kecilnya tidak lain dan tidak bukan adalah kata-kata tak beraturan. Dibandingkan sumpah serapah, Itu lebih terdengar seperti tangisan seorang bayi. "Jika saja ibumu tidak menangkapmu dengan benar, sudah pasti kau akan mati," ungkap pimpinan pendekar aliran hitam. "Setelah kejadian ini, pendekar aliran putih pasti akan datang. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak mengetahui namaku. Kau bebas datang untuk membalas dendam suatu hari nanti. Itu pun jika kau bisa tumbuh menjadi pendekar dengan kecacatanmu itu." Bima Bayukana terlahir prematur tanpa satu tangan. Karena dia menyegel tenaga dalamnya, tiada seorang yang bisa merasakan akan bakatnya. Pimpinan penjahat sangat yakin, bahkan tanpa membunuhnya, Bima Bayukana akan tumbuh dengan banyak sekali penghinaan. Pemimpin pendekar aliran hitam kemudian menyuruh bawahannya membakar setiap rumah. Setelah itu para gadis yang dikumpulkan ikut serta dibawa pergi oleh mereka. Mayat lelaki desa dibiarkan bertebaran begitu saja dengan ekspresi penasaran. "Bima! Anakku," panggil Arundari yang ternyata masih hidup meski golok menancap di punggungnya. Ia dengan perlahan merangkul Bima Bayukana untuk memberikan cinta terakhirnya. "Syukurlah mereka Melepaskanmu. Kamu bersabarlah sampai pendekar aliran putih datang. Mama harap kamu hidup hingga dewasa dan bahagia," pesan Arundari penuh kelegaan dan kemudian kesadarannya hilang untuk selamanya. *** "MAMA!" Dengan bola mata yang hampir keluar seorang pemuda berumur 17 tahun tiba-tiba melonjak dari tidurnya. Napas pemuda tersebut memburu dan keringat dingin sudah membanjiri tubuh. "Bermimpi buruk lagi?" tanya seorang perempuan. Sontak saja pemuda yang tidak lain adalah Bima Bayukana tersebut menoleh. Di sampingnya sudah ada seorang gadis cantik dengan ukiran tubuh sempurna, memegang nampan berisi semangkok bubur. Setelah menyadari ia lagi-lagi bermimpi buruk, Bima Bayukana beralih memandangi sekitar. Dia ada di gubuk reyot yang selama 16 tahun ini menjadi tempatnya berteduh di perguruan Angkinang, salah satu perguruan aliran putih. Lyra meletakkan bubur di samping pembaringan dan duduk di sebelah Bima Bayukana. Dia tahu ketika tidur mimpi buruk selalu menempati pikiran pemuda tersebut, karena dirinya pun sama. Mimpi itu tentang bagaimana desa mereka dihancurkan 16 tahun lalu. Mimpi yang seharusnya hanya menjadi miliknya karena waktu itu Bima Bayukana masih bayi. Saat itu, di sebuah pagi menuju siang, Lyra yang masih berusia 5 tahun mencari jamur di dalam hutan bersama ibunya, Arumi. Dan ketika asap terlihat mengepul dari arah desanya, ibunya segera kembali lebih dulu. Karena dia khawatirkan akan asap serta api yang kian membesar, Lyra melanggar perintah ibunya dan menyusul kembali ke desa. Apa yang dia saksikan saat sampai adalah hasil kekejaman. Dia muntah melihat darah membanjiri tanah dan ekspresi penasaran dari mayat orang-orang yang sangat dia kenal. Bangunan-bangunan desa yang mewarnai masa kecilnya terbakar hingga rata dengan tanah. Hanya ada Bima Bayukana yang masih hidup di pelukan Arundari yang sudah tak bernyawa. Lutut Lyra melemah dan jatuh ketika melihat ibu dan ayahnya juga telah terbunuh bersimbah darah. Setengah hari setelah kejadian, para pendekar Aliran putih datang ke desa. Mereka merasa bersalah karena terlambat. Apalagi dua hari kemudian para gadis desa yang diculik ditemukan menumpuk tak bernyawa tanpa pakaian sehelai benang pun. Orang-orang yang menyerang desa benar-benar keji! Bima Bayukana dan Lyra yang tanpa tujuan dipungut ke perguruan Angkinang. Selama 16 tahun dengan membawa dendam yang sama mereka berdua berlatih keras di salah satu perguruan terbaik tersebut. Namun, takdir Bima Bayukana dianggap tidak sebagus Lyra. Pemuda tersebut hanya memiliki sedikit tenaga dalam. Ditambah tubuhnya yang cacat, dia menjadi murid tingkat rendah dan bahan ejekan seluruh perguruan. "Kau