Plakk!
Suasana di dalam klub itu mendadak hening. Luar biasa hening. Bahkan musik yang penambah hiruk pikuk itu pun berhenti karena semua orang berhenti melakukan aktivitasnya dan menatap ke arah Starla yang berdiri dengan terengah-engah berhadapan dengan Skylar yang membatu duduk di sofa VIP-nya. Sedetik kemudian, sebuah tangan kasar mencengkeram lengan Starla. Begitu menyakitkan hingga membuat Starla menjerit kesakitan. "Kurang ajar kau! Berani-beraninya kau telah memukul Tuan Sky," teriak sebuah suara berat dan kasar. Starla menoleh dan mendapati dirinya sedang ditelikung oleh lelaki berbadan besar yang sepertinya salah satu bodyguard Skylar. Lengan lelaki itu yang besar dan kuat menahannya sampai tangannya terasa kaku dan sakit. Tetapi Starla tidak menyerah, dia meronta sekuat tenaga, mencakar, dan menggigit lengan yang tetap terasa sekeras batu itu. Napasnya kembali tidak beraturan, terengah-engah dan wajahnya merah padam menahan amarah dan rasa malu karena sebagai perempuan kekuatannya begitu tidak berdaya menahan dominasi kekuatan laki-laki. "Lepaskan dia!" suara dingin Skylar terdengar di keheningan, dan di antara kerja keras Starla yang tergolong sia-sia saat berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria bertubuh besar dan kekar itu. Orang-orang masih diam menunggu, memusatkan perhatian kepada apa yang akan dilakukan lelaki yang dikenal oleh Starla kini berubah menjadi begitu kejam, terlebih lagi pada perempuan yang berani menamparnya. Mendengar titah dari bosnya, seketika itu juga bodyguard Skylar yang berbadan kekar melepaskan Starla, membuatnya hampir terjatuh karena kelelahan meronta-ronta. Tenaganya benar-benar terkuras habis malam ini. Shit! Mereka berdiri berhadap-hadapan di bawah tatapan mata banyak orang yang menanti. Skylar masih berdiri dengan wajah dingin tak berekspresi sambil mengusap pipinya, bekas dari tamparan Starla. "Berapa hargamu?" suara Skylar terdengar tenang dan dingin. Sial! Apa yang diinginkan pria di depannya ini? Mata Starla membelalak. Harga? Apa yang sedang dibicarakan lelaki brengsek ini? semuanya terlanjur kepalan basah, sehabis ini Skylar pasti benar-benar tidak akan melepaskan Starla. Kenapa dia harus kembali bersinggungan pria itu, yang kini perhatiannya teralihkan semuanya pada Starla. Seharusnya dia menyelesaikan malam ini dengan baik, dan keesokan harinya dia tidak akan lagi menginjakkan kakinya di tempat terkutuk ini. Seharusnya ketika Skylar mulai melecehkannya dia bisa menahan diri dan berpura-pura menjadi perempuan gampangan. Seharusnya dia mau berkorban demi perasaannya. Setidaknya kalau dia menurut, Skylar mungkin akan merasa senang dan pada akhirnya akan melepaskannya. Tetapi sekarang sudah terlambat, mereka kini menjadi tontonan banyak orang. Dan Starla yakin, kali ini Skylar tidak akan membiarkan wanita itu hidup tenang setelah dirinya dipermalukan di depan banyak orang. Veronica, primadona di bar ini mendekati Skylar dengan tatapan merayu. Dialah yang bisanya dipilih Skylar jika Ariana tidak ada untuk menemani lelaki itu minum ketika Skylar berkunjung, dan sekarang hatinya dipenuhi kecemburuan karena Skylar tampak begitu tertarik kepada pengganti Ariana itu. Selama ini dia sudah menahan kecemburuan pada Ariana, berharap agar wanita itu menghilang saja agar fokus Skylar beralih semua kepada dirinya. Tetapi malam ini dia kembali dikalahkan oleh pesona wanita yang tidak ada apa-apanya itu. Padahal kalau dilihat dari kecantikannya, pengganti Ariana