Satu tahun berlalu, Bima Bayukana kini mulai terbiasa dengan tubuh lemah seorang bayi. Di kehidupannya yang sekarang dia tetap diberi nama yang sama seperti di kehidupannya yang lalu. Dan dengan segala keterbatasannya tersebut dia berusaha memahami dunia yang baru.
Selain tinggal di gubuk reyot, ternyata keluarganya hidup di sebuah desa kecil. Arundari, begitulah seisi desa memanggil ibunya. Sedangkan ayahnya dikenal sebagai pria bernama Suta Narendra. Pagi ini, seperginya Narendra ke dalam hutan, Bima Bayukana diajak Arundari berkeliling desa seperti pagi biasanya. Sesekali ibunya itu bertegur sapa dengan warga desa dan singgah berbincang. Sepanjang Bima Bayukana menyimak, sama sekali tidak ada yang menyinggung tentang pertarungan. Warga desa hanya tahu bertani serta berburu untuk mencukupi makan mereka sehari-hari. Dapat dikatakan mereka tinggal di desa yang aman dan juga damai. "Tunggu ya Bima, kau pasti lapar, di hutan ayahmu sedang mencarikan makan untuk kita," ucap Arundari setelah cukup lelah berkeliling. Dengan segera Arundari membawa langkahnya kembali menuju gubuk. Di tengah perjalanan pulang itu, dia bertemu dengan ibu muda yang menggandeng seorang anak perempuan. "Bibi Arundari! Aku ingin bermain dengan Bima!" Panggil gadis berumur 5 tahun itu lalu melepas pegangan tangan dengan ibunya. "Jangan lari-larian, Lyra!" Arumi merasa takut anaknya tersandung. Gadis bernama Lyra Angraeni itu menghiraukan ibunya dan terus memacu langkah secepat mungkin. Untunglah ia dapat menyeimbangkan tubuh hingga dengan selamat sampai tepat di depan Arundari. Sungguh pencapaian luar biasa untuk anak seusianya setelah berlari sekuat tenaga. Memperhatikan hal itu, Bima Bayukana sampai berpikir bawah Lyra memiliki pondasi beladiri yang bagus. "Maaf ya Lyra, Bima harus pulang untuk makan," jelas Arundari lembut. "Kalau begitu aku ikut ke rumah Bibi!" balas Lyra dengan mata yang memancarkan binar pemaksaan. "Lyra, jangan terus-terusan merecoki bibi Arundari," tegur wanita yang juga kini berhasil menyusul anaknya ke hadapan Arundari. "Katanya tadi mau ikut mama pergi mencari jamur." "Tapi ...." Lyra tertunduk lesu. "Tidak masalah, Arumi. sebelum ke hutan kamu dan anakmu boleh singgah sebentar," ungkap Arundari tak tega melihat wajah gadis kecil tersebut berubah sedih. "Kalau begitu maaf kali ini aku lagi-lagi merepotkanmu." Arumi tersenyum lalu beralih pada anaknya. "Lyra, ingatlah untuk tidak merepotkan Bibi." "Iya, aku hanya akan bermain dengan Bima seperti biasa. Sama sekali tidak akan merepotkan Bibi Arundari," jawab gadis itu dengan ekspresi kembali sangat senang. Ketiganya pun berjalan bersisian menuju gubuk di ujung desa. Sepanjang jalan Bibir Lyra tidak henti-hentinya bersenandung sambil melompat-lompat kecil. Bima Bayukana yang berada di gendongan Arundari begitu terganggu oleh senandung itu. Sesampainya di gubuk, Lyra dengan tidak sabar menunggu Bima Bayukana dibaringkan di ranjang. Dia langsung memencet-mencet pipi Bima Bayukana sambil terkikik kesenangan. Seolah ekspresi Bima Bayukana yang merasa kesal adalah hiburan baginya. "Bibi, kenapa Bima cepat sekali tumbuh? Pipinya bahkan sangat ingin aku gigit, mirip kue beras," seru gadis tersebut tak henti-hentinya memencet-mencet pipi Bima Bayukana. "Bima memang agak istimewa, dia sering minum susu binatang buas," jawab Arundari terkekeh. Sejak pertama kali hadir ke dunia, Arundari merasa sedih Bima Bayukana tidak mau minum asi darinya. Namun, anaknya yang tidak lain adalah Bima Bayukana di tubuh bayi tersebut menunjukkan dirinya sehat. Mungkin karena selalu meminum susu dari binatang seperti harimau dan sejenisnya. "Lalu kenapa dia jarang sekali menangis?" tanya gadis kecil itu lagi. "Anak-anak lain suka sekali menangis." "Bibi juga tidak tahu. Itu sudah terjadi sejak dia lahir. Terkadang juga wajahnya tampak seperti sedang melakukan hal yang serius." Sebagai ibu, Arundari sendiri bingung