Share

Bab.5

Marni lari dari dalam rumahnya ketika mendengar suara mobil memasuki pekarangannya. Tak lama kemudian, Ayana keluar dari mobil diikuti David dan Riko.

"David!" panggil Marni berlari ke arah anak itu.

"Bu," kata David sambil memeluk Marni.

Marni memeluk anak itu erat-erat. Marni menangis, dia sangat merindukan David. Padahal David bukan anak kandungnya.

"Dari mana saja kamu, Nak? Tiap kali Riko pulang dan mama nanyain kamu.. Riko selalu bilang kamu numpang di rumah teman karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan," kata Marni menirukan apa yang Riko ceritakan padanya.

"Iya bu, apa yang dikatakan Riko memang benar," jawab David membuka pelukannya.

“Tapi lama-lama, sampai – sampai ibu kangen banget sama saya,” kata Marni sambil mengelus pipi David.

"David juga merindukan ibu," jawab David sambil tersenyum pada sang ibu.

Saat Marni mengalihkan pandangannya ke Riko. Tatapan Marni tertuju pada Ayna yang berdiri di samping Riko dan tersenyum padanya.

"Siapa dia, Nak?" tanya Marni kepada David.

"Dia Ayna, dia teman David, Bu," jawab David sambil membalikkan tubuhnya menghadap Ayna.

"Ayna, Bu, aku teman David juga Riko," kata Ayna memperkenalkan diri. Ayna meraih tangan Marni dan menciumnya dengan hormat.

"Kamu sangat cantik, Nak, juga begitu sopan!" puji Marni.

Ayna menunduk dan tersenyum malu mendengar pujian Marni.

"Benar, Ayna begitu cantik dan baik hati. Namun, tidak ada cara lain untuk memasuki kehidupan mereka selain melalui Ayna," kata David dalam hati.

“Masuklah nak, maaf kalau rumah ibu kurang nyaman,” kata Marni menggandeng tangan Ayna dan menuntunnya masuk ke dalam rumahnya.

"Tidak bu, Ayna merasa nyaman di rumah," jawab Ayna jujur.

Rumah Marni sederhana. Namun, terlihat sangat rapi. Bagian depan rumah juga sangat sejuk dengan pohon rambutan, lengkeng, jeruk dan mangga

Di dekat teras juga terdapat buah anggur Brazil dan juga berbagai macam bunga yang cantik. Salah satu bunga yang menarik perhatian Ayna adalah bunga wijaya kusuma yang masih kuncup.

“Silakan duduk, Nak,” kata Marni mempersilakan Ayna duduk di sofa sederhana di ruang tamu.

“Terima kasih, Ma,” kata Ayna merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan Marni padanya.

"Baiklah nak, tunggu sebentar ... ibu, biarkan aku membuatkanmu minum dulu."

Marni beranjak dari tempatnya meninggalkan kamar menuju dapur. David yang baru masuk ke dalam rumah duduk di sofa tepat di depan Ayna. Sementara Riko membawa ransel David ke kamar.

"Terkejut, mengapa rumah ibu begitu kecil?" tanya David saat melihat Ayna yang sedang melihat ke setiap sudut ruangan.

"Sederhana, tapi aku suka, rumah ini sangat nyaman," jawab Ayna jujur. Ayna tersenyum menatap David.

“Syukurlah, kalau nanti orang tuamu tidak menerimaku, kamu akan nyaman tinggal di rumah ini bersama ibuku,” kata David.

"Tentu saja, ibumu baik, aku menyukainya, aku sangat nyaman dengannya," jawab Ayna menatap David sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, Marni kembali ke kamar dengan nampan berisi 4 cangkir teh hangat.

“Silahkan diminum, maaf ini hanya teh hangat” kata Marni sambil meletakkan cangkir di atas meja di depan Ayna.

“Terimakasih bu, ini saja sudah lebih dari cukup” jawab Ayna dengan senyum sopan.

“Kamu baik sekali Ay, sama sekali berbeda dengan ibumu,” kata David bermonolog dalam hati.

David menatap gadis di depannya. Ada rasa bersalah jika memanfaatkan Ayna untuk membalas perbuatan Dara. Namun, David tidak punya pilihan lain.

“Vid,” panggil Marni untuk membangunkan sang anak.