itu jauh lebih jelek daripada dirinya. "Sudahlah, Tuan Sky." Veronica menyentuhkan tangannya di kerah kemeja Skylar. "Perempuan jelek itu tidak akan bisa memuaskanmu, lebih baik biarkan aku yang menemani—aduhh …." Veronica seketika mengaduh kesakitan karena Skylar merenggut tangannya yang meraba kerah baju Skylar. Jemari Skylar mencengkeramnya dengan kekuatan tak ditahan-tahan lagi, menyakitinya sehingga terasa menusuk ke tulang. "Menyingkir!" gumam Veronica dengan tatapan membunuh pada perempuan itu, lalu menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar sehingga tubuh Veronica terdorong menjauh. Sambil meringis menahan nyeri dan kesakitan Veronica lekas-lekas pergi menjauh. "Nah." Skylar memutuskan mata dinginnya kembali ke Starla. "Katakan berapa hargamu, dan aku akan membayarnya." **** Starla tertegun marah mendengar pelecehan Skylar atas dirinya secara terang-terangan. Berapa harganya? Huh! Dia pikir dia raja yang bisa membeli apa saja yang dia mau? Lelaki iblis ini harus diajari, bahwa meskipun banyak perempuan yang bertekuk lutut di bawah kakinya dan memohon-mohon untuk dimilikinya, ada perempuan yang tidak sudi disentuh olehnya. Dengan marah Starla mendongakkan dagunya menantang Skylar. "Saya lebih memilih mati daripada menjual diri kepada Anda," gumamnya kasar. Suara di seluruh klub itu langsung dipenuhi dengungan gelisah menanti reaksi Skylar. Mereka semua sudah pasti tidak menyangka ternyata ada wanita lemah yang berani menantang Skylar. Mereka berdecak kagum atas keberanian yang diperlihatkan oleh wanita itu, serta merasa kasihan sekaligus. Karena dia tahu apa yang akan terjadi pada wanita itu yang akan dilakukan oleh Skylar karena telah berani melawannya. Sudah pasti kehancuran yang akan diterima oleh wanita tersebut. Wanita pengganti itu benar-benar berani telah melawan seorang Skylar sang penguasa. Namun, tidak disangka-sangka Skylar malah tersenyum. Lalu melirik ke arah body guardnya. "Tidak ada satu pun yang bisa menolak kalau aku ingin memilikinya," ucap Skylar dengan nada datar dan memberikan isyarat tangan kepada para bodyguardnya. Para body guard itu mulai mendekat, tetapi dengan cepat Starla berseru yang membuat Skylar mematung di tempatnya. "Jadi, ini yang kau lakukan semenjak Gaby sudah tidak ada? Apa kau tidak malu padanya?" Kalimat itu menyimpan arti bagi Skylar. Rahangnya kini berubah menegang, dengan kedua tangan yang mengepal erat. Wajahnya memerah dan terlihat jelas kalau amarahnya telah tersulut oleh kalimat yang dilontarkan oleh Starla. "Jangan mengucapkan namanya dengan mulut kotormu itu!" desis Skylar. Namun, Starla semakin menantang pria tersebut. "Kenapa? Apa kau sudah mulai menyadari kesalahanmu. Aku yakin Gaby akan malu melihatmu yang berubah seperti ini. Aku jadi kasihan pada Gaby—" "Aku bilang berhenti mengucapkan nama itu, Sialan!" Tangan Skylar berhasil mencengkeram rahang Starla dengan kekuatan penuh, hingga rasa-rasanya rahang itu akan diremukkan dengan sekali sentakan. Starla meringis kesakitan. Pria itu benar-benar tidak tanggung-tanggung mengeluarkan tenaganya sebagai laki-laki, tanpa tahu kalau orang yang sedang disakitinya itu adalah seorang perempuan lemah. "Jangan sekali-kali menyebut nama itu lagi dengan bibir kotormu ini!" ulang Skylar kembali, dengan tangan yang masih bertengger di rahang Starla. Semua orang tidak ada yang berani menolong Starla, meskipun wanita itu sedang kesakitan dan berusaha keras melepaskan diri namun sia-sia. Cengkeraman Skylar