anaknya jarang sekali menangis seperti bayi kebanyakan. Bahkan ketika ditakut-takuti, Bima Bayukana kecil malah memasang wajah dingin. Terkadang juga Arundari merasa bahwa Bima Bayukana mengerti segala tindakan orang dewasa. Contohnya ketika dia sibuk mengurus pekerjaan rumah, bayinya itu seolah memaklumi dan tidak rewel. Di sudut pandang Bima Bayukana sendiri, ekspresi serius yang dia tampilkan berkena'an dengan pengawasannya terhadap situasi. Terutama tentang tenaga dalamnya yang tumbuh lebih cepat dari yang seharusnya. Agar tidak membebani tubuh, Bima Bayukana terpaksa menyegel tenaga dalamnya sendiri. Sekilas penyegelan ini mustahil, tapi karena Bima Bayukana memiliki sisa-sisa tubuh sukma semasa masih menjadi jendral dewa tertinggi, dia dapat melakukannya. Sebelum tubuh fisiknya sanggup menangani pertumbuhan tenaga dalamnya, dia tidak boleh melepas segel itu. Seusai cukup bermain, Lyra dan ibunya pergi untuk melanjutkan tujuan mereka yang sempat tertunda. Sementara itu, Arundari ikut pergi sebentar mencari suaminya yang tak kunjung kembali, karena ini sudah cukup jauh dari jam makan Bima Bayukana. Di kamar yang tenang, Bima Bayukana berbaring memikirkan banyak hal. Dia memang biasa ditinggalkan sendiri karena dianggap anak yang pintar. "Ruang lingkup desa ini terlalu kecil. Dari informasi terbatas ini mana mungkin bisa mengetahui di alam mana sekarang." Kilas penyesalan timbul di mata Bima Bayukana. Seandainya dulu dia cukup pintar menilai orang, dia tidak akan berakhir demikian. Sekarang dia terlahir cacat dan terjebak di tubuh seorang bayi. Sekedar menggulingkan tubuh pun dia perlu usaha yang banyak. "Padahal saat menjalani perang puluhan bahkan ratusan tahun, bagiku waktu sangat cepat berlalu. Satu tahun sudah aku terjebak di tubuh cacat lagi ringkih ini, tapi rasanya begitu lama. Agaknya aku tidak punya pilihan lain selain bersabar." Bima Bayukana menghela napas. Sembari menatap langit-langit gubuk dia tidak sabar menunggu ibunya kembali. Jujur saja dia sudah sangat lapar, biasanya jam hampir menjelang siang begini Suta Narendra telah membawa hewan buruan dan susu binatang buas untuknya, tapi sekarang entah kenapa ayahnya itu belum kembali juga. "Aku harap hari ini aku minum susu harima—" Brak! Brak! Bima Bayukana tersentak saat pintu gubuk dibukan dan ditutup dengan kasar. Sesaat kemudian Arundari datang terburu-buru. Melihat ekspresi ibunya yang tampak seperti baru saja melihat setan, Bima Bayukana cukup heran. Bukankah tadi ibunya itu pergi mencari ayahnya? "Kamu harus tetap hidup, Bima anakku," ucap Arundari berusaha terlihat tenang. "Mama tahu kamu anak yang pintar. Jangan pernah bersuara. Apapun yang terjadi tetaplah diam." Arundari meraup Bima Bayukana lalu memasukkannya ke dalam lemari kecil. Dengan raut kebingungan dia menolehkan kepalanya dari celah pintu lemari itu, melihat ibunya buru-buru menuju dapur. "Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa mama meletakkanku di tempat sesak seperti ini?" pikir Bima Bayukana. Braaak! Braak! Braaaak! Suara pintu kembali terdengar, kali ini suaranya lebih nyaring. Besar kemungkinan pintu gubuk baru saja diterobos paksa seseorang. Bima Bayukana menajamkan penglihatannya untuk mengintip keluar. Tidak lama berselang, di depan pintu kamar dia mendapati dua orang dengan wajah garang dan golok di pinggang. Satu dari mereka terus ke dapur sementara satunya lagi berhenti dan memindai seisi kamar. "Wanita cantik, kau tidak usah bersembunyi. Semua warga desa sudah tertangkap. Sebaiknya kau menyerahkan diri dan melayani tuanku dengan tulus." Sosok itu tersenyum picik lalu melangkah memasuki kamar. Bisa Bayukana tidak tahu siapa dia, tapi jelas dia tidak bermaksud baik. Dia terus memperhatikan dari celah lemari hingga kemudian orang itu mengendap-endap seperti maling. Tiba-tiba saja setelah itu sosoknya menjatuhkan diri ke lantai untuk mengecek kolong ranjang. "Tidak ada." Pria