semalaman di sini?" tanya Bima Bayukana. Semalam dia berlatih keras di bawah guyuran hujan. Seingatnya kemarin dia pingsan di tengah latihan. Anehnya, sekarang dia ada di gubuk reyot bersama gadis yang tidak seharusnya ada di sana. Lyra menyentil kening Bima Bayukana. "Kenapa kau berlatih sampai demam?" Bima Bayukana mengaduh dan memegangi dahinya sembari balas menatap kesal. Dia tersadar akan pakaian yang sudah berubah. "Kau mengganti pakaianku. Apa sekarang aku harus menikahimu?" "Hhhmm ...." Lyra mengangguk. "kau harus menikahiku. Jadilah pengusaha yang kaya. Jalan pendekar tidak cocok untukmu." "Tch, Kalau begitu lupakan. Aku akan mencari gadis lain saja," jawab Bima Bayukana kesal karena di kalimat Lyra terkandung keinginan untuknya berhenti menjadi pendekar. "Aku menyukai pria kaya ketimbang pria kuat. Kau yakin tidak ingin menikah denganku?" Lyra sedikit memajukan tubuh, manik matanya penuh pengharapan. Jika orang biasa mungkin dia akan langsung jatuh cinta. Tapi berbeda dengan Bima Bayukana yang telah mengarungi Lautan Dunia. Dia melihat lebih banyak gadis cantik dengan latar belakang luar biasa. Lebih dari itu, hati Bima Bayukana seakan dibangun dinding tebal. Pengkhianat kekasihnya ketika masih menjadi jendral dulu membangun dinding curiga pada setiap gadis, tak terkecuali pada Lyra yang dia kenal sejak kecil sekalipun. "Aku berjanji akan menikah denganmu jika kau mau jadi pedagang," tambah Lyra mengakat tangan untuk menyatakan dia tidak mungkin berbohong. "Jauh-jauh dariku dan cepatlah kembali ke tempatmu," usir Bima Bayukana mendorong dahi gadis itu menjauh. "Ada dewi kecantikan di gubuk reyotku ini hanya akan mengundang masalah. Pagi ini akan ada cek Khodam setelah sesi latihan pagi. Aku tidak boleh terlambat karenamu!"Energi sekitar masuk ke tubuh seperti luapan sungai. Dari yang tadinya di tingkat Kebangkitan Sukma, usai mengolahnya menjadi tenaga dalam, Bima Bayukana kini naik tingkat ke tingkat Intervensi Sukma. Bagi para pendekar naik tingkat kependekaran adalah hal menggembirakan. Tingkat Intervensi Sukma memungkinkan seorang pendekar mampu menggunakan pusaka. Lebih dari itu, di tingkat ini, tenaga dalam sudah mulai dapat dialirkan ke benda.Meski demikian, mengingat bahaya yang dihadapi pemuda tersebut, tidak lantas semua pendekar ingin menggantikan posisinya. "Tubuhku mulai rusak, jika aku tidak mengimbangi pengolahan energi menjadi tenaga dalam, energi yang masuk ke tubuhku akan tertumpuk dan meledak," pikir pemuda itu.Pengekang yang difokuskannya untuk membatasi ledakan sukma telah hancur. Imbasnya, beberapa organ miliknya mengalami luka. Kerusakan tersebut akan bertambah seiring dengan menumpuknya energi mentah yang belum diolah."Baiklah, aku akan merepresentasikan alam sukma sebelum
"Tidak ... memakai Akar Jantung Bumi sebagai obat sama saja bunuh diri," tolak Arkadewi. "Kau tampak baik-baik saja. Aku berjanji akan mencarikan obat yang jauh lebih baik setelah kita ke luar dari pegunungan Mangkurat." Dalam segala percobaan, Akar Jantung Bumi selalu menghasilkan kesembuhan bagi pengonsumsinya. Akan tetapi, kesembuhan tersebut akan sia-sia saat ledakan sukma terjadi, memicu tubuh menyerap tanpa ampun energi mentah. Demi menghindari kematian, berbagai cara telah dilakukan untuk menghindari efek samping ini. Mulai dari pergi ke tempat yang minim energi, sampai mengembangkan cara cepat mengolah energi alam menjadi tenaga dalam. Namun, setiap pendekar yang melakukannya tetap terbunuh karena terlalu banyaknya energi yang belum stabil terolah. Melakukan penyerapan tanpa ampun atas energi alam menjadi tenaga adalah adalah dinding kemustahilan. Arkadewi tentu tidak ingin Bima Bayukana menanggung risiko yang orang-orang terdahulu tidak berhasil melewatinya. Seperti mere