terlalu keras, dan sukar dilepaskan dengan tenaga lemahnya. "Kalau aku mendengar mulutmu ini menyebut namanya lagi, saat itu juga aku akan membunuhmu!" ancam Skylar. Starla hanya bisa meringis dan terus berusaha menahan laju air matanya, namun seberapa pun ia mencoba, tetap saja air mata lemahnya mengalir menyapa kedua pipinya. Menunjukkan betapa lemah dirinya sebagai wanita di depan Skylar. "Malam ini aku memaafkanmu, karena servis yang kau berikan. Tetapi lain kali, kau benar-benar akan hancur di tanganku." Dengan sekali dorong, tubuh Starla jatuh terjerembap di atas lantai disusul suara pekikan dari orang-orang di sekitarnya. Lantai yang dingin dan keras langsung menyambut tubuh Starla, membuat seluruh tubuhnya kesakitan. "Suruh wanita murahan ini pergi! Aku tidak ingin melihatnya lagi," geram Skylar pada pria bertubuh gendut yang tetap setia berdiri di belakangnya. “Baik, Tuan!” ucap pria itu dengan patuh dan sangat ketakutan.Jika Skylar pernah berkata, tak ada satu pun hal lain yang diinginkannya selain kesengsaraan dan kematian seorang Starla, maka hari ini, tepat setelah dia menyaksikan sendiri jemari pucat itu bergerak bersamaan dengan sepasang kelopak mata yang perlahan terbuka, Skylar menyadari bahwa dia tak pernah bersungguh-sungguh menginginkan hal itu terjadi. Pria itu menginginkan kehidupan Starla. Ia ingin wanita itu menemaninya untuk hidup bersama.Tak heran jika selama dua minggu terakhir. Sederet doa tak pernah luput dari ucapannya setiap kali dia mengajak wanita itu untuk berkomunikasi, meskipun rasa putus asa itu berkali-kali mengguncang keteguhannya untuk tetap menunggu ketika dokter sering kali berkata bahwa kecil kemungkinan untuk wanita itu kembali hidup.Ya, dia tentu menyadari kenyataan tersebut jauh dari hari-hari sebelumnya. Starla kehilangan banyak darah akibat dua buah peluru yang mengikis organ penting dalam tubuhnya. Wajar jika Skylar selalu menunggu dalam perasaan luar biasa kh
Hampir semua orang yang mengenal Skylar tahu dan pernah berkata bahwa pria itu termasuk tipikal pria yang memiliki semangat kerja yang kuat. Skylar pekerja keras yang hanya mementingkan kesibukannya sebagai atasan di sebuah perusahaan. Dan hal itu tentu sudah berada jauh di luar kepala Xander. Ya, sebagai seorang sahabat, yang bahkan pernah menganggapnya layaknya saudara, Xander tentu tahu, Skylar bukanlah atasan gegabah yang menyia-nyiakan pertemuan penting—bahkan ini sangat penting yang membuatnya turut serta hadir, jika tidak terjadi sesuatu yang mampu memaksa pria itu beralih dari urusan bisnisnya.Sejak awal pertemuan berlangsung, Xander membiarkan pikirannya menerka-nerka apa yang telah terjadi, berusaha menemukan jawaban apa pun agar dapat menenangkan hatinya yang sejak tadi menjeritkan nama Starla tanpa henti. Namun, jawaban yang ia dapatkan justru membuat keresahan yang dirasakannya kian menyulut. Dan segala pikiran buruk yang sempat mengisi kepalanya kini benar-benar terjadi
"Biarkan aku bersamanya."Tepat setelah titah itu mengalir, sang wanita itu akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan Skylar yang bergelung bersama eratnya cekaman situasi yang kini membelenggu paru-parunya, nyaris membuatnya tak mampu menghela udara dengan baik.Tatapan pria itu terus tertuju pada sosok wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang pasien. Rentetan suara alat medis yang dicernanya berhasil membuatnya berubah kaku di tengah-tengah dinginnya ruangan. Namun, Skylar berusaha bersikap tenang meskipun ia sendiri tak kuasa menampik segala jeritan protes akan ketakutan serta kekhawatiran di dalam hatinya. Pria itu lantas mendekat dan melakukan hal yang sama di setiap kali ia datang, menyingkirkan bunga buket yang telah layu dari atas nakas, lalu menggantinya dengan yang baru sebelum memilih duduk di kursi yang tersedia di sisi ranjang pasien."Sudah lama menunggu?" tanya Skylar dengan nada suara yang lirih, sembari berusaha menguatkan diri ketika iris matanya melirik bedside