itu mengedikan bahu lalu tanpa sengaja menatap ke arah Bima Bayukana disembunyikan. "Memang mustahil wanita cantik tadi bersembunyi di lemari yang kecil, tapi siapa tahu dia punya harta berharga." Bima Bayukana yang ada di dalam lemari seketika merasa tegang. Sehebat apapun dia di kehidupan sebelumnya, di usia yang sekarang dia seorang bayi cacat yang rentan, apalagi setelah tenaga dalamnya tersegel. Pria itu memegang pintu lemari dan bergumam, "Nah mari lihat apa yang ada di dal—" "Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Dari arah dapur tiba-tiba Arundari memekik, menghentikan tindakan pria yang hendak membuka lemari. Dia bangkit dan sejurus kemudian Arundari dilemparkan ke hadapannya. "Ke—kenapa dia terluka?" tanyanya terkejut akan keadaan Arundari. Bima Bayukana menghela napas lega setelah perhatian pria itu teralihkan. Namun, ketika kembali mengintip ke luar, dia tidak kalah terkejut akan keadaan ibunya. Wajah serta sekujur tubuh Arundari sudah dipenuhi darah padahal tadi baik-baik saja. "Sepertinya dia tahu tujuan kita. Wanita sialan ini sengaja melukai wajah dan tubuhnya sendiri!" Jawab temannya menarik rambut Arundari dengan kesal. "Gawat, tuan pasti akan membunuh kita. Ini wanita yang diinginkan tuan menemaninya secara khusus," imbuh pria itu panik. "Kau sudah mengecek kamar ini?" Sosok yang menarik rambut Arundari menatap seluruh kamar. "Bukankah itu kain lampin? Artinya dia punya bayi." "Bayi?" Pria itu ikut menoleh ke arah temannya menghentikan pandang. "Ah, aku sampai tidak begitu memperhatikannya. Betapa bodohnya aku." "Cepat cari di mana wanita sialan ini menyembunyikan bayinya. Semoga bayi itu yang menjadi pelampiasan kemarahan tuan, bukan kita." "Tidak! Kumohon! Jangan libatkan anakku!" Arundari melonjak histeris saat pintu lemari di mana Bima Bayukana berada akan dibuka."Aku akan menjelaskannya sambil istirahat," putus Arkadewi dan berhenti berjalan. "Aku tidak masalah melakukan perjalanan sejauh apapun, tapi ingat sejak tadi kita berlari dan berjalan tanpa henti." Kondisi tubuh wanita dan lelaki jauh berbeda. Bahkan tubuh sesama lelaki tidak bisa dibandingkan dengan Bima Bayukana yang telah menjalani latihan ekstrem. Keluhan yang datang dari gadis itu merupakan hal yang wajar. Bima Bayukana menghela napas. "Baiklah, kita istirahat. Jelaskan kepadaku hal-hal yang tidak aku ketahui padaku." Dia mengikuti Arkadewi yang duduk lebih dahulu di sisi lorong. Tanpa melepaskan deteksi sukma ia menunggu gadis itu berbicara. "Kau tahu? Ada seorang putri dengan kecantikan tiada tara di kerajaan Kastara?" mulai Arkadewi. "Tidak," jawab Bima Bayukana jujur. Alam fana terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan dan Kerajaan Kastara salah satunya. Bima Bayukana tidak mengetahui keadaan politik atau bagian-bagian yang menurutnya tidak penting. Apalagi sampai me
"Kau berhutang penjelasan tentang memilihku sebagai tunangan," imbuh Bima Bayukana melangkah ke samping Arkadewi lalu dengan dingin menatap Abinaya Bayukana. "Karena kau sudah tahu aku, kurasa aku tidak lagi perlu menyembunyikan kebencianku terhadapmu." "Memang seperti itu seharusnya." Abinaya Bayukana menyeringai. "Gadis di belakangmu pasti telah menjelaskan bagaimana orang tuamu terbunuh karena ayahku. Bagaimana mungkin kita masih bisa bersikap selayaknya sepupu?" Gelap langsung menelan sebagian ekspresi Bima Bayukana. Dengan ringannya pemuda itu mengakui bahwa ia anak dari dalang yang menyebabkan keluarga serta desanya dibantai. Sekarang Bima Bayukana bisa menarik jelas orang seperti apa sepupunya tersebut. "Nanti, aku sendiri yang akan mengambil kehidupan kalian," tegas Bima Bayukana dengan dingin, matanya berkilat penuh dendam. "Seni Tubuh! Langkah Gelombang Cahaya!" Bima Bayukana segera mengais pinggang Arkadewi dan bergerak cepat melarikan diri ke dalam istana Kerajaan L