"Di kota Bayan, aku ragu masih ada seorang ahli obat," imbuh salah satu pendekar kemudian mengedar pandang. "Kalau tidak terbunuh, seharusnya semua ahli obat pasti ada di sini sekarang." Seorang pendekar tingkat Kebangkitan Khodam menangguk setuju. "Benar, aku memiliki kemampuan cukup mempuni sebagai ahli obat. Yang bisa kita lakukan sekarang memang hanya membuat lukanya tidak bertambah buruk dengan pil obat, aku mempunyainya beberapa." "Aku juga punya." "Beberapa obat—aku juga memilikinya!" Para ahli obat mengeluarkan sebagian dari apa yang ada di kantong mereka. Umumnya perdekar pasti memiliki persediaan obat, oleh karenanya, pendekar yang tidak memiliki kemampuan mengolah obat juga memberikan sebagian persediaan yang mereka punya. Arkadewi mengambil semua obat sambil mengusap air mata. Meskipun mustahil mengobati Bima Bayukana, dia berharap obat yang dimasukkan ke dalam mulut pemuda tersebut mampu membuatnya sembuh. "Kenapa masih diam saja?!" teriak Abinaya kewalahan me
"Aku akan membunuh mereka sekaligus!" teriak Bima Bayukana mengambil semua perhatian sambil berlari menuju tempat yang lebih tinggi. "Tolong arahkan mereka supaya berkumpul di jarak serangku." Tidak ada pendekar yang tidak mengerti bahwa apa yang dilakukan oleh mereka saat ini hanyalah menyibukkan tiga Ular Langit Malam. Bertahan hingga Bratadikara atau sosok pendekar hebat lainnya selesai juga sebuah kemustahilan. Jelas mereka sedang terjebak pada situasi tanpa harapan. Meski para pendekar meremehkan Bima Bayukana yang berteriak sambil berlari ke arah kaki gunung, entah kenapa perintahnya begitu meyakinkan. Tanpa harapan yang jelas, meski sangat berisiko, mereka tetap menurut karena memang tidak mempunyai pilihan lain. Bima Bayukana memejamkan matanya sesaat sampai di tempat yang lebih tinggi. Memiliki pengetahuan sebagai Jendral Dewa Tertinggi tidak serta merta membuatnya dapat mempraktikkan kemampuannya di kehidupan yang lalu. Dia tidak boleh kehilangan fokus. Sembari menung
"Yang pertama Lebah, tadi Beruang Madu Api serta Macan Dahan, dan sekarang Ular Langit Malam," decak Bima Bayukana ketika sembilan ular berukuran besar akhirnya muncul dari balik pepohonan. "Tidak mungkin semua ini sebuah kebetulan. Sesuatu Pasti telah mengarahkan mereka." Hampir semua kaki pendekar di bawah tingkat Intervensi Khodam dibuat bergetar oleh tekanan sukma. Perasaan yang sama seperti saat berhadapan dengan Pendekar Intervensi khodam mereka rasakan dari ular-ular bercorak biru tua itu. Malahan mereka terasa lebih kuat dari seorang pendekar tingkat Intervensi Khodam. Meski tak terpengaruh tekanan sukma, Bima Bayukana sadar dirinya tidak akan mampu berbuat banyak. Tapi melihat jumlah binatang buas yang datang hanya sembilan ekor, kesempatan bertahan hidup masih ada. Bagaimana pun beberapa pendekar hebat Kerajaan Kastara ada di sana. Bratadikara menjadi pendekar pertama yang menerjang ke depan, tempat ia berdiri seketika meledak. Sosoknya melesat seperti peluru meriam lal
Beruang Madu Api dan Macan Dahan termasuk ke dalam binatang langka berbahaya. Secara alami Beruang Madu Api dewasa memiliki ketahanan tubuh tingkat Kanuragan Zirah. Di lain hal—Macan Dahan—satu tingkat di bawahnya. Dua binatang ini bukanlah binatang yang bergerak secara berkelompok, terutama Beruang Madu Api. Gerakan yang terorganisir membuat Bima Bayukana berspekulasi ada yang mengendalikan mereka. Sekurang-kurangnya sesuatu telah mengembala dua binatang ini hingga sampai di celah dua gunung. Ratusan Beruang Madu Api tiba lebih dulu di antara pepohonan. Sebelum menyerang, beruang yang tingginya dua kali lebih besar dari orang dewasa itu mengaum ganas, kemudian langsung berlari ke arah para pendekar. "Mereka datang," imbau Bima Bayukana dan segera bergerak ketika salah satu beruang besar itu tiba di hadapannya. Arkadewi bergerak membantu. Meski terlihat ringan, gerakan gadis itu memberikan dampak kuat saat pedangnya menyentuh tubuh Beruang Madu Api. Yang patut disayangkan tidak