Aldan melangkah dengan penuh keyakinan tanpa rasa gelisah sedikit pun. Dia mendekat ke jendela samping pintu utama rumah yang lumayan besar.Aldan mengeluarkan alat potong kaca di kantong kiri celananya. Perlahan tapi pasti, dia mulai memotong kaca dengan perhitungan yang matang agar kaca itu tidak terjatuh.CRASH! TEEK!“Yes,” pekik Aldan pelan saat berhasil memotong kaca tanpa membuat kegaduhan. Lalu dia memindahkan kaca itu ke sisi tembok dan memasukkan kembali alat potong kaca ke kantong celana.Tangan kanan Aldan bergerak ke atas melewati jendela yang sudah tak berkaca, badannya setengah membungkuk sembari di dorong ke depan untuk masuk ke dalam. Kemudian kaki kirinya bergantian bergerak melewati jendela.“Huh.” Aldan menghembus napas panjang saat dirinya berhasil masuk ke dalam. Lalu dia berjalan menyusuri setiap ruangan yang ada di rumah itu. “Dimana kamarnya?”Aldan berhenti di sebuah kamar yang tidak terkunci, sepertinya di dalam ada orang. Tanpa menimbulkan suara, dia mendek
Wahyu terkejut bukan main, pukulan orang bertopeng itu sangat keras. Bahkan mulutnya berdarah.“Hei apa yang kamu lakukan? Candaanmu di luar batas.” Wahyu masih kekeh bahwa orang bertopeng itu utusan salah satu stasiun televisi. “aku bisa menuntut kalian.”“Kalian? Aku cuma datang sendiri. Aku datang untuk membunuhmu, Wahyu Kosim,” sungut Aldan diiringi dengan senyuman seringai di bibir.Mendengar itu, Tatang tersulut emosi. Namun, dia masih belum percaya bahwa orang di hadapannya itu benar-benar ingin membunuhnya.“Cukup! Hentikan omong kosong ini. Prank boleh saja asal jangan berlebihan.” Wahyu mengangkat tangan sambil menatap tubuh Aldan dari atas ke bawah. Wahyu yakin ada kamera kecil di sana, tetapi dia sama sekali tak menemukannya.“Apa yang kamu cari, Wahyu?” ejek Aldan.“Sudah cukup sandiwaranya. Acara ini berlebihan, aku akan menuntut kalian,” ucap Wahyu serius.Aldan tersenyum miring, lalu dia melangkah ke depan dengan tatapan membunuh yang membuat Wahyu mundur ketakutan.BU
Wahyu berpikir keras, dia tidak ingin mati konyol.“Uang 1 miliar,” ucap Wahyu.Aldan mendengus, “1 miliar? Jangan bermain-main, Wahyu.”“Sebutkan saja apa yang kamu mau. Aku tambahin, sumpah. Bahkan jika kamu minta selain uang, aku berikan. Mobil, rumah, perhiasan, apapun itu pasti aku turuti.” Tanpa pikir panjang, Wahyu bisa menyanggupi segalanya. Yang terpenting saat ini dia bisa selamat. Masalah harta, dia pasti bisa merebutnya kembali dari pria pembunuh bayaran itu melalui bantuan Hendrawan.Namun, Wahyu tidak sadar bahwa Aldan tidak sebodoh yang dia kira. Andai Wahyu tahu orang di hadapannya adalah seorang anak yang dia hampir bunuh 10 tahun silam, mungkin saat ini dia tidak akan menawarkan sebuah harta, melainkan memberi tahu keberadaan orang-orang yang telah membunuh orang tua Aldan.“Hemm aku sangat tertarik dengan penawaranmu. Bagus, bagus. Tapi tunggu dulu, ada hadiah menarik dari orang yang menyuruhku. Berdirilah dan duduk di sana.” Aldan menunjuk kursi yang berada di sisi
Aldan menidurkan Wahyu di lantai, lalu dia menyeret tubuh musuhnya ke luar kamar hingga cairan merah kental pun berceceran mengikuti jejaknya. Aldan membawa Wahyu ke kandang hewan yang berada di belakang. Saat membuka pintu, seketika itu pula berbagai hewan seperti anjing, serigala, macan, dan singa yang terkurung di kurungan besi yang berada di kandang itu berbunyi bersahutan tanpa henti. “Aku gak akan membunuhmu hari ini.” Aldan meletakkan tubuh Wahyu di tengah-tengah kandang. “Kau harus menderita sebelum mati.” GUK! GUK! GUK! AUUUUU UUUU! HAUMMMMMM! Semua hewan berbunyi tanpa henti. Tatapan bringas hewan-hewan itu justru mengarah pada Wahyu yang terkapar di lantai. Tentu saja bau anyir darah yang membuat mereka mengeluarkan naluri hewan buas. “Lihatlah, hewan peliharaanmu ingin memakanmu.” Aldan tersenyum puas melihat hewan-hewan itu menatap nafsu pada tubuh Wahyu. “Selamat bertemu lagi, Wahyu.” Aldan meninggalkan Wahyu di kandang. Dia masuk ke dalam rumah dan memeriksa
Aldan berjalan cepat ke arah televisi yang berada di ruang tamu, dan langsung menyalakannya. “Hemm cepat juga media meliput kejadian yang barusan terjadi, padahal masih petang.” Aldan tersenyum miring melihat ke arah layar tv yang sedang menayangkan siaran langsung. Di sana juga ada beberapa polisi yang bertugas membereskan barang-barang di tempat kejadian untuk mencari sebuah bukti kejahatan. “Kalian gak akan bisa menemukan bukti satu pun,” ucap Aldan sambil meraih remote untuk mematikan tv, tetapi tangannya terhenti saat tayangan berganti menampilkan seorang wartawan yang mewawancarai Hendrawan. Aldan mendengus, “Hemm apa yang akan kamu katakan pada media, Hendrawan?” Layar tv lebih menyorot Hendrawan. Dia tampak gagah sekali dan berwibawa. Dengan memasang wajah serius, dia berkata, “Kami akan mengusut kasus upaya pembunuhan terhadap saudara Wahyu sampai pelaku tertangkap. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membongkar identitas pelaku dan segera mengakapnya. Pelaku di
“Emang apa rencanamu?” tanya Adelia penasaran. Aldan memajukan badan dan berbisik pada Adelia, “Jadilah pacarku.” PLAK! Tiba-tiba Adelia menampar wajah Aldan, lalu mengambil tablet miliknya dari tangan pria tampan itu. “Aku menyesal sudah sempat mempercayaimu.” Aldan cengengesan sambil memegang pipi kirinya, tetapi dia segera memasang wajah serius saat Adelia ingin masuk ke dalam rumah,“Aku gak bercanda. Aku benar-benar penasaran tentang pak Hendrawan. Apa beliau orang baik atau sebaliknya.” Adelia memicingkan mata, menatapi Aldan untuk mencari kebenaran di sana, “Apa kamu mencoba membohongiku? Oh atau jangan-jangan kamu tangan kanan pak Hendrawan?” Aldan tertawa geli, bersandar ke tembok samping pintu rumah. Adelia menaikkan kedua alisnya, menatap serius pada Aldan, “Aku serius. Gak ada yang lucu.” Aldan terkekeh pelan, “Aku orang baru di sini, mana mungkin aku menjadi tangan kanan pak Hendrawan.” “Syukurlah,” kata Adelia, lalu tiba-tiba wajahnya terlihat murung. “Tapi itu t
Aldan berjalan menuju ke lantai dimana ruangan bagian divisi keuangan berada, tetapi di tengah perjalanan dia bertemu dengan Lukman Wafa, sekretaris Ceo.“Selamat pagi, pak Lukman,” sapa Aldan dengan senyuman kecil.Lukman malah tersenyum miring dengan sorot mata merendahkan, “Bagaimana rasanya digebukin?”“Jadi Bapak yang menyuruh mereka buat menghajarku?” Aldan berpura-pura terkejut, tetapi hatinya saat ini tengah tertawa karena Bahri dan Dani sudah membohongi Lukman.“Kemarin belum seberapa. Aku bisa lebih kejam dari kemarin ... Cium kakiku jika kamu gak ingin tubuhmu dihajar lagi,” ucap Lukman tersenyum tipis.Aldan lagi-lagi berakting. Dia syok dan matanya melebar menatap Lukman.“Salahku apa pak? Kenapa Bapak tega menyuruh preman buat menghajarku?” tanya Aldan dengan suara sedikit nyaring, sengaja agar karyawan lainnya mendengar.Sementara Lukman terlihat gelisah dan gusar ketika karyawan lainnya mulai diam-diam menguping, salah satunya adalah Rangga. “Tutup mulutmu,” kata Lukm
Aldan masuk ke dalam ruangan divisi keuangan, di sana teman-temannya menatap Aldan dengan tatapan penuh kesal dan ada juga penuh kebencian.“Kamu gila, ya. Pak Lukman sekretaris CEO loh, kenapa kamu buat masalah dengan beliau?”“Apa-apaan kamu? Kamu kok fitnah pak Lukman?” “Maumu apa sih?”Mereka langsung memberondong sejumlah pertanyaan pada Aldan. Pria tampan itu hanya tersenyum, tetapi di detik berikutnya dia menghela napas kecewa sembari merapikan poni rambutnya.“Aku gak fitnah, pak Lukman sendiri yang ngaku sudah mengirim preman buat menghajarku kemarin,” jelas Aldan berpura-pura memasang wajah serius, tetapi hanya Rangga yang terlihat mempercayainya.“Heleh bilang aja mau ngejatuhin pak Lukman.”“Lihat aja kedepannya, gak lama lagi kamu akan dipecat. Masih baru udah berani fitnah-fitnah atasan.”“Jangan-jangan kamu punya niat buruk ngefitnah pak Lukman biar kamu jadi sekretaris Ceo? Jangan mimpi bro. Kalo mau naik jabatan, bersaing pakek prestasi. Bukan pakek cara kotor.”Mer