Bima Bayukana mengabaikan kebingungan Arkadewi akan tindakannya. Sesuai yang dia duga, semua binatang mundur dan berhenti menyerang. Seolah takut dia akan melukai gadis itu."Sejak awal aku sudah merasa aneh," gumamnya berbicara pada diri sendiri.Setelah memulihkan diri di dalam gua selama beberapa hari, tidak terjadi serangan sama sekali. Bahkan halangan seperti gelombang binatang tidak menghadang mereka saat melanjutkan perjalanan ke gunung cincin. Rasanya itu mustahil mengingat saat melewati celah dua gunung mereka harus melawan kawanan lebah, Beruang Madu Api dan Macan Dahan, serta Ular Langit Malam."Jika aku tidak salah. Kedatangan para pendekar ke gunung ini tidak diharapkan oleh pemilik Fenomena Ghaib. Tapi melihat gadis ini, tampaknya dia berubah pikiran. Apa sebenarnya tujuannya?"Bima Bayukana tercenung dalam pikiran yang rumit. Arkadewi yang sejak tadi menunggu penjelasan menjadi kesal. Bima Bayukana tidak juga menurunkan pedang yang terhunus ke lehernya."Hei! Aku tanya
Sebab sulitnya untuk merekonstruksi alam sukma ke dunia nyata, Fenomena Gaib memakan banyak tenaga dalam. Penggunanya hampir mustahil menerapkan kemampuan ini dalam jangka waktu yang lama. Bagi Bima Bayukana yang belum memiliki cara untuk melawan, hal tersebut merupakan celah satu-satunya yang memungkinkan ia keluar dari situasi sekarang. Dia dan Arkadewi harus bertahan setidaknya sampai Fenomena Ghaib berakhir. "Kau harus bertarung untuk dirimu sendiri." Merasakan banyaknya binatang di sekelilingnya, Bima Bayukana merapatkan punggung pada Arkadewi. "Baikkah, jangan khawatirkan bagianku," jawab gadis itu. Seperti makhluk haus darah, ratusan bintang segera menyerbu mereka brutal. Arkadewi mengeratkan cengkeraman pada pedangnya dan apik mempertontonkan tekniknya—memotong setiap binatang yang datang menyerang hingga mereka tak lagi dapat bangkit. Di sisi lain, demi menyimpan energi untuk pertarungan yang mungkin masih panjang, Bima Bayukana bertahan tanpa sedikitpun memaksimalka
Arkadewi masih sangat kesal. Namun, sekarang dia dan Bima Bayukana terjebak dalam keadaan genting, tidak ada kesempatan baginya untuk bersikap berlawanan. Ia terpaksa mengenyampingkan perasaannya dan menjaga pegangan terhadap pemuda itu agar tidak terpisah di dalam kabut yang menebal. "Kita harus keluar dari sini," imbuh pemuda itu. Padahal tadi berada di barisan yang sama, tapi semua orang telah menghilangkan dan menyatu dengan kabut. Persepsi sukma yang dilepas memang menangkap keberadaan di sekitar, akan tetapi, Bima Bayukana tetap kesulitan mendekat pada yang lain karena hampir semua posisi tercerai berai. Perubahan struktur tempat mulai dirasakan Bima Bayukana. Ketika dia menyeret Arkadewi untuk melarikan diri, sebuah dinding tiba-tiba tercipta di depan mereka—menutup akses pergi dari kawasan kaki bukit gunung Cincin. "Apa ini ilusi?" tanya Arkadewi menyentuh tembok di depannya dengan serius. "Dinding ini nyata. Apa artinya mekanisme kerajaan lawas membuatnya tiba-tiba mun
Penglihatan Bima Bayukana memuat semua orang sesaat kelopak matanya terangkat penuh. Sosok penting seperti Bratadikara, Saktika Senjani, serta Saguna Bayukana menyambutnya dengan tatapan kagum—bercampur keingintahuan besar. "Efek samping Akar Jantung Bumi selalu membunuh pengonsumsinya. Selama ini tidak ada yang pernah berhasil selamat, bahkan pendekar tingkat Khodam Sejati sepertiku," ungkap Bratadikara masih dengan perasan sulit percaya. Ia membawa Akar Jantung Bumi sebagai rencana terakhir seandainya dirinya berada di kondisi hidup dan mati. Dalam kondisi tersebut, walaupun semua pendekar berakhir dengan kematian setelah menggunakan Akar jantung Bumi sebagai obat, resiko mengonsumsinya tidak lagi menjadi hal yang perlu ditakutkan. "Bagaimana kau bisa melakukan hal-hal menakjubkan?" tambah Saktika Senjani menatap serius pemuda itu. "Seandainya tidak membunuh tiga Ular Langit Malam, pertarungan sebelumnya pasti akan lebih banyak memakan waktu dan korban. Padahal kau berumur tid