"Iya ma'am," jawab David sambil mengangkat wajahnya untuk melihat ibunya.

"Apa yang kamu lakukan, Nak? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanya Marni dengan tatapan bertanya.

"Ada yang mengganggu pikiran David, Ma," jawab David sambil melirik Ayna.

“Kalau tidak keberatan, ibu siap menjadi pendengar,” kata Marni serius.

"Terima kasih, Bu," kata David sambil tersenyum pada ibunya.

"Sama nak," jawab Marni sambil mengelus kepala David.

"Bu, ke dapur dulu, ibu belum masak untuk makan siang," Marni berpamitan dan David mengangguk.

"Bisakah Ay membantu ibu?" tanya Ayna menatap Marni penuh harap.

“Jangan khawatir nak, ibu tidak mau menyusahkanmu,” jawab Marni.

"Tidak Bu, sama sekali tidak!" jawab Ayna mencoba membujuk Marni.

Ayna tidak suka Marni jika membiarkan Marni memasak sendiri. Sementara dia malah bersantai di kamar. Meskipun dia memang tamu.

"Ya, jika kamu memaksanya, ibu tidak bisa menolak!" kata Marni tegas.

"Terima kasih bu," kata Ayna dengan senyum manisnya. Marni hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi perkataan Ayna.

Ayna mengikuti langkah kaki Marni menuju dapur. Sedangkan David menatap kepergian dan ibunya hingga tak terlihat lagi.

David terdiam dengan tatapan kosong. David teringat pertama kali gundik ayahnya datang ke rumah dan membuat ibunya menangis histeris.

Kala itu, empat belas tahun yang lalu.

Masih tersimpan kuat dalam benak David, semua peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu, David masih berusia 7 tahun. Saat itu menyaksikan ibu dan ayahnya bertengkar. Anak itu bisa melihat betapa teganya sang ayah menyakiti ibunya hanya demi wanita pezinanya.

"Kamu...kamu perempuan tidak punya harga diri," kata sang ibu penuh emosi. Matanya menatap tajam pada wanita selingkuhan ayahnya. Namun, wanita itu justru tersenyum merendahkan pada ibunya.

"Kamu seharusnya tidak pernah mengatakan bahwa Dara tidak memiliki harga diri!" Ayah David membentak ibunya.

Hanum menyipitkan mata ke arah suaminya. Hatinya begitu hancur, dadanya berdenyut sakit ketika suaminya membela perselingkuhannya lebih dari dirinya yang merupakan istri sahnya.

Dara semakin merasa di atas langit saat Adijaya membelanya. Dara melangkah ke depan Hanum dan tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu harusnya tahu kenapa Mas Adi selingkuh?!" Kata Dara mengangkat salah satu bibirnya.

"Apa maksudmu?" tanya Hanum lagi pada Dara.

"Karena kamu tidak tahu! Baiklah, aku akan memberitahumu!" kata Dara dengan angkuh.

"Kamu harus sadar diri. Kamu selalu mengabaikan Mas Adi dan lebih peduli pada anakmu!" kata Dara menatap Hanum yang terdiam mencerna perkataannya.

"Kamu jangan bohong! Meskipun aku mengutamakan anakku, aku tidak pernah mengabaikan Mas Adi! Dengar! jangan menutupi kebusukanmu dengan alasan lain seperti kamu tidak bersalah!" Hanum tidak terima.

"Siapa yang punya alasan? Itu yang Mas Adi bilang ke saya!" kata Dara, "sebagai sekretarisnya dan selalu mendengarkan semua keluh kesahnya... Tentu saya selalu menghibur Mas Adi sampai Mas Adi merasa nyaman dengan saya," lanjut Dara tak mau disalahkan.

Hanum menggeleng tak percaya saat mendengar apa yang dikatakan Dara padanya.

"Benarkah yang dikatakannya, Mas?" tanya Hanum menatap Adijaya yang terdiam.

"Aku mengatakan semua itu pada Dara karena aku tidak mencintaimu lagi! Aku mencintai Dara! Dan hati ini sepenuhnya untuknya! Bukan kamu lagi! Bahkan anak kita pun tidak!" jawab Adijaya.

Hanum terisak mendengar jawaban suaminya. Tubuh Hanum merosot ke lantai dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir di wajah cantiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status