Embusan napas berat itu terdengar, menyatu bersama pekatnya udara setelah Skylar menghelanya sedalam mungkin. Tetesan air hujan serta lumatan embun tampak saling bergelayut, merebak pada kaca jendela di hadapannya, berupaya mengusik pandangannya yang terus menatap pusat kota yang padat akan kendaraan di bawah sana, sedang pikirannya terus bernostalgia bersama ribuan penyesalan yang ia rasakan.Skylar mengingat jelas bagaimana kebengisan itu bermula, tepat setelah dunia berlaku begitu kejam mengguncang kehidupan adik satu-satunya, yang secara bersamaan cukup membuatnya merasa kehilangan akal, berikut dengan hati nuraninya. Semuanya hilang begitu saja dan hanya menyisakan kebencian serta rasa dendam yang mendalam. Menguar cepat dan merasuki jiwanya tanpa aba-aba, yang kemudian menimbulkan reaksi balasan terhadap siapa pun yang telah merusak kebahagiaan adiknya.Demi apa pun, Skylar bersumpah bahwa ia tidak pernah ingin menyakiti Starla tanpa alasan. Sungguh, tak sedikit pun niat yang te
Skylar membuka pintu ruangan dengan begitu pelan. Pandangannya tak pernah beralih meninggalkan punggung milik wanita yang tengah duduk di kursi roda yang menghadap jendela besar di depannya—ketika ia melangkah ringan sebelum memosisikan diri dan duduk merangkung di hadapan wanita itu."Gaby."Skylar bergumam pelan setelah menggenggam erat jemari sang adik dan langsung mendapat tanggapan dari sang empunya. Manik kelam Gabriella tergenang oleh air mata kini bergerak perlahan dan memutuskan untuk membalas tatapan kepedihan milik Skylar.Setelah beberapa minggu menjalani terapi dan metode penyembuhan lain dengan rutin, wanita itu sudah mulai memperlihatkan sedikit kemajuan. Ia tak pernah memberontak lagi ketika Skylar datang berkunjung. Ia juga sudah mulai mampu mencerna perkataan orang lain. Gabriella bahkan sudah mulai mengenal orang-orang yang berada di sekitarnya. Akan tetapi dia masih belum mampu mengeluarkan beberapa kalimat selain menyebutkan nama-nama orang yang ada di pikirannya
Siapa yang harus Skylar salahkan dalam hal ini? Apakah karena sosok wanita yang telah berhasil meluluhlantakkan hatinya akhir-akhir ini? Arlan yang dia pikir telah merusak kebahagiaan adiknya dengan ganas? Atau bahkan Gabriella yang memang sejak awal telah menyembunyikan sesuatu darinya?Tiga pertanyaan itu kerap kali berputar di otak Skylar sejak kejadian tragis seminggu yang lalu. Dan bagaikan lecutan cambuk yang mengenai punggungnya ketika ia tersadar bahwa dirinya sendirilah yang menjadi pusat dari semua kesalahan yang ada. Hatinya menjerit perih. Pria itu sadar, kecerobohannya tak hanya berdampak buruk bagi dirinya sendiri, tetapi juga pada orang lain yang bahkan tidak mengetahui apa pun di balik semua masalah yang terjadi.Apakah sejak awal pernikahan, Skylar pernah memikirkan perasaan Starla? Mungkin tidak, dia hanya memikirkan bagaimana cara menghancurkan wanita itu secara fisik maupun mental. Membuat wanita itu tidak lagi mengenali arti kehidupan serta tidak mengingat